PNMHII XXI Unej, Jember

Apa yang saya dapatkan dari PNMHII XXI? Mari kita runut!
  1. Penampilan dari Jember Fashion Carnival yang keren. Kita mungkin belum terbiasa dengan karnaval-karnaval baju unik. Yap, sebelum ikut PNM pun saya juga nggak tau apa sih Fashion Carnival, what are their significance, and for the sake of what they should exist. Hehehhe. Tapi kalau kita mau membuka pikiran kita dengan agak lebih global, ternyata pemikiran yang berjibaku di dalam otak saya itu ternyata totally traditional! Karnaval-karnaval dengan pakaian unik itu ternyata begitu membahana di dataran Eropa dan Ameika Latin. Jangan bayangkan karnaval dengan hanya sekedar baju adat macam kebaya dengan sanggul saja, Kawan. Karnaval dalam terminologi Eropa dan Amerika Latin itu sangat bisa membuat manusia dari planet mana pun tercengang! Saya perlihatkan sedikit fotonya, baik yang berasal dari dokumentasi PNMHII maupun dari google. Bersiaplah kalian untuk sekali lagi bangga jadi orang Indonesia yang ngga hanya kaya sumber daya alam dan budaya tapi juga kaya kreativitas! Bravo JFC!
  2. ASEAN yang masih dipahami begitu-begitu aja. Pemahaman para mahasiswa HI mengenai ASEAN ternyata masih berada dalam tataran apa yang dikatakan oleh Kemlu dalam sosialisasi ASEAN. Mahasiswa yang kemarin terlibat di dalam diskusi mengenai ASEAN rata-rata masih belum melihat ASEAN dari kacamata konsep dan teori tertentu. Permasalahan yang saya lihat di sini adalah mahasiswa HI bukanlah masyarakat biasa yang memang masih asing dengan ASEAN. Sebagai manusia yang akrab dengan kejadian internasional, mereka seharusnya mampu mengkaji ASEAN secara akademis dan di luar pemahaman permukaan. Bagi saya, ini bukan salah Kemlu, tapi ini berasal dari minimnya passion mahasiswa HI sendiri untuk mendekatkan diri dengan ASEAN. Masa mereka harus menunggu untuk jadi dosen dulu baru bisa memahami ASEAN dari kacamata akademis? Tapi eniwei terima kasih untuk Unej yang sudah menghadirkan pembicara-pembicara hebat dalam beberapa seminarnya mengenai ASEAN sehingga memberikan masukan pemikiran baru untuk para mahasiswa HI.
  3. Apresisiasi mahasiswa Jember terhadap budaya asli. Saya baru sekali menghadiri upacara pembukaan yang melibatkan tiga bahasa pengantar, Indonesia, Inggris, dan Jawa. Unej keren sekaliiiiiii!!! Tapi it should be better if English was put in the third because I’m sure they use Java language more frequently than English. However, overall, I give my deepest appreciation for Unej.
  4. Saya bisa menyentuh lauttttt!!!! Seneng deh akhirnya bisa menyentuh laut lagi! Saya terakhir megang laut itu waktu ke Bali kelas 2 SMA pas acara rekreasi sekolah. Setelah itu nggak pernah lagi nyentuh laut walaupun kalau saya lagi ke Surabaya saya selalu ngelewatin Laut Utara. Ngelewatin doang, nggak mampir. Namanya juga di bis. Saya sampai-sampai punya janji ke diri sendiri gitu kalau nanti saya udah punya mobil sendiri dan pas di perjalanan nemu laut, saya bakal langsung parkirin mobil terus turun ke pantai!!! Haha. Suka banget deh sama laut. Tapi sebenernya kemarin pas ke Watu Ulo di Jember itu belum puas. Itu kan perginya bareng-bareng sama orangggggg, jadi saya nggak bisa nikmatin laut sendirian. Beda dari yang zaman SMA. Iya sih emang perginya bareng-bareng, tapi waktu di Nusa Dua, saya misahin diri dari rombongan anak-anak yang pada main banana boat dan sejenisnya. Berjalan sendirian di pantai itu menyenangkan sekaliiiii!!! Benar-benar melepaskan beban hidup! Haha. Suatu saat nanti saya pasti bakal kembali ke laut sendirian!!!!
Apalagi ya….yang diingat baru segitu doang. Nanti kalau ada lagi yang saya ingat, saya share lagi. Okeiiiiiiiiiii? How about you? Apa yang kalian bawa dari PNMHII XXI Unej?

Losing Friend

He used to be the most optimistic person I have ever known. There were so many dreams we drew under the afternoon’s sunray between several bouquet of flowers and bunch of grasses. I believed that he had the most beautiful ears and shoulder to ease all troubles, from smallest until hugest. Hmmm. He is still alive now. However, without his dreams and spirit. Alive but not exist.

The face I saw recently was different. The melody of his voice was not the same. The eyes I stared totally changed. His strange perspective shot me. My belief was kicked by his doubt. Moreover, my expectation to share laugh and critics inevitably messed by his pessimistic-anger-unacceptance tone.

I miss him so damn much. Miss his smile, his optimistic thoughts, miss his free mind, miss his gentle laugh, miss his unique point of view, and miss his fabulous side.

However those have gone. I do not know why they have left and I do not understand why he let them fly from his existence.

PNMHII XXI Unej, Jember, 1st Day

Lagi-lagi saya harus duduk di bus selama 20 jam untuk melakukan perjalanan menuju Timur, Sodara-sodara! Kali ini untuk mengikuti Pertemuan Nasional Mahasiswa HI se-Indonesia ke-21.

This is my first time and my first day so I haven't had so much story. I met many HIers all over Indonesia but I couldn't remember their name. Hehe. I guess neither could they. But, surely, the farewell next Thursday will be so dramatic. So many hugs, kisses, business cards, and promises to keep in touch. Hohoho.

Oia, ada satu hal yang tadi saya kerjakan ketika orang-orang lagi welcoming dinner. Apa coba? Diajak keluar sama Nuran terus dipertemukan sama Mbak Putri. Sayang sekali Ayos belum datang. Tapi kayaknya Jumat nanti bisa ketemu Ayos. Tadi diajak Nuran minum minuman aneh gitu. Wedang Jahe tapi bukan wedang biasa. Ada ketan hitam yang sudah difermentasikan yang dijadikan isi. Tapai ketan gitulah. Nah, tapi itu belum apa-apa. Masalah bukan ada di ketan tapi di AIR. Airnya bukan air bening kayak biasa, tapi SUSU PUTIH.

Heyyyyyyyy!!!!! SAYA BENCI BANGET SAMA SUSU PUTIH. Nangis dah sumpah nangis. Minimal muntah kalo dikasih minum itu. Tapi untungnya tadi pas saya rewel gamau minum susu, si ibu penjualnya pengertian. beliau lalu memberikan kejutan untuk saya!!! Wedang jahe aja!! Ga pake susu!! Oiyey!!!

Terserah dah Nuran mau maki-maki, mau ngejek-ngejek, ngata-ngatain. Terserah!!!! Pokoknya please jangan susu putih. Tadi sore aja minum Ovaltine pengen muntah.

Then, apa lagi ya. Okei, saya juga harus mengakui kalau Jember adalah kota yang permai!!! Sawah, kebun, perbukitannya begitu indah kayak Cileunyi sepuluh tahun lalu. Terserah Teman-teman mau menanggapinya sebagai pujian atau sindiran. Hehe. Tapi emang beneran permai banget!! Nah, pas diajak Nuran ke tempat wedang jahe itu, saya juga melihat betapa asrinya Jember. Ih, alun-alunnya bagus bangetttt. Asri, hijau, rapi. Oia, jalan-jalannya juga bersih!!! Ciamik deh. Tapi maaf, khususnya buat Nuran, CILEUNYI TETAP MASIH LEBIH CIAMIK daripada Jember. Hihi.

Baiklah, sekian dulu laporan hari pertama PNMHII XXI yang begitu melelahkan di jalan raya. Oh my God, Bandung-Surabaya itu 15 jam dan Surabaya-Jember itu 5 jam. Pfuihhhhh. Ditambah pula bus eksekutif Bandung-Surabaya memutarkan lagunya Rhoma Irama dan Elvie Sukaesih dari jam 5 sore kita naik bis sampai jam 10 malam kita makan. Lelah nian. Hahha.

Ah, kok ga jadi aja nih udahannya? Hehe. Yausdah, kita sambung di laporan perjalanan hari berikutnya!!!!

Seksis dan Diskriminatif

Saya sadar bahwa ini adalah tema yang sangat sensistif, terutama lagi postingan ini berusaha mengungkap kebenaran *hahhaha* yang biasanya akan sangat menyakitkan kalau kita mengetahuinya. Ya ya ya ignorance is bliss memang ada benarnya. Kadang kita lebih memilih untuk nggak peduli dan nggak berkeinginan untuk mendobrak jeratan-jeratan sosial yang mengungkung kita. Oke, dalam posting kali ini bahasan yang saya angkat adalah keseksisan dan kediskriminatifan yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kurun waktu beberapa abad, dekade, atau bahkan tahun lalu, hal-hal inilah yang kita hirup. Sangat nggak sehat sih kalau kata saya. Kenapa? Nah, ini alasan kenapa Teman-teman harus menyelesaikan bacaan ini.

Judul di atas merupakan kutipan dari pernyataan dosen saya, Bu Junita, dalam balas-membalas komentar status facebook beliau,

Junita BeeR Masalahnya kenapa hanya menohok wanita?! Laki2 pun yg pas untuk teman pesta, clubbing, bergadang sampai pagi, chit chat yg snob, merokok dan kadang mabuk - tidak mungkin direncakanan jadi suami !!

February 24 at 11:50am · ·

Denny Pl Sihombing, Vini Veronica, Amelia Maya Irwanti and 11 others like this.

Reza Pahlevi Mahodim Tanjung

Reaksi twitternya pak Mario Teguh ya, Bu?

February 24 at 11:56am

Gigi Mayna Saidi

sangat setuju,sayangnya sy terlanjur punya suami yang punya masalalu seperti itu.

February 24 at 12:07pm

Junita BeeR

@ Reza PMT: iya..:)
@ Gigi MS: yg penting sekarang happy!

February 24 at 12:19pm

d'Joe PoeRba

koq senada ya mom sm comment ku di status ny yaya... he he

February 24 at 12:20pm

Gigi Mayna Saidi

amin bu...amin amin

February 24 at 12:20pm

Junita BeeR

@ Joe: biar jauh tetap soulmate dong..:)

February 24 at 12:47pm

Danny Woxx

Tapi jodoh kan sudah ada yang atur.. Hehehe..

February 24 at 12:50pm

Bima Prawira Utama

Iya bu ngejudge nya ngebawa ke ranah gender, padahal mau laki2 mau perempuan, kalo tukang mabok ama dugem mah yah... Hehe

February 24 at 1:20pm

Amelia Maya Irwanti

bener bu..emang kalo cowok yang melakukan hal hal seperti itu akan direncanakan jadi suami??? (ya kagak lah) harusnya "perempuan" diganti dengan "orang-orang" dan "istri" diganti dengan "pasangan hidup" itu baru fair

February 24 at 1:57pm

Junita BeeR

@ Bima : iya betul, Bima!
@ Amelia: ya pernyataan awal MT, sang Super,memang itu tidak fair....

