Penerimaan

Posting ini berawal dari ketidaksengajaan saya bertemu seorang teman lama beberapa waktu lalu. Suatu sore, karena ada barang yang harus saya beli, saya pun melenggang ke sebuah mall di Bandung. Ketika mata sedang saya tujukan untuk memilih barang, tiba-tiba bahu saya ditepuk. Ketika saya menoleh, ada sesosok laki-laki yang gagah dan agak manis tersenyum pada saya. Agak lama saya mengingat wajahnya yang sebetulnya familiar. Sebelum saya sempat mengingat namanya, ia menegur saya duluan, “Apa kabar, Ki? Sama siapa ke sini?”

Agak terbata saya menjawabnya –soalnya otak masih loading mikirin ni bocah temen saya dimana yaaaa..-, “Mmmm…Baik. Sendirian…Oh my god! Ya ampun, ternyata kamu!” Ya, akhirnya saya mengingat siapa dia.

Perlukah saya menyebut namanya? Tentu tidak! Hehehe. Oke, berhubung posting ini saya posting pada bulan Ramadhan, kita sebut saja ia Fulan.

Fulan yang ada di depan saya adalah Fulan yang jauh berbeda dari Fulan yang dulu saya kenal. Fulan yang dulu adalah Fulan yang pendiam, bermuka nurut, nggak banyak gaya, rendah hati, dan sederhana. Nah, sedangkan Fulan yang sore itu ada di hadapan saya adalah Fulan dengan penampakan yang gahul, sangar, gaya, luwes, dan ngartis banget! Saat itu ia ditemani oleh tiga orang kawannya yang juga laki-laki, gahul, dan ngartis. Saya tepiskan sejenak keheranan saya atas perubahannya itu. Pura-pura nggak noticed aja deh sama perubahan itu. Nggak sopan, dong udah disapa tapi malah balik merhatiin dengan tatapan aneh. Hehehe.

Sepeninggal Fulan, saya baru ingat saya belum membalas sms teman saya. Sambil membalas pertanyaannya, saya juga bilang kalau tadi saya ketemu Fulan yang saat ini penampilannya sudah jauh berbeda. Tak lama kemudian, teman saya membalas, “Wah, serius? Jangan-jangan berita itu beneran lagih…”

Berita itu? Ya, beberapa bulan yang lalu saya dan beberapa teman saya yang juga mengenal Fulan mendapat kabar (atau lebih tepatnya desas-desus) bahwa Fulan berubah jadi nggak straight. Maksudnya bukan jadi banci tapi orientasi seksualnya udah berubah. Waktu pertama dengar berita itu, saya dan teman-teman saya nggak percaya. Fulan yang kami kenal itu ya Fulan yang baik-baik sajah. Nah, tapi waktu saya ketemu Fulan secara langsung dan melihat perubahannya, kok saya jadi mulai ikut kejam juga ya percaya sama desas-desus itu…

Kasus Fulan pun akhirnya dibawa sampai pertemuan saya dan teman-teman saya beberapa waktu kemudian. Untungnya, sebelum prasangka buruk kami berjalan jauh dan bisa jadi menyimpang, ada satu teman yang mengingatkan, “Lah, emang kalau Fulan pakai dandanan ngartis, gayanya udah jadi gaul abis, dan ke mall sore-sore bareng tiga cowok itu bisa jadi bukti kuat kalau dia jadi gay? Suudzan amat deh ini!”

Iya juga, sih. Siapa tahu emang dia udah berubah gara-gara lingkungannya mensyaratkan penampilan demikian. Lagian, kenapa juga kok jadi percaya sama berita Fulan jadi gay yang sumber aslinya juga nggak kita ketahui. Pembicaraan kami tentang Fulan pun ditutup dengan peringatan si teman saya itu.

Marginalisasi

Pembicaraan santai itu boleh aja memberhentikan diskusi kami tentang si Fulan, tapi selepas kumpul-kumpul saya dengan mereka itu, saya masih belum dapat melepaskan perenungan tentang kasus Fulan. Sejak hari itu, saya kok merasa diri saya munafik banget gituh ya..Heuheu.

