Sepanjang
tahun ini sepertinya saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial.
Tercatat judul-judul semacam The Big Bang Theory, Grey's Anatomy, Community,
How I Met Your Mother, Modern Family, The Good Wife, Detective Conan, Sherlock
Holmes, Accidentally on Purpose, dan yang baru saja saya tonton 3 season selama
2 minggu ini : Criminal Minds (CM). Thanks to Pak Rian atas jasanya meracuni
saya dengan beragam serial tersebut. Nah, tapi dari banyaknya serial yang saya
tonton, harus saya akui, CM menggelitik saya dengan cara yang berbeda. Jika
serial lain hanya singgah sebentar di otak saya sebagai pelepas penat, CM yang
mengambil fokus kegiatan para agen FBI, yakni Agen Aaron Hotcher, Agen David
Rossi yang sebelumnya diisi oleh Agen Jason Gideon, Agen Spencer Reid, Agen
Emily Prentiss, dan Agen Jennifer Jearou, serta Penelope Garcia, di Behaviorial
Analysis Unit, sejak awal sudah membuat saya tidak bisa netral menonton dan
hanya berfokus pada kehidupan semu yang ditampilkan sebagai alur cerita.
Akhirnya, karena saya hanya manusia lemah yang kerap menulis posting panjang
dan menyiksa pembaca, posting ini pun lahir, sekaligus menandai bangkitnya saya
dari kebuntuan menulis tema serius selama beberapa bulan terakhir. Saya membagi
tulisan mengenai CM ini menurut subjudul, yakni Criminal Minds dalam Dialog
mengenai Supremasi Negara, Feminisme Radikal dari Korban Perempuan di Criminal
Minds, dan Criminal Minds dan Ungkapan mengenai Kita dan Fantasi Kepahlawanan.
Enjoy!
Home » Archives for December 2012
Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara
- on 4:16 PM
- No comments
Dengan
posisi FBI sebagai substate atau bagian dari negara, sangat gamblang bagi saya
untuk menyimpulkan bahwa keberadaan FBI sebagai fokus CM harus dilihat sebagai
representasi negara. Dipilihnya FBI sebagai sentral penceritaan CM pun bagi
saya tidak hanya bisa dilihat sebagai faktor sepele semacam alat penarik pasar.
Terlalu kecil. Saya malah melihat bahwa bisa jadi CM merupakan salah satu alat
yang diberdayakan negara, yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat, untuk
melakukan diplomasi pada publiknya sendiri mengenai pentingnya supremasi negara
di atas individu. Hmm, semacam propaganda tapi bukan juga, mengingat propaganda
membutuhkan retorika dan media yang lebih dari sekedar film serial yang tidak
memiliki daya paksa agar terus ditonton. Sangat besar pula kemungkinan bahwa
keberadaan FBI, sebagai salah satu agen negara yang menjamin keamanan individu,
sebenarnya merupakan alat untuk mengalamiahkan ideologi realisme versi Hobbes
yang meyakini bahwa pada dasarnya, berdirinya negara memang ditujukan demi
menjamin keamanan individu dari adanya leviathan yang mengancam. Adanya FBI,
yang tidak lain adalah "Negara", yang selalu dapat menyelesaikan
kasus jelas menegakkan cita-cita Hobbes mengenai negara, sekaligus mengeliminasi
norma liberalisme hingga kosmpolitanisme yang ingin membebaskan individu dari
kekangan negara.
Membicarakan
individu tidak dapat pula dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Dengan
mayoritas pelaku kekerasan sadistik pada CM yang selalu dibaca para agen BAU
sebagai implikasi dari pola pengalaman masa lalu saat masih tinggal dengan
keluarga, CM berusaha memperlihatkan bahwa keluarga merupakan faktor yang
paling dominan dalam menciptakan trauma pada individu. Keluarga yang
disfungsional dan tetap bersikeras merawat anaknya hanya akan memproduksi anak
yang akan menyebabkan disfungsi pada masyarakat.
Agen
Hotchner kepada tersangka pembunuhan pada episode Derailed season 1 menegaskan,
"You were just responding to what
you learned. When you grow up in an environemnt like that, an extremely
abusive, violent household, it;s not surprising that some people grow up to
become killers."