February 24 at 3:01pm

Rizki Ananda Ramadhan

hahaha betul bu. keliatan ego maskulinnya

February 24 at 4:38pm

Wendy Anugerah Ramadhan Darmono

intinya mah bu kalau bejat mah bejat aja, regardless gender, age atau any background he had,,hehe, tapi emang beban perempuan dalam masyrakat kan lebih berat,karena dipandang sebagai penentu masa depan keluarga, anyway kok jarang keliatann bu?? sedang mencai ilham teori apakahh dikamarr??

February 24 at 8:16pm

Ananda Widhia Putri

saya siy mau ajah bu pny suami kayak gtu ,, kan planning saya poliandri dengan berbagai macami karakter latar belakang, dari yang alim ulama , bejad , pinter , pengangguran , tukang judi ,,biar senin mpe sabtu sibuk ;)

hihi ngaco ^^

February 24 at 8:49pm

Junita BeeR

@ Rizki: iya Rizki ketara sekali..dan lagi2 ada pengkhotbah /pendakwah atau motivator yg awalnya aja terlihat handal tapi kemudian mengecewakan krn ketahuan seksis dan diskriminatif!
@ Wendy: iya berat jadi perempuan yg terus2an diawasi krn eksis jadi penentu masa dpn keluarga dan negara, sementara laki2 jadi pengawas yg tdk eksis hehe.... btw,Wendy ...aq lg "pause" alias tidur....abisnya mati lampu mulu!
@Ananda : Waah...Siip banget! Mantabbb....:)

February 25 at 12:27am

Wendy Anugerah Ramadhan Darmono

haiahh aya2 waee dipauseee bu, knapa ga difast foward aj bu ke bagian yang bikin happy2,, mati lampu?? persaan ga dh bu, aman2 aja dikosan, kecuali emang ada tuh satu malam yang mati lampunya anehh.. atau akunya aja yang g th,hehhe,

February 25 at 12:34am

Rizki Ananda Ramadhan

SEPAKAT BU! Seksis dan Diskriminatif.

February 25 at 1:03am

Rikianarsyi Arrassyidinta N Wirantoputri

hmmmmm,iya bu...knp hrs perempuan yg diminta utk menjauhi hal2 spt itu, itu kn brti secara ga langsung pak super mencap bahwa ada byk perempuan kacau d dunia ini sehingga hendaknya mereka berubah, tp pak super menutup matanya dr kenyataan bhwa byk bgt pria/bapak yg hobi mabuk, dugem, ngedrugs, judi, &melakukan hal2 nista lain yg memakan korban jiwa... See More...istri&anaknya dipukulin,ga dikasih makan(pdhl mereka ngakunya provider),malah dijual pula....kn pria2 rusak jauh lbh merugikan drpd perempuan rusak...jarang deh saya dgr berita ato nemu cerita fiksi yg isinya perempuan pemabuk mbunuh suami/anaknya pake leptop..hihi.....klo mbunuh anak dgn ngasi baygon sh pernah...tp itu jg gara2 stres punya suami ga btanggungjawab...tu juga ibunya ikutan bunuh diri juga....

February 25 at 1:55am ·

Junita BeeR

@ Rikianarsyi: ya itu, dia seksis dan diskriminatif terhdp perempuan!

February 25 at 2:33am

Febe Amelia Haryanto

wah, setujuu buuu! masa perempuan aja yang digituin??? wew.. ga fair! ga bisa gituuu! sarannya MT kali ini ga pas.. hmpfh!

February 25 at 6:26am

Fahminoor Muhamad

karena dia laki2 bu, klo sebaliknya [mungkin] juga berbeda.

February 25 at 10:01am

Mety Rubiyanti

ikutan ya comment...perempuan memang selalu jd korban contohnya aku udh kepalang kejeblos punya suami ky gitu.yang menderita siapa anak dan istri.cuman Tuhan yg bisa membalas perbuatannya...

February 25 at 10:25am

Rikianarsyi Arrassyidinta N Wirantoputri

hmmmm.....memangnya apa ruginya ya bagi laki2 kl istrinya/pacarnya suka pesta,mabuk,judi,minum,dll....? sedangkan bagi perempuan sendiri kn jelas tuh kerugiannya kl punya suami yg suka dugem,chit chat snob,mabuk,judi.......perempuan yg mengalami nasib sperti bu mety kan ada buanyyyyyyyyyakkkkkk sekali...kasihan jg anak2nya....kn peran mengasuh anak... See More bukan cm tanggung jawab ibu, tp jg tanggung jawab ayah....percuma ibunya baik2 kl ayahnya ga menyadari perannya sebagai ayah....
hmmmm, ternyata kita hidup di dunia yg penuh keseksisan&kediskriminatifan kyk bgini........

February 25 at 10:39am ·

Rikianarsyi Arrassyidinta N Wirantoputri

oh mungkin gini, bu.....
perempuan yg ibu sebutkan kyk di atas itu pada nggak bisa menutupi jatidirinya yang suka hura2, nah beda dgn laki2 yg lihai,piawai,dan pandai menutupi jati dirinya yang buruk itu dengan rayuan, dalih2, dan janji2 perubahan, nah akibatnya...ini yang paling bahaya, perempuan yang baik hati yg memiliki tingkat kepercayaan yg ... See Moretinggi thd omongan pasangan&azab Tuhan selalu mau menerima laki2 apa adanya....adanya baik, disyukuri,adnya jelek diterima.....mereka jarang komplain.....mereka jg menganggap bahwa memiliki suami yg seperti itu adalah aib jd mereka menyembunyikan hal tsb rapat2....
pak mario teguh pun ngga peka dlm melihat bhw gejala ini adlh gejala destruktif.....
jd penyebabnya....seksis&diskriminatif, iya, tp selain itu juga krn laki2 penuh tipuan, perempuan mudah tertipu krn perempuan pada dasarnya itu baik hati....

February 25 at 10:49am ·

Junita BeeR

@ Rikianarsyi bagus tuh komentar2 mu. Selain MT seksis dan diskriminatif, seperti kebanyakan laki2 lainnya, dia tampaknya tidak lepas pula dari pengidap misoginis dan homophobi yang akut hehe....

Fri at 6:33am

Tak hanya itu, saya pun secara langsung sering ditohok oleh pernyataan-pernyataan yang….hmmm, mungkin bagi Teman-teman yang tradisional dan mainstream, pernyataan yang nanti saya ceritakan adalah pernyataan kodrati, tapi bagi saya, hmmmmm….pernyataan tersebut nggak masuk akal. Yang paling baru ituh terjadi dalam percakapan YM antara saya dan oknum AG yang berjenis kelamin laki-laki dan jika dilihat dari tohokannya, maka dipastikan ia adalah penganut patriarki tradisional yang sangat primitif.

AG : -----------*sensor, ini basa basi yang tidak ada kaitan dengan posting*

Saya : --------*masih sensor*

AG : Jangan lupa ya kalo nikah undang saya!!

Saya : Buseeeeeeet, masih lama meureun, pacar pun tak punya..Haha…kamu aja kali yang udah mau nikah…

AG : Eh kok gitu? Jangan gitu, inget umur kamu udah 21..

Saya : Lah, MASIH 21…kenapa emang sama umur 21..?

AG : Kamu harus mikirin nikah…

Saya : Buset

AG : Eh iya loh, serius. Gini deh, kamu itu udah masuk umur 21 jadi harus mulai mikir ke arah sana, inget kamu itu nanti bakal jadi ibu

Saya : Hmmm

AG : Kamu sekarang jangan terlalu sibuk sama aktivitas kamu, kamu jangan sampai melupakan peran kamu sebagai ibu….

Saya : Yaoloh, ni baru juga masuk semester 6, mikir skripsi aja belom, masa mikirin nikah…..

AG : Tapi umur kamu kan udah masuk umur 20-an

Saya : Ya kan baru 21…lagian juga belom ada pria yang datang..hahhaha

AG : Gimana kalo dia udah dateng tapi ternyata kamu tolak?

Saya : Lah, kalau akunya nggak ada rasa apa-apa dan dia nggak baik-baik amat, harus aku terima gitu?

AG : Bukannya gitu….tapi coba kamu pikirin deh……

Dalam kedua contoh di atas, wah betapa beratnya status ibu yang akan disandang perempuan kelak sehingga ia harus menjauhi satu, perbuatan maksiat macam dugem, omongan snob, mabuk, judi, dll, dan dua, harus memikir ulang karirnya. Saya seratus persen setuju dengan syarat tersebut, tapi yang saya sesalkan, mengapa harus perempuan saja yang memperbaikinya? Dimana peran laki-laki? Mengapa Pak Mario Teguh tidak menghimbau laki-laki untuk insaf dari perbuatan maksiat? Apakah laki-laki tidak melakukan perbuatan tesebut? Atau karena Pak Mario Teguh nggak melihat sisi signifikan laki-laki dalam menjalankan perannya sebagai ayah?

Lalu dalam kasus saya dengan oknum AG, kenapa juga saya harus membatasi kegiatan saya karena saya sudah berumur 21 sedangkan laki-laki malah harus mengembangkan kegiatannya saat ia berumur 21? Karena laki-laki pada akhirnya akan menjadi provider bagi calon keluarganya kelak-kah? Tapi banyak juga laki-laki yang hingga umurnya memasuki kepala 3 tidak kunjung memikirkan berkeluarga dan banyak juga laki-laki yang saya temukan malah mempergunakan gajinya untuk melakukan hal-hal yang nggak penting macam dugem, judi, mabuk, rokok, dll…..

Satu lagi, saya juga aneh ketika oknum AG memberikan pertanyaan yang nggak penting dijawab, Gimana kalo dia udah dateng tapi ternyata kamu tolak. Bagi saya, wajar jika saya menolak laki-laki yang tidak sesuai dengan kriteria saya, toh di sisi lain, laki-laki pun kerap menolak wanita yang tidak masuk dalam daftar impiannya. Di saat laki-laki ingin mendapatkan wanita yang bersih dari hal-hal yang disebutkan oleh Pak Mario Teguh, saya setuju dengan status Bu Junita yang mengungkapkan bahwa perempuan juga nggak mau menjadikan laki-laki yang buruk sebagai suaminya. Saya nggak mau dong punya keluarga dengan laki-laki yang nggak bisa menjalankan perannya sebagai suami dan ayah seperti yang banyak terjadi di dunia ini. Saya berempati dengan banyak perempuan yang pada akhirnya memutuskan untuk hidup tanpa pasangan. Sudah nggak zaman deh kalau kita menuding mereka sebagai perempuan nggak laku. Saya pun mungkin akan memilih demikian jika saya tidak kunjung menemukan suami yang baik.

