Takbir

Kalau iseng mengurutkan hal-hal apa saja yang membuat saya terpekur, salah satu dari daftar tersebut adalah mendengarkan suara takbir idul fitri. Gaya? Sok religi? Saya juga nggak bisa memastikan. Mungkin ini salah satu jenis kelatahan sosial. Hmmm, tapi kalaupun ini memang hanya bentuk kelatahan sosial, saya rela kok latah selamanya. Asik. Haha.


Takbir dan Sebuah Perjalanan

Perjalanan pulang dari mengajar di cabang Rancaekek pada akhir pekan terakhir KBM Ganesha yang biasanya jatuh pada minggu ketiga Ramadan adalah tertuduh utama keterpekuran saya atas takbir. Jalur Rancaekek-Cileunyi merupakan jalur arus mudik yang kalau kita cermat melihat kanan-kiri, maka wajah kita akan tampil di televisi selama lima detik sebagai potret pemudik meskipun kita hanya lewat sekedar untuk membeli ubi bakar. Jalur itulah yang setiap menjelang akhir Ramadan akan sesak oleh beragam jenis kendaraan, orang, dan permasalahan lalu lintas. Biasanya saya selalu jenuh dengan kemacetan, tapi tidak dengan kemacetan anual tersebut. Saya malah menikmati kemacetan itu.

Sambil mendengarkan pemutar musik di tengah kemacetan selepas pintu tol, saya berpikir. Tahun ini saya berada di tengah kemacetan ini hanya sebagai orang yang pulang mengajar. Rumah saya dan tempat saya bekerja jaraknya dekat, hanya sekitar 15 menit tanpa macet dan hanya 45 menit jika macet hebat. Hmmm, tapi sampai kapan? Pada akhirnya, yang entah akan dimulai kapan, saya juga akan melewati jalur ini bukan sebagai orang yang setiap sore pulang bekerja, melainkan sebagai orang yang pulang dalam rangka mudik. Waktu itu pun akan datang sebentar lagi. Semakin dekat, malah.

Kemudian mengenai takbir.

Momen takbir adalah momen yang paling mengharukan. Alasannya sama seperti saat saya melewati Rancaekek tadi. Entah sampai kapan saya bisa menikmati takbir yang begitu ramai dari masjid di belakang rumah saya dan masjid dari komplek sebelah dari kamar saya di sini. Waktu semakin berlari, menyeret kita pada perkembangan hidup. Saya dulu gadis kecil berseragam merah putih ketika pindah ke sini lalu sekarang saya sedang berjuang meraih gelar sarjana dari universitas yang hanya berjarak 10 menit dari rumah. Hmmm. Sebentar lagi tentu saya akan mendengarkan takbir dari kecamatan lain di belahan bumi yang lain. Mungkin Cinunuk. Mungkin Kiaracondong. Mungkin Kebon Kalapa. Mungkin di luar kota. Mungkin luar provinsi. Mungkin luar pulau. Mungkin luar negeri. Atau mungkin dari alam yang lain.

Pernah dan sering saya berpikir ingin segera menyelesaikan satu tahapan hidup yang sedang saya jalani kemudian loncat ke tahapan yang lain. Penasaran, apa yang saya miliki kelak. Namun, dalam blogwalking malam yang lalu, saya menemukan kalimat indah dari pemilik yang sebenarnya tidak saya kenal. Mbak itu bilang dalam postingnya, kenapa kita selalu ingin loncat ke tahap berikutnya padahal nanti ketika kita sudah berada dalam tahap itu kita justru akan merindukan tahap yang saat ini hendak kita lewati. Hmmmm. Iya, saya jadi sadar. Saat ini, mumpung saya masih bisa mendengarkan takbir masjid belakang dari kamar saya, saya harus menikmatinya dengan syhdu dan khusuk. Bukankah nanti saya tidak tahu akan dimana saya mendengarkan takbir idul fitri?