Membicarakan Criminal Minds






Sepanjang tahun ini sepertinya saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial. Tercatat judul-judul semacam The Big Bang Theory, Grey's Anatomy, Community, How I Met Your Mother, Modern Family, The Good Wife, Detective Conan, Sherlock Holmes, Accidentally on Purpose, dan yang baru saja saya tonton 3 season selama 2 minggu ini : Criminal Minds (CM). Thanks to Pak Rian atas jasanya meracuni saya dengan beragam serial tersebut. Nah, tapi dari banyaknya serial yang saya tonton, harus saya akui, CM menggelitik saya dengan cara yang berbeda. Jika serial lain hanya singgah sebentar di otak saya sebagai pelepas penat, CM yang mengambil fokus kegiatan para agen FBI, yakni Agen Aaron Hotcher, Agen David Rossi yang sebelumnya diisi oleh Agen Jason Gideon, Agen Spencer Reid, Agen Emily Prentiss, dan Agen Jennifer Jearou, serta Penelope Garcia, di Behaviorial Analysis Unit, sejak awal sudah membuat saya tidak bisa netral menonton dan hanya berfokus pada kehidupan semu yang ditampilkan sebagai alur cerita. Akhirnya, karena saya hanya manusia lemah yang kerap menulis posting panjang dan menyiksa pembaca, posting ini pun lahir, sekaligus menandai bangkitnya saya dari kebuntuan menulis tema serius selama beberapa bulan terakhir. Saya membagi tulisan mengenai CM ini menurut subjudul, yakni Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara, Feminisme Radikal dari Korban Perempuan di Criminal Minds, dan Criminal Minds dan Ungkapan mengenai Kita dan Fantasi Kepahlawanan. Enjoy!

Criminal Minds dalam Dialog mengenai Supremasi Negara

Dengan posisi FBI sebagai substate atau bagian dari negara, sangat gamblang bagi saya untuk menyimpulkan bahwa keberadaan FBI sebagai fokus CM harus dilihat sebagai representasi negara. Dipilihnya FBI sebagai sentral penceritaan CM pun bagi saya tidak hanya bisa dilihat sebagai faktor sepele semacam alat penarik pasar. Terlalu kecil. Saya malah melihat bahwa bisa jadi CM merupakan salah satu alat yang diberdayakan negara, yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat, untuk melakukan diplomasi pada publiknya sendiri mengenai pentingnya supremasi negara di atas individu. Hmm, semacam propaganda tapi bukan juga, mengingat propaganda membutuhkan retorika dan media yang lebih dari sekedar film serial yang tidak memiliki daya paksa agar terus ditonton. Sangat besar pula kemungkinan bahwa keberadaan FBI, sebagai salah satu agen negara yang menjamin keamanan individu, sebenarnya merupakan alat untuk mengalamiahkan ideologi realisme versi Hobbes yang meyakini bahwa pada dasarnya, berdirinya negara memang ditujukan demi menjamin keamanan individu dari adanya leviathan yang mengancam. Adanya FBI, yang tidak lain adalah "Negara", yang selalu dapat menyelesaikan kasus jelas menegakkan cita-cita Hobbes mengenai negara, sekaligus mengeliminasi norma liberalisme hingga kosmpolitanisme yang ingin membebaskan individu dari kekangan negara.
Membicarakan individu tidak dapat pula dilepaskan dari pembicaraan mengenai keluarga. Dengan mayoritas pelaku kekerasan sadistik pada CM yang selalu dibaca para agen BAU sebagai implikasi dari pola pengalaman masa lalu saat masih tinggal dengan keluarga, CM berusaha memperlihatkan bahwa keluarga merupakan faktor yang paling dominan dalam menciptakan trauma pada individu. Keluarga yang disfungsional dan tetap bersikeras merawat anaknya hanya akan memproduksi anak yang akan menyebabkan disfungsi pada masyarakat.
Agen Hotchner kepada tersangka pembunuhan pada episode Derailed season 1 menegaskan, "You were just responding to what you learned. When you grow up in an environemnt like that, an extremely abusive, violent household, it;s not surprising that some people grow up to become killers."
Keadaan yang berbeda akan terlihat apabila anak-anak dari keluarga disfungsional ini dirawat oleh negara seperti yang direpresentasikan oleh para agen BAU. Mereka juga lahir dari keluarga yang cacat, namun mereka dapat memilih menjadi penegak keamanan dan keadilan karena mereka memilih pergi dari keluarganya dan mengabdi pada negara.
Bagaimana dengan keluarga yang ideal, yang berjalan tanpa ayah yang sadis dan tanpa ibu yang melacur? Dengan fokus CM pada pengeliminasian keluarga, CM memang tidak menjadikan keluarga ideal sebagai oposan biner terhadap keluarga disfungsional dalam hal pameran gamblang bahwa dari kelurga yang ideal akan lahir individu yang ideal. Alih-alih, kekontrasan yang ditunjukkan CM malah meletakkan keluarga ideal sebagai keluarga yang menjadi korban dari keluarga disfungsional. Menjadi baik pun malah menjadikan mereka sebagai sasaran empuk. Rumah yang ditempati oleh keluarga ideal pun bukan lagi tempat yang dapat menjamin keamanan mereka, malahan menjadi lokus kriminal yang menghabisi nyawa.
Atas dasar tersebutlah, CM kemudian menegaskan pentingnya pengaksesan informasi yang terbuka yang dilakukan negara terhadap individu. Akses informasi tak terbatas mengenai individu ini direpresentasikan oleh kebergantungan para agen BAU kepada Penelope Garcia yang mampu dengan mudah menembus bank data sebagai faktor penting dalam menemukan unknown subject atau unsub dan mencegah bertambahnya korban. Dengan demikian, segala bentuk penutupan atau pembatasan akses terhadap individu, sebagaimana yang masih menuai kontroversi di Amerika Serikat, diperlihatkan sebagai ancaman terhadap tegaknya keamanan individu dan negara.            

