rindu benci marah sesal suka bahagia duka luka perih
terangkum dalam satu nuansa
tanya jawab
dan tak ada yang tahu berapa banyak cecar yang disekutukan hati
yang kemudian dijawab bijak oleh otak
yang kemudian memberontak lagi dengan lara yang masih tersisa di sanubari
dalangnya adalah jiwa yang tak merdeka karena bercak-bercak ideologi dan egosentrisme khas metropolis
kita pun terkotakkan dalam gempita semu yang mencoba pasrah dan mencoba berpegang pada kuasa Tuhan yang ternyata itu hanya ilusi apatis yang tak teridoi
tak percaya?
lihat saja celah-celah yang menganga itu
dengar saja degup yang tak beraturan saat teguh hati itu dibenturkan pada selongsong kasih yang tak berkompromi
dan jangan lupakan tatap netra kita yang semakin nanar saat kepungan waktu dan ideologi menarik kita ke dalam lubang alienasi yang membuat kita merindu dalam sisa-sisa perdu cemburu
ah, kita nyatanya hanya korban konspirasi dan persekutuan ilusi
aku bilang cinta tapi aku juga tak hendak beranjak dari definisiku yang menyuperioritaskan aku
kau sendiri jelas bilang tak cinta dan memang bergestur ingin pergi ah tapi nyatanya aku masih nyaman bila mengulum senyummu
lalu kita pun menjadi batu
lalu hujan menjatuhi kita dengan air yang lembut
namun hujan itu sepertinya tak mampu membuat kita melunak
kita tetap kokoh dan membuat hujan itu mencipta sungai
dan sungai itu kemudian membuat kita kalut
ingin menyebrang namun bukankah kita batu yang memilki segunung keras hati?
kita pun bergeming
membiarkan sungai itu membelah kita dan mengejek jarak di antara kita
kita bergeming
tapi luka dan tangis itu ada
hanya saja karena kita batu maka kita bergeming