Not YahooNews Again Please

Salah satu bukti lagi bahwa YahooNews itu bener-bener sucks adalah berita beberapa bulan lalu yang menyebutkan bahwa Lee Min Ho berciuman hot dengan lawan mainnya, Lee Min Ho menjadi playboy penggoda gadis-gadis cantik, Lee Min Ho bla bla bla, dan Lee Min Ho na na na na. Berita tersebut luar biasa membuat saya terguncang karena saya percaya Lee Min Ho adalah salah satu lelaki saleh, berbudi, dan beradab yang pernah saya temui di dunia ini. Ah, ternyata feeling dan kepercayaan seorang gadis seperti saya ini tidak pernah salah. Lee Min Ho nggak berciuman dengan hot sama lawan mainnya dan Lee Min Ho juga nggak semesum itu menjadi playboy yang menggoda dan melakukan hal-hal asusila. Sepanjang 20 episode saya nonton City Hunter, plis deh itu Lee Min Ho cuma sekali doang itu adegan ciumannya dan itu tuh biasa aja, nggak hot yang bagaimana. Justru lebih bikin histeris itu pas dia main di Personal Taste. Aaaahhhhh pokoknya jangan pernah percaya YahooNews.

yang ini resolusi bukan?

Eh, posting sebelumnya yang judulnya Resolusi kayaknya bukan resolusi deh ya? Itu kayaknya harapan yang sangat general doang hahahaha. Hmmmm, coba saya bikin hal-hal yang pengen saya lakukan di tahun 2012 ini. Hmmmm...apa ya..saya mikir sambil makan es krim ya...

  • Tetap berambut pendek
  • Lebih sering beli eskrim dan coklat
  • MEMINIMALISASI PANGGILAN MASA SMA : GOPE.
  • MENGGALAKKAN PANGGILAN RIKI
  • NGGAK AKAN NOLEH KALAU DIPANGGIL GOPE
  • lebih rajin mengirim cerpen ke media massa
  • lebih banyak bikin postingan analisis
  • lebih sering bikin posting nyampah *ga konsisten sama yang atas haha
  • mengerjakan skripsi sebaik mungkin
  • rajin masuk kelas Bu Junita
  • lebih sering nonton film
  • lebih sering meluangkan waktu untuk jalan-jalan dan renang sendirian
  • lebih sering browsing blog yang tidak dikenal
  • keeping silabus dengan disiplin
  • bertindak tegas kalau ada penyimpangan yang merugikan saya
  • beli pigura dan masang foto yang banyak di dinding kamar
  • