Pfuuuuuihhhhh.
Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara kendaraan yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.
Wah, sungguh merupakan cobaan yang berat, Ya Allah.
Ada beberapa hal yang ingin saya soroti dari kehidupan aspal di Bandung. Pertama, naiknya volume kendaraan, dan kedua, ketidaktertiban orang dalam berlalu lintas.
Dalam masalah yang pertama, naiknya volume kendaraan ini meliputi mobil, motor, dan truk serta terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang –jadi tidak hanya terjadi ketika musim liburan. Sejauh pengamatan saya, Idul Fitri dan pelebaran jalan di Jatinangor merupakan katalis peningkatan volume kendaraan ini, hanya saja mereka berperan sebagai katalis peristiwa yang berbeda. Idul Fitri meningkatkan kepemilikan kendaraan pribadi, sedangkan pelebaran jalan Jatinangor yang tiada lain merupakan jalur antarprovinsi penting di Pulau Jawa meningkatkan aktivitas truk yang sedang berjibaku di dunia perekonomian mikro. Logika nya begini. Hmmm, tentang Lebaran duluan. Ketika lebaran, dengan syarat pengajuan kredit yang ramah serta uang muka yang ringan, orang-orang berbondong-bondong mengajukan kredit kendaraan. Sepertinya masyarakat mulai meyakini bahwa membeli sendiri jauh lebih baik daripada menumpang. Nah, semangat masyarakat atas kepemilikan pribadi ini sangat jelas menambah ramai jalan raya yang setiap Idul Fitri tidak mengalami perubahan lebar. Akibatnya? Nggak ada jalur Bandung ke Cileunyi yang nggak macet. Buah Batu macet, Gatot Subroto padat, Cicadas ramai, Kiara Condong tersumbat, mau lewat Cicaheum macet, mau muter ke Soekarno Hatta juga tersendat. Mau masuk tol Pasteur ah sama aja, Pasteurnya merayap. Ckckckckkckck. Mending tidur deh di rumah.
Lalu logika mengenai pelebaran jalan di Jatinangor. Seingat saya, saya baru menyaksikan pawai truk-truk besar pascaselesainya jalan di Jatinangor diperlebar. Sebelumnya, saya nggak pernah sesering sekarang berjalan berdampingan dengan truk yang mengangkut muatan besar. Perbaikan jalan di Jatinangor ternyata sangat mampu menghubungkan Jawa Barat dengan provinsi lain dalam hal ekonomi. Bukan hal aneh, mengingat jalur Jatinangor merupakan jalur penghubung penting antarprovinsi. Pelebaran jalur Jatinangor pun tak main-main, fuihhhhh lebar bangeeettttt sampai teman-teman bisa mengajak sanak saudara dan handai taulan piknik menggelar tikar di sana sambil bercengkrama dengan bus DAMRI, angkot Sumedang-Cilenyi, Gedebage-Majalaya via Sayang, dan ojeg yang sedang ngetem serta menikmati angin semilir yang bertiup dari knalpot kendaraan yang asyik berlalu lalang. Lebar vissssuuuuuuuundth lah! Pelebaran jalan tersebut tentu saja memancing peningkatan aktivitas ekonomi. Indikatornya? Ya, banyaknya jumlah truk yang bisa Teman-teman temui sepanjang jalur Jatinangor. Bheuh. Truknya gede bangetlah. Muatannya superbanyak!
Nah, masuk ke permasalahan kedua yaitu tentang ketidakdisiplinan pengguna jalan raya. Seperti contoh menegangkan yang sudah saya sebutkan tadi, wiiiih hal ini sangat berkaitan dengan mudahnya mengakses izin mengemudi di jalan raya. Dari sekian banyak kabupaten dan kotamadya di Indonesia, hanya berapa sih yang serius menjalankan proses ujian SIM dengan sungguh-sungguh? Bisa dihitung jari! Jari ayam, malah! Kebanyakan mereka menghalalkan penembakan SIM. Berbeda dengan Kabupaten Bandung, Sebagai warga Kabupaten Bandung yang makmur, wih saya mah bangga pisanlah. Ujian SIM-nya jujur! Insya Allah ngga ada tembak-tembakan. Nih, saya lulus ujian setelah satu kali nggak lulus. Adik saya juga sama. Awalnya, saya juga pengen melewatkan ujian SIM tersebut. Setres. Ujiannya kok kayaknya susah gitu. Eh, tapi setelah saya berhasil lulus dan melanglangbuana di jalanan, saya merasakan manfaat dari ujian tersebut. Saya tahu sopan-santun berjalan raya. Saya nggak mau membahayakan keselamatan saya dan keselamatan orang lain. Nah, perasaan seperti itu yang saya rasakan sangat kurang sekali diresapi oleh pengguna jalan raya yang saya temui. Jangankan mempedulikan keselamatan orang lain, peduli dengan keselamatan sendiri pun tidak! Masalah lampu yang tadi saya tandai, misalnya. Apa orang tersebut tidak takut mati tertabrak?