Feminisme Radikal dari Korban Perempuan dalam Criminal Minds


Tindakan sadisme terhadap perempuan merupakan hal yang selalu hampir pasti ada dan menjadi fokus penceritaan episode-episode CM. Hal tersebut pula yang melatarbelakangi hengkangnya salah satu agen jagoan CM mengundurkan diri dari perannya meski CM baru berjalan dua season. Mandy Pattinkin, pemeran Jason Gideon, mengatakan bahwa kesalahan terbesarnya pada publik adalah membintangi CM. Terlalu banyak kekerasan pada perempuan yang berujung pada kematian mereka yang diekspos CM.
Pada lapis permukaan, tidak bisa dipungkiri bahwa CM, sebagaimana yang diungkapkan Pattinkin, memang banyak menekankan betapa lemahnya perempuan. Penculikan dari mobil yang mereka kendarai, penyiksaan dan pembunuhan sadis di rumah mereka sendiri, pemerkosaan dengan beragam kelainan seksual yang menyertai, merupakan gambaran gamblang yang seolah mengejek kelemahan perempuan dalam menjaga dirinya sendiri.
Akan tetapi, benarkah hanya demikian? Bagi saya, masih ada lapisan lain yang bisa kita lihat sebagai pesan yang ingin ditunjukkan CM. Gambaran bahwa perempuan itu lemah dan tidak menjaga dirinya sendiri sehingga rentan menjadi korban kekerasan hanya berfungsi sebagai makna denotasi yang terlalu deskriptif terhadap tayangan yang disajikan CM. CM sebenarnya menyajikan dua gambaran perempuan yang sangat kontras, atau singkatnya oposisi biner dari bagaimana seharusnya perempuan berperan di dalam masyarakat. Patut diingat bahwa CM pun menyajikan agen perempuan sebagai tokoh sentralnya. Agen Elle, yang kemudian digantikan Agen Emily Prentiss, lalu Agen JJ, dan bank data Penelope Garcia, yang kesemuanya tetap teguh sampai sekarang, dalam arti belum tewas karena tindak kekerasan pria.
Dua gambaran kontras tersebut merupakan representasi dari poor girl, good girl. Poor girl adalah perempuan yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri, atau lebih jelas dalam CM dipaparkan sebagai perempuan rumahan, pekerja sektor domestik, tidak memiliki bargaining position yang kuat di masyarakat, dan tentu saja, tidak bersenjata. Kontras dengan kategori pertama, good girl atau perempuan yang bisa melindungi dirinya sendiri merupakan perempuan yang bekerja di luar rumah, memiliki bargaining position yang kuat, bersenjata, yang dari ketiga identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa good girl adalah perempuan yang memasukkan lebih banyak peran maskulin ke dalam wujud seksualnya yang perempuan.
Pesan dari makna konotasi itulah yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh CM. Berbagai pertunjukkan kekerasan terhadap perempuan dengan sifat-sifat feminin yang kental merupakan pelapisan ideologis yang kental demi menunjukkan bahwa perempuan harus mengeliminasi feminitasnya dan mengadopsi maskulinitas bila ingin memperoleh keamanan. Hmmm, sebuah pola yang sangat linear dengan prinsip-prinsip feminisme radikal. Setujukah? It is you decide!

