Saat ditanya mengenai makna perdamaian, beberapa di antara kita akan menjawab perdamaian adalah keadaan tanpa perang yang membuat negara-negara hidup berdampingan. Jawaban tersebut tidak salah, hanya bila diproyeksikan pada masa kini ia tidak lagi update. Dalam keadaan pasca-Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin, jika memang pendefinisian perdamaian berhenti pada keadaan tanpa perang, seharusnya perdamaian tidak lagi menjadi isu yang dicita-citakan negara sekarang. Faktanya, sampai sekarang perdamaian yang sepertinya sudah tercapai seiring dengan munculnya pemenang-pemenang perang masih menjadi fokus cita-cita. Artinya, pendefinisian perdamaian masih belum usai sehingga perdamaian pun sebenarnya belum genap tercapai.
Dua dekade terlepas dari masa Perang Dingin, keadaan dunia makin kompleks. Isu-isu berkembang tidak hanya melibatkan negara, tetapi juga penduduknya. Globalisasi, perkembangan demografi penduduk dunia, modernisasi, industrialisasi, degradasi lingkungan, peningkatan permintaan energi, demokratisasi dan kesadaran penegakan HAM, bencana alam luar biasa, perdagangan bebas, merupakan beberapa dari sekian banyak penyebab keadaan paradoks yang mewajibkan kita (rakyat) masih harus berjuang meskipun telah bebas dari ancaman perang tradisional militeristik. Tuntutan rakyat kepada negara pun bergeser. Bukan kemerdekaan atau pakta gencatan senjata yang dipetisikan rakyat kepada pemerintahnya, melainkan penyelesaian secara maksimal isu low politics yang menekan rakyat.
Pergeseran makna perdamaian secara global tersebut juga melanda negara-negara di Asia Tenggara yang secara bertahap sejak tahun 1967 hingga 1999 tergabung dalam ASEAN. Menurut penulis, pergeseran makna perdamaian tersebut memiliki dua dampak bagi ASEAN. Pertama, tingginya ekspektasi rakyat terhadap kiprah ASEAN hingga pada tingkat grassroot dan kedua, keseriusan ASEAN dalam menanggapi ekspektasi penduduknya melalui perkembangan ASEAN yang menargetkan diri menjadi komunitas yang menaungi negara-negara di Asia Tenggara. Tak hanya bagi ASEAN, pergeseran makna perdamaian pun berdampak pada masyarakat, yakni munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang menyadari bahwa perdamaian pada masa kini yang bersifat people-centric menuntut keterlibatan people itu sendiri dalam perwujudannya. Internet menjadi media yang powerful dalam mengakomodasi gerakan-gerakan masyarakat dalam mewujudkan perdamaian nontradisional. Keaktifan ASEAN dan masyarakat dalam mewujudkan perdamaian nontradisional pun menjadi dua hal kunci terciptanya ASEAN yang lebih membumi.
ASEAN, Selayang Pandang 44 Tahun Usia
Tahun 2011 ini ASEAN telah 44 tahun menjadi bagian dari sejarah dunia. Perkembangan ASEAN dari sebuah organisasi hingga tinggal landas menjadi komunitas yang menandai bergesernya fokus perdamaian yang state-centric menjadi people-centric memperlihatkan dinamisasi yang signifikan dan responsif. Empat puluh empat tahun perjalanan ASEAN menandai bahwa ASEAN bukan organisasi yang didirikan sebagai bagian dari tren Perang Dingin atau poskolonialisme, melainkan organisasi bervisi jangka panjang yang mampu beradaptasi dengan berbagai isu di tingkat global.
Dalam masa awal pendiriannya, ASEAN hadir sebagai respon negara-negara yang baru merdeka yang berjuang menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan melalui pengamanan kolektif dalam kerja sama ekonomi. Kerja sama ekonomi demi kesejahteraan tersebut terutama ditujukan ASEAN untuk meminimalisasi berkembangnya komunisme yang berusaha mengudeta pemerintahan yang sah yang dipercaya berkembang pesat di tengah kondisi kurang sejahtera. Dengan adanya kerja sama ekonomi dan kesejahteraan yang dibawanya, diharapkan penyebaran komunisme dapat diminimalisasi sehingga masing-masing negara dapat berkembang mencapai kepentingan nasionalnya kemudian secara otomatis melahirkan kesejahteraan sekawasan. ASEAN seolah-olah mendahului logika Barry Buzan mengenai security complex, yakni keamanan di satu negara sangat bergantung pada keamanan negara-negara di sekitarnya. Karena berbagai permasalahan berpindah lebih cepat dalam lingkup geografis yang berdekatan, maka diperlukan adanya mekanisme untuk meminimalisasi ancaman-ancaman yang datang dari negara-negara di satu kawasan geografis.
