Koruptor juga Manusia, Punya Rasa Punya Hati, Jangan Samakan dengan Pisau Belati…

Kemarin saya nggak sengaja mindahin channel ke Metro TV pas lagi jeda Indonesia Mencari Bakat. Ada satu liputan menarik tentang pemberian grasi kepada koruptor yang (tentu saja) menuai kontroversi.

Kemanusiaan

Saya pernah menulis tentang kondisi tentara yang tecerabut kemanusiaannya. Saya juga selalu memperhatikan potret buruh, pengamen, dan kaum-kaum marginal lain yang juga tidak dianggap manusia. Nah, ketika saya menonton liputan yang disiarkan Metro TV Sabtu malam lalu, saya jadi merasa akhirnya trilogi manusia-manusia yang tidak lagi dianggap manusia pun mulai lengkap! Melalui tayangan tersebut, saya pun jadi menemukan bahwa sosok ketiga yang dicabut kemanusiaannya sehingga tidak lagi dianggap manusia adalah koruptor.

Liputan Metro TV tadi malam memberitakan tentang pemberian grasi kepada terdakwa (atau terpidana, ya?) korupsi yang juga mantan bupati sebuah kabupaten di luar pulau Jawa. Menurut Presiden, pemberian grasi tersebut didasari oleh rasa kemanusiaan. Saya pun ketika mengetahui kondisi sang Pak Mantan Bupati tersebut memaklumi pemberian grasi tersebut. Justru saya akan kecewa jika Pak Presiden pelit memberikan grasi kepadanya.

Apa pasal?

Kondisi Pak Mantan Bupati itu sungguh memilukan. Ia hanya terbaring di kasur atau duduk di kursi roda dengan selang oksigen yang tidak pernah dilepaskan. Ia juga tidak dapat mengingat namanya. Bahkan, ia pun tertatih-tatih saat berbicara. Kondisi tersebut melatari rasa kemanusiaan Pak SBY untuk memberikan grasi setengah masa tahanan. Dari enam tahun hukumannya, sang Pak Mantan Bupati itu hanya akan menjalani tiga tahun saja.

Nah, sampai di situ saja si Pak Mantan dianggap sebagai manusia. Liputan selanjutnya membuat saya miris.

Pemberian grasi yang didasari oleh kemanusiaan itu tak pelak mendapatkan reaksi keras, khususnya dari sebuah LSM yang bergerak dalam dunia pemberantasan korupsi. Menurut mereka, pemberian grasi tersebut merupakan rapor merah SBY dalam pemberantasan korupsi. Menurut mereka, SBY tak konsisten dalam memberantas korupsi. Di satu sisi, beliau berkomitmen memberantas korupsi, namun di sisi lain beliau malah memberikan grasi bagi koruptor.

Yang saya persoalkan, apakah dalam memberantas korupsi kita juga harus menutup rasa kemanusiaan kita? Apa tujuan dari penutupan kemanusiaan itu? Apakah untuk menimbulkan efek jera? Atau hanya luapan emosi belaka?

Lalu ada pula tanggapan dari salah satu tokoh politik nasional mengenai pemberian grasi tersebut. Beliau menghormati keputusan SBY untuk memberikan grasi, hanya saja ia mewanti-wanti SBY atas implikasi yang timbul pascapemberian grasi tersebut. Menurutnya, isu ini adalah isu sensitif. Rakyat akan rawan mengadakan protes.

Nah, dari pernyataan tokoh politik nasional tersebut, saya menangkap bahwa ternyata tidak hanya LSM itu saja yang enggan melihat latar kemanusiaan pemberian grasi, tapi juga masyarakat secara luas. Secara dangkal, ya memang janggal nampaknya jika di satu sisi SBY menggembar-gemborkan program pemberantasan korupsi namun di sisi lain ia malah memberikan grasi. Namun, masalahnya, secara jelas kita bisa melihat kondisi sesungguhnya dari sang pemohon grasi. Apakah kondisi seperti itu bisa ditangani di dalam rumah tahanan? Apakah kondisi tersebut akan memancing ‘kambuh’-nya tindakan korupsi yang dulu pernah ia lakukan?

