Agresivitaskah Kunci Seleksi Alam?

Akhir-akhir ini lagi sering memerhatikan keadaan sekitar dan akhirnya menyimpulkan bahwa saya ternyata hidup di alam yang dipenuhi dengan agresivitas. Seleksi alam? Yah, bisa jadi. Saya juga sempat berpikir bahwa kunci utama untuk memenangkan seleksi alam adalah agresivitas. Siapa yang paling suka menyerang, dialah pemenangnya. Eeehhh tunggu, mari kita selesaikan posting kali ini dulu!

Kalau saya ingat-ingat, saya sudah berhadapan dengan agresivitas sejaaaaaaaaaaaaaaaak saya TK. Variasinya macam-macam tapi dalam menghadapi agresivitas yang bermacam-macam tersebut, hal yang saya lakukan hanya,

  1. Bingung : “Lah, kok? Itu bukannya harusnya aku ya….”
  2. Ragu-ragu : “Apa emang harusnya dia ya?”
  3. Agak yakin : “Kayaknya emang harusnya dia, deh!”
  4. Sadar kalau itu salah : “Ya enggaklah!”
  5. Ikhlas : “Yaudahlah, kalau emang dia mau ya silakan aja.”
  6. Menyingkir
  7. Lupa

Sementara orang-orang makin mengagresi saya, saya hanya bisa mengekspresikan hal-hal tersebut dalam diam sambil memerhatikan tingkah mereka. Saya bahkan nggak tahu apa saya harus sakit hati karena mereka sudah menyingkirkan saya atau malah harus bersyukur karena barangkali keagresifan mereka adalah cara Allah untuk menarik saya dari hal-hal yang tidak Dia ridhoi. Hmmm. Saya nggak pernah tahu. Yang jelas, setiap kali saya mengalami hal itu, ya saya menyingkir.

Kayak misalnya, dalam suatu kesempatan, saya berada di dalam suatu komunitas yang tidak memiliki hiearki jabatan tertentu meski ia memiliki tujuan untuk mewujudkan suatu hal. Dalam hal ini, saya tidak menampik bahwa untuk mencapai tujuan, orang-orang di dalam komunitas ini harus memiliki tugas-tugas yang berbeda yang karena itulah kelompok ini membutuhkan sosok yang bisa membagi tugas. Nah, tapi karena komunitas ini sedari awal tidak memiliki hierarki, siapa yang akan membagi tugas tersebut? Permasalahan muncul di sini. Sekecil apapun komunitas tersebut, saya yakin kita nggak akan mungkin bisa berjalan tanpa pemimpin, tapi saya juga nggak merasa nyaman ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengangkat dirinya menjadi pemimpin dan mengatur pembagian tugas. Saya sering menemukan kejadian ini dalam perjalanan saya dari TK sampai sekarang. Hal yang sebenarnya saya inginkan adalah perundingan alias musyawarah. Menurut saya, akan lebih baik jika proses pembagian tugas tersebut dilakukan secara demokratis. Anggota dalam komunitas tersebut berkumpul, membicarakan tujuan, peluang, dan hambatan lalu dengan mufakat mereka memilih tugas yang mereka inginkan. Penanggung jawab tentu diperlukan, namun pengangkatan penanggung jawab itu sendiri pun lebih baik dilakukan dalam musyawarah tersebut.

Masalahnya, kok kayaknya susah banget gitu mewujudkan sila keempat Pancasila tersebut? Yang saya lihat, kebanyakan dalam komunitas tersebut, ada satu atau beberapa orang yang merasa dirinya pemimpin dan dengan penuh keyakinan diri memerintah orang-orang yang ia rasa lebih nggak berpengetahuan daripada dia. Bagian ini juga yang sebenarnya nggak enak. Rata-rata, orang yang merasa dirinya lebih melek daripada orang-orang lain itu kalau kita perhatikan, sebenernya lebih buta daripada bawahannya. Ia hanya memiliki agresivitas yang tinggi sedangkan pengetahuannya nggak melebihi pengetahuan orang-orang yang ia jadikan bawahan. Kalau sudah begini, kan rusak. Ketika suatu permasalahan datang, keputusan yang ia ambil pun tidak bijak. Hasilnya? Ya, sudah bagus kalau komunitas tersebut nggak bubar.

