3 tahun

Tepat November 2011 ini, saya sudah tiga tahun mengajar di Ganesha. Harusnya momen tiga tahun ini biasa saja, sampai akhirnya saya beberapa kali terkesima disapa murid yang mengaku dulu waktu mereka kelas empat SD, kelas enam SD, kelas dua SMP, kelas 3 SMP juga diajar saya.

X : Hai, Bu Festy :)
Saya : Kok tahu nama aku?
X : Kan dulu saya waktu kelas xxxxxx pernah diajar Ibu :)
Saya : Ooooyaaa?
X : Iya, Bu. Kelas aku di ruang F itu. Masa Ibu lupaaa? Kelas aku kan ribut bangettt.

Saya kemudian berusaha mengingat-ingat masa ketika saya masih jadi 'junior' atau anak bawang yang belum punya jadwal tetap di cabang-cabang populer, masa ketika saya masih kemana-mana naik angkot, masa ketika saya harus mengajar di cabang yang paling jauh di ujung dunia yang hanya bisa dicapai dengan ojek, itu pun jam enam sore ojeknya sudah habis sehingga saya terpaksa nebeng motor seorang sekretaris yang dijemput suaminya *damn, dari dulu gue jomblo*, masa ketika saya harus berjuang menjadi diri saya sendiri di antara kuatnya bayangan guru senior yang saya gantikan di mata murid, masa ketika saya masih belajar menguasai materi dan menganggap bahwa diktat adalah kitab suci yang ajarannya harus selalu ditaati, masa ketika gaji saya zaman dulu masih setara dengan insentif saya sekarang, dan masa ketika saya baru putus *masiiiihhhh dibahas*.

Tiga tahun. Yah, cepat sekali waktu berjalan. Anak kelas empat SD sudah menjadi murid kelas 1 SMP, kelas 6 SD sudah menjadi kelas 3 SMP, dan kelas 3 SMP sudah menjadi kelas 3 SMA. Saya? Saya ketika itu masih semester 2 atau 3, dan sekarang sudah semester 9 dan proposal UP saya baru diacc, itu pun masih ada beberapa bagian yang harus diperbaiki. Hehe. Nasib juga masih single-single aja. Bedanya, sekarang saya udah naik motor jadi nggak usah khawatir ojek lagi.

Mengajar?

Kenapa saya harus mengajar?

"Oh, Bu Festy anak HI, toh. Kok ngajar, sih? Kan HI nggak ada hubungannya dengan ilmu keguruan."

Mungkin maksud dia care, tapi entah kenapa saya menganggapnya nyinyir. Maunya, sih saya semprot, "Menurut loooooooooo?" tapi saya ingat, kata ustad itu dosa. Lagipula, wajar juga, sih dia nanya seperti itu. Jangan-jangan saya memang aneh.

Keinginan untuk mengajar sebagai pekerjaan sampingan kuliah itu memang sudah menjadi target saya sejak masih sekolah. Ibu saya juga dulu begitu waktu masih mahasiswa. Bapak saya juga. Bedanya, kalau ibu saya mengajar les pelajaran secara privat, bapak saya melatih Kempo di kampusnya -Widya Mandala-, ITS, dan Unair (mungkin kalau dikonversikan di Bandung sih semacam Unpar, ITB, dan Unpad), dan saya setelah melalui serangkaian tes, termasuk tes kecantikan dan ketenaran, mengajar di institusi bimbingan belajar. Alasan lain juga buat menapaki 'tahap selanjutnya'. Mmmm, dari SD sampai SMA kan saya suka ikut lomba menulis dan mengirimkan tulisan ke media massa, tuh. Ya, saya pikir, mau sampai kapan saya jadi peserta? Saya juga harus membagi ilmu. Nah, itu alasan kenapa saya mengajar Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bidang yang paling dekat dengan dunia tulis menulis yang sudah saya geluti bertahun-tahun.

