Sepanjang
tahun ini sepertinya saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial.
Tercatat judul-judul semacam The Big Bang Theory, Grey's Anatomy, Community,
How I Met Your Mother, Modern Family, The Good Wife, Detective Conan, Sherlock
Holmes, Accidentally on Purpose, dan yang baru saja saya tonton 3 season selama
2 minggu ini : Criminal Minds (CM). Thanks to Pak Rian atas jasanya meracuni
saya dengan beragam serial tersebut. Nah, tapi dari banyaknya serial yang saya
tonton, harus saya akui, CM menggelitik saya dengan cara yang berbeda. Jika
serial lain hanya singgah sebentar di otak saya sebagai pelepas penat, CM yang
mengambil fokus kegiatan para agen FBI, yakni Agen Aaron Hotcher, Agen David
Rossi yang sebelumnya diisi oleh Agen Jason Gideon, Agen Spencer Reid, Agen
Emily Prentiss, dan Agen Jennifer Jearou, serta Penelope Garcia, di Behaviorial
Analysis Unit, sejak awal sudah membuat saya tidak bisa netral menonton dan
hanya berfokus pada kehidupan semu yang ditampilkan sebagai alur cerita.
Akhirnya, karena saya hanya manusia lemah yang kerap menulis posting panjang
dan menyiksa pembaca, posting ini pun lahir, sekaligus menandai bangkitnya saya
dari kebuntuan menulis tema serius selama beberapa bulan terakhir. Saya membagi
tulisan mengenai CM ini menurut subjudul, yakni Criminal Minds dalam Dialog
mengenai Supremasi Negara, Feminisme Radikal dari Korban Perempuan di Criminal
Minds, dan Criminal Minds dan Ungkapan mengenai Kita dan Fantasi Kepahlawanan.
Enjoy!
Home » All posts
Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara
- on 4:16 PM
- No comments
Dengan
posisi FBI sebagai substate atau bagian dari negara, sangat gamblang bagi saya
untuk menyimpulkan bahwa keberadaan FBI sebagai fokus CM harus dilihat sebagai
representasi negara. Dipilihnya FBI sebagai sentral penceritaan CM pun bagi
saya tidak hanya bisa dilihat sebagai faktor sepele semacam alat penarik pasar.
Terlalu kecil. Saya malah melihat bahwa bisa jadi CM merupakan salah satu alat
yang diberdayakan negara, yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat, untuk
melakukan diplomasi pada publiknya sendiri mengenai pentingnya supremasi negara
di atas individu. Hmm, semacam propaganda tapi bukan juga, mengingat propaganda
membutuhkan retorika dan media yang lebih dari sekedar film serial yang tidak
memiliki daya paksa agar terus ditonton. Sangat besar pula kemungkinan bahwa
keberadaan FBI, sebagai salah satu agen negara yang menjamin keamanan individu,
sebenarnya merupakan alat untuk mengalamiahkan ideologi realisme versi Hobbes
yang meyakini bahwa pada dasarnya, berdirinya negara memang ditujukan demi
menjamin keamanan individu dari adanya leviathan yang mengancam. Adanya FBI,
yang tidak lain adalah "Negara", yang selalu dapat menyelesaikan
kasus jelas menegakkan cita-cita Hobbes mengenai negara, sekaligus mengeliminasi
norma liberalisme hingga kosmpolitanisme yang ingin membebaskan individu dari
kekangan negara.
Membicarakan
individu tidak dapat pula dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Dengan
mayoritas pelaku kekerasan sadistik pada CM yang selalu dibaca para agen BAU
sebagai implikasi dari pola pengalaman masa lalu saat masih tinggal dengan
keluarga, CM berusaha memperlihatkan bahwa keluarga merupakan faktor yang
paling dominan dalam menciptakan trauma pada individu. Keluarga yang
disfungsional dan tetap bersikeras merawat anaknya hanya akan memproduksi anak
yang akan menyebabkan disfungsi pada masyarakat.
Agen
Hotchner kepada tersangka pembunuhan pada episode Derailed season 1 menegaskan,
"You were just responding to what
you learned. When you grow up in an environemnt like that, an extremely
abusive, violent household, it;s not surprising that some people grow up to
become killers."