Criminal Minds dan Fantasi Kepahlawanan Kita

Terdiri dari enam agen lapangan dengan berbagai karakternya dan satu agen bank data, memiliki markas yang tidak terjamah sipil biasa, bertugas membaca, mengejar, dan melumpuhkan penjahat, dan memiliki power yang tidak dimiliki secara massal, maka asosiasi yang muncul di benak saya mengenai CM tidak jauh dari Power Rangers atau serial kepahlawanan lain di masa kecil saya. Meski CM nampak lebih berbeda dari, katakan Power Rangers, perbedaan tersebut bagi saya hanya soal perbedaan pandangan kita untuk merealisasikan fantasi mengenai cerita kepahlawanan pada usia kini dan usia dulu. Bagi saya pribadi, akan sangat tidak catchy bila saya, pada umur 23 tahun dan sudah tahu bahwa kostum Ranger Pink itu berat, repot, dan panas, kemudian duduk tenang dan tetap terpukau mengamati aksi robotik, lengkap dengan pedang dan efek pencahayaannya, dari Power Rangers. Satu lagi, mustahil juga bagi saya sendiri yang sudah sangat tahu beda Gua Hira versi stalagtit dan stalagmit dengan gua yang dibuat dari kardus yang dipilox, tetap mau menghabiskan setengah hari untuk bertepuk tangan melihat kegagalan Rita menguasai dunia. Dengan adanya perkembangan pandangan yang dulu bisa disuapi dengan fantasi ala robot dari mobil -yang bagi saya terlalu jauh melampaui zaman- dan kini sudah akrab dengan kecanggihan teknologi informasi senada dengan slogan Yellow Pages, "Cari tahu dengan jarimu", maka penyesuaian sosok gank hero pun perlu dilakukan sebagaimana yang ditunjukkan oleh CM.
Monster berbagai bentuk dalam Power Rangers ditukar dengan manusia-manusia psikopat yang membunuh demi kesenangan dan kerap, kepuasan seksual. Seragam warna-warni Power Rangers cukup diganti kostum jas dan kaos kasual yang memperlihatkan karakter masing-masing agen secara jelas. Sabetan pedang dengan efek cahaya silau yang mematikan diganti dengan pistol berpeluru panas yang kita semua tahu bahwa pistol itu memang nyata adanya di dunia kontemporer. Pembacaan pikiran dan peta yang biasanya dilakukan dari kacamata supercanggih kini dinaturalisasi dari pengaksesan informasi tak berbatas, thanks to internet. Jam tangan telepon dan layar akuarium yang menampilkan muka secara mistik sudah dialamiahkan dengan telepon genggam, ipad, dan semacam skype. Ayayayayay Alpha yang menginformasikan kegiatan anak buah Rita di ujung kota tidak lagi diinformasikan secara misterius, tetapi melalui liaison officer BAU yang melayani laporan dan permintaan investigasi kepada FBI.
Beragam pengalamiahan setting, plot, tokoh, dan perentelan properti tersebut toh hanya bersifat kebendaan yang ditujukan demi menyasar segmen audiens berbeda. Dari banyaknya film kepahlawanan, baik pada masa kecil saya atau masa kini, pesan yang disampaikan tidak akan jauh berbeda dari dua subjudul di atas, dan yang paling penting lagi, film dengan tema ini masih menjadi alat pengaktualisasian fantasi kita mengenai sosok yang kita harapkan dari diri kita sendiri.