Keadaan
yang berbeda akan terlihat apabila anak-anak dari keluarga disfungsional ini
dirawat oleh negara seperti yang direpresentasikan oleh para agen BAU. Mereka
juga lahir dari keluarga yang cacat, namun mereka dapat memilih menjadi penegak
keamanan dan keadilan karena mereka memilih pergi dari keluarganya dan mengabdi
pada negara.
Bagaimana
dengan keluarga yang ideal, yang berjalan tanpa ayah yang sadis dan tanpa ibu
yang melacur? Dengan fokus CM pada pengeliminasian keluarga, CM memang tidak
menjadikan keluarga ideal sebagai oposan biner terhadap keluarga disfungsional
dalam hal pameran gamblang bahwa dari kelurga yang ideal akan lahir individu
yang ideal. Alih-alih, kekontrasan yang ditunjukkan CM malah meletakkan
keluarga ideal sebagai keluarga yang menjadi korban dari keluarga
disfungsional. Menjadi baik pun malah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk.
Rumah yang ditempati oleh keluarga ideal pun bukan lagi tempat yang dapat
menjamin keamanan mereka, malahan menjadi lokus kriminal yang menghabisi nyawa.
Atas
dasar tersebutlah, CM kemudian menegaskan pentingnya pengaksesan informasi yang
terbuka yang dilakukan negara terhadap individu. Akses informasi tak terbatas
mengenai individu ini direpresentasikan oleh kebergantungan para agen BAU
kepada Penelope Garcia yang mampu dengan mudah menembus bank data sebagai
faktor penting dalam menemukan unknown subject atau unsub dan mencegah
bertambahnya korban. Dengan demikian, segala bentuk penutupan atau pembatasan
akses terhadap individu, sebagaimana yang masih menuai kontroversi di Amerika
Serikat, diperlihatkan sebagai ancaman terhadap tegaknya keamanan individu dan
negara.
Feminisme Radikal dari Korban Perempuan dalam Criminal Minds
- on 4:15 PM
- No comments
Tindakan
sadisme terhadap perempuan merupakan hal yang selalu hampir pasti ada dan
menjadi fokus penceritaan episode-episode CM. Hal tersebut pula yang
melatarbelakangi hengkangnya salah satu agen jagoan CM mengundurkan diri dari
perannya meski CM baru berjalan dua season. Mandy Pattinkin, pemeran Jason
Gideon, mengatakan bahwa kesalahan terbesarnya pada publik adalah membintangi
CM. Terlalu banyak kekerasan pada perempuan yang berujung pada kematian mereka
yang diekspos CM.
Pada
lapis permukaan, tidak bisa dipungkiri bahwa CM, sebagaimana yang diungkapkan
Pattinkin, memang banyak menekankan betapa lemahnya perempuan. Penculikan dari
mobil yang mereka kendarai, penyiksaan dan pembunuhan sadis di rumah mereka
sendiri, pemerkosaan dengan beragam kelainan seksual yang menyertai, merupakan
gambaran gamblang yang seolah mengejek kelemahan perempuan dalam menjaga
dirinya sendiri.
Akan
tetapi, benarkah hanya demikian? Bagi saya, masih ada lapisan lain yang bisa
kita lihat sebagai pesan yang ingin ditunjukkan CM. Gambaran bahwa perempuan
itu lemah dan tidak menjaga dirinya sendiri sehingga rentan menjadi korban
kekerasan hanya berfungsi sebagai makna denotasi yang terlalu deskriptif
terhadap tayangan yang disajikan CM. CM sebenarnya menyajikan dua gambaran
perempuan yang sangat kontras, atau singkatnya oposisi biner dari bagaimana
seharusnya perempuan berperan di dalam masyarakat. Patut diingat bahwa CM pun
menyajikan agen perempuan sebagai tokoh sentralnya. Agen Elle, yang kemudian
digantikan Agen Emily Prentiss, lalu Agen JJ, dan bank data Penelope Garcia,
yang kesemuanya tetap teguh sampai sekarang, dalam arti belum tewas karena
tindak kekerasan pria.
