Terdiri
dari enam agen lapangan dengan berbagai karakternya dan satu agen bank data,
memiliki markas yang tidak terjamah sipil biasa, bertugas membaca, mengejar,
dan melumpuhkan penjahat, dan memiliki power yang tidak dimiliki secara massal,
maka asosiasi yang muncul di benak saya mengenai CM tidak jauh dari Power
Rangers atau serial kepahlawanan lain di masa kecil saya. Meski CM nampak lebih
berbeda dari, katakan Power Rangers, perbedaan tersebut bagi saya hanya soal
perbedaan pandangan kita untuk merealisasikan fantasi mengenai cerita
kepahlawanan pada usia kini dan usia dulu. Bagi saya pribadi, akan sangat tidak
catchy bila saya, pada umur 23 tahun dan sudah tahu bahwa kostum Ranger Pink
itu berat, repot, dan panas, kemudian duduk tenang dan tetap terpukau mengamati
aksi robotik, lengkap dengan pedang dan efek pencahayaannya, dari Power
Rangers. Satu lagi, mustahil juga bagi saya sendiri yang sudah sangat tahu beda
Gua Hira versi stalagtit dan stalagmit dengan gua yang dibuat dari kardus yang
dipilox, tetap mau menghabiskan setengah hari untuk bertepuk tangan melihat
kegagalan Rita menguasai dunia. Dengan adanya perkembangan pandangan yang dulu
bisa disuapi dengan fantasi ala robot dari mobil -yang bagi saya terlalu jauh
melampaui zaman- dan kini sudah akrab dengan kecanggihan teknologi informasi
senada dengan slogan Yellow Pages, "Cari tahu dengan jarimu", maka
penyesuaian sosok gank hero pun perlu dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan
oleh CM.
Monster
berbagai bentuk dalam Power Rangers ditukar dengan manusia-manusia psikopat
yang membunuh demi kesenangan dan kerap, kepuasan seksual. Seragam warna-warni
Power Rangers cukup diganti kostum jas dan kaos kasual yang memperlihatkan
karakter masing-masing agen secara jelas. Sabetan pedang dengan efek cahaya
silau yang mematikan diganti dengan pistol berpeluru panas yang kita semua tahu
bahwa pistol itu memang nyata adanya di dunia kontemporer. Pembacaan pikiran
dan peta yang biasanya dilakukan dari kacamata supercanggih kini dinaturalisasi
dari pengaksesan informasi tak berbatas, thanks to internet. Jam tangan telepon
dan layar akuarium yang menampilkan muka secara mistik sudah dialamiahkan
dengan telepon genggam, ipad, dan semacam skype. Ayayayayay Alpha yang
menginformasikan kegiatan anak buah Rita di ujung kota tidak lagi
diinformasikan secara misterius, tetapi melalui liaison officer BAU yang
melayani laporan dan permintaan investigasi kepada FBI.
Beragam
pengalamiahan setting, plot, tokoh, dan perentelan properti tersebut toh hanya
bersifat kebendaan yang ditujukan demi menyasar segmen audiens berbeda. Dari
banyaknya film kepahlawanan, baik pada masa kecil saya atau masa kini, pesan
yang disampaikan tidak akan jauh berbeda dari dua subjudul di atas, dan yang
paling penting lagi, film dengan tema ini masih menjadi alat pengaktualisasian
fantasi kita mengenai sosok yang kita harapkan dari diri kita sendiri.
Hampir
setiap orang ingin menjadi pahlawan, tidak peduli luas sempit lingkupnya.
Menjadi pahlawan pun bukan soal ingin menegakkan keadilan dan menghancurkan
kemungkaran, melainkan menyangkut keinginan untuk standing in the crowd.
Menjadi berbeda, menjadi pusat perhatian, menjadi pihak yang paling dibutuhkan,
dan tentu saja, menjadi pihak yang paling powerful di antara komunitas. Dalam
pandangan saya, menonton film kepahlawanan bukan satu hal yang menunjukkan
betapa rindunya kita akan sosok pahlawan yang bisa menyelamatkan kita,
melainkan monolog kita bahwa kita ingin menjadi pahlawan itu. Contoh
sederhananya, saya belum pernah, sih mendengar ada orang yang setelah menonton
film kepahlawanan berkata, "Ah, coba di kampung saya ada FBI, pasti nggak
akan lagi ada yang berani nyuri ayam ayah saya." Saya malahan mendengar,
atau bahkan mengatakan pada diri saya sendiri, "Coba gue jadi FBI, pasti
dari awal gue udah tau kalo mantan gue yang dulu itu brengsek." Oke ini
bukan curcol.
Ya, CM
pun terakhir membuat saya berpikir bahwa tak peduli berapa umur kita, kita
selalu memfantasikan diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari kita yang
sekarang. Selama fantasi tersebut masih selalu kita pegang, maka film-film
setema dengan CM pun akan tetap ada dan menjadi salah satu media yang potensial
untuk menyebarkan pesan ideologis tertentu, seperti supremasi negara atau
feminisme radikal. Mekanisme yang terjadi dalam penerimaan kita yang mudah akan
pesan tersebut utamanya bertumpu pada kesesuaian ekspektasi kita dengan hal
yang ditampilkan oleh film. Kesesuaian yang notabene merupakan bentuk
pengalamiahan dan pelapisan makna tersebut kemudian mendorong kita untuk
tertarik dan menyerap pesan-pesan ideologis dari film sebagai hal yang memang
demikian adanya, yang given, yang berkausalitas logis, dan yang sudah
seharusnya. Kesesuaian tersebut akhirnya menjadi benteng yang paling kuat untuk
menolak kritisisime kita terhadap pesan dari film.
Pada
kasus CM, betapapun saya tahu bahwa unsur ideologis mengenai supremasi negara
dan feminisme radikal sangat kental diperlihatkan, dan secara pribadi saya
bukan pendukung seratus persen ideologi tersebut, toh saya tidak berhenti
menonton CM. Itu bagi saya yang aware terhadap pesan ideologis CM. Nah, bagi
kawan saya yang juga menonton CM dan asing dengan istilah supremasi negara dan
feminisme radikal malahan mungkin secara tidak sadar mereka akan bersikap
antipati dan pesimis kepada keluarga disfungsional yang ada di sebelah
rumahnya. Efek-efek seperti itu yang sebenarnya diharapkan si pembuat CM untuk
mempengaruhi masyarakat agar bersikap sesuai dengan norma yang diidealkannya,
yang mungkin tidak harus diwujudkan sekarang, bisa juga pada masa yang akan
datang.
Lalu
bagaimana?
Ya,
bagaimana, dong? Saya tetap suka menonton CM. Ya, kelak kalau bertemu saya dalam
versi wanita yang antipekerjaan domestik karena merasa terancam di rumah
sendiri, ya jangan kaget saja. Hehe.
Ark.Des’12.