Okei, tidak ada kesempurnaan, saya tahu itu, tetapi apakah karena kesempurnaan itu nggak ada maka kita harus menyerah pada pria-pria yang buruk yang pada akhirnya nggak memberikan kebahagiaan untuk kita? Kalau lelaki punya impian mendapat wanita baik, begitu juga perempuan. Saya salut dengan perempuan yang mampu mempertahankan impiannya.

Lagipula, kita juga harus mempertanyakan arti kebahagiaan itu sebenarnya apa? Jika kita masih mengukur kebahagiaan pernikahan dari penis, ya monggo silakan menikahlah meski pria itu bukan pria yang baik. Menikahlah dan bersiaplah menderita karena melihat diri Anda tidak dihargai oleh suami Anda dan anak-anak Anda ditelantarkan.

Bagi saya sendiri, kebahagiaan tidak hanya diukur dari penis. Kebahagiaan adalah ketika kita diakui sebagai manusia yang bebas. Bebas dengan pemikiran kita, bebas dengan keinginan kita, bebas dengan pendapat kita. Kebahagiaan bagi saya juga memiliki makna, dihargai. Saya akan bahagia kalau saya dianggap sebagai manusia bebas dan kebebasan tersebut dihargai. Saya akan sangat bahagia kalau suami saya bisa menganggap saya manusia sekaligus menghargai kemanusiaan saya dengan bersama-sama saya merawat anak-anak. Jadi, merawat anak bukan hanya tugas ibu. Laki-laki pun punya tugas besar di sini! Saking besarnya tugas laki-laki, ketika ia melupakan perannya sebagai suami dan bapak, akibat yang akan dialami oleh istri dan anaknya akan sangat besar!

Saya tadi sempat mengatakan dalam komentar facebook Bu Jun bahwa pria-pria yang berkubang dalam hal-hal yang dikutuk Mario Teguh akan memakan korban anak dan istri. Bisa anak dan istrinya nggak dikasih makan, bisa anak dan istrinya dijual, bisa juga anak dan istrinya dibunuh. Nah, itu baru dari satu keluarga dan dari sudut pandang sempit. Akibat strukturalnya akan sangat panjang.

Secara agregasi dalam satu negara, laki-laki yang mengabaikan peran besarnya sebagai suami dan bapak akan menyumbang besar pada peningkatan angka kemiskinan. Indikator kemiskinan yang diakibatkan oleh laki-laki tak bertanggung jawab ini pun banyak. Misalnya, banyak wanita yang menjadi buruh murah, banyak pekerja anak, banyak angka kematian ibu, dan banyak wanita dan anak-anak buta huruf. Nah, hal ini juga diakui oleh Lorraine Corner dalam artikelnya, Rural Development and Poverty Alleviation in ASEAN : A Gender Perspective. Artikel ini menyuguhkan realita bahwa sampai saat ini, perempuan masih menjadi pihak yang paling rawan dalam menderita kemiskinan. Data mengenai kemiskinan perempuan ini bisa didapatkan secara kuantitatif dan kualitatif.

  1. Data-data kuantitatif :
    1. Perempuan yang tidak bekerja : Meskipun dalam pembelanjaan keluarga perempuan memegang peran besar, pembelanjaan tersebut jarang sekali mencerminkan belanja pribadi dari perempuan. Biasanya perempuan berbelanja untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya dan menyempingkan kebutuhannya sendiri.
    2. Perempuan yang bekerja : perempuan yang bekerja memiliki kecenderungan untuk dibayar dengan gaji yang lebih rendah daripada laki-laki dalam pekerjaan yang sama, bahkan kadang-kadang perempuan juga tidak dibayar.
  2. Data-data kualitatif, ada dua kesimpulan yang dapat diambil.
    1. Pertama, perempuan rawan kemiskinan karena ia bertanggungjawab pada kebutuhan dasar anggota keluarganya.
    2. Kedua, saat penghasilan dari suaminya tidak cukup untuk menghidupi keluarga, perempuan tersebut harus membantu sang suami memenuhi kebutuhan hidup sementara perempuan itu sendiri tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga.

Parahnya lagi, akibat desktruktif yang didapat dari pria-pria berkeluarga yang kejam nian ini tidak hanya tak disadari oleh Mario Teguh, tapi juga oleh pemerintah negara. Lebih jauh lagi Lorraine mengatakan bahwa kebijakan pemerintah negara-negara di ASEAN mengenai pengentasan kemiskinan pun sangat berbias gender dan menyempingkan keberadaan perempuan. Pemerintah seolah-olah melindungi perempuan, tapi pemerintah menutup mata bahwa dalam menghadapi kemiskinan, perempuan memiliki peran yang sangat berat. Dalam hal jaminan kesehatan misalnya, hampir semua pemerintah di ASEAN memberikan bantuan jaminan kesehatan, namun jaminan tersebut hanya meliputi pelayanan dan obat-obat tertentu yang hanya mengatasi penyakit perempuan yang berada di dalam rumah sebagai ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu rumah tangga. Pemerintah menutup mata bahwa dalam menghadapi kemiskinan, perempuan ada yang bekerja sebagai sopir, kondektur, petani, buruh kasar, dan berbagai pekerjaan lain yang biasanya hanya dilakukan laki-laki. Pemerintah tidak memberikan jaminan kesehatan bagi perempuan yang bekerja di dunia laki-laki.

Sebentar, masih ada yang salah lagi. Sistem! Selama ini kita, para perempuan, dikungkung dalam sistem yang seolah-olah mengenakkan kita. Sistem inilah yang membuat kita sangat terugikan saat kita bersuamikan pria kejam. Kita selalu diajarkan untuk berada di rumah. Kita selalu diajarkan untuk tidak mengungguli laki-laki, baik dari segi otak, kelincahan, karir, gaji. Kita selalu diberi wacana untuk berada di ranah inferior laki-laki. Ketika kita mendapatkan suami laki-laki yang baik hati bak pangeran Cinderella, sistem kepercayaan kita yang dipupuk demikian barangkali nggak jadi masalah. Tetapi ketika secara amit-amit naudzubillah himindzalik kita terjebak dalam siatuasi salah pilih suami, nggak heran kalau kita jadi kelabakan dan menambah berat beban Bank Dunia karena kemiskinan yang makin merajalela. Inilah.

Saya juga melihat ketika ada perempuan dan laki-laki yang terjebak dalam dunia kelam macam yang dibilang Pak Mario itu, hal tersebut mengindikasikan bahwa baik laki-laki maupun perempuan merasa lelah untuk terus mengikuti sistem. Perempuan harus jadi wanita baik-baik. Laki-laki harus bisa jadi provider bagi keluarganya kelak. Ya, kita lelah dengan sistem tersebut sehingga akhirnya kita melakukan pemberontakan yang sebenarnya merugikan kita sendiri. Sebenarnya dalam dunia yang penuh dengan diskriminatif-diskriminatif ini, korbannya tidak hanya perempuan, laki-laki pun sebenarnya adalah korban!

Kenapa?

Karena pada sistem demikian, baik laki-laki maupun perempuan bukan dilihat sebagai manusia, melainkan sebagai benda yang bernama perempuan dan benda yang bernama laki-laki dengan pembagian tugas yang berbeda.

Permasalahan ini pun tak hanya terjadi di ranah domestik, bahkan hingga pada ranah internasional. Dalam situasi perang , misalnya. Di saat wanita dan anak-anak diungsikan sementara para pria yang kuat dijadikan serdadu, kita bisa menemukan nilai seperti ini :

  1. Status wanita dipersamakan dengan status anak-anak. Di permukaan, kita akan melihat betapa baiknya sang sistem karena memberi privilege kepada wanita untuk dilindungi. Tapi, yang aneh…kenapa wanita harus dilindungi? Kenapa ia disetarakan dengan anak-anak padahal anak-anak adalah manusia yang belum dianggap sebagai manusia karena belum dapat memutuskan yang baik untuk dirinya? Bukankah wanita adalah manusia yang kebetulan tidak memiliki penis tapi tetap memiliki organ tubuh lain yang sama dengan laki-laki ? Di sini kita akan melihat betapa kuatnya humanisme (humanisme=paham yang menganggap bahwa yang diakui sebagai manusia hanyalah mereka yang berpenis). Wanita tidak dianggap sebagai manusia.
  2. Laki-laki yang menjadi serdadu dianggap sebagai benda. Nah, ini juga yang kasihan. Dalam berperang, tentara tidak lagi dianggap sebagai manusia. Ada satu ungkapan yang terkenal yang selalu dikutip oleh dosen Hukum Internasional saya –cuman saya lupa itu dikutip dari siapa, War is license to kill yang menyiratkan makna demikian. Para pria yang menjadi serdadu tesebut diberi wacana sebagaimana rupa sehingga mereka merelakan dirinya melepaskan hak kemanusiaannya, yaitu hak hidup. Ketika ia melepaskan hak kemanusiaannya untuk hidup, maka ia pun melepaskan status kemanusiaannya meskipun dalam humanisme ia masih dianggap manusia karena ia memiliki penis.

Nah, jika begitu, laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai manusia, lalu siapa manusia sesungguhnya?

Ya yang berkuasa atas sistem tersebut.

Sesekali, Jangan Tunjuk Pemerintah Saat Membahas Pendidikan

Dari dulu sampai sekarang, hobi saya adalah membaca Tabel Tujuan Pembelajaran yang selalu ada di awal bab buku pelajaran. Itu lho, yang isinya hal apa saja yang akan dibahas dalam bab tersebut serta harapan dari pembelajaran yang akan diberikan pada siswa. Bagian yang paling mengharukan itu bisa kita temukan pada kalimat, siswa diharapkan memiliki kompetensi…

Setiap kali saya membaca Tabel Tujuan Pembelajaran, saya selalu kagum sama pemerintah. Di sini saya bisa melihat betapa pemerintah sangat peduli terhadap perbaikan generasi bangsa. Dengan harapan yang ia cantumkan pada tabel tersebut, saya melihat suatu muatan cita-cita yang luhur untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar melalui pengoptimalan pendidikan.

Nah, ada tapinya…keharuan saya ketika membaca harapan pemerintah itu harus terhenti ketika saya memperhatikan keadaan sekitar yang tidak pernah membaik. Kompetensi yang diharapkan pemerintah bisa dimiliki siswa setelah ia memasuki bab tertentu nyatanya minim dimiliki siswa. Ketika mereka mempelajari bab tersebut, yaaaa…mereka paham tapi saat mereka memasuki bab lain, aspek-aspek yang telah mereka pelajari pada bab sebelumnya pun menguap. Hal ini sangat umum terjadi dari zaman ke zaman.

Ketegangan terjadi ketika siswa harus menghadapi ujian, baik ujian akhir semester maupun ujian akhir nasional. Penyebab ketegangan ini satu, para siswa merasa kurang menguasai kompetensi yang telah digariskan pemerintah. Pada post kali ini, minimnya penguasaan siswa akan kompetensi yang disebutkan di dalam bukulah yang akan saya bahas. Di sini, saya nggak akan membahas pemerintah. Pemerintah punya andil dalam masalah ini, ya saya tahu, tapi saya rasa pembicaraan mengenai pemerintah lebih baik kita tunda dulu. Terlalu besar rasanya kalau saya membahas pemerintah. Saya juga nggak akan membahas sistem pendidikan. Pemerintah saja sudah besar lingkupnya, apalagi sistem pendidikan. Sudah banyak juga yang sudah mengkritik pemerintah dan sistem pendidikan. Sebagai gantinya, saya akan membahas tentang kekurangan guru.