Hampir setiap orang ingin menjadi pahlawan, tidak peduli luas sempit lingkupnya. Menjadi pahlawan pun bukan soal ingin menegakkan keadilan dan menghancurkan kemungkaran, melainkan menyangkut keinginan untuk standing in the crowd. Menjadi berbeda, menjadi pusat perhatian, menjadi pihak yang paling dibutuhkan, dan tentu saja, menjadi pihak yang paling powerful di antara komunitas. Dalam pandangan saya, menonton film kepahlawanan bukan satu hal yang menunjukkan betapa rindunya kita akan sosok pahlawan yang bisa menyelamatkan kita, melainkan monolog kita bahwa kita ingin menjadi pahlawan itu. Contoh sederhananya, saya belum pernah, sih mendengar ada orang yang setelah menonton film kepahlawanan berkata, "Ah, coba di kampung saya ada FBI, pasti nggak akan lagi ada yang berani nyuri ayam ayah saya." Saya malahan mendengar, atau bahkan mengatakan pada diri saya sendiri, "Coba gue jadi FBI, pasti dari awal gue udah tau kalo mantan gue yang dulu itu brengsek." Oke ini bukan curcol.
Ya, CM pun terakhir membuat saya berpikir bahwa tak peduli berapa umur kita, kita selalu memfantasikan diri kita sebagai sesuatu yang lebih besar dari kita yang sekarang. Selama fantasi tersebut masih selalu kita pegang, maka film-film setema dengan CM pun akan tetap ada dan menjadi salah satu media yang potensial untuk menyebarkan pesan ideologis tertentu, seperti supremasi negara atau feminisme radikal. Mekanisme yang terjadi dalam penerimaan kita yang mudah akan pesan tersebut utamanya bertumpu pada kesesuaian ekspektasi kita dengan hal yang ditampilkan oleh film. Kesesuaian yang notabene merupakan bentuk pengalamiahan dan pelapisan makna tersebut kemudian mendorong kita untuk tertarik dan menyerap pesan-pesan ideologis dari film sebagai hal yang memang demikian adanya, yang given, yang berkausalitas logis, dan yang sudah seharusnya. Kesesuaian tersebut akhirnya menjadi benteng yang paling kuat untuk menolak kritisisime kita terhadap pesan dari film.
Pada kasus CM, betapapun saya tahu bahwa unsur ideologis mengenai supremasi negara dan feminisme radikal sangat kental diperlihatkan, dan secara pribadi saya bukan pendukung seratus persen ideologi tersebut, toh saya tidak berhenti menonton CM. Itu bagi saya yang aware terhadap pesan ideologis CM. Nah, bagi kawan saya yang juga menonton CM dan asing dengan istilah supremasi negara dan feminisme radikal malahan mungkin secara tidak sadar mereka akan bersikap antipati dan pesimis kepada keluarga disfungsional yang ada di sebelah rumahnya. Efek-efek seperti itu yang sebenarnya diharapkan si pembuat CM untuk mempengaruhi masyarakat agar bersikap sesuai dengan norma yang diidealkannya, yang mungkin tidak harus diwujudkan sekarang, bisa juga pada masa yang akan datang.
Lalu bagaimana?
Ya, bagaimana, dong? Saya tetap suka menonton CM. Ya, kelak kalau bertemu saya dalam versi wanita yang antipekerjaan domestik karena merasa terancam di rumah sendiri, ya jangan kaget saja. Hehe.