Keadaan
yang berbeda akan terlihat apabila anak-anak dari keluarga disfungsional ini
dirawat oleh negara seperti yang direpresentasikan oleh para agen BAU. Mereka
juga lahir dari keluarga yang cacat, namun mereka dapat memilih menjadi penegak
keamanan dan keadilan karena mereka memilih pergi dari keluarganya dan mengabdi
pada negara.
Bagaimana
dengan keluarga yang ideal, yang berjalan tanpa ayah yang sadis dan tanpa ibu
yang melacur? Dengan fokus CM pada pengeliminasian keluarga, CM memang tidak
menjadikan keluarga ideal sebagai oposan biner terhadap keluarga disfungsional
dalam hal pameran gamblang bahwa dari kelurga yang ideal akan lahir individu
yang ideal. Alih-alih, kekontrasan yang ditunjukkan CM malah meletakkan
keluarga ideal sebagai keluarga yang menjadi korban dari keluarga
disfungsional. Menjadi baik pun malah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk.
Rumah yang ditempati oleh keluarga ideal pun bukan lagi tempat yang dapat
menjamin keamanan mereka, malahan menjadi lokus kriminal yang menghabisi nyawa.
Atas
dasar tersebutlah, CM kemudian menegaskan pentingnya pengaksesan informasi yang
terbuka yang dilakukan negara terhadap individu. Akses informasi tak terbatas
mengenai individu ini direpresentasikan oleh kebergantungan para agen BAU
kepada Penelope Garcia yang mampu dengan mudah menembus bank data sebagai
faktor penting dalam menemukan unknown subject atau unsub dan mencegah
bertambahnya korban. Dengan demikian, segala bentuk penutupan atau pembatasan
akses terhadap individu, sebagaimana yang masih menuai kontroversi di Amerika
Serikat, diperlihatkan sebagai ancaman terhadap tegaknya keamanan individu dan
negara.
Feminisme Radikal dari Korban Perempuan dalam Criminal Minds
- on 4:15 PM
- No comments
Tindakan
sadisme terhadap perempuan merupakan hal yang selalu hampir pasti ada dan
menjadi fokus penceritaan episode-episode CM. Hal tersebut pula yang
melatarbelakangi hengkangnya salah satu agen jagoan CM mengundurkan diri dari
perannya meski CM baru berjalan dua season. Mandy Pattinkin, pemeran Jason
Gideon, mengatakan bahwa kesalahan terbesarnya pada publik adalah membintangi
CM. Terlalu banyak kekerasan pada perempuan yang berujung pada kematian mereka
yang diekspos CM.
Pada
lapis permukaan, tidak bisa dipungkiri bahwa CM, sebagaimana yang diungkapkan
Pattinkin, memang banyak menekankan betapa lemahnya perempuan. Penculikan dari
mobil yang mereka kendarai, penyiksaan dan pembunuhan sadis di rumah mereka
sendiri, pemerkosaan dengan beragam kelainan seksual yang menyertai, merupakan
gambaran gamblang yang seolah mengejek kelemahan perempuan dalam menjaga
dirinya sendiri.
Akan
tetapi, benarkah hanya demikian? Bagi saya, masih ada lapisan lain yang bisa
kita lihat sebagai pesan yang ingin ditunjukkan CM. Gambaran bahwa perempuan
itu lemah dan tidak menjaga dirinya sendiri sehingga rentan menjadi korban
kekerasan hanya berfungsi sebagai makna denotasi yang terlalu deskriptif
terhadap tayangan yang disajikan CM. CM sebenarnya menyajikan dua gambaran
perempuan yang sangat kontras, atau singkatnya oposisi biner dari bagaimana
seharusnya perempuan berperan di dalam masyarakat. Patut diingat bahwa CM pun
menyajikan agen perempuan sebagai tokoh sentralnya. Agen Elle, yang kemudian
digantikan Agen Emily Prentiss, lalu Agen JJ, dan bank data Penelope Garcia,
yang kesemuanya tetap teguh sampai sekarang, dalam arti belum tewas karena
tindak kekerasan pria.
Dua
gambaran kontras tersebut merupakan representasi dari poor girl, good girl.