Guru merupakan ujung tombak penyampai pesan pendidikan yang telah digariskan pemerintah. Jelas, mereka mempunyai andil besar dalam membentuk kesiapan siswa dalam menghadapi ujian. Nah, jangan dulu potong pembahasan saya tentang kewajiban guru dengan isu (di sini, terminologi isu yang saya gunakan merujuk pada Masalah, bukan Kabar desas-desus) minimnya kesejahteraan guru. Tentu saja kesejahteraan guru merupakan masalah krusial, namun, bagi saya, jangan sampai isu ini menjadi justifikasi atas keluhan siswa yang menunjuk ketidakmampuan beberapa guru dalam menyampaikan ilmu sehingga membuat mereka tidak menguasai kompetensi tertentu. Kekurangan guru dalam menyampaikan ilmu kepada siswalah yang akan saya kupas di sini.

Saya sudah menghabiskan setengah hidup saya dengan menjadi siswa. Ya iyalah. Hehe. Selama empat belas tahun sekolah, dari TK sampai SMA, saya suka memerhatikan guru yang mengajar di kelas. Kebetulan, guru-guru saya juga bervariasi. Saya punya guru yang berasal dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari Afro-American sampai Irish. Saya menemukan berbagai karakteristik. Ada yang mengajar dengan santai tapi serius, ada yang santaiiiiiiiiiiiiiiii banget, sampai saya juga nggak tahu dia ngajar apa enggak, ada juga yang disiplin tapi favorit, ada juga yang disiplin dan selalu mendapat kutukan para siswa. Bervariasinya guru beserta seni mengajarnya juga saya temukan sekarang saat saya menjalani dua tahun belakangan ini dengan menjadi pengajar les. Saya kerap menerima ungkapan hati para siswa yang mengagumi dan mengutuki guru di sekolahnya. Tak hanya itu, mereka juga sering mengeluhkan kekurangan pengajar les mereka. Hmmmmm. Penglihatan saya selama menjadi siswa dan pengakuan siswa-siswa atas kekurangan gurunya, saya rasa sudah menjadi bukti bahwa kita pun perlu mengkaji aspek guru saat kita menelusuri penyebab siswa tidak menguasai kompetensi yang telah digariskan pemerintah.

Lepaskan konstruksi di pikiran kita yang mengiang-ngiangkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa dan guru merupakan bagian yang kesejahteraannya sering dilupakan pemerintah saat kita akan membahas masalah ini. Keterpakuan kita pada konstruk tersebut merupakan diskriminasi atas kenyataan bahwa sebenarnya, guru juga manusia yang memiliki kekurangan. Saat kita berada di kelas, kita akan menemukan guru sebagai individu-individu yang unik. Ada guru yang mampu mengambil hati siswa sehingga pada mata pelajarannya, anak-anak bisa mendapat nilai baik serta kompetensi yang mumpuni, ada pula guru yang begitu egois dengan dirinya sendiri sehingga acuh terhadap siswa. Bagi guru jenis kedua ini, tak jadi masalah baginya apakah siswa paham apa yang ia sampaikan dan apakah siswa menyenangi cara pemyampaiannya. Lebih parah lagi, ia juga tidak memiliki kemampuan untuk mengenali siswanya dan menjadi teman bagi siswanya. Guru jenis itu jugalah yang suka melepas tanggung jawab saat nilai-nilai siswanya merah dengan mengatakan, “Kalian mah bodoh, gini aja nggak bisa,” ketimbang mencari metode lain untuk membangunkan otak siswanya yang selalu tidur saat ia masuk kelas.

Guru jenis kedua itu bisa kita temui dimana saja, jumlahnya sepertinya lebih banyak ketimbang guru jenis pertama. Salah satu yang paling saya ingat adalah kejadian saat SMA. Dulu, ketika saya duduk di kelas satu SMA, nilai rapor tengah semester saya bervariasi dari yang sangat bagus hingga hancur. Nah, tapi nilai merah itu tidak hanya menghiasi rapor saya saja. Semua teman saya dalam satu kelas, bahkan di kelas lain yang diajari oleh guru X, nilainya merah. Ibu saya dan ibu teman-teman saya mengajukan protes kepada wali kelas. Mereka sepakat satu hal. Kalau nilai satu anak saja yang merah, berarti memang anak itu yang tidak menguasai materi. Berbeda jika semua anak mendapatkan nilai merah. Pada kasus tersebut, bukan si anak yang salah, melainkan gurunya. Ibu-ibu yang yakin bahwa anaknya tidak bodoh tersebut mempertanyakan bagaimana cara mengajar sang guru X di kelas melalui wali kelas. Nah, masalahnya, wali kelas saya juga bukan guru yang menyenangkan. Ia adalah tipikal guru yang membuat kami, anak-anaknya dimasukkan ke neraka dengan tuduhan menghina dan mengutuk guru di belakang. Cara mengajarnya yang tidak membuat kami percaya bahwa dia paham seluk-beluk perkembangan manusia dari zaman batu hingga Perang Dingin pada saat ia mengajar Sejarah serta mukanya yang kehilangan otot tersenyum sudah kami sampaikan kepada orang tua kami untuk memberi bayangan bahwa wali kelas kami bukan wanita tua yang bijaksana dan menyenangkan saat diajak berdialog dan curhat. Tapi ibu kami tidak percaya. Akhirnya, benar saja. Sebagai respon atas protes yang mereka sampaikan, si guru yang suka menyepelekan IPS ketimbang IPA (padahal dia guru IPS) ini malah menjawab, “Setiap guru punya seni mengajar masing-masing. Mereka nggak bisa disalahkan. Anak-anak saja yang tidak bisa paham!” Sebentar, masih ada yang lain. Paragrafnya belum akan saya potong dulu. Wali kelas yang hanya mengenal anak-anak borju di kelas ini juga berkata kepada kami, “Kalian itu harus menerima guru apa adanya. Mau gurunya kayak apa juga harus kalian terima. Dengarkan saja pelajarannya, jangan lihat gurunya!”

Hmmmm. Okei. Inilah yang ingin saya soroti.

Ya, seperti yang telah saya ungkapkan tadi, saat kita berada di kelas, kita akan menemukan guru sebagai individu yang unik. Unik sendiri artinya berbeda. Mereka memiliki cara mengajar yang bervariasi. Nah, tapi masalahnya, di atas semua perbedaan yang mereka miliki, mereka memiliki beban target yang sama, mencerdaskan anak bangsa melalui penyampaian materi yang telah digariskan pemerintah. Di tangan merekalah masa depan anak-anak ini terletak. Saya juga tidak memungkiri bahwa kecerdasan, ketertarikan, cara belajar, dan sikap para siswa sendiri berlainan. Satu kelas yang berisi belasan hingga lima puluhan orang tentu berisi perbedaan yang kompleks. Logis bila para guru berdalih bahwa mereka tidak mungkin mengatasi jumlah kepala yang banyak dengan detail. Tapi bagi saya, alasan tersebut tidak dapat menjadi dasar argumen mereka untuk mengatakan bahwa pihak yang harus memahami adalah siswa, mengingat jumlah siswa lebih banyak daripada guru.

Secara kuantitas, ya siswa memang lebih banyak tapi besarnya kuantitas siswa sangat tidak tepat bila dijadikan alasan bahwa para siswa ini wajib memahami seni mengajar guru. Saya nggak menemukan keterkaitan sama sekali. Guru yang berpatokan pada pendapat tersebut malah bisa jadi melanggar hak siswa untuk belajar. Kayak begini deh, saat siswa berada di kelas, tujuan mereka itu menerima pelajaran sekaligus merespon pelajaran. Itu hak mereka. Dengan adanya hak yang melekat pada siswa tersebut, guru memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pemenuhan hak siswa. Pemenuhan fasilitas ini termasuk pula pada aspek penciptaan kondisi belajar yang memungkinkan bagi siswa untuk terpacu belajar. Saya tidak mengatakan bahwa guru wajib membuat siswa pintar. Kalau masalah bisa pintar tidaknya siswa, itu masalah lain, itu kembali lagi pada kecerdasan siswa, kemauan siswa untuk belajar, dan cara siswa memahami pelajaran. Yang menjadi kewajiban guru adalah bagaimana ia mendorong siswa-siswanya untuk mau pintar, mau memajukan dirinya, dan sadar bahwa kompetensi yang harus dimiliki para siswa tidak hanya berguna untuk menjawab soal ujian sehingga bisa jadi ranking pertama, tapi juga untuk kehidupan para siswa selepas masa ujian.

Kewajiban tersebutlah yang harus dipahami guru saat mereka mengajar. Itulah yang harus mereka lakukan saat mereka berdiri di depan kelas, berada di tingkatan yang lebih tinggi daripada siswanya. Dengan mereka berdiri di hadapan siswa-siswanya yang duduk, mereka seharusnya sadar bahwa makna filosofis berdiri di hadapan siswa adalah untuk memberikan suasana yang mendukung dalam proses belajar siswa.

Dalam banyak kasus guru yang tidak mampu membuat siswanya mengerti apa yang ia sampaikan, akar permasalahannya terletak pada minimnya kepahaman para guru atas kewajibannya. Ada yang benar-benar tidak paham sehingga mereka membiarkan siswanya berkubang dalam kubangan penyiksaan pantat dan kekeruhan otak selama dua jam pelajaran. Ada pula yang seolah-olah paham akan kewajibannya namun mengaplikasikannya dengan cara yang salah. Guru jenis ini hobinya marah-marah didepan kelas, menyepelekan siswa, dan pesimis terhadap perkembangan siswa. Butut sekali ini mah.