Saya heran sama diri saya sendiri, kok saya bisa terkejut atas perubahan Fulan dan langsung menyimpulkan bahwa mungkin aja Fulan menjadi gay. Saya lebih heran lagi sama diri saya yang sepertinya keberatan kalau Fulan menjadi gay. Aduh!

Pertama, kalaupun iya Fulan menjadi gay, Fulan bukan satu-satunya kawan saya yang memiliki orientasi sejenis. Saya sudah sering menemukan kawan yang berorientasi demikian.

Kedua, ketika saya sepertinya merasa keberatan dengan dugaan orientasi Fulan itu, artinya saya belum bisa mengaplikasikan pengetahuan yang saya dapat dari berbagai buku, seminar, talkshow mengenai kesetaraan gender dan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Secara teoretik, kayaknya saya bisa dan selalu deh berkoar-koar mengenai kesetaraan bagi mereka. Otak dan hati saya pun sepertinya bisa banget berkompromi untuk membuat tulisan dan bepersuasi mengenai keseharusan kita dalam mempedulikan mereka dan tidak menyingkirkan mereka dari lingkungan kita. Nah, namun ketika persoalan ini dihadapkan kepada saya secara langsung, yaitu kawan saya ternyata termasuk dalam golongan LGBT itu, kok saya malah jadi sedih dan menganggap bahwa ia telah menyimpang? Kenapa saya merasa keberatan dengan pilihannya itu?

Saya pun jadi ingat pembicaraan saya dengan dosen saya beberapa bulan lalu (tapi ini bukan ngomongin Fulan),

Saya : Iya, Bu, jadi teman saya itu akhirnya mengakui bahwa dia lebih menyukai hubungan sejenis.

Bu Dosen : Mmmm. Oh, gitu.

Saya : Tapi saya udah lama juga, sih, Bu, nggak ketemu dia lagi. Saya nggak tahu kabar dia sekarang, Apa dia udah sembuh atau belum.

Bu Dosen : Kok kamu ngomongnya gitu? Itu kan bukan penyakit jadi nggak bisa kita bilang sembuh atau belum sembuh. Kalau penyakit, harusnya menular, dong.

Saya : Astagfirulloh. Iya, Bu. Kok saya jadi keceplosan jahat gitu, ya. LGBT kan bukan penyakit. Huhu. Maafkan.

Ah, saya jadi sebal sama diri saya sendiri. Beberapa waktu sebelum saya bertemu Fulan juga saya sempat mendengar siaran radio yang demikian,

Penyiar : [sebut saja] Bunga yang awalnya berperan menjadi laki-laki dalam hubungan sejenisnya dengan [sebut saja] Melati akhirnya kembali menjadi berperan sebagai perempuan menggantikan Melati yang tidak bisa hamil karena rahimnya mengalami kelainan. Nah, ini dia akibat menyalahi kodrat kan.

Waktu saya mendengar siaran radio tersebut, dih, bener-bener deh saya melongo dan nggak nyangka penyiar itu bisa memarginalkan kaum lesbian di ruang publik. Selain itu, saya juga merasa bahwa dalam menyampaikan berita, tidak etis jika pembaca berita memberikan pandangan pribadi, apalagi jika pandangannya merupakan pelecehan. Namun ketika saya melihat pada diri saya sendiri yang secara tidak sadar menempelkan istilah sembuh dan yang secara tidak sadar mempercayai dugaaan saya sekaligus menyesalkan dugaan jika Fulan berorientasi sejenis, saya pun malu. Ternyata saya masih sama dengan penyiar radio itu, masih sama dengan orang-orang tua, masih sama dengan teman-teman lainnya yang memarginalkan kaum LGBT, melecehkan kaum LGBT, dan tidak memanusiakan kaum LGBT. Ternyata saya masih belum dapat menghormati, menghargai, dan menerima kaum LGBT atas nama kesetaraan dan kemanusiaan. Sikap saya ternyata belum semanis ajakan saya untuk mengakui mereka dalam tulisan-tulisan saya.

Ark. Agt’10.