Dua
gambaran kontras tersebut merupakan representasi dari poor girl, good girl.
Poor girl adalah perempuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri, atau
lebih jelas dalam CM dipaparkan sebagai perempuan rumahan, pekerja sektor
domestik, tidak memiliki bargaining position yang kuat di masyarakat, dan tentu
saja, tidak bersenjata. Kontras dengan kategori pertama, good girl atau
perempuan yang bisa melindungi dirinya sendiri merupakan perempuan yang bekerja
di luar rumah, memiliki bargaining position yang kuat, bersenjata, yang dari
ketiga identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa good girl adalah perempuan
yang memasukkan lebih banyak peran maskulin ke dalam wujud seksualnya yang
perempuan.
Pesan
dari makna konotasi itulah yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh CM. Berbagai
pertunjukkan kekerasan terhadap perempuan dengan sifat-sifat feminin yang
kental merupakan pelapisan ideologis yang kental demi menunjukkan bahwa
perempuan harus mengeliminasi feminitasnya dan mengadopsi maskulinitas bila
ingin memperoleh keamanan. Hmmm, sebuah pola yang sangat linear dengan
prinsip-prinsip feminisme radikal. Setujukah? It is you decide!
Criminal Minds dan Fantasi Kepahlawanan Kita
- on 4:15 PM
- No comments
Terdiri
dari enam agen lapangan dengan berbagai karakternya dan satu agen bank data,
memiliki markas yang tidak terjamah sipil biasa, bertugas membaca, mengejar,
dan melumpuhkan penjahat, dan memiliki power yang tidak dimiliki secara massal,
maka asosiasi yang muncul di benak saya mengenai CM tidak jauh dari Power
Rangers atau serial kepahlawanan lain di masa kecil saya. Meski CM nampak lebih
berbeda dari, katakan Power Rangers, perbedaan tersebut bagi saya hanya soal
perbedaan pandangan kita untuk merealisasikan fantasi mengenai cerita
kepahlawanan pada usia kini dan usia dulu. Bagi saya pribadi, akan sangat tidak
catchy bila saya, pada umur 23 tahun dan sudah tahu bahwa kostum Ranger Pink
itu berat, repot, dan panas, kemudian duduk tenang dan tetap terpukau mengamati
aksi robotik, lengkap dengan pedang dan efek pencahayaannya, dari Power
Rangers. Satu lagi, mustahil juga bagi saya sendiri yang sudah sangat tahu beda
Gua Hira versi stalagtit dan stalagmit dengan gua yang dibuat dari kardus yang
dipilox, tetap mau menghabiskan setengah hari untuk bertepuk tangan melihat
kegagalan Rita menguasai dunia. Dengan adanya perkembangan pandangan yang dulu
bisa disuapi dengan fantasi ala robot dari mobil -yang bagi saya terlalu jauh
melampaui zaman- dan kini sudah akrab dengan kecanggihan teknologi informasi
senada dengan slogan Yellow Pages, "Cari tahu dengan jarimu", maka
penyesuaian sosok gank hero pun perlu dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan
oleh CM.
Monster
berbagai bentuk dalam Power Rangers ditukar dengan manusia-manusia psikopat
yang membunuh demi kesenangan dan kerap, kepuasan seksual. Seragam warna-warni
Power Rangers cukup diganti kostum jas dan kaos kasual yang memperlihatkan
karakter masing-masing agen secara jelas. Sabetan pedang dengan efek cahaya
silau yang mematikan diganti dengan pistol berpeluru panas yang kita semua tahu
bahwa pistol itu memang nyata adanya di dunia kontemporer. Pembacaan pikiran
dan peta yang biasanya dilakukan dari kacamata supercanggih kini dinaturalisasi
dari pengaksesan informasi tak berbatas, thanks to internet. Jam tangan telepon
dan layar akuarium yang menampilkan muka secara mistik sudah dialamiahkan
dengan telepon genggam, ipad, dan semacam skype. Ayayayayay Alpha yang
menginformasikan kegiatan anak buah Rita di ujung kota tidak lagi
diinformasikan secara misterius, tetapi melalui liaison officer BAU yang
melayani laporan dan permintaan investigasi kepada FBI.