Poor girl adalah perempuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri, atau
lebih jelas dalam CM dipaparkan sebagai perempuan rumahan, pekerja sektor
domestik, tidak memiliki bargaining position yang kuat di masyarakat, dan tentu
saja, tidak bersenjata. Kontras dengan kategori pertama, good girl atau
perempuan yang bisa melindungi dirinya sendiri merupakan perempuan yang bekerja
di luar rumah, memiliki bargaining position yang kuat, bersenjata, yang dari
ketiga identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa good girl adalah perempuan
yang memasukkan lebih banyak peran maskulin ke dalam wujud seksualnya yang
perempuan.
Pesan
dari makna konotasi itulah yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh CM. Berbagai
pertunjukkan kekerasan terhadap perempuan dengan sifat-sifat feminin yang
kental merupakan pelapisan ideologis yang kental demi menunjukkan bahwa
perempuan harus mengeliminasi feminitasnya dan mengadopsi maskulinitas bila
ingin memperoleh keamanan. Hmmm, sebuah pola yang sangat linear dengan
prinsip-prinsip feminisme radikal. Setujukah? It is you decide!
Criminal Minds dan Fantasi Kepahlawanan Kita
- on 4:15 PM
- No comments
Terdiri
dari enam agen lapangan dengan berbagai karakternya dan satu agen bank data,
memiliki markas yang tidak terjamah sipil biasa, bertugas membaca, mengejar,
dan melumpuhkan penjahat, dan memiliki power yang tidak dimiliki secara massal,
maka asosiasi yang muncul di benak saya mengenai CM tidak jauh dari Power
Rangers atau serial kepahlawanan lain di masa kecil saya. Meski CM nampak lebih
berbeda dari, katakan Power Rangers, perbedaan tersebut bagi saya hanya soal
perbedaan pandangan kita untuk merealisasikan fantasi mengenai cerita
kepahlawanan pada usia kini dan usia dulu. Bagi saya pribadi, akan sangat tidak
catchy bila saya, pada umur 23 tahun dan sudah tahu bahwa kostum Ranger Pink
itu berat, repot, dan panas, kemudian duduk tenang dan tetap terpukau mengamati
aksi robotik, lengkap dengan pedang dan efek pencahayaannya, dari Power
Rangers. Satu lagi, mustahil juga bagi saya sendiri yang sudah sangat tahu beda
Gua Hira versi stalagtit dan stalagmit dengan gua yang dibuat dari kardus yang
dipilox, tetap mau menghabiskan setengah hari untuk bertepuk tangan melihat
kegagalan Rita menguasai dunia. Dengan adanya perkembangan pandangan yang dulu
bisa disuapi dengan fantasi ala robot dari mobil -yang bagi saya terlalu jauh
melampaui zaman- dan kini sudah akrab dengan kecanggihan teknologi informasi
senada dengan slogan Yellow Pages, "Cari tahu dengan jarimu", maka
penyesuaian sosok gank hero pun perlu dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan
oleh CM.
Monster
berbagai bentuk dalam Power Rangers ditukar dengan manusia-manusia psikopat
yang membunuh demi kesenangan dan kerap, kepuasan seksual. Seragam warna-warni
Power Rangers cukup diganti kostum jas dan kaos kasual yang memperlihatkan
karakter masing-masing agen secara jelas. Sabetan pedang dengan efek cahaya
silau yang mematikan diganti dengan pistol berpeluru panas yang kita semua tahu
bahwa pistol itu memang nyata adanya di dunia kontemporer. Pembacaan pikiran
dan peta yang biasanya dilakukan dari kacamata supercanggih kini dinaturalisasi
dari pengaksesan informasi tak berbatas, thanks to internet. Jam tangan telepon
dan layar akuarium yang menampilkan muka secara mistik sudah dialamiahkan
dengan telepon genggam, ipad, dan semacam skype. Ayayayayay Alpha yang
menginformasikan kegiatan anak buah Rita di ujung kota tidak lagi
diinformasikan secara misterius, tetapi melalui liaison officer BAU yang
melayani laporan dan permintaan investigasi kepada FBI.
Beragam
pengalamiahan setting, plot, tokoh, dan perentelan properti tersebut toh hanya
bersifat kebendaan yang ditujukan demi menyasar segmen audiens berbeda. Dari
banyaknya film kepahlawanan, baik pada masa kecil saya atau masa kini, pesan
yang disampaikan tidak akan jauh berbeda dari dua subjudul di atas, dan yang
paling penting lagi, film dengan tema ini masih menjadi alat pengaktualisasian
fantasi kita mengenai sosok yang kita harapkan dari diri kita sendiri.