Masalah kedua, serupa tapi tak sama. Kejadiannya begini, misalnya di dalam suatu komunitas yang berhierarki, saya sudah memiliki keahlian atau tugas tertentu. Karena saya mengemban tugas itu, maka saya berusaha bertanggung jawab penuh atas tugas itu dengan cara yang saya anggap paling sesuai. Nah, tiba-tiba, datang satu atau beberapa orang yang sok asyik gitu. Awalnya, mereka mengomentari pekerjaan saya. Mendengarnya, saya hanya mesem-mesem. Berlanjut, mereka lalu menceritakan kehebatan mereka. Saya? Mendengar sambil kagum. Selanjutnya, mereka mengambil alih pekerjaan saya sedikit demi sedikit. Saya? Lihat ketujuh langkah di atas dan ini lanjutannya. Setelah saya menyingkir, kan mereka tuh yang berusaha menyelesaikan. Nah, masalahnya, mereka nggak sebertanggung jawab itu dalam menyelesaikan tugas yang sudah mereka okupasi dari saya. Pada akhirnya, pekerjaan itu mereka tinggalkan.

Akhirnya, mari kita lanjutkan ketujuh langkah di atas,

  1. Dipanggil/ Sadar akan kekacauan
  2. Diminta/Harus kembali mengerjakan
  3. Murka : “ #$@@$%&(*(()_)_*(&*^&%&^%^$!!!!!!!!”
  4. Terpaksa mengerjakan
  5. Kerjaan beres, beberapa pujian datang
  6. DON’T EVER EVER EVER EVER EVER ASK ME AGAIN FOR DOING THIS!

Nah, dua pola tersebut saya temukan di berbagai aspek hidup. Dari mulai tugas kuliah, kepanitiaan, organisasi, pertemanan, pekerjaan, bahkan cinta! Hal yang paling saya benci adalah ketika para aggressor itu nggak bertanggung jawab dalam mengurus daerah okupasiannya. Ketika saya sudah melakukan ketujuh hal yang tadi saya sebutkan, saya sudah benar-benar ikhlas meyakini bahwa saya memang ditakdirkan untuk nggak berkecimpung lagi di sana, tapi ketika saya dihadapkan oleh kegagalan para aggressor tersebut, perasaan yang sudah saya netralkan itu tiba-tiba asam lagi. Buat apa mengagresi kalau pada akhirnya nggak diurus? Jadinya kayak main-main aja gituh. Kalaupun memang cara saya dianggap kurang sesuai dibanding cara mereka, saya rasa kecacatan saya lebih akan membawa hasil ketimbang kesemenaan mereka mengambil alih lalu kemudian ditinggalkan begitu saja. Wih, emosi nih. Hahaha.

Yang paling bikin sesak itu kalau udah menyangkit masalah cinta. Kayak yang udah-udah, saya lagi dekat atau bahkan pacaran terus tiba-tiba ada orang ketiga yang asyik banget ngambil orang yang udah saya kasih separuh jiwa saya (haha). Nah, perpisahan kan sakit banget tuh, tapi karena si pria tersebut emang udah nggak mau sama saya lagi, yaudah mau gimana, akhirnya kan ikhlas. Nah, tapi kalian tahu akhirnya apa? Mereka nggak pacaran atau bahkan nikah kayak yang saya bayangkan, tapi si orang ketiga yang sudah asyik banget ngerebut si mas-mas itu ternyata niatnya cuman main-main. Dicampakkanlah itu si mas-mas setelah dikasih harapan dan iming-iming. Udah giliran kayak begini, datang lagi si mas-mas tersebut ke saya, minta dikasih jiwa lagi.