Sepengalaman saya dan menurut kesaksian siswa-siswa saya, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi guru yang mampu memenuhi kewajibannya. Dalam menciptakan suasana yang mendukung proses belajar, hal yang paling penting adalah mengambil hati siswa. Mau tidak mau, sebagai penguasa kelas (yang satu-satunya sah berdiri di kelas), guru harus bisa mengambil hati siswa agar guru tuntas menyelesaikan tugas dari pemerintah. Tugas mengambil hati siswa juga sebenarnya tidak sulit asalkan guru tersebut ikhlas, hehehe. Jangan egois dan merasa paling benar sendiri. Dari cerita yang saya dengarkan dan pengalaman saya sebagai siswa, kesimpulan yang bisa saya tarik tentang bagaimana menjadi guru yang mampu menciptakan suasana yang baik untuk belajar, antara lain :
  1. Kenali para siswa. Kalau misalnya dalam satu kelas ini kuantitas siswanya besar, coba kenali secara random, jangan dari kalangan tertentu saja, kayak yang duduk di depan saja, yang kaya saja, yang paling cerewet saja, yang nakal saja, yang sepuluh besar saja. Randomisasi ini efektif untuk menghindarkan kesan diskriminatif yang menggelayuti pikiran siswa. Selain itu, pada setiap pertemuan, jangan memanggil nama siswa yang sama. Nanti dikira diskriminatif jugaaaaa.
  2. Pahami siswa. Pelajari perkembangan siswa pada setiap pertemuan atau ujian. Gali permasalahan yang dialami siswa sehingga misalnya pada suatu ujian pertama dia mendapat nilai bagus, tapi pada ujian selanjutnya nilainya menurun. Jangan hanya bertanya dan menggali, tapi juga berikan solusi. Bahkan, jika ternyata persoalan yang menghambat perkembangan siswa tersebut berasal dari diri guru itu sendiri, guru harus menyadari dan memperbaiki dirinya sendiri. Hal yang paling buruk adalah tetap egois dan acuh terhadap suara siswa yang jelas mengeluhkan sikap dan metode pengajaran guru. Masalahnya, ini yang sering terjadi. Guru seharusnya cerdas untuk mengatasi persoalan yang berasal dari dirinya sendiri.
  3. Hargai siswa. Menghargai adalah cara terbaik untuk memotivasi siswa agar mau belajar untuk mengejar ketertinggalan, mempertahankan prestasi, dan berani bercita-cita. Siswa kadang tidak menyadari potensinya dan kekurangannya sehingga ia tidak tahu kenapa dia harus belajar apa yang harus ia pelajari. Nah, di sinilah peran guru. Mengarahkan siswa merupakan salah satu jalan menghargai mereka. Cara penyampaian pun harus diperhatikan. Jangan dengan marah-marah dan menyepelekan mereka. Itu mah namanya bukan menghargai. Alih-alih, mereka malah akan membenci guru dan bahkan meyakini bahwa mereka memang bodoh dan tidak bermasa depan. Wah, udah dosa banget ini mah kalau sampai begitu.
  4. Menyadari bahwa penghormatan dari siswa bukan berasal dari kejaiman guru dan kedisiplinan yang berlebihan. Saya sering menemukan dalih dari guru bahwa mereka melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan siswa karena mereka nggak mau siswanya ngelunjak, nggak menghormati mereka, dan mengecilkan peran mereka. Nggak logis, ah kalau kata saya. Selama ini justru saya dan siswa-siswa yang curhat dengan saya nggak bakal sayang apalagi menghormati guru-guru yang jaim dan sok disiplin. Guru-guru yang demikian malah merupakan musuh abadi kami. Kutukan kami bisa lebih tebal daripada kamus. Kami malah mencintai guru yang bisa menyatu dengan kami. Dengan mereka mengenal kami, memahami kami, dan menghargai kami, penghormatan yang secara manusiawi wajar ia harapkan malah datang dengan sendirinya. Dengan ketiga poin di atas yang dimiliki seorang guru, guru tersebut akan mendapatkan penghormatan dari siswa sekaligus berhasil mengemban tugas dari pemerintah.

Saya membayangkan jika Indonesia memiliki guru-guru yang memenuhi kriteria tersebut. Bukan hanya guru di sekolah, tentunya, tapi juga di tempat les. Selama ini saya sering menemukan guru yang dijadikan blacklist oleh siswa, baik di sekolah maupun di tempat les. Semakin banyak guru yang masuk daftar hitam, semakin terpuruk jugalah siswa. Bagaimana pedidikan dan negara kita bisa maju jika guru-guru masih egois dengan dirinya sendiri sehingga dimusuhi siswa?

Kita memang bisa membicarakan masalah sistem pendidikan dan lain-lain saat membahas ketidaksiapan siswa dalam menghadapi ujian. Tapi permasalahan tersebut terlalu makro dan luas. Pembenahannya pun akan memakan waktu lama sedangkan setiap enam bulan sekali siswa harus mengahadapi ujian. Mengapa kita tidak memulai evaluasi tersebut dari ujung tombak? Dalam pendidikan, bukankah guru dan siswa juga memiliki peranan yang besar?

Pertama, dari sisi siswa. Selama ini mereka adalah objek utama dari pelaksanaan ujian. Di tangan mereka jugalah estafet kepemimpinan bangsa berada. Namun, kita jarang menyelesaikan permasalahan sistem pendidikan dari sudut pandang mereka. Kita jarang mengupas apa saja hambatan yang mereka hadapi sehingga mereka selalu mengeluhkan ujian. Kacamata siswa inilah yang sebenarnya dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi pendidikan. Pendapat mereka akan sangat jujur sehingga data-data yang diperlukan untuk menyusun kebijakan pun dapat bersifat valid. Lalu dari sisi guru. Selama ini kita selalu terjebak pada isu kesejahteraan guru. Seolah-olah kesejaheraan adalah imunitas yang menjustifikasi kekurangmampuan guru dalam menyampaikan materi pada siswa. Ya, kesejateraan memang penting, tapi apakah semua guru yang menuntut kesejahteraan ini telah berhasil mengemban tugas dari pemerintah yang menginginkan anak-anak bangsanya mendapat pendidikan terbaik?
Di sini saya sangat menyesalkan sikap guru yang menjadikan isu kesejahteraan sebagai tameng untuk menghalangi kritik siswa akan kualitas mengajarnya lalu mengalihkan kesalahan pada pemerintah dan sistem pendidikan.


Ark. Jan’10.

Agresivitaskah Kunci Seleksi Alam?

Akhir-akhir ini lagi sering memerhatikan keadaan sekitar dan akhirnya menyimpulkan bahwa saya ternyata hidup di alam yang dipenuhi dengan agresivitas. Seleksi alam? Yah, bisa jadi. Saya juga sempat berpikir bahwa kunci utama untuk memenangkan seleksi alam adalah agresivitas. Siapa yang paling suka menyerang, dialah pemenangnya. Eeehhh tunggu, mari kita selesaikan posting kali ini dulu!

Kalau saya ingat-ingat, saya sudah berhadapan dengan agresivitas sejaaaaaaaaaaaaaaaak saya TK. Variasinya macam-macam tapi dalam menghadapi agresivitas yang bermacam-macam tersebut, hal yang saya lakukan hanya,

  1. Bingung : “Lah, kok? Itu bukannya harusnya aku ya….”
  2. Ragu-ragu : “Apa emang harusnya dia ya?”
  3. Agak yakin : “Kayaknya emang harusnya dia, deh!”
  4. Sadar kalau itu salah : “Ya enggaklah!”
  5. Ikhlas : “Yaudahlah, kalau emang dia mau ya silakan aja.”
  6. Menyingkir
  7. Lupa

Sementara orang-orang makin mengagresi saya, saya hanya bisa mengekspresikan hal-hal tersebut dalam diam sambil memerhatikan tingkah mereka. Saya bahkan nggak tahu apa saya harus sakit hati karena mereka sudah menyingkirkan saya atau malah harus bersyukur karena barangkali keagresifan mereka adalah cara Allah untuk menarik saya dari hal-hal yang tidak Dia ridhoi. Hmmm. Saya nggak pernah tahu. Yang jelas, setiap kali saya mengalami hal itu, ya saya menyingkir.

Kayak misalnya, dalam suatu kesempatan, saya berada di dalam suatu komunitas yang tidak memiliki hiearki jabatan tertentu meski ia memiliki tujuan untuk mewujudkan suatu hal. Dalam hal ini, saya tidak menampik bahwa untuk mencapai tujuan, orang-orang di dalam komunitas ini harus memiliki tugas-tugas yang berbeda yang karena itulah kelompok ini membutuhkan sosok yang bisa membagi tugas. Nah, tapi karena komunitas ini sedari awal tidak memiliki hierarki, siapa yang akan membagi tugas tersebut? Permasalahan muncul di sini. Sekecil apapun komunitas tersebut, saya yakin kita nggak akan mungkin bisa berjalan tanpa pemimpin, tapi saya juga nggak merasa nyaman ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengangkat dirinya menjadi pemimpin dan mengatur pembagian tugas. Saya sering menemukan kejadian ini dalam perjalanan saya dari TK sampai sekarang. Hal yang sebenarnya saya inginkan adalah perundingan alias musyawarah. Menurut saya, akan lebih baik jika proses pembagian tugas tersebut dilakukan secara demokratis. Anggota dalam komunitas tersebut berkumpul, membicarakan tujuan, peluang, dan hambatan lalu dengan mufakat mereka memilih tugas yang mereka inginkan. Penanggung jawab tentu diperlukan, namun pengangkatan penanggung jawab itu sendiri pun lebih baik dilakukan dalam musyawarah tersebut.

Masalahnya, kok kayaknya susah banget gitu mewujudkan sila keempat Pancasila tersebut? Yang saya lihat, kebanyakan dalam komunitas tersebut, ada satu atau beberapa orang yang merasa dirinya pemimpin dan dengan penuh keyakinan diri memerintah orang-orang yang ia rasa lebih nggak berpengetahuan daripada dia. Bagian ini juga yang sebenarnya nggak enak. Rata-rata, orang yang merasa dirinya lebih melek daripada orang-orang lain itu kalau kita perhatikan, sebenernya lebih buta daripada bawahannya. Ia hanya memiliki agresivitas yang tinggi sedangkan pengetahuannya nggak melebihi pengetahuan orang-orang yang ia jadikan bawahan. Kalau sudah begini, kan rusak. Ketika suatu permasalahan datang, keputusan yang ia ambil pun tidak bijak. Hasilnya? Ya, sudah bagus kalau komunitas tersebut nggak bubar.

Masalah kedua, serupa tapi tak sama. Kejadiannya begini, misalnya di dalam suatu komunitas yang berhierarki, saya sudah memiliki keahlian atau tugas tertentu. Karena saya mengemban tugas itu, maka saya berusaha bertanggung jawab penuh atas tugas itu dengan cara yang saya anggap paling sesuai. Nah, tiba-tiba, datang satu atau beberapa orang yang sok asyik gitu. Awalnya, mereka mengomentari pekerjaan saya. Mendengarnya, saya hanya mesem-mesem. Berlanjut, mereka lalu menceritakan kehebatan mereka. Saya? Mendengar sambil kagum. Selanjutnya, mereka mengambil alih pekerjaan saya sedikit demi sedikit. Saya? Lihat ketujuh langkah di atas dan ini lanjutannya. Setelah saya menyingkir, kan mereka tuh yang berusaha menyelesaikan. Nah, masalahnya, mereka nggak sebertanggung jawab itu dalam menyelesaikan tugas yang sudah mereka okupasi dari saya. Pada akhirnya, pekerjaan itu mereka tinggalkan.

Akhirnya, mari kita lanjutkan ketujuh langkah di atas,

  1. Dipanggil/ Sadar akan kekacauan
  2. Diminta/Harus kembali mengerjakan
  3. Murka : “ #$@@$%&(*(()_)_*(&*^&%&^%^$!!!!!!!!”
  4. Terpaksa mengerjakan
  5. Kerjaan beres, beberapa pujian datang
  6. DON’T EVER EVER EVER EVER EVER ASK ME AGAIN FOR DOING THIS!

Nah, dua pola tersebut saya temukan di berbagai aspek hidup. Dari mulai tugas kuliah, kepanitiaan, organisasi, pertemanan, pekerjaan, bahkan cinta! Hal yang paling saya benci adalah ketika para aggressor itu nggak bertanggung jawab dalam mengurus daerah okupasiannya. Ketika saya sudah melakukan ketujuh hal yang tadi saya sebutkan, saya sudah benar-benar ikhlas meyakini bahwa saya memang ditakdirkan untuk nggak berkecimpung lagi di sana, tapi ketika saya dihadapkan oleh kegagalan para aggressor tersebut, perasaan yang sudah saya netralkan itu tiba-tiba asam lagi. Buat apa mengagresi kalau pada akhirnya nggak diurus? Jadinya kayak main-main aja gituh. Kalaupun memang cara saya dianggap kurang sesuai dibanding cara mereka, saya rasa kecacatan saya lebih akan membawa hasil ketimbang kesemenaan mereka mengambil alih lalu kemudian ditinggalkan begitu saja. Wih, emosi nih. Hahaha.

Yang paling bikin sesak itu kalau udah menyangkit masalah cinta. Kayak yang udah-udah, saya lagi dekat atau bahkan pacaran terus tiba-tiba ada orang ketiga yang asyik banget ngambil orang yang udah saya kasih separuh jiwa saya (haha). Nah, perpisahan kan sakit banget tuh, tapi karena si pria tersebut emang udah nggak mau sama saya lagi, yaudah mau gimana, akhirnya kan ikhlas. Nah, tapi kalian tahu akhirnya apa? Mereka nggak pacaran atau bahkan nikah kayak yang saya bayangkan, tapi si orang ketiga yang sudah asyik banget ngerebut si mas-mas itu ternyata niatnya cuman main-main. Dicampakkanlah itu si mas-mas setelah dikasih harapan dan iming-iming. Udah giliran kayak begini, datang lagi si mas-mas tersebut ke saya, minta dikasih jiwa lagi.

Hmmm, emang sih saya dulu cuman ngasih separuh jiwa, jadi masih ada sisa separuh lagi, tapi masalahnya, kalau sisa separuh itu saya kasih lagi, saya hidup pakai apa? So, susah kayaknya buat saya untuk melaksanakan poin nomor 8, 9, 11, dan 12. Loncat langsung ke nomor 10 dan 13! Murka! Saya nggak bisa membuka hati lagi untuk orang yang sama.

Ngomong-ngomong masalah agresivitas yang tidak didukung kematangan kognisi, sebenernya saya bingung. Kalau mereka nggak punya pengetahuan yang cukup, terus kenapa mau mengagresi? Saya malah mikirnya kayak begini,

  1. Mereka memang hobi aja mengagresi, jadi nggak punya alasan khusus untuk memahami hal yang mereka agresi
  2. Mereka pengen eksis tapi nggak bisa memulai dari awal, jadi numpang tenar ke tempat yang udah mau berhasil
  3. Mereka kesepian dan nggak ada pekerjaan, jadi agresi itu mereka anggap kayak pekerjaan pengisi waktu luang
  4. Memang sengaja menyingkirkan orang yang nggak mereka suka
  5. Kalau untuk masalah cinta, mungkin mereka memang wanita atau pria yang putus asa sama kejombloannya karena mereka nggak kunjung mendapat pasangan.
  6. Masih masalah cinta, mungkin mereka nggak suka lihat pasangan lain bahagia
  7. Masalah cinta lagi, mungkin mereka lagi memenuhi syarat dukunnya yang bilang harus menaklukan seribu jejaka atau perawan dalam waktu 100 hari sebelum berendam di air terjun Sambernyawa di kaki Gunung Nunjauhdimato

Nah, mengingat niat yang tiada baik tersebut, saya rasa itulah alasan Allah untuk membuat agresivitas mereka tidak mampu mengantarkan mereka hingga ke akhir waktu. No knowledge, no character, so they can’t do more! Ingat motto SMA saya, Knowledge is power but character is more! Apa hubungannya ya? Haha.

Bagi saya, agresivitas bukanlah kunci untuk menaklukan dunia. Saya lebih suka konsistensi ketimbang agresi. Saat kita melakukan sesuatu yang kita sukai, saat kita berhasil menaklukan segala kesulitan yang terjadi, saat kita berhasil menjadikan batu sandungan sebagi batu loncatan, saat kita berhasil menancapkan bendera di puncak sambil bilang alhamdulillah, saat kita diminta lagi mengerjakan hal serupa tapi dengan tantangan yang lebih besar, saat kita menjadi tumpuan kepercayaan orang-orang di sekeliling kita, itulah kemenangan kita dalam seleksi alam yakni KONSISTENSI dalam menggeluti bidang yang kita yakini bisa kita kerjakan, bukan AGRESI kayak waktu kita bisa menyingkirkan orang dalam suatu kesempatan. Allah nggak akan suka, orang-orang nggak akan suka, dan bahkan hati nurani sendiri pun nggak akan suka. Akhirnya, agresivitas hanyalah menjadi barang usang dalam seleksi alam.

Selama ini, saya selalu kalah dalam agresi. Alih-alih memperjuangkan, saya lebih suka menyingkir. Tapi bagi saya, itu bukan kekalahan. Saya hanya menunggu waktu untuk menunjukkan konsistensi saya saat rekan yang mengagresi tersebut mengibarkan bendera putih. Tapi jika ia tidak mengibarkan bendera putih, ya baguslah. Saya senang. Jika demikian, barangkali memang tanpa saya sadari, sayalah yang mengagresi dia. Lebih baik saya berpindah ke bidang lain dan melaksanakan konsistensi lain. Eh, tapi ini nggak berlaku untuk masalah cinta. Kalau untuk masalah cinta, nooooo….nggak ada perjuangan-perjuangan. Kalau si pria yang sudah saya kasih separuh jiwa itu lebih memilih orang ketiga, bagi saya itu adalah sabda alam bahwa dia memang bukan jodoh saya! Titik. Jangan pernah berpikir menggoudha sayah lagih! Emosi nih! Hahaha.



Ark. Jan’10.

Ancaman dari Jalan Raya

Pfuuuuuihhhhh.


Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara kendaraan yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.


Wah, sungguh merupakan cobaan yang berat, Ya Allah.


Ada beberapa hal yang ingin saya soroti dari kehidupan aspal di Bandung. Pertama, naiknya volume kendaraan, dan kedua, ketidaktertiban orang dalam berlalu lintas.


Dalam masalah yang pertama, naiknya volume kendaraan ini meliputi mobil, motor, dan truk serta terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang –jadi tidak hanya terjadi ketika musim liburan. Sejauh pengamatan saya, Idul Fitri dan pelebaran jalan di Jatinangor merupakan katalis peningkatan volume kendaraan ini, hanya saja mereka berperan sebagai katalis peristiwa yang berbeda. Idul Fitri meningkatkan kepemilikan kendaraan pribadi, sedangkan pelebaran jalan Jatinangor yang tiada lain merupakan jalur antarprovinsi penting di Pulau Jawa meningkatkan aktivitas truk yang sedang berjibaku di dunia perekonomian mikro. Logika nya begini. Hmmm, tentang Lebaran duluan. Ketika lebaran, dengan syarat pengajuan kredit yang ramah serta uang muka yang ringan, orang-orang berbondong-bondong mengajukan kredit kendaraan. Sepertinya masyarakat mulai meyakini bahwa membeli sendiri jauh lebih baik daripada menumpang. Nah, semangat masyarakat atas kepemilikan pribadi ini sangat jelas menambah ramai jalan raya yang setiap Idul Fitri tidak mengalami perubahan lebar. Akibatnya? Nggak ada jalur Bandung ke Cileunyi yang nggak macet. Buah Batu macet, Gatot Subroto padat, Cicadas ramai, Kiara Condong tersumbat, mau lewat Cicaheum macet, mau muter ke Soekarno Hatta juga tersendat. Mau masuk tol Pasteur ah sama aja, Pasteurnya merayap. Ckckckckkckck. Mending tidur deh di rumah.


Lalu logika mengenai pelebaran jalan di Jatinangor. Seingat saya, saya baru menyaksikan pawai truk-truk besar pascaselesainya jalan di Jatinangor diperlebar. Sebelumnya, saya nggak pernah sesering sekarang berjalan berdampingan dengan truk yang mengangkut muatan besar. Perbaikan jalan di Jatinangor ternyata sangat mampu menghubungkan Jawa Barat dengan provinsi lain dalam hal ekonomi. Bukan hal aneh, mengingat jalur Jatinangor merupakan jalur penghubung penting antarprovinsi. Pelebaran jalur Jatinangor pun tak main-main, fuihhhhh lebar bangeeettttt sampai teman-teman bisa mengajak sanak saudara dan handai taulan piknik menggelar tikar di sana sambil bercengkrama dengan bus DAMRI, angkot Sumedang-Cilenyi, Gedebage-Majalaya via Sayang, dan ojeg yang sedang ngetem serta menikmati angin semilir yang bertiup dari knalpot kendaraan yang asyik berlalu lalang. Lebar vissssuuuuuuuundth lah! Pelebaran jalan tersebut tentu saja memancing peningkatan aktivitas ekonomi. Indikatornya? Ya, banyaknya jumlah truk yang bisa Teman-teman temui sepanjang jalur Jatinangor. Bheuh. Truknya gede bangetlah. Muatannya superbanyak!


Nah, masuk ke permasalahan kedua yaitu tentang ketidakdisiplinan pengguna jalan raya. Seperti contoh menegangkan yang sudah saya sebutkan tadi, wiiiih hal ini sangat berkaitan dengan mudahnya mengakses izin mengemudi di jalan raya. Dari sekian banyak kabupaten dan kotamadya di Indonesia, hanya berapa sih yang serius menjalankan proses ujian SIM dengan sungguh-sungguh? Bisa dihitung jari! Jari ayam, malah! Kebanyakan mereka menghalalkan penembakan SIM. Berbeda dengan Kabupaten Bandung, Sebagai warga Kabupaten Bandung yang makmur, wih saya mah bangga pisanlah. Ujian SIM-nya jujur! Insya Allah ngga ada tembak-tembakan. Nih, saya lulus ujian setelah satu kali nggak lulus. Adik saya juga sama. Awalnya, saya juga pengen melewatkan ujian SIM tersebut. Setres. Ujiannya kok kayaknya susah gitu. Eh, tapi setelah saya berhasil lulus dan melanglangbuana di jalanan, saya merasakan manfaat dari ujian tersebut. Saya tahu sopan-santun berjalan raya. Saya nggak mau membahayakan keselamatan saya dan keselamatan orang lain. Nah, perasaan seperti itu yang saya rasakan sangat kurang sekali diresapi oleh pengguna jalan raya yang saya temui. Jangankan mempedulikan keselamatan orang lain, peduli dengan keselamatan sendiri pun tidak! Masalah lampu yang tadi saya tandai, misalnya. Apa orang tersebut tidak takut mati tertabrak?


