ASEAN sebagai komunitas yang terintegrasi pada tahun 2020 adalah hal yang paling penting dari Bali Concord II yang diusulkan oleh Indonesia. Komunitas ini akan memiliki tiga pilar utama, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, and ASEAN Socio-Culture Community, yang kesemuanya saling berhubungan.
Dalam pandangan para pemimpin ASEAN, pembentukan Komunitas ASEAN ini merupakan transformasi lanjutan dari keberhasilan ASEAN dalam menjadi region paling stabil di dunia. Jika kita membandingkan keadaan ASEAN dengan keadaan region lain, seperti di Timur Tengah, Semenanjung
Berbeda dengan para pemimpinnya, rakyatASEAN sendiri nampak tidak memiliki kepedulian terhadap ASEAN. Dalam pandangan mereka, ASEAN hanyalah organisasi regional yang penuh oleh dialog dan pertemuan namun kurang dalam implementasi. Selain itu, ASEAN kerap diasosiasikan sebagai hubungan G-to-G atau Government to Government. Semangat ‘We Feeling’ yang selama ini sering dideklamasikan para pemimpin ASEAN dalam setiap pertemuan hanya mereka maknai sebagai slogan.
Kekontrasan tersebut memancing usikan untuk mempertanyakan dua hal esensial ini. Pertama, mengapa kontras tersebut bisa terjadi? Kedua, dengan keadaan acuh dari masyarakatnya, adakah peluang bagi ASEAN untuk mewujudkan cita-cita komunitasnya?
Komunitas : Sebuah Cita-Cita Lanjutan
Memulai perjalanannya empat puluh tahun lalu lewat penandatanganan deklarasi oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand, ASEAN kini telah menjadi organisasi yang berpengaruh, tidak hanya di kawasan Asia Pasifik, namun di seluruh dunia. Pencapaian tersebut terlihat misalnya dalam keberhasilan menyelesaikan konflik di Kamboja pada dekade 90’an, menyusun AFTA secara progresif hingga pada realisasi, dan keikutsertaan Australia, Selandia Baru, Kanada, AS, Rusia, Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Pakistan, EU, UNDP, dan PBB sebagai mitra wicara. Bahkan seorang Kofi Anand pun dalam masa kepemimpinannya di PBB sempat berkomentar demikian,
”Today, ASEAN is not only a well-functioning, indispensable reality in the region. It is a real force to be reckoned with far beyond the region. It is also a trusted partner of the United Nations in the field of development” (Kofi Anan dalam catatan Marty M. Natalegawa’s, ASEAN Selayang Pandang,
Lumrah apabila pencapaian yang digenggam oleh ASEAN kini dianggap sebagai suatu kebanggaan. Dahulu sebelum Deklarasi Bangkok dicetuskan, kondisi hubungan antarnegara di Asia Tenggara selalu diwarnai dengan persengketaan dan konflik, yang tentu mengganggu atmosfer nasional. Kondisi ini lambat laun menyadarkan para
Dalam masa awal pendiriannya, kegiatan ASEAN lebih dikonsentrasikan pada pembangunan rasa percaya di antara para negara anggotanya. Kini, saat kepercayaan itu telah terbangun dan ASEAN telah diakui berhasil menjadi region yang stabil, kebutuhan ASEAN pun bertambah. ASEAN kini membutuhkan suatu interaksi yang lebih dekat dan intens yang melibatkan seluruh elemen ASEAN. Inilah yang ingin dicapai oleh ASEAN dengan kerangka Komunitasnya. Sebuah integrasi dalam segala segi interaksi.
Antara Pemerintah dan Rakyat
Mengakselerasikan komunitas ASEAN pada tahun 2015 adalah hal yang ingin dicapai oleh para pemimpin ASEAN.
