Hehe, beginilah imbas mahasiswa yang kuliah di Jatinangor, Kangen Bandung dan langsung bertingkah kampungan kalau main ke
Okei, petualangan ke
Setelah hujan diyakini benar-benar berhenti, akhirnya
Tapi sayangnya, karena rute ini nggak direncanakan alias spontan muncul waktu hujan, akhirnya ngga ada prepare apa-apa. Nggak bisa diabadikan dan dipamerkan di sini, deh jadinya!
Jalan-jalan kali ini benar-benar jalan-jalan yang sempurna. Biasanya nggak pernah kayak gini. Rutenya nggak pernah sampai ke Braga. Cukup sampai ke BIP dan tamat.
Diawali di Braga. Trotoar Braga dalam balutan kelembaban sisa hujan terpantulkan dengan cantik di kaca etalase pertokoan yang tertata manis. Meskipun tidak ada satu pun dari gerombolan saya yang berniat mampir memasuki salah satu toko, mmmm saya, Acid, Be Es, dan Meru cukup puas memerhatikan berbagai barang yang ada di sana –yang kelihatan dari etalase dan yang ada di pinggir jalan.— Lukisan, buku-buku, handycraft khas Jawa Barat, bahkan roti khas zaman dulu. Ups, bukan roti basi yang disimpan dari zaman abad 18, tapi roti-roti dengan bentuk khas abad kolonial Belanda yang diproduksi fresh from the oven. Toko ini yang bikin nggak nahan. Coba kalau ada yang punya duittttt. Hehehe.
Hal lain yang menarik perhatian adalah lukisan. Lukisan yang paling banyak dipajang oleh seniman-seniman adalah lukisan Braga tempo doeloe. Barangkali jawara khas Braga adalah lukisan itu. Tentang lukisan lainnya, hampir tidak ada perbedaan dengan lukisan di tempat lain. Mmmm, tapi ada satu hal yang dengan kompaknya melintasi otak saya dan teman-teman saya saat melewati deretan lukisan. Melintasi Braga dan menikmati lukisannya langsung membuat kenangan Bali terputar. Uuuuuuuugh. Beneran, deh, satu bagian di Braga itu berhasil membuat suasana khas Bali terbawa di Bandung.
Tamat menjelajahi Braga, Asia Afrika pun terbentang. Hoho. Mumpung lagi ada kesempatan. Ayo kita ke KoKem alias Kota Kembang! Kota Kembang ini adalah sentra ’dosa.’ Kenapa? Karena di sinilah surga MP3, CD, DVD, dan VCD bajakan. Harga? Musik 5000 rupiah. Film 6000 rupiah. Mau cari musik dari tahun berapa juga ada. Dari genre apa pun ada. Dari negara apa juga ada. Film juga gitu. Mau dari zaman jadul sampai zaman Drama Asia Timur sekarang? Lengkap. Berbagai genre. Dari ceramah ustad sampai yang dewasa only. Dari kumpulan konser Michael Jackson sampai konser AFI. Apa aja ada. Heuheu. Langsung klimaks gini alurnya. Hehe.
Kota Kembang yang terletak di Alun-alun masih sama seperti dulu, saat saya mengulasnya di blog saya yang lama. Penuh oleh pedagang kaki lima yang menjual berbagai aksesoris khas kaum girly, pedagang kue-kue kecil, pedagang sandal, dan parkir motor. Bangunan yang ada di sisinya pun masih pertokoan. Full. Pakaian, kain, sepatu, sandal, boneka, masih jadi juara di sini. Harganya pun sangat nggak logis alias murah. Apalagi kalau punya bargaining power tingkat V-V, Very Violent, yang bisa nawar sampai harganya mati. Uuugh. Tergiur, kan? Hehehe. Tapi sayang, saya nggak punya duit, jadi ya menikmati pajangan aja.
Dan masih seperti dulu juga, Alun-alun masih dipenuhi oleh manusia. Kota Kembang apalagi. Meskipun tempatnya merakyat, tapi jangan salah, yang datang ke sini bukan cuma kumpulan manusia tidak bermodal seperti saya dan sahabat SMA saya, tapi juga orang-orang yang ditilik dari tingkat kehalusan kulitnya pasti berasal dari golongan menengah ke atas. Semua berjubel di sini.
Ada hal yang kurang nyaman waktu itu di sana. Masa saya ditawarin film yang begituan, ya...?? Argh! Ceritanya saya masih nunggu Meru yang lagi hunting film. Melongo lah saya di kios itu. Tiba-tiba si penjualnya ngedatengin, ”Mau cari film yang mana, Neng? Yang pake handy cam atau HP?”
Awalnya belum sadar kalau yang dimaksud si penjual itu ya film yang begituh. Waktu ditanya ya saya mesem garing aja, soalnya nggak ngerti. Lah, ternyata keennggakngertian saya itu disalahartikan. Dikiranya saya mau! Ya Oloh...si penjualnya malah bilang ke pegawainya gini, ”Itu kasih si Neng film yang bagus, yang baru tuh ada, ambilin...”
Hiyyyyya...baru saat itu saya nyadar kalau maksudnya ya film yang itu. Bretttttttttttt....ngacir langsung. Pindah ke tempat MP3.
Waktu saya cerita ke Meru. Meru ketawa. Dia juga bilang tadi dia kaget. Katanya sekarang para pedagangnya berani-berani. Film yang begitu dipajang satu meja dengan film biasa. Ow ow. Dulu belum seberani sekarang. Dulu, sih filmnya disimpan tersendiri, baru dikeluarkan kalau ada yang nanya. Lah sekarang malah pembelinya yang ditanya.
Kesimpulannya, kalau memang nggak tertarik sama film yang begitu, daripada diajak sama si penjualnya dan dipaksa-paksa (terutama buat laki-laki), jangan nongkrong di tempat film. Nunggu di luar KoKem atau tunggu di tempat MP3. Sibukkan diri dengan cari MP3.
Well, setelah Meru selesai hunting film, perjalanan pun berakhir. Hmmmmm, kapan ya bisa ke Bandung lagi...? dan nggak cuma terdampar di kantin SMA 3 dan BIP, tentunya...
Ark. Feb’08