Hampir
setiap orang ingin menjadi pahlawan, tidak peduli luas sempit lingkupnya.
Menjadi pahlawan pun bukan soal ingin menegakkan keadilan dan menghancurkan
kemungkaran, melainkan menyangkut keinginan untuk standing in the crowd.
Menjadi berbeda, menjadi pusat perhatian, menjadi pihak yang paling dibutuhkan,
dan tentu saja, menjadi pihak yang paling powerful di antara komunitas. Dalam
pandangan saya, menonton film kepahlawanan bukan satu hal yang menunjukkan
betapa rindunya kita akan sosok pahlawan yang bisa menyelamatkan kita,
melainkan monolog kita bahwa kita ingin menjadi pahlawan itu. Contoh
sederhananya, saya belum pernah, sih mendengar ada orang yang setelah menonton
film kepahlawanan berkata, "Ah, coba di kampung saya ada FBI, pasti nggak
akan lagi ada yang berani nyuri ayam ayah saya." Saya malahan mendengar,
atau bahkan mengatakan pada diri saya sendiri, "Coba gue jadi FBI, pasti
dari awal gue udah tau kalo mantan gue yang dulu itu brengsek." Oke ini
bukan curcol.
Ya, CM
pun terakhir membuat saya berpikir bahwa tak peduli berapa umur kita, kita
selalu memfantasikan diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari kita yang
sekarang. Selama fantasi tersebut masih selalu kita pegang, maka film-film
setema dengan CM pun akan tetap ada dan menjadi salah satu media yang potensial
untuk menyebarkan pesan ideologis tertentu, seperti supremasi negara atau
feminisme radikal. Mekanisme yang terjadi dalam penerimaan kita yang mudah akan
pesan tersebut utamanya bertumpu pada kesesuaian ekspektasi kita dengan hal
yang ditampilkan oleh film. Kesesuaian yang notabene merupakan bentuk
pengalamiahan dan pelapisan makna tersebut kemudian mendorong kita untuk
tertarik dan menyerap pesan-pesan ideologis dari film sebagai hal yang memang
demikian adanya, yang given, yang berkausalitas logis, dan yang sudah
seharusnya. Kesesuaian tersebut akhirnya menjadi benteng yang paling kuat untuk
menolak kritisisime kita terhadap pesan dari film.
Pada
kasus CM, betapapun saya tahu bahwa unsur ideologis mengenai supremasi negara
dan feminisme radikal sangat kental diperlihatkan, dan secara pribadi saya
bukan pendukung seratus persen ideologi tersebut, toh saya tidak berhenti
menonton CM. Itu bagi saya yang aware terhadap pesan ideologis CM. Nah, bagi
kawan saya yang juga menonton CM dan asing dengan istilah supremasi negara dan
feminisme radikal malahan mungkin secara tidak sadar mereka akan bersikap
antipati dan pesimis kepada keluarga disfungsional yang ada di sebelah
rumahnya. Efek-efek seperti itu yang sebenarnya diharapkan si pembuat CM untuk
mempengaruhi masyarakat agar bersikap sesuai dengan norma yang diidealkannya,
yang mungkin tidak harus diwujudkan sekarang, bisa juga pada masa yang akan
datang.
Lalu
bagaimana?
Ya,
bagaimana, dong? Saya tetap suka menonton CM. Ya, kelak kalau bertemu saya dalam
versi wanita yang antipekerjaan domestik karena merasa terancam di rumah
sendiri, ya jangan kaget saja. Hehe.
Ark.Des’12.
Kyaaa Kyaaaa Men Award 2012
- on 8:56 PM
- No comments
Setahun sudah, Teman-teman. Ya, setahun sudah sejak "Kyaaa Kyaaa Men Award" diluncurkan dan mendapat tempat khusus di hati para wanita dan sebagian pria. Merespon antusiasme khalayak terhadap penghargaan tahun lalu, maka inilah para nominee "Kyaaa Kyaaa Men Award" tahun ini yang lolos seleksi penilaian pribadi saya melalui layar kaca laptop dan tentu saja, hati. Patut diingat, sistem penyeleksian tahun ini berbeda dari tahun lalu. Sama seperti penyeleksian negara anggota sementara Dewan Keamanan PBB, penyeleksian dilakukan berdasarkan region-based, errrr specifically, race-based. Namun demikian, bukan berarti penilaian tahun ini akan bernuansa bias dengan superioritas terhadap ras tertentu. Penilaian tetap dilakukan secara subyektif dengan memerhatikan indikator-indikator positivistik yang sesuai dengan kesepakatan publik.