Dalam pandangan mereka, ASEAN adalah lingkaran konsentris bagi setiap kebijakan luar negeri masing-masing negara. Setiap hal yang didiskusikan dalam dialog, forum atau pertemuan ASEAN adalah proyeski dari kepentingan nasional mereka. Membicarakan mengenai kepentingan nasional, tentu hal tersebut tak dapat dipisahkan sebagai kepentingan rakyat. Hal ini menjadikan kesimpulan bahwa apa yang dibicarakan di ASEAN adalah segala sesuatu tentang rakyat. Jika demikian, seharusnya ASEAN disadari bukan hanya sebagai G-to-G, namun P-to-P alias People to People. Hanya saja, dalam hal ini subjek ‘P’ diwakili oleh ‘G.’
Sayangnya kenyataan tersebut tidak disadari oleh kebanyakan orang ASEAN. Media massa kerap memunculkan pertanyaan seperti ini, ”Apa hasil konkrit yang bisa didapat rakyat dari ASEAN?”, dimana pertanyaan ini mengindikasikan bahwa rakyat masih mencari apa pentingnya ASEAN bagi mereka. Padahal, ketika mereka mempertanyakan hal tersebut, mereka sebenarnya telah menikmati salah satu hasil konkrit dari ASEAN. Bagaimana dengan nafas yang mereka nikmati tanpa rasa khawatir adanya perang seperti yang dirasakan oleh rakyat di kawasan lain?
Hal menggelikan lain yang terlihat dari reaksi masyarakat yang sering geram dengan langkah konsensus dan dialog ASEAN adalah ketidaksadaran mereka akan adat timur. Konsensus dan dialog yang diadakan ASEAN merupakan produk Timur. Tentu lebih bijak apabila kita mempergunakan dialog atau konsensus dalam menyelesaikan pertikaian ketimbang dengan perang. Dan lagi, mereka kurang menyadari bahwa dua hal ’sepele’ dan ’lemah’ ini masih sangat sulit dilakukan oleh pemerintah di region belahan dunia lain.
Namun bagaimanapun, kita tidak dapat menutup mata atas kenyataan bahwa kepesimisan rakyat tersebut berasal dari ketidakpercayaan mereka akan kemampuan ASEAN dalam menyelesaikan permasalahan internal lewat otoritas yang kuat. Sampai sekarang masih ada beberapa permasalahan dalam internal ASEAN yang diselesaikan secara bilateral atau dengan bantuan UN. Inilah awal dari berbagai pertanyaan/kritik seputar keberadaan ASEAN, yang entah bermakna pengharapan kehadiran ASEAN yang bisa mereka rasakan atau hanya sebagai ejekan. Dimana ASEAN? Mengapa hanya berbagai cita-cita saja yang serius dibicarakan sedangkan rencana resolusi tidak ditempatkan seserius cita-citanya?
Kelemahan lain dari ASEAN yang dapat menghambat akselerasinya dalam integrasi komunitas 2015 adalah minimnya kepedulian rakyat ASEAN akan ASEAN. Di benak mereka ASEAN hanya mampir sebagai akronim organisasi di region Asia Tenggara. ASEAN bukanlah identitas mereka. ‘We Feeling’ yang bermakna dalam bagi pemimpin ASEAN ternyata bukanlah apa-apa bagi mereka. ‘We Feeling’ hanyalah slogan bagi mereka. Stereotype ASEAN sebagai G-to-G forum ternyata benar-benar telah menghilangkan semangat ke-ASEAN-an dalam rakyatnya.
Menghubungkan kelemahan dari sisi rakyat yang sedang dihadapi ASEAN dengan label G-to-G, dalam pandangan saya, hal tersebut bukan murni kesalahan pemerintah atau rakyat. Untuk menemukan jawabannya, kita harus kembali menelusuri perjalanan ASEAN selama empat puluh tahun ke belakang.
Pada awal masa berdirinya, ASEAN memang lebih dikonsentrasikan pada pembangunan rasa percaya di antara pemimpinnya sebagai perwakilan negara. Hubungan yang intens antara pemimpin ASEAN memang telah membawa ASEAN pada pencapaian perdamaian dan kestabilan region, namun ternyata di balik keberhasilan ini harga yang harus dibayar ASEAN adalah stereotype G-to-G yang melemahkan kepercayaan rakyat terhadap ASEAN.