Berjalan sekitar enam bulan, saya mencoba mengajar Bahasa Inggris. Awalnya saya masih takut mengajar Bahasa Inggris. Hmmm, tapi pada akhirnya saya beranikan. Modal saya sih waktu itu adalah sudah terlalu sering baca bahan tugas yang semuanya berbahasa Inggris dan mengingat-ingat lagi materi dalam buku-buku mengenai grammar yang segrammar-grammarnya grammar yang dulu saya jadikan kitab hadis saat menjelang SPMB. Ya sejak saat itu saya mengajar dua mata pelajaran, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Mmmmmm, oiya, mengenai metode. Persis seperti yang dibilang guru iseng tadi, kok saya mengajar sih, padahal HI ngga ada nyambung-nyambungnya sama ilmu keguruan. Ya, memang sih, saya nggak belajar metode pengajaran, menurut lo aja gue dapet mata kuliah How to Teach in Realism Way, tapi saya malah merasa bahwa justru itu kelebihan saya. Saya jadi nggak terbebani dengan begitu banyak metode sehingga menciptakan jarak antara saya dan murid saya di dalam kelas. Ya, tapi bukan berarti juga pengetahuan mengajar saya kosong banget, sih. Apa gunanya coba sekolah dua belas tahun kalau nggak bisa mengingat-ingat cara guru kita mengajar kita zaman sekolah? Apalagi waktu zaman-zamannya kita masih jadi murid dan ikutan bimbel atau les bahasa, ya pasti masih nempellah ingatan kita mengenai cara mengajar orang bimbel dan les gimana. Lagipula, bagi saya, bedakan juga sih antara mengajar di kelas dan di bimbel. Ekspektasi bocah-bocah akan bimbel itu sih ya penyegaran akan cara penyampaian materi. Cara-cara formal mah cuma cocok dipake di sekolah. Kriteria pengajar bimbel ya orangnya harus menyenangkan, bisa dibuat curhat, hobi ngegosip, up date sama pergerakan dunia remaja, gaul, modis, tenar, cakep, bisa menertawakan dan menoleransi kemalasan, kebodohan, kegalauan, dan beragam penyakit sosial masyarakat berusia ABG, ya pokoknya kalau kalian melihat Putri Indonesia atau L-Men of the Year, ya itulah sosok gue dan laki gue di masa depan, eh maksudnya guru bimbel. Pesan moralnya, sih, satu, jangan sombong jadi sarjana keguruan *masiiih keseeel*.

Ah, sudah tiga tahun. Cepat sekali ya?

Hmmm, tapi tiga tahun ini juga sebenarna stagnan. Saya selalu mendapat tema yang sama dalam interaksi saya dengan murid-murid saya. Cinta, galau, selingkuh, teman makan pizza eh teman makan teman ding, cinta lokasi, putus lokasi, kedewasaan yang agak karbitan, romantisme picisan, sindir-sindir tersipu, nilai TO jelek, UAN banyak bocoran, passing grade ketinggian, mencontek massal. Ada juga preman sekolah yang selalu hormat sama saya, lalu jangan lupa juga omongan mesum khas anak SMP yang baru mengenal bokep dan masih menganggap bab Reproduksi di pelajaran Biologi adalah hal paling istimewa dalam sejarah sekolah yang kemudian berakhir dramatis dengan ancaman bahwa saya nggak akan mengajar mereka lagi kalau mereka masih membicarakan hal mesum di kelas saya dan di tengah anak-anak cewek. Hmmm, sesekali saya juga curhat sama mereka dan mendengarkan sudut pandang mereka yang begitu polos, tulus, dan cerdas. Dan, ah, iya, satu hal yang waktu dulu bikin saya move on adalah mereka. Saya nggak pernah nggak hilang bete setiap kali saya pulang ngajar. Selalu ada hal baru yang menyenangkan yang bikin saya segar kembali.

Tiga tahun ini, tentu nilai uang yang saya terima setiap tanggal 1 meningkat daripada zaman-zaman dulu. Tapi, bukan dari situ nampaknya kebahagiaan saya yang utama berasal. Mereka. Mereka yang menjadi sumber kebahagiaan utama saya :)