Hal yang saya ingat dari TK Bhayangkari hanya sampai pada pelanggaran hak asasi anak dan kesuksesan saya menggambar lingkaran. Saya sekolah di TK Bhayangkari hanya sebentar karena saya pindah ke Bandung. Di Bandung saya bersekolah di TK Sejahtera. TK-nya ada di daerah Padasuka, Cicaheum.
Hmmmmm. Saya ingat-ingat dulu ada kejadian apa saja dalam masa ini.
Seingat saya, saya memang kerap dibully atau jadi bahan olok-olok dan dimusuhi pada masa ini. Saya nggak ngerti kenapa. Mungkin karena logat saya yang masih begitu medok karena baru pindah dari Surabaya. Hmm, mungkin karena saya kalau dibahasakan dalam istilah modis akademis zaman sekarang adalah liyan atau orang yang berbeda dari kebanyakan. Saya sering diejek gara-gara saya nggak punya uang untuk beli mainan balon-balonan, rokok-rokokan, atau mainan dan makanan remeh temeh lain. Saya pikir saya masyarakat miskin dan dhuafa yang terjebak di kerumunan masyarakat high-end yang suka berpesta setiap malam. Saya pun mengalami krisis identitas.
Namun kemudian saya pun bertanya kepada ibu saya, kenapa saya nggak dilahirkan dengan uang saku setidaknya seratus rupiah sehari? Ibu saya pun lagi-lagi naik pitam. Menurut ibu saya, seharusnya saya tidak menilai segala sesuatu dari uang, tetapi dari kotak bekal. Lihat apa yang saya punya di kotak bekal. Saya bingung. Apa itu kotak bekal? Apakah itu sejenis nintendo seri terbaru yang bisa dimainkan dengan bluetooth dan skornya bisa ditukarkan dengan sembako di Toserba Griya? Saya galau. Ibu saya bertambah gemas, ibu saya pun menceritakan bahwa kotak bekal saya itu berisi Susu Ultra Coklat dengan Indomie Goreng spesial dengan telur atau Dunkin Donuts atau Chiki Balls. Wah, ternyata saya orang kaya dan makan makanan yang berlisensi dari negeri Paman Sam!!! Saya mau sombong, tapi saya sadar bahwa saat ini saya sudah lulus TK dan saat ini saya juga tidak tega mengeluarkan uang untuk membeli Dunkin Donuts sebagai bekal kuliah.
Oke, alasan pembullyan pertama sudah tersibak, yakni karena saya berbekal makanan-makanan yang diiklankan secara masif di Majalah Bobo. Ah, harusnya saya sadar merk sejak dulu. Harusnya saya pamer dan jadi penguasa kelas waktu TK karena saya makan makanan berlisensi. Harusnya saya mewarisi sifat-sifat hegemon dari Paman Sam dan George Bush!!! Ah, saya menyesal sekali. Karena kebodohan itu, sementara Amerika Serikat makin memperkuat armada perangnya dalam Perang Teluk, saya malah kerap dibully :(. "Ah, kamu mah ngga punya uang buat beli balon-balonan. Ahhh, donat mah ngga enak. Mending main balon." Dan saya hanya diam kemudian menjadi gadis yang berkrisis identitas. Yang sekarang saya bingungkan adalah, itu yakin tuh bocah-bocah itu makan pas istirahat sama balon doang? Kembung kayaknya otak mereka.
Hmmm.
Bully kedua adalah ketika saya sebagai anak baru nggak punya tempat di kursi anak perempuan, tetapi di kursi anak laki-laki. Sebagai pejuang kesetaraan gender, saya merasa biasa saja duduk dengan anak-anak lelaki. Namun, sayangnya, kawan-kawan saya yang perempuan itu nampaknya menganggap saya adalah penyakit sosial yang harus dibasmi karena berkumpul dengan makhluk jenis lain. Seharusnya sih, kalau mereka bijak, mereka memberikan tempat untuk saya. Sayangnya, mereka tidak memberikan kesempatan itu. Setiap pulang sekolah pun saya diejek karena duduk dengan anak laki-laki. Ah, saya berusaha mengingat-ingat apakah dalam kejadian itu ada anak laki-laki dengan model rambut Jimmy Lin datang menolong saya dan menembaki anak-anak perempuan yang mengejek saya dengan AK-47 atau RPG milik Israel. Tapi sepertinya tidak ada. Saya pun galau. Kalau gitu siapa dong jodoh saya? Eeeeaaaa.
[cont]