Beragam
pengalamiahan setting, plot, tokoh, dan perentelan properti tersebut toh hanya
bersifat kebendaan yang ditujukan demi menyasar segmen audiens berbeda. Dari
banyaknya film kepahlawanan, baik pada masa kecil saya atau masa kini, pesan
yang disampaikan tidak akan jauh berbeda dari dua subjudul di atas, dan yang
paling penting lagi, film dengan tema ini masih menjadi alat pengaktualisasian
fantasi kita mengenai sosok yang kita harapkan dari diri kita sendiri.
Hampir
setiap orang ingin menjadi pahlawan, tidak peduli luas sempit lingkupnya.
Menjadi pahlawan pun bukan soal ingin menegakkan keadilan dan menghancurkan
kemungkaran, melainkan menyangkut keinginan untuk standing in the crowd.
Menjadi berbeda, menjadi pusat perhatian, menjadi pihak yang paling dibutuhkan,
dan tentu saja, menjadi pihak yang paling powerful di antara komunitas. Dalam
pandangan saya, menonton film kepahlawanan bukan satu hal yang menunjukkan
betapa rindunya kita akan sosok pahlawan yang bisa menyelamatkan kita,
melainkan monolog kita bahwa kita ingin menjadi pahlawan itu. Contoh
sederhananya, saya belum pernah, sih mendengar ada orang yang setelah menonton
film kepahlawanan berkata, "Ah, coba di kampung saya ada FBI, pasti nggak
akan lagi ada yang berani nyuri ayam ayah saya." Saya malahan mendengar,
atau bahkan mengatakan pada diri saya sendiri, "Coba gue jadi FBI, pasti
dari awal gue udah tau kalo mantan gue yang dulu itu brengsek." Oke ini
bukan curcol.
Ya, CM
pun terakhir membuat saya berpikir bahwa tak peduli berapa umur kita, kita
selalu memfantasikan diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari kita yang
sekarang. Selama fantasi tersebut masih selalu kita pegang, maka film-film
setema dengan CM pun akan tetap ada dan menjadi salah satu media yang potensial
untuk menyebarkan pesan ideologis tertentu, seperti supremasi negara atau
feminisme radikal. Mekanisme yang terjadi dalam penerimaan kita yang mudah akan
pesan tersebut utamanya bertumpu pada kesesuaian ekspektasi kita dengan hal
yang ditampilkan oleh film. Kesesuaian yang notabene merupakan bentuk
pengalamiahan dan pelapisan makna tersebut kemudian mendorong kita untuk
tertarik dan menyerap pesan-pesan ideologis dari film sebagai hal yang memang
demikian adanya, yang given, yang berkausalitas logis, dan yang sudah
seharusnya. Kesesuaian tersebut akhirnya menjadi benteng yang paling kuat untuk
menolak kritisisime kita terhadap pesan dari film.
Pada
kasus CM, betapapun saya tahu bahwa unsur ideologis mengenai supremasi negara
dan feminisme radikal sangat kental diperlihatkan, dan secara pribadi saya
bukan pendukung seratus persen ideologi tersebut, toh saya tidak berhenti
menonton CM. Itu bagi saya yang aware terhadap pesan ideologis CM. Nah, bagi
kawan saya yang juga menonton CM dan asing dengan istilah supremasi negara dan
feminisme radikal malahan mungkin secara tidak sadar mereka akan bersikap
antipati dan pesimis kepada keluarga disfungsional yang ada di sebelah
rumahnya. Efek-efek seperti itu yang sebenarnya diharapkan si pembuat CM untuk
mempengaruhi masyarakat agar bersikap sesuai dengan norma yang diidealkannya,
yang mungkin tidak harus diwujudkan sekarang, bisa juga pada masa yang akan
datang.
Lalu
bagaimana?
Ya,
bagaimana, dong? Saya tetap suka menonton CM. Ya, kelak kalau bertemu saya dalam
versi wanita yang antipekerjaan domestik karena merasa terancam di rumah
sendiri, ya jangan kaget saja. Hehe.
Ark.Des’12.