So, okay. Seperti yang saya bilang pada diri saya sendiri pada malam yang panjang dan penuh trauma karena selalu saya lewati hanya dengan berbekal winamp kemudian ada suara-suara yang tidak saya kenal dari belakang kamar *engga juga sih*, awkward rasanya melihat laptop tanpa memainkan jari saya yang lentik dan berpotensi menjadi jari keyboardist andai saja ibu saya istiqamah dalam mencari tempat les keyboard. Dalam rangka mencari kegiatan distraktif atau kegiatan yang bermanfaat melepaskan penat saya akibat mabuk-mabukan tadi malam *mabuk duku* barusan saya habis main ke tumblrnya kawan saya yang unyu, sporadis, kritis, pemalu, dan selalu tampak manis, yaitu Dewa dan saya ngakak membaca post-nya mengenai kisah masa TK-nya. Saya sebagai gadis yang hidup di masa copy-paste dan tidak memiliki ide original, bahkan hanya untuk memberi nama biskuit oreo menjadi orio*EH IYA GUE KAN MASI PUNYA OREO STROBERI DI KRESEK!!!*, saya pun berkeinginan untuk menceritakan masa TK saya yang begitu berdarah dan juga penuh fitnah. Ah, saya dan Dewa sepertinya adalah dua gadis polos dan suci yang begitu rapuh dalam menghadapi kejamnya dunia.
Mmmm, sama kayak Dewa, saya juga sekolah di TK Bhayangkari, tapi kalau Dewa mah di Wonosobo, saya di Surabaya. Ibu saya sudah ingin menyekolahkan saya sejak saya umur 3 tahun, tapi sepertinya runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 belum berdampak pada penyebaran palygroup hingga ke kota ibu kota Jawa Timur yang berjarak sekitar 18 hari hari Jakarta apabila ditempuh dengan jalan kaki sambil kayang. Saya pun harus menunggu umur 4 tahun untuk bisa sekolah di zaman Orde Baru.
Kisah sedih traumatik dimulai pada saat itu. Dalam perspektif mata saya dan kepala saya yang imut relatif dari mata dan kepala saya pada umur ini, kelas di TK Bhayangkari itu gedddeeeee sekali. Anak-anak berloncatan dengan barbar ke sana ke mari dan saya merasa bahwa saya sedang satu sekolah dengan kera-kera di Gunung Hua Kao bersama Sun Go Kong. Cultural shock saya rasakan begitu berat hingga saya pun kerap menangis, ditambah lagi saya tidak bisa menggambar lingkaran. Jari saya terlalu lentik untuk menggambar hal remeh temeh yang bahkan pada masa globalisasi sudah bisa dibuat hanya dengan menjiplak uang koin atau dengan menggunakan jangka atau dengan membayar pembunuh bayaran. Alhasil apa? Hmmm, guru saya yang tampaknya lebih cocok jadi ibu tiri di serial Dulce Maria itu menggendong saya ke luar kelas lalu memindahkan saya ke aula kemudian mengunci saya di dalam aula sampai jam pulang.
Ya, akibat dari kejadian yang terulang tiap hari itu sih saya trauma sama ruangan tertutup. Saya baru berani tidur sendirian di kamar tertutup itu waktu saya kelas berapa SMP gitu. Hmmm, saya sudah mencoba bilang sama ibu saya bahwa di TK itu saya diperlakukan semena-mena dan melanggar hak-hak anak untuk hidup dengan tenang, sayangnya ibu saya pikir saya ini anak yang terlalu berpikir jauh ke depan padahal permasalahan utama saya adalah saya nggak bisa menggambar lingkaran. Saya bilang itu semua nggak benar. Tapi saya menyerah ketika ibu saya menguji kemampuan saya dalam membuat lingkaran. Saya memang ngga bisa membuat lingkaran yang dari ujung yang satu bertemu dengan ujung yang lain. Oh, tidak. Saya hanya bisa menggambar kurva abstrak. Reaksi saya sih, saya menangis dan menyerah. Saya bilang saya mau putus sekolah saja. Lebih baik saya mengasuh adik saya saja. Dua kalimat terakhir barusan bukan kalimat lebay, itu serius beneran saya bilang gitu dan sampai sekarang saya selalu diledek sama orang tua saya, "Cieeee yang ngga mau sekolah, maunya ngasuh adik." Hahaha. Menanggapi hal itu, ibu saya sedih tapi gengsi, jadi ibu saya pun naik pitam. Dari magrib sampai jam 10 malam ibu saya memegangi jari saya, mengarahkan kelimanya untuk membuat lingkaran. Yeayyy!!! Jam 10 malam saya pun bisa menggambar lingkaran!
[cont]