Bennedict Cumberbatch
![]() |
Heh! Dont you even dare not to love me! *caption ini norak, yes i know* |
Andai saja saya mengenal Cumberbatch sejak saya belajar renang pertama kali waktu kelas 1 SMP, khususnya ketika dalam pelajaran menyelam dan menahan nafas, oh pasti saya mendapat nilai paling tinggi pada skala nasional. Aduh, Bendie *panggilan kesayangan*, kenapa sih kamu selalu bisa membuat aku menahan nafas. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan, deh, di balik peranmu sebagai Sherlock Holmes versi modern. Mungkin dari senyum inosenmu yang mengundang keinginan untuk sedikit ikut mencicipi kebahagiaan yang kamu rasakan. Mungkin dari jenis kain pada kemeja pas badan yang tampak sangat mahal dan aku percaya itu emang mahal, sih. Mungkin dari rambut ikal yang selalu lembut digoyang angin dan mengundang untuk dirapikan oleh jari terdekat. Atau dari takdir yang telah mempertemukan kita dalam ruang dan waktu yang terlampau mahal untuk kita taklukan?
Aduh, Bendie ini emang nggak kepayanglah pesonanya. Aku takluk.
Shinichi Kudo
![]() |
Bahkan Shinichi lagi bingung juga tetap menggemaskan |
Oke, Shinichi Kudo memang tokoh fiktif. Tapi, tapi, tapi, tapi, saya nggak bisa menolak pesona yang disampaikannya melalui tubuh tinggi, otak cerdas, mata tajam, dan ini yang penting, rasa cinta yang besar sama Ran. Ah, iya, dan kalian juga harus tahu bahwa di episode 617-622 akhirnya Shinichi mengungkapkan perasaannya ke Ran. Gila, udah berapa tahun sejak Shinichi diperkenalkan Aoyama Gosho coba itu akhirnya ada pengakuan perasaan. Eh tapi, sebenarnya nggak ngaruh juga, sih apakah Shinichi akhirnya ngomong sama Ran atau engga, toh juga selama berbelas tahun ini kita tahu betapa care-nya Shinichi sama Ran tidak peduli dalam bentuk apa ia saat itu, Shinichikah atau Conankah.
Mmmm, alasan lain memasukkan Shinichi dalam list nominee Kyaaa Kyaaa Men Award ini adalah Shinichi selalu berhasil mengajak saya menelusuri ruang-ruang masa remaja saya. Pokoknya Shinichi ini adalah kado dari masa lalu yang terus terbawa sampai masa kini dan yes, dengan bodohnya saya harap bisa saya bawa terus hingga masa depan. Meaning? Ya artinya saya nggak pengen serial Detective Conan itu ditamatkan. Ya kalau bisa sih biar nggak bosan, ya ada perputaran peran yang intensif antara Conan dengan Shinichi. Ah, gitulah, pokoknya saya nggak bisa membayangkan apa jadinya hidup saya kalau Shinichi ditamatkan sama Aoyama Gosho.
Matt Czuchry
![]() |
Tuntut aku dengan cintamu, Matt |
Tak ada Matt Damon, Matt Czuchry pun jadi. Akrab dengan serial The Good Wife? Kalau belum, segeralah menonton serial tersebut dan temukan Matt Czuchry di sana dalam perannya sebagai Cary Agos, si pengacara imut. Errrr, tapi buat kalian yang lebih mencintai karakter protagonis ketimbang antagonis, jangan berharap bisa langsung jatuh cinta sama pria yang dalam kehidupan nyatanya seorang sarjana Ilmu Politik dan Sejarah with honors ini pada season 1 dan 2. Mulailah dari season 3 kemudian lanjut ke season 4 untuk merasakan bahwa di dunia mimpi sana, ada kok pria yang tampan, cerdas, gagah, baik, dan life-taking banget sedang menunggu (untuk terus digiuri *anjir di-GIUR-i).