Masalah naiknya volume kendaraan dan ketidakdisiplinan pengguna jalan raya tersebut bisa menjadi permasalahan yang serius, lho Teman-teman. Dalam peningkatan volume kendaraan, kita jangan hanya berpikir bahwa hal tersebut akan mengantarkan kita pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kenaikan penghasilan perkapita. Ingat, krisis energi dan global warming! Belum lagi umur jalan raya yang makin berkurang.
Pertama tentang krisis energi, saya yakin Teman-teman bisa langsung menangkapnya. Heyyyy persediaan minyak bumi makin menipis sementara kendaraan makin menjamur! Lama-lama, minyak kita akan habis untuk memodali perjalanan, bukan memodali industrialisasi dan pembangunan. Bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan dari negara maju dan melepaskan status keberkembangan kita jika industrialisasi kita makin kalah dengan bensin?
Langkanya minyak bumi juga akan membuat industri kita makin tidak dapat bersaing dengan produk impor bawaan pasar bebas karena harga produksi kita terlalu mahal. Tentu kita semua sudah mengetahui bahwa harga bahan bakar minyak untuk industri lebih tinggi daripada harga bahan bakar untuk konsumsi pribadi, padahal saat ini kita belum memasuki babak KRISIS energi. Nah, bayangkan saat kita telah memasuki fase tersebut: Harga minyak bagi industri semakin mahal, harga jual produk mereka pun menjadi tinggi, mereka pun menjadi tidak efisien, lalu akhirnya mereka kalah oleh MNC dan produk impor.
Hasilnya? Pengangguran meningkat.
Lalu tentang global warming. Masalah ini terlalu klasik. Semua sudah tahu. Aktivitas pelepasan CO2 yang berasal dari kendaraan jelas akan mengantarkan kita pada kekacauan iklim. Siapa yang rugi? Banyak! Banjir bisa menghancurkan rumah, menghanyutkan tambak, menenggelamkan sawah, dan lain sebagainya. Itu baru banjir. Korbannya tidak hanya manusia sekawasan lokal, tapi bisa nasional. Ketahanan pangan terancam! Makanan menjadi barang langka. Akhirnya? Makin banyak kasus kekurangan gizi, manusia Indonesia tidak beranjak cerdas, pembangunan terhambat.
Lalu pengurangan umur jalan. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas dan ditambah pula berat mereka yang luar biasa subhanallahnya, maka sudah pasti umur jalan tidak sesuai dengan umur yang diproyeksikan para insinyur. Biaya perawatan dan perbaikan jalan pun makin besar. Dana pembangunan kita berkurang untuk memperbaiki jalan raya yang belum waktunya rusak. Ckckckckkck.
Ketidaktertiban lalu lintas melengkapi daftar penderitaan bangsa. Nembak SIM itu korupsi lho! Percuma, dong tipi-tipi zaman sekarang membuat konstruk yang buruk tentang korupsi jika ternyata kita sang pemirsa yang suka sok ngerti dan ikutan emosi atas korupsi nggak jauh beda perilakunya sama contoh buruk yang dipaparkan tipi. Masalahnya bukan lagi pada doktrin bahwa korupsi itu dosa, tapi korupsi ujian SIM itu pada akhirnya akan membahayakan keselamatan kita di tengah jalan raya yang sangat ramai dan hampir rusak. Para pengguna jalan raya yang diwajibkan memiliki SIM merupakan angkatan produktif Indonesia, jika mereka sampai mengalami kecelakaan, roda kehidupan Indonesia akan terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan. Kita harus sadar, Teman-teman, bahwa ujian SIM adalah salah satu cara dari negara untuk melindungi kita, sang angkatan kerja produktif. Dengan adanya SIM, negara menilai seseorang telah mampu untuk mengatasi cobaan di jalan raya yang begitu ganas. Kalau nggak lulus, berarti kita memang belum mampu menghadapi cobaan tersebut. Kalau begitu, jangan memaksa. Kita harus belajar lagi sampai akhirnya lulus ujian SIM.
Yah, permasalahan jalanan ini sering kita anggap enteng, padahal dari jalan raya, malapetaka bisa dimulai. Selain itu, disadari atau tidak, kita juga, lho yang memberi sumbangsih pada kiamat beberapa tahun mendatang. Wih. Berattttt. Kalau kita mau kehidupan di dunia ini tetap menyenangkan, ayo kita ubah perilaku kita di jalan raya! Kalau nggak butuh-butuh amat, jangan beli kendaraan baru, nggak peduli Teman-teman sekaya apa dan kredit kendaraan segampang apa. Lalu, jangan konsumtif karena kekonsumtifan Teman-teman bisa mengundang lebih banyak lagi truk yang melintasi Jatinangor. Daaaan terakhir, ayo kita ujian SIM! No nembak , please…..Semua untuk keselamatan kita kok!
Ark, Jan’10.
Home
» analisis kecil
» kota dan jalan raya
» masalah sosial
» my sweet life :)
» Ancaman dari Jalan Raya
Ancaman dari Jalan Raya
in
analisis kecil,
kota dan jalan raya,
masalah sosial,
my sweet life :)
- on 11:21 AM
- No comments
Post a Comment