Hmmm, emang sih saya dulu cuman ngasih separuh jiwa, jadi masih ada sisa separuh lagi, tapi masalahnya, kalau sisa separuh itu saya kasih lagi, saya hidup pakai apa? So, susah kayaknya buat saya untuk melaksanakan poin nomor 8, 9, 11, dan 12. Loncat langsung ke nomor 10 dan 13! Murka! Saya nggak bisa membuka hati lagi untuk orang yang sama.

Ngomong-ngomong masalah agresivitas yang tidak didukung kematangan kognisi, sebenernya saya bingung. Kalau mereka nggak punya pengetahuan yang cukup, terus kenapa mau mengagresi? Saya malah mikirnya kayak begini,

  1. Mereka memang hobi aja mengagresi, jadi nggak punya alasan khusus untuk memahami hal yang mereka agresi
  2. Mereka pengen eksis tapi nggak bisa memulai dari awal, jadi numpang tenar ke tempat yang udah mau berhasil
  3. Mereka kesepian dan nggak ada pekerjaan, jadi agresi itu mereka anggap kayak pekerjaan pengisi waktu luang
  4. Memang sengaja menyingkirkan orang yang nggak mereka suka
  5. Kalau untuk masalah cinta, mungkin mereka memang wanita atau pria yang putus asa sama kejombloannya karena mereka nggak kunjung mendapat pasangan.
  6. Masih masalah cinta, mungkin mereka nggak suka lihat pasangan lain bahagia
  7. Masalah cinta lagi, mungkin mereka lagi memenuhi syarat dukunnya yang bilang harus menaklukan seribu jejaka atau perawan dalam waktu 100 hari sebelum berendam di air terjun Sambernyawa di kaki Gunung Nunjauhdimato

Nah, mengingat niat yang tiada baik tersebut, saya rasa itulah alasan Allah untuk membuat agresivitas mereka tidak mampu mengantarkan mereka hingga ke akhir waktu. No knowledge, no character, so they can’t do more! Ingat motto SMA saya, Knowledge is power but character is more! Apa hubungannya ya? Haha.

Bagi saya, agresivitas bukanlah kunci untuk menaklukan dunia. Saya lebih suka konsistensi ketimbang agresi. Saat kita melakukan sesuatu yang kita sukai, saat kita berhasil menaklukan segala kesulitan yang terjadi, saat kita berhasil menjadikan batu sandungan sebagi batu loncatan, saat kita berhasil menancapkan bendera di puncak sambil bilang alhamdulillah, saat kita diminta lagi mengerjakan hal serupa tapi dengan tantangan yang lebih besar, saat kita menjadi tumpuan kepercayaan orang-orang di sekeliling kita, itulah kemenangan kita dalam seleksi alam yakni KONSISTENSI dalam menggeluti bidang yang kita yakini bisa kita kerjakan, bukan AGRESI kayak waktu kita bisa menyingkirkan orang dalam suatu kesempatan. Allah nggak akan suka, orang-orang nggak akan suka, dan bahkan hati nurani sendiri pun nggak akan suka. Akhirnya, agresivitas hanyalah menjadi barang usang dalam seleksi alam.

Selama ini, saya selalu kalah dalam agresi. Alih-alih memperjuangkan, saya lebih suka menyingkir. Tapi bagi saya, itu bukan kekalahan. Saya hanya menunggu waktu untuk menunjukkan konsistensi saya saat rekan yang mengagresi tersebut mengibarkan bendera putih. Tapi jika ia tidak mengibarkan bendera putih, ya baguslah. Saya senang. Jika demikian, barangkali memang tanpa saya sadari, sayalah yang mengagresi dia. Lebih baik saya berpindah ke bidang lain dan melaksanakan konsistensi lain. Eh, tapi ini nggak berlaku untuk masalah cinta. Kalau untuk masalah cinta, nooooo….nggak ada perjuangan-perjuangan. Kalau si pria yang sudah saya kasih separuh jiwa itu lebih memilih orang ketiga, bagi saya itu adalah sabda alam bahwa dia memang bukan jodoh saya! Titik. Jangan pernah berpikir menggoudha sayah lagih! Emosi nih! Hahaha.



Ark. Jan’10.