Shemar Moore
![]() |
"Oh, NO!"-pose |
Shemar Moore adalah pria dark skin pertama yang saya sukai. Nggak bermaksud rasis, toh juga kulit saya gelap. Ya, selama ini saya hanya dibutakan oleh pria-pria dari ras Mongoloid semacam Toro dan terkadang Jerry Yan, dan tentu saja Lee Min Ho, dan oh iya Jang Geun Suk, dan pernah juga Vic Zhou, dan ya jelas Jimmy Lin, dong. Permasalahannya adalah selama ini hubungan saya dengan film dengan salah satu tokoh dark skin itu hanya berjalan secara profesional, antara penonton dengan pemain. Saya nggak melibatkan penilaian pribadi di sana. Ah, tapi akhirnya dalam Criminal Minds mulai season 4 saya tahu bahwa di luar sana, ada semacam Shemar Moore yang akan membuat saya rugi bila saya melewatkannya. Lewat perannya sebagai Agen Derek Morgan yang manly, gentle, pemberani, dan gahul banget, saya tahu Shemar Moore adalah pria yang dikirimkan Tuhan untuk memberikan epifani dalam perspektif saya mengenai abang-abang superhero.
Rio Dewanto
![]() |
Sumpeh, ini foto nemu di blog orang yang (kayaknya sih) berjenis kelamin laki-laki dan berorientasi ke laki-laki juga |
Kayaknya saya emang punya ketertarikan tersendiri dengan pria bermata sipit, deh. Rio Dewanto, gitu. Di antara sekian banyak pria pribumi semacam Dimas Anggoro, Dimas Seto, Dimas Djay, dan Dimas-dimas lain, kenapa saya harus memilih Rio Dewanto? Saya yakin soal Rio Dewanto ini bukan soal perut six pack, bisep dan trisep terawat, senyum dan terlampau manis, tapi tentang sudut mata yang selalu terpicing seolah menyimpan misteri mengenai definisi sedih, bahagia, hidup, dan derita.
Rio, tolong jangan pernah lepaskan picingan matamu padaku, Rio.
Mario Maurer
![]() |
Ini beneran "Oh Please" pose banget iniiiii!!! |
Kalau Cumberbatch mampu membuat saya menahan nafas, Mario Maurer si tampan di Crazy Little Thing Called Love ini sukses membuat saya gagal nggak mimisan. Pertama kali menjumpainya di ruang gelap dengan sumber cahaya hanya dari layar DVD, saya tahu saya nggak bisa menahan gejolak darah di hidung saya yang begitu dekat dengan mata. Saya mimisan sejak pandangan pertama. Astaga, Maurer, selamat, kamu masuk ke dalam klasifikasi super hottish cute boy (terjemah : adek kecil dgn paras unyu kepanas-panasan).
Untuk Maurer, saya sengaja nggak melakukan penelitian lebih mendalam. Bukan apa-apa, saya cuma takut kalau saya semakin banyak mengeluarkan darah dari hidung. Adek kecil ini saya yakini memang semakin digali akan semakin memesona, padahal saya terlanjur sesumbar pada lingkungan sekitar bahwa saya nggak bisa menjalin perasaan bagi orang yang lebih muda meskipun dia super hottish cute. Nggak bisa, nggak bisa, nggak bisa. Pokoknya saya harus tetap berkomitmen pada janji saya. Hmmm, not to mention bahwa Mario Maurer ini, sebagaimana abang-bang tampan Thailand lain, betapapun hottish cute-nya, status itu akan meredup seiring dengan semakin banyak dialog yang ia lakukan di setiap filmya.
Maurer, would you just love me in silence? *literally*
And The Award Goes To.......
SHEMAR MOORE!!!!
kenapa eh kenapa?
Nggak ada apa-apa, sih. Saya dari tadi galau aja mau milih pria yang mana yang sekiranya pas untuk mendapatkan gelar Kyaaa Kyaaa Men ini. Semua deskripsi saya tentang nominee tahun ini bisa dibilang sangat positif semua. Dengan berat hati, saya pun harus menghitung kancing-kancing baju yang berserakan di abang tailor terdekat. Setelah melakukan perhitungan seksama terhadap jumlah kancing baju dipangkatkan dua kemudian ditambah 5 > x > 9, dengan x adalah bilangan prima kemudian dikurang 7 log 7000, maka keputusan dewan juri mengenai gelar Sheemar Moore sebagai pemangku Kyaaa Kyaaa Men tidak dapat ditalak tiga.
Selamat, Sheemar. Good job, man!