Dalam memberantas korupsi, ketegasan memang diperlukan, namun yang harus dicatat adalah sampai mana batasan ketegasan itu sendiri dilakukan. Hakim dan pemimpin harus tahu kapan menggunakan ketegasan secara murni dan kapan harus menomorsatukan kemanusiaan. Saya kemarin menemukan seruan ini dalam beberapa ayat di juz 6, hmmm intinya kita harus berperilaku adil kepada siapa saja, meskipun mereka adalah golongan yang mencelakakan kita.

Mahal

Saya akhirnya menyadari bahwa kemanusiaan adalah hal yang sangat mahal di dunia ini. Dunia ternyata hanya menghendaki hukuman yang dilandasi dengan kepuasan nafsu dibanding dengan keadilan perasaan. Orang-orang yang berperilaku menyimpang dianggap sebagai murni pesakitan dan diambil hak-hak kemanusiaannya.

Saya pernah membaca notes salah seorang sahabat saya, Ayos Purwoaji, saya lupa judulnya apa, yang jelas dalam notes itu Mas Ayos menggambarkan betapa kasihannya seseorang yang diliput di televisi dengan tangan yang diborgol lalu diseret ke meja hijau dengan dakwaan korupsi. Sebelum permasalahan tersebut diberi putusan hukum, sang terdakwa sudah menuai banyak putusan sosial yang menyudutkannya. Para pemberi putusan sosial tersebut dengan ringannya mencaci, memaki, menghina, dan melontarkan berbagai hal keji lain kepada sang terdakwa. Mereka tidak memperhatikan adanya sosok-sosok yang berdiri di belakang terdakwa yang terluka atas lontaran menyakitkan tersebut. Pernahkah mereka memikirkan perasaan anak dan istri koruptor tersebut?

Kejamnya reaksi masyarakat terhadap terdakwa membuat Ayos bersyukur bahwa bapaknya adalah orang yang lurus sehingga insya allah terlindung dari persoalan demikian. Ayos merasa bahwa jika ia berada dalam posisi keluarga seorang terdakwa, ia tidak akan sanggup memikul beban tersebut. Mungkin ia akan lebih memilih menghilang dari lingkungannya.

Hidup dengan Cara yang Benar

Namun demikian, saya juga tidak akan seratus persen membela bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara yang terlanjur melakukan perbuatan yang dikutuk semesta alam itu. Mahalnya kemanusiaan pascamelakukan kesalahan sosial, baik yang dialami oleh diri terdakwa tersebut seperti pemprotesan grasi yang ia dapat padahal ia jelas-jelas sakit, maupun yang dialami oleh anggota keluarganya seperti penolakan, pengucilan, dan pengejekkan seharusnya cukup menjadi bayangan sehingga ia mencegah dirinya dari tindakan korupsi atau tindakan menyimpang lainnya. Inilah nurani yang seharusnya ia percayai dan ia dengarkan ketika ia dalam masa bimbang mau korupsi atau engga, ya….

Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, kehidupan kita ini disusun oleh diri kita dan diri orang-orang di sekitar kita. Kita nggak bisa mengontrol pandangan dan hukuman yang diberikan oleh orang di sekitar kita, tapi setidaknya kita bisa mengontrol diri kita sendiri agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang memancing hukuman sosial yang luar biasa kejamnya itu.

Yah, memang, saat mereka menghukum kita dengan penyudutan yang tak berperikemanusiaan, sesungguhnya itulah buah tindakan kita yang dulu tidak memanusiakan diri kita sendiri dengan mengabaikan seruan dari nurani untuk tidak melakukan tindakan tercela, ah tapi saya lebih menghargai lagi orang-orang yang masih mengedepankan perasaannya dengan tidak berlebihan menghukum dan mencaci saudaranya yang pernah berbuat salah.

Ark. Agt’10.

1 comments:

dalam, sederhana, dan Ihiiir. ada nama Ayos!

Reply