ASEAN terus berkembang dengan menggandeng negara-negara di luar kawasan untuk bekerja sama dengan ASEAN. ASEAN menyadari bahwa dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan, ASEAN tidak dapat berjuang sendirian. Namun demikian, popularitas ASEAN yang tinggi di tingkat global pun memberi tantangan tersendiri bagi kiprah ASEAN secara internal. Rakyat di masing-masing negara ASEAN juga ingin ikut merayakan kemahsyuran nama ASEAN di wilayah sendiri dengan mengajukan pertanyaan, apa kontribusi ASEAN bagi perdamaian yang berdampak langsung pada rakyat?
Komunitas ASEAN 2015 : Penguatan ke Dalam
Sering dikatakan dalam pidato, kuliah umum, dan siaran-siaran pers resmi bahwa tanpa ASEAN, bukan wajah Asia Tenggara yang damai dan hidup berdampingan seperti ini yang sedang dan akan kita lihat. ASEAN adalah kunci bagi perdamaian Asia Tenggara, itu intinya. Tapi perdamaian dalam arti apa? Tradisionalkah? Nontradisionalkah? Selama masa berdiri ASEAN, memang kita tidak pernah mengalami perang yang hebat dengan sesama anggota ASEAN. Namun permasalahannya, perdamaian dalam arti tradisional tersebut terlalu elitis untuk bisa dipahami rakyat. Perdamaian yang diinginkan rakyat adalah perdamaian yang lebih membumi, merakyat, dan sederhana untuk diresapi, dimaknai, serta diraba. Rakyat menginginkan ASEAN sebagai wadah kedua setelah negara dalam mewujudkan perdamaian yang dekat dengan mereka.
Isi hati rakyat yang terdalam tersebut sepertinya juga disadari ASEAN. Sejak ASEAN Vision 2020 pada tahun 1997 yang kemudian diperkuat dalam Bali Concord II tahun 2003, ASEAN telah memproyeksikan wajahnya dalam beberapa tahun ke depan sebagai kawasan yang terintegrasi dengan menjadi komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, dan diikat dalam kemitraan yang dinamis melalui tiga pilar utama yakni Komunitas Politik-Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosio-Budaya ASEAN. Melalui visi untuk menjadi komunitas dengan pilar-pilar yang memiliki kekhususan tersebut, ASEAN berusaha untuk memenuhi kebutuhan perdamaian nontradisional bagi lima ratus juta rakyatnya.
Menjadi organisasi kawasan yang berkembang menjadi sebuah komunitas merupakan tantangan tersendiri bagi ASEAN terutama dengan perbedaan kondisi enam negara ‘senior’ ASEAN dengan empat negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) yang baru menjadi anggota ASEAN pada dekade 90-an. Permasalahan pembangunan di antara kedua pengelompokkan negara tersebut menjadi salah satu pekerjaan rumah ASEAN untuk bisa berdiri kokoh sebagai komunitas. Kerangka kerjasama menuju Komunitas ASEAN pun mau tidak mau meletakkan pembangunan CLMV sebagai prioritas utama. Tentu saja hal tersebut merupakan hal yang positif bagi CLMV. Bila ASEAN berhasil membangun CLMV, maka peresepan ASEAN sebagai pewujud perdamaian nontradisional di negara CLMV akan lebih dirasakan oleh rakyat CLMV. Bisa jadi, sense of belonging dari rakyat CLMV yang baru sepuluh-dua puluh tahun mengenal ASEAN akan lebih kuat daripada rakyat di enam negara senior di ASEAN.
Namun demikian, ASEAN juga perlu waspada. Meskipun Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Brunei sudah lebih dulu masuk menjadi anggota ASEAN ketimbang CLMV, peresapan ASEAN-isme di dalam masyarakat keenam negara tersebut tidak dapat dikatakan lebih kuat daripada di dalam masyarakat CLMV. Hal ini bisa ditelusuri dari kiprah ASEAN di keenam negara senior pada masa awal berdiri ASEAN hingga dekade 90-an yang masih berkisar pada persoalan perdamaian tradisional yang lebih melibatkan negara. Kaum elit pemerintahan di negara senior ASEAN memang lebih melek ASEAN ketimbang elit pemerintahan di CLMV, namun tidak demikian dengan masyarakat. Baik masyarakat di negara senior maupun CLMV masih berada pada level yang tidak jauh berbeda mengenai sense of belonging terhadap ASEAN. Usaha untuk membumikan ASEAN di benak masyarakat negara senior ASEAN dan CLMV seharusnya mendapat porsi yang seimbang.