Ark.Des’12.

Kyaaa Kyaaaa Men Award 2012


Setahun sudah, Teman-teman. Ya, setahun sudah sejak "Kyaaa Kyaaa Men Award" diluncurkan dan mendapat tempat khusus di hati para wanita dan sebagian pria. Merespon antusiasme khalayak terhadap penghargaan tahun lalu, maka inilah para nominee "Kyaaa Kyaaa Men Award" tahun ini yang lolos seleksi penilaian pribadi saya melalui layar kaca laptop dan tentu saja, hati. Patut diingat, sistem penyeleksian tahun ini berbeda dari tahun lalu. Sama seperti penyeleksian negara anggota sementara Dewan Keamanan PBB, penyeleksian dilakukan berdasarkan region-based, errrr specifically, race-based. Namun demikian, bukan berarti penilaian tahun ini akan bernuansa bias dengan superioritas terhadap ras tertentu. Penilaian tetap dilakukan secara subyektif dengan memerhatikan indikator-indikator positivistik yang sesuai dengan kesepakatan publik.



Bennedict Cumberbatch

Heh! Dont you even dare not to love me!
*caption ini norak, yes i know*
Andai saja saya mengenal Cumberbatch sejak saya belajar renang pertama kali waktu kelas 1 SMP, khususnya ketika dalam pelajaran menyelam dan menahan nafas, oh pasti saya mendapat nilai paling tinggi pada skala nasional. Aduh, Bendie *panggilan kesayangan*, kenapa sih kamu selalu bisa membuat aku menahan nafas. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan, deh, di balik peranmu sebagai Sherlock Holmes versi modern. Mungkin dari senyum inosenmu yang mengundang keinginan untuk sedikit ikut mencicipi kebahagiaan yang kamu rasakan. Mungkin dari jenis kain pada kemeja pas badan yang tampak sangat mahal dan aku percaya itu emang mahal, sih. Mungkin dari rambut ikal yang selalu lembut digoyang angin dan mengundang untuk dirapikan oleh jari terdekat. Atau dari takdir yang telah mempertemukan kita dalam ruang dan waktu yang terlampau mahal untuk kita taklukan?

Aduh, Bendie ini emang nggak kepayanglah pesonanya. Aku takluk.



Shinichi Kudo

Bahkan Shinichi lagi bingung juga tetap menggemaskan
Oke, Shinichi Kudo memang tokoh fiktif. Tapi, tapi, tapi, tapi, saya nggak bisa menolak pesona yang disampaikannya melalui tubuh tinggi, otak cerdas, mata tajam, dan ini yang penting, rasa cinta yang besar sama Ran. Ah, iya, dan kalian juga harus tahu bahwa di episode 617-622 akhirnya Shinichi mengungkapkan perasaannya ke Ran. Gila, udah berapa tahun sejak Shinichi diperkenalkan Aoyama Gosho coba itu akhirnya ada pengakuan perasaan. Eh tapi, sebenarnya nggak ngaruh juga, sih apakah Shinichi akhirnya ngomong sama Ran atau engga, toh juga selama berbelas tahun ini kita tahu betapa care-nya Shinichi sama Ran tidak peduli dalam bentuk apa ia saat itu, Shinichikah atau Conankah.

Mmmm, alasan lain memasukkan Shinichi dalam list nominee Kyaaa Kyaaa Men Award ini adalah Shinichi selalu berhasil mengajak saya menelusuri ruang-ruang masa remaja saya. Pokoknya Shinichi ini adalah kado dari masa lalu yang terus terbawa sampai masa kini dan yes, dengan bodohnya saya harap bisa saya bawa terus hingga masa depan. Meaning? Ya artinya saya nggak pengen serial Detective Conan itu ditamatkan. Ya kalau bisa sih biar nggak bosan, ya ada perputaran peran yang intensif antara Conan dengan Shinichi. Ah, gitulah, pokoknya saya nggak bisa membayangkan apa jadinya hidup saya kalau Shinichi ditamatkan sama Aoyama Gosho.



Matt Czuchry

Tuntut aku dengan cintamu, Matt
Tak ada Matt Damon, Matt Czuchry pun jadi. Akrab dengan serial The Good Wife? Kalau belum, segeralah menonton serial tersebut dan temukan Matt Czuchry di sana dalam perannya sebagai Cary Agos, si pengacara imut. Errrr, tapi buat kalian yang lebih mencintai karakter protagonis ketimbang antagonis, jangan berharap bisa langsung jatuh cinta sama pria yang dalam kehidupan nyatanya seorang sarjana Ilmu Politik dan Sejarah with honors ini pada season 1 dan 2. Mulailah dari season 3 kemudian lanjut ke season 4 untuk merasakan bahwa di dunia mimpi sana, ada kok pria yang tampan, cerdas, gagah, baik, dan life-taking banget sedang menunggu (untuk terus digiuri *anjir di-GIUR-i).