Masalah naiknya volume kendaraan dan ketidakdisiplinan pengguna jalan raya tersebut bisa menjadi permasalahan yang serius, lho Teman-teman. Dalam peningkatan volume kendaraan, kita jangan hanya berpikir bahwa hal tersebut akan mengantarkan kita pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kenaikan penghasilan perkapita. Ingat, krisis energi dan global warming! Belum lagi umur jalan raya yang makin berkurang.


Pertama tentang krisis energi, saya yakin Teman-teman bisa langsung menangkapnya. Heyyyy persediaan minyak bumi makin menipis sementara kendaraan makin menjamur! Lama-lama, minyak kita akan habis untuk memodali perjalanan, bukan memodali industrialisasi dan pembangunan. Bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan dari negara maju dan melepaskan status keberkembangan kita jika industrialisasi kita makin kalah dengan bensin?


Langkanya minyak bumi juga akan membuat industri kita makin tidak dapat bersaing dengan produk impor bawaan pasar bebas karena harga produksi kita terlalu mahal. Tentu kita semua sudah mengetahui bahwa harga bahan bakar minyak untuk industri lebih tinggi daripada harga bahan bakar untuk konsumsi pribadi, padahal saat ini kita belum memasuki babak KRISIS energi. Nah, bayangkan saat kita telah memasuki fase tersebut: Harga minyak bagi industri semakin mahal, harga jual produk mereka pun menjadi tinggi, mereka pun menjadi tidak efisien, lalu akhirnya mereka kalah oleh MNC dan produk impor.


Hasilnya? Pengangguran meningkat.


Lalu tentang global warming. Masalah ini terlalu klasik. Semua sudah tahu. Aktivitas pelepasan CO2 yang berasal dari kendaraan jelas akan mengantarkan kita pada kekacauan iklim. Siapa yang rugi? Banyak! Banjir bisa menghancurkan rumah, menghanyutkan tambak, menenggelamkan sawah, dan lain sebagainya. Itu baru banjir. Korbannya tidak hanya manusia sekawasan lokal, tapi bisa nasional. Ketahanan pangan terancam! Makanan menjadi barang langka. Akhirnya? Makin banyak kasus kekurangan gizi, manusia Indonesia tidak beranjak cerdas, pembangunan terhambat.


Lalu pengurangan umur jalan. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas dan ditambah pula berat mereka yang luar biasa subhanallahnya, maka sudah pasti umur jalan tidak sesuai dengan umur yang diproyeksikan para insinyur. Biaya perawatan dan perbaikan jalan pun makin besar. Dana pembangunan kita berkurang untuk memperbaiki jalan raya yang belum waktunya rusak. Ckckckckkck.


Ketidaktertiban lalu lintas melengkapi daftar penderitaan bangsa. Nembak SIM itu korupsi lho! Percuma, dong tipi-tipi zaman sekarang membuat konstruk yang buruk tentang korupsi jika ternyata kita sang pemirsa yang suka sok ngerti dan ikutan emosi atas korupsi nggak jauh beda perilakunya sama contoh buruk yang dipaparkan tipi. Masalahnya bukan lagi pada doktrin bahwa korupsi itu dosa, tapi korupsi ujian SIM itu pada akhirnya akan membahayakan keselamatan kita di tengah jalan raya yang sangat ramai dan hampir rusak. Para pengguna jalan raya yang diwajibkan memiliki SIM merupakan angkatan produktif Indonesia, jika mereka sampai mengalami kecelakaan, roda kehidupan Indonesia akan terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan. Kita harus sadar, Teman-teman, bahwa ujian SIM adalah salah satu cara dari negara untuk melindungi kita, sang angkatan kerja produktif. Dengan adanya SIM, negara menilai seseorang telah mampu untuk mengatasi cobaan di jalan raya yang begitu ganas. Kalau nggak lulus, berarti kita memang belum mampu menghadapi cobaan tersebut. Kalau begitu, jangan memaksa. Kita harus belajar lagi sampai akhirnya lulus ujian SIM.


Yah, permasalahan jalanan ini sering kita anggap enteng, padahal dari jalan raya, malapetaka bisa dimulai. Selain itu, disadari atau tidak, kita juga, lho yang memberi sumbangsih pada kiamat beberapa tahun mendatang. Wih. Berattttt. Kalau kita mau kehidupan di dunia ini tetap menyenangkan, ayo kita ubah perilaku kita di jalan raya! Kalau nggak butuh-butuh amat, jangan beli kendaraan baru, nggak peduli Teman-teman sekaya apa dan kredit kendaraan segampang apa. Lalu, jangan konsumtif karena kekonsumtifan Teman-teman bisa mengundang lebih banyak lagi truk yang melintasi Jatinangor. Daaaan terakhir, ayo kita ujian SIM! No nembak , please…..Semua untuk keselamatan kita kok!


Ark, Jan’10.

Ancaman dari Jalan Raya

Pfuuuuuihhhhh.


Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara kendaraan yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.


Wah, sungguh merupakan cobaan yang berat, Ya Allah.


Ada beberapa hal yang ingin saya soroti dari kehidupan aspal di Bandung. Pertama, naiknya volume kendaraan, dan kedua, ketidaktertiban orang dalam berlalu lintas.


Dalam masalah yang pertama, naiknya volume kendaraan ini meliputi mobil, motor, dan truk serta terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang –jadi tidak hanya terjadi ketika musim liburan. Sejauh pengamatan saya, Idul Fitri dan pelebaran jalan di Jatinangor merupakan katalis peningkatan volume kendaraan ini, hanya saja mereka berperan sebagai katalis peristiwa yang berbeda. Idul Fitri meningkatkan kepemilikan kendaraan pribadi, sedangkan pelebaran jalan Jatinangor yang tiada lain merupakan jalur antarprovinsi penting di Pulau Jawa meningkatkan aktivitas truk yang sedang berjibaku di dunia perekonomian mikro. Logika nya begini. Hmmm, tentang Lebaran duluan. Ketika lebaran, dengan syarat pengajuan kredit yang ramah serta uang muka yang ringan, orang-orang berbondong-bondong mengajukan kredit kendaraan. Sepertinya masyarakat mulai meyakini bahwa membeli sendiri jauh lebih baik daripada menumpang. Nah, semangat masyarakat atas kepemilikan pribadi ini sangat jelas menambah ramai jalan raya yang setiap Idul Fitri tidak mengalami perubahan lebar. Akibatnya? Nggak ada jalur Bandung ke Cileunyi yang nggak macet. Buah Batu macet, Gatot Subroto padat, Cicadas ramai, Kiara Condong tersumbat, mau lewat Cicaheum macet, mau muter ke Soekarno Hatta juga tersendat. Mau masuk tol Pasteur ah sama aja, Pasteurnya merayap. Ckckckckkckck. Mending tidur deh di rumah.


Lalu logika mengenai pelebaran jalan di Jatinangor. Seingat saya, saya baru menyaksikan pawai truk-truk besar pascaselesainya jalan di Jatinangor diperlebar. Sebelumnya, saya nggak pernah sesering sekarang berjalan berdampingan dengan truk yang mengangkut muatan besar. Perbaikan jalan di Jatinangor ternyata sangat mampu menghubungkan Jawa Barat dengan provinsi lain dalam hal ekonomi. Bukan hal aneh, mengingat jalur Jatinangor merupakan jalur penghubung penting antarprovinsi. Pelebaran jalur Jatinangor pun tak main-main, fuihhhhh lebar bangeeettttt sampai teman-teman bisa mengajak sanak saudara dan handai taulan piknik menggelar tikar di sana sambil bercengkrama dengan bus DAMRI, angkot Sumedang-Cilenyi, Gedebage-Majalaya via Sayang, dan ojeg yang sedang ngetem serta menikmati angin semilir yang bertiup dari knalpot kendaraan yang asyik berlalu lalang. Lebar vissssuuuuuuuundth lah! Pelebaran jalan tersebut tentu saja memancing peningkatan aktivitas ekonomi. Indikatornya? Ya, banyaknya jumlah truk yang bisa Teman-teman temui sepanjang jalur Jatinangor. Bheuh. Truknya gede bangetlah. Muatannya superbanyak!


Nah, masuk ke permasalahan kedua yaitu tentang ketidakdisiplinan pengguna jalan raya. Seperti contoh menegangkan yang sudah saya sebutkan tadi, wiiiih hal ini sangat berkaitan dengan mudahnya mengakses izin mengemudi di jalan raya. Dari sekian banyak kabupaten dan kotamadya di Indonesia, hanya berapa sih yang serius menjalankan proses ujian SIM dengan sungguh-sungguh? Bisa dihitung jari! Jari ayam, malah! Kebanyakan mereka menghalalkan penembakan SIM. Berbeda dengan Kabupaten Bandung, Sebagai warga Kabupaten Bandung yang makmur, wih saya mah bangga pisanlah. Ujian SIM-nya jujur! Insya Allah ngga ada tembak-tembakan. Nih, saya lulus ujian setelah satu kali nggak lulus. Adik saya juga sama. Awalnya, saya juga pengen melewatkan ujian SIM tersebut. Setres. Ujiannya kok kayaknya susah gitu. Eh, tapi setelah saya berhasil lulus dan melanglangbuana di jalanan, saya merasakan manfaat dari ujian tersebut. Saya tahu sopan-santun berjalan raya. Saya nggak mau membahayakan keselamatan saya dan keselamatan orang lain. Nah, perasaan seperti itu yang saya rasakan sangat kurang sekali diresapi oleh pengguna jalan raya yang saya temui. Jangankan mempedulikan keselamatan orang lain, peduli dengan keselamatan sendiri pun tidak! Masalah lampu yang tadi saya tandai, misalnya. Apa orang tersebut tidak takut mati tertabrak?


Masalah naiknya volume kendaraan dan ketidakdisiplinan pengguna jalan raya tersebut bisa menjadi permasalahan yang serius, lho Teman-teman. Dalam peningkatan volume kendaraan, kita jangan hanya berpikir bahwa hal tersebut akan mengantarkan kita pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kenaikan penghasilan perkapita. Ingat, krisis energi dan global warming! Belum lagi umur jalan raya yang makin berkurang.


Pertama tentang krisis energi, saya yakin Teman-teman bisa langsung menangkapnya. Heyyyy persediaan minyak bumi makin menipis sementara kendaraan makin menjamur! Lama-lama, minyak kita akan habis untuk memodali perjalanan, bukan memodali industrialisasi dan pembangunan. Bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan dari negara maju dan melepaskan status keberkembangan kita jika industrialisasi kita makin kalah dengan bensin?


Langkanya minyak bumi juga akan membuat industri kita makin tidak dapat bersaing dengan produk impor bawaan pasar bebas karena harga produksi kita terlalu mahal. Tentu kita semua sudah mengetahui bahwa harga bahan bakar minyak untuk industri lebih tinggi daripada harga bahan bakar untuk konsumsi pribadi, padahal saat ini kita belum memasuki babak KRISIS energi. Nah, bayangkan saat kita telah memasuki fase tersebut: Harga minyak bagi industri semakin mahal, harga jual produk mereka pun menjadi tinggi, mereka pun menjadi tidak efisien, lalu akhirnya mereka kalah oleh MNC dan produk impor.


Hasilnya? Pengangguran meningkat.