ASEAN Blogger : Dari Masyarakat untuk Masyarakat demi ASEAN
Berkejaran dengan waktu untuk menjadi Komunitas ASEAN merupakan tantangan yang dihadapi ASEAN. Beruntung ASEAN kini hidup di era globalisasi yang dengan segala kemudahan teknologinya mampu mengompres jarak dan waktu serta melahirkan kelompok masyarakat yang dalam istilah posmodern disebut sebagai middle class atau kelompok masyarakat yang sudah melek akan suatu isu kemudian aktif menyebarkan gaya hidup atau pengetahuan yang berkaitan dengan isu tersebut kepada kelompok masyarakat lainnya. ASEAN blogger merupakan salah satu bagian dari middle class ASEAN yang berpotensi melakukan ASEAN-isasi ke seluruh wilayah ASEAN sehingga ASEAN pun dapat lebih membumi.
Kekuatan ASEAN blogger terletak pada penguasaannya pada teknologi melalui penggunaan internet, khususnya blog, dalam menyebarkan ASEAN-isme. Selain itu, ASEAN blogger merupakan kelompok masyarakat yang mandiri dari pemerintah. ASEAN-isasi yang dilakukannya minim potensi dicurigai sebagai bagian dari program buatan pemerintah, justru dianggap sebagai testimoni yang kemudian mampu meyakinkan kelompok masyarakat lain untuk lebih mengenal dan merasakan ASEAN.
Hal yang patut dieksplorasi ASEAN blogger untuk lebih membumikan ASEAN adalah pengeksplorasian perannya sebagai intermediary atau penengah antara pemerintah dengan rakyat yang mampu menerjemahkan ASEAN dalam pernyataan pemerintah menjadi ASEAN yang dipahami rakyat, serta sebaliknya, menerjemahkan kesederhanaan perdamaian yang diinginkan rakyat menjadi saran formulasi dan impelementasi kebijakan bagi pemerintah. Untuk memperkuat legitimasinya sebagai middle class ASEAN-isasi, ASEAN blogger juga harus semakin terlihat di mata masyarakat dan pemerintah, baik melalui kampanye atau pengiklanan diri maupun melalui keterlibatan aktif dalam berbagai kegiatan yang diselelnggarakan pemerintah dan masyarakat.
Komunitas ASEAN, ASEAN Blogger, dan Perdamaian yang Membumi
Perkembangan ASEAN sejak tahun 1967 hingga sekarang dalam merespon definisi perdamaian yang berubah menunjukkan bahwa ASEAN merupakan organisasi yang mengalami tahapan yang disebut oleh para regionalis sebagai spill-over. Namun demikian, masih ada missing link di antara pemerintah dengan masyarakat sehingga masyarakat masih mencari ASEAN seolah ASEAN sangat jauh di luar jangkauan mereka. Keberadaan middle class, yakni ASEAN blogger dalam era globalisasi diharapkan mampu ‘menambal’ missing link tersebut. ASEAN blogger merupakan kekuatan baru bagi ASEAN dalam usahanya untuk lebih dekat dengan masyarakat. Dengan segala potensi power-nya, ASEAN blogger diharapkan mampu menyebarkan dan membumikan perdamaian yang diwujudkan ASEAN di benak masyarakat sehingga Komunitas ASEAN yang menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai wilayah yang terintegrasi pun tidak mustahil akan benar-benar dapat terwujud mulai tahun 2015.
Rikianarsyi Arrassyidinta N. Wirantoputri
Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Unpad, pemerhati isu ASEAN, peserta 100 ASEAN Students Visit to India tahun 2007, Juara III Lomba Penulisan ASEAN yang diselenggarakan Deplu RI pada tahun 2006.
2 comments
Bagaimanapun juga CLMV tetap satu keluarga dengan kita. Komunitas ASEAN 2015 bertugas untuk semakin mempereratnya.
ReplyTulisan yg menarik. Mantap.
Nice share.
Ini tulisanku: http://0sprey.wordpress.com/2011/09/07/laskar-blogger-sebagai-pendorong-dan-pengawal-komunitas-asean-2015/
Perdamaian yang Membumi
ReplyNice concept of it sob ^^
salam
http://makara393.blogspot.com/2011/09/komunitas-asean-2015-yang-bebas-aktif.html#axzz1biQ7398l