Terdapat sebuah kesalahpahaman antara pemimpin dan rakyatnya pada poin di atas. Harapan para pemimpin untuk meresapkan kepercayaan di antara mereka kepada rakyatnya ternyata dianggap oleh rakyatnya sebagai keegoisan pemimpin dalam memiliki ASEAN. Ketika pemimpin ASEAN dalam menyelesaikan permasalahannya melibatkan pihak luar, rakyat pun bereaksi ‘mencemoohkan’ ASEAN. Ketika realisasi Action Plan dirasakan lambat oleh rakyat, kritik pun kembali dilancarkan. Satu hal yang perlu dimaklumi dari keadaan ini adalah keadaan negara-negara di ASEAN sendiri masih dalam taraf berkembang, dimana rakyat masing-masing negara aktif mengoreksi gerak-gerik pemimpinnya. Pemandangan tersebut tidak akan jauh berbeda dengan pemandangan hubungan antara pemimpin ASEAN dan rakyatnya karena keadaan di ASEAN merupakan agregasi keadaan nasional.
Kesimpulannya, hal yang perlu digarisbawahi sebagai penyebab lemhanya kepercayaan dan kepedulian rakyat ASEAN akan ASEAN adalah kesalahpahaman tujuan pemimpin dan budaya kritik yang masih hangat diusung rakyat.
ASEAN Community by 2015, Here We Come!
Saat ini ASEAN sedang memasuki gerbang tahapan baru dalam kiprahnya. Setelah empat puluh tahun berhasil menancapkan bendera keberhasilan timbulnya rasa saling percaya antara pemimpin, kini saatnya mengajak rakyatnya menancapkan bendera yang serupa. Kesalahpahaman tujuan confidence measures building harus berhasil dibayar pada tahapan baru ini, terutama menyadari bahwa Komunitas ASEAN akan datang hanya dalam tujuh tahun lagi. Harus tercipta rasa saling percaya dari rakyat terhadap ASEAN secara keseluruhan, dari rangka hierarkinya sampai alur kebijaksanaannya.
Langkah paling utama untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menghapuskan stereotype G-to-G. Rakyat harus intens terlibat dalam setiap kegiatan ASEAN, baik sebagai subjek maupun objek, baik sebagai pelaku maupun penonton. Rakyat juga harus mengetahui bahwa sebagian dari kebijakan nasional pemerintahnya merupakan hasil pembicaraan di forum ASEAN. Mulai pada tahap post-empat puluh tahun ini ASEAN harus benar-benar merakyat. Andai saja dalam per-ASEAN-an rakyat terlibat tidak hanya sebagai pembaca kegiatan ASEAN di koran dan sejarah ASEAN di buku pelajaran, namun juga sebagai pembuat berita tentang ASEAN dan pembuat sejarah tentang ASEAN, pastilah ‘We Feeling’ akan tertancap di hati mereka. Akhirnya, dengan tertanamnya ‘slogan’ tersebut, cita-cita komunitas 2015 bukan sekedar rumusan KTT Cebu.
Membiarkan rakyat ASEAN dalam keacuhannya sama saja membiarkan ASEAN bertambah tua tanpa menjadi dewasa. Komunitas yang dicita-citakan dan digariskan dengan penuh perhitungan hanya akan menjadi target yang utopia. Di sinilah pentingnya penambahan rencana aksi penghapusan stereotype G-to-G sebagai agenda persiapan Komunitas. Mindset rakyat ASEAN tentang masa depan ASEAN harus berubah. ASEAN bukan hanya milik pemerintah seperti apa yang dipikirkan dulu, itu hal pertama yang harus tertanamkan. ASEAN adalah milik kita karena semua yang ada di ASEAN merupakan tentang kita. Masa depan ASEAN bukan lagi tergantung pada usaha pemerintah, namun tergantung pada usaha kita untuk mau menerima ASEAN dengan pikiran terbuka dan respon positif.
(Ark.Feb’08)