Shemar Moore

"Oh, NO!"-pose
Shemar Moore adalah pria dark skin pertama yang saya sukai. Nggak bermaksud rasis, toh juga kulit saya gelap. Ya, selama ini saya hanya dibutakan oleh pria-pria dari ras Mongoloid semacam Toro dan terkadang Jerry Yan, dan tentu saja Lee Min Ho, dan oh iya Jang Geun Suk, dan pernah juga Vic Zhou, dan ya jelas Jimmy Lin, dong. Permasalahannya adalah selama ini hubungan saya dengan film dengan salah satu tokoh dark skin itu hanya berjalan secara profesional, antara penonton dengan pemain. Saya nggak melibatkan penilaian pribadi di sana. Ah, tapi akhirnya dalam Criminal Minds mulai season 4 saya tahu bahwa di luar sana, ada semacam Shemar Moore yang akan membuat saya rugi bila saya melewatkannya. Lewat perannya sebagai Agen Derek Morgan yang manly, gentle, pemberani, dan gahul banget, saya tahu Shemar Moore adalah pria yang dikirimkan Tuhan untuk memberikan epifani dalam perspektif saya mengenai abang-abang superhero.



Rio Dewanto

Sumpeh, ini foto nemu di blog orang yang
(kayaknya sih) berjenis kelamin laki-laki
dan berorientasi ke laki-laki juga 
Kayaknya saya emang punya ketertarikan tersendiri dengan pria bermata sipit, deh. Rio Dewanto, gitu. Di antara sekian banyak pria pribumi semacam Dimas Anggoro, Dimas Seto, Dimas Djay, dan Dimas-dimas lain, kenapa saya harus memilih Rio Dewanto? Saya yakin soal Rio Dewanto ini bukan soal perut six pack, bisep dan trisep terawat, senyum dan terlampau manis, tapi tentang sudut mata yang selalu terpicing seolah menyimpan misteri mengenai definisi sedih, bahagia, hidup, dan derita.

Rio, tolong jangan pernah lepaskan picingan matamu padaku, Rio.





Mario Maurer

Ini beneran "Oh Please" pose banget iniiiii!!!
Kalau Cumberbatch mampu membuat saya menahan nafas, Mario Maurer si tampan di Crazy Little Thing Called Love ini sukses membuat saya gagal nggak mimisan. Pertama kali menjumpainya di ruang gelap dengan sumber cahaya hanya dari layar DVD, saya tahu saya nggak bisa menahan gejolak darah di hidung saya yang begitu dekat dengan mata. Saya mimisan sejak pandangan pertama. Astaga, Maurer, selamat, kamu masuk ke dalam klasifikasi super hottish cute boy (terjemah : adek kecil dgn paras unyu kepanas-panasan).

Untuk Maurer, saya sengaja nggak melakukan penelitian lebih mendalam. Bukan apa-apa, saya cuma takut kalau saya semakin banyak mengeluarkan darah dari hidung. Adek kecil ini saya yakini memang semakin digali akan semakin memesona, padahal saya terlanjur sesumbar pada lingkungan sekitar bahwa saya nggak bisa menjalin perasaan bagi orang yang lebih muda meskipun dia super hottish cute. Nggak bisa, nggak bisa, nggak bisa. Pokoknya saya harus tetap berkomitmen pada janji saya. Hmmm, not to mention bahwa Mario Maurer ini, sebagaimana abang-bang tampan Thailand lain, betapapun hottish cute-nya, status itu akan meredup seiring dengan semakin banyak dialog yang ia lakukan di setiap filmya.

Maurer, would you just love me in silence? *literally*



And The Award Goes To.......

SHEMAR MOORE!!!!

kenapa eh kenapa?

Nggak ada apa-apa, sih. Saya dari tadi galau aja mau milih pria yang mana yang sekiranya pas untuk mendapatkan gelar Kyaaa Kyaaa Men ini. Semua deskripsi saya tentang nominee tahun ini bisa dibilang sangat positif semua. Dengan berat hati, saya pun harus menghitung kancing-kancing baju yang berserakan di abang tailor terdekat. Setelah melakukan perhitungan seksama terhadap jumlah kancing baju dipangkatkan dua kemudian ditambah 5 > x > 9, dengan x adalah bilangan prima kemudian dikurang 7 log 7000, maka keputusan dewan juri mengenai gelar Sheemar Moore sebagai pemangku Kyaaa Kyaaa Men tidak dapat ditalak tiga.

Selamat, Sheemar. Good job, man!