Lalu tentang global warming. Masalah ini terlalu klasik. Semua sudah tahu. Aktivitas pelepasan CO2 yang berasal dari kendaraan jelas akan mengantarkan kita pada kekacauan iklim. Siapa yang rugi? Banyak! Banjir bisa menghancurkan rumah, menghanyutkan tambak, menenggelamkan sawah, dan lain sebagainya. Itu baru banjir. Korbannya tidak hanya manusia sekawasan lokal, tapi bisa nasional. Ketahanan pangan terancam! Makanan menjadi barang langka. Akhirnya? Makin banyak kasus kekurangan gizi, manusia Indonesia tidak beranjak cerdas, pembangunan terhambat.


Lalu pengurangan umur jalan. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas dan ditambah pula berat mereka yang luar biasa subhanallahnya, maka sudah pasti umur jalan tidak sesuai dengan umur yang diproyeksikan para insinyur. Biaya perawatan dan perbaikan jalan pun makin besar. Dana pembangunan kita berkurang untuk memperbaiki jalan raya yang belum waktunya rusak. Ckckckckkck.


Ketidaktertiban lalu lintas melengkapi daftar penderitaan bangsa. Nembak SIM itu korupsi lho! Percuma, dong tipi-tipi zaman sekarang membuat konstruk yang buruk tentang korupsi jika ternyata kita sang pemirsa yang suka sok ngerti dan ikutan emosi atas korupsi nggak jauh beda perilakunya sama contoh buruk yang dipaparkan tipi. Masalahnya bukan lagi pada doktrin bahwa korupsi itu dosa, tapi korupsi ujian SIM itu pada akhirnya akan membahayakan keselamatan kita di tengah jalan raya yang sangat ramai dan hampir rusak. Para pengguna jalan raya yang diwajibkan memiliki SIM merupakan angkatan produktif Indonesia, jika mereka sampai mengalami kecelakaan, roda kehidupan Indonesia akan terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan. Kita harus sadar, Teman-teman, bahwa ujian SIM adalah salah satu cara dari negara untuk melindungi kita, sang angkatan kerja produktif. Dengan adanya SIM, negara menilai seseorang telah mampu untuk mengatasi cobaan di jalan raya yang begitu ganas. Kalau nggak lulus, berarti kita memang belum mampu menghadapi cobaan tersebut. Kalau begitu, jangan memaksa. Kita harus belajar lagi sampai akhirnya lulus ujian SIM.


Yah, permasalahan jalanan ini sering kita anggap enteng, padahal dari jalan raya, malapetaka bisa dimulai. Selain itu, disadari atau tidak, kita juga, lho yang memberi sumbangsih pada kiamat beberapa tahun mendatang. Wih. Berattttt. Kalau kita mau kehidupan di dunia ini tetap menyenangkan, ayo kita ubah perilaku kita di jalan raya! Kalau nggak butuh-butuh amat, jangan beli kendaraan baru, nggak peduli Teman-teman sekaya apa dan kredit kendaraan segampang apa. Lalu, jangan konsumtif karena kekonsumtifan Teman-teman bisa mengundang lebih banyak lagi truk yang melintasi Jatinangor. Daaaan terakhir, ayo kita ujian SIM! No nembak , please…..Semua untuk keselamatan kita kok!


Ark, Jan’10.

Jreng Jreng Jreng…..Januari!

Selamat Tahun Baru, semuaaaaaa pembaca anaksawahmainkekota!!!

Sudah lama sekali ya nampaknya saya nggak ngasih kabar ke dunia maya… Hmmmm… Alasannya masih sama, waktu yang saya punya ternyata nggak cukup untuk mengerjakan semua hal yang sudah saya mulai. Yah, hasilnya ya begini, blog yang tahun 2010 ini berumur 4 tahun pun menjadi korban keterbengkalaian.

Eh, tapi tenaaaangggg, setelah bersibuk-sibuk ria sepanjang tahun 2009, saya udah bikin resolusi untuk 2010 ini. Apakah resolusinya? Jeng jeng…..menyempatkan diri melakukan hal-hal yang dulu sudah membesarkan saya tapi sempat saya tinggalkan karena ada urusan baru. Huffff. Sebagai bukti keseriusan, saya sudah memutuskan untuk meninggalkan beberapa hal yang cukup menyita waktu, hati, pikiran, dan tenaga lalu menggantinya dengan hal yang…yahhhh…hmmmm….secara materi dan secara jangka pendek, mungkin nilainya kalah dibanding nilai hal-hal yang saya tinggalkan, tapi secara batin dan dalam jangka panjang, hal-hal pengganti ini begitu membahagiakan, melegakan, dan bernilai sangat tinggi!

Menulis, itu yang utama. Nulis di blog kek, di kertas bekas bungkus cengek kek, di tembok kek, kalau perlu juga di atas batu lah. Haha. Wow. Sudah lama sekali saya nggak nulis hal-hal yang nggak berbau tugas.

Selain menulis, ada juga membaca! Selama setahun lalu, saya udah nimbun fotokopian buku lumayan banyak tapi belum sempat ditamatin semua. Nah, berhubung tahun 2010 ini menurut Mama Loreng merupakan Tahun Membaca, maka saya harus ikut tren itu. Membaca! Bukankah buku adalah gudang ilmu?

Habis itu, saya juga pengen punya waktu untuk libur! Bheuh, sepanjang tahun 2009, hal yang paling langka dan mahal adalah LIBUR! Bahkan sering banget saya masih harus berkeliaran di jalan raya pada hari Minggu. Wets, bukan dengan delman tentunya. Bukan pula dengan ayah saya. Ayah saya nggak suka ke kota naik delman istimewa, apalagi kalau saya sampai duduk di muka. Udah nggak terhitung sudah berapa Minggu saya lewatkan bersama motor saya.

Berbicara tentang liburan, saya jadi ngerasa cupu abis. Hmmm. Kayaknya saya punya terminologi liburan yang berbeda dari teman-teman saya. Bagi saya, liburan adalah tidur. Kalau jalan-jalan, bukan liburan namanya. Jalan-jalan malah bikin capek. Liburan ya liburan, jalan-jalan ya jalan-jalan. Dari kecil emang jarang jalan-jalan sih, lagian saya juga males jalan-jalan sama keluarga. Hehe. Selain itu, emang selama berhari-hari kuliah, kerja, dan jadi panitia, badan itu capeeeeeeeee banget, jadi saya lebih butuh tidur daripada jalan-jalan. Jalan-jalan itu cape. Mana jalan-jalan ngabisin duit pula. Hehehe. Mau naik angkot kek, naik motor kek, nebeng mobil temen kek, mau ditraktir kek, pasti keluar uang banyak. Gila aja. Gaji ngajar saya berjam-jam harus habis di tangan makanan dan bensin. Huhu.

Makanya rada bingung juga waktu temen saya dari Surabaya bilang mau ke Bandung. Sebagai tuan rumah yang baik, saya tentu akan menjadi guide-nya, tapi bingung, mau di-guide-in kemana yak….Saya cuma tahu Tangkuban Perahu, Kawah Putih, Dago Pakar. Itu juga cuman tahu nama doang, gatau jalan ke sana naik apa, hehehe. Kalau saya main sama temen-temen SMA juga nongkrongnya ga jauh-jauh dari sekitar SMA 3, BIP, Dago, Braga. Jhahhhh. Cupu yak. Iya emang. Ya tapi begimana, emang nggak suka jalan-jalan, udah capeeee. Tidur is always okeh. Nah, punya lebih banyak waktu untuk tidur adalah resolusi ketiga saya.

Lagipula, daripada saya menghabiskan waktu untuk jalan-jalan, bukankah lebih baik saya mengurusi blog ini saja? Selama berbulan-bulan tersumbat di dunia nyata, sebenarnya ada banyak hal yang pengen saya bagi di dunia maya. Dari mulai pelebaran jalan Jatinangor yang memancing pergerakan ekonomi antarpropinsi, terus tekanan perdebatan dan politik di lingkungan hima yang nggak kalah mengguncangkan seperti kasus @$@$%^%&**^*(&^@(^@^)#^%#*%#*&^((*(!( yang bisa kita santap dari tipi setiap hari, setiap waktu, setiap saat, setiap payung sebelum hujan, yah setiap-setiap kapan pun Anda inginkan, bahkan setiap Anda tidak ingin pun, kasus tersebut selalu mengitari, trus perilaku pengendara kendaraan bermotor yang makin jauh dari etika berdisiplin lalu lintas, trus tentang tema ASEAN yang makin merajalela dimana-mana padahal waktu tahun 2006 ASEAN masih dipandang nggak penting –soalnya mereka nggak tau, atau juga masalah hilangnya Pasar Unpad, wah banyaklah pokoknya! Nanti saya bagi-bagi sedikit-sedikit deh. Maaf nggak bisa banyak-banyak, energi sudah makin langka nih, Saudara-saudara!

Nah, di bawah post tulisan ini Teman-teman bisa melihat sisi lain saya yang serius. Hahaha. Mau bagi-bagi dikit ah yang bagian serius. Biasanya di sini nulis tema serius tapi sok-sokan diasik-asikkin. Biar nggak bosan. Hahha. Tapi jadi bingung, ini blog jadinya campur-campur dong kalau gitu, nggak ada tema sentral yang membawa satu pesan khusus gituh. Haha. Eh, tapi jangan salah, justru ini yang diamanatkan oleh nama anaksawahmainkekota. Anak sawah artinya sejak saya pindah ke negara Cileunyi tercinta yang loh jinawi ini, saya diitari oleh sawah. Waktu saya SD, sawah, kebun, dan sungainya keren nih. Nah, sejak saya SMP, saya sekolah di kota, tepat banget di jantung kota. SMPN 7 di Jalan Ambon dan SMAN 3 di Jalan Belitung, di pusat peradaban. Nah, selama saya sekolah di Bandung, saya menganggap perjalanan saya adalah jurnal yang nggak jauh beda sama main. Saya dapat banyak pelajaran dari hal-hal yang saya lihat selama di kota, baik saat pukul 06.30-13.00 di sekolah maupun saat 1-2 jam perjalanan berangkat dan pulang. Nah, kondisi itu nggak jauh berbeda waktu saya kuliah. Yang beda adalah Jatinangor bukan di kota. Tapi, saya nggak mungkin ganti nama blog jadi anakswahmainkedesa. Satu, malu. Dua, ntar pada kehilangan jejak lagih. Hahaha. Nah, makanya saya nggak bakal merasa bersalah naro segala macam tema dan gaya bahasa di sini. Hey, ini semua adalah hal-hal yang saya temukan selama main! Bahkan saya sendiri pun nggak bisa menduga besok bakal nulis apa untuk blog ini. Hanya Allah yang Maha Tahu. Hehehhehe.

Huffff. Okai. Saya sudah memulai tahun 2010 ini dengan resolusi dan memori tentang apa yang sudah saya temukan selama hidup sebagai anak jalanan, kalau begitu, mari realisasikan resolusi tersebut!!!!

Hapi reading all!

Terima kasih karena masih sayang sama anaksawah!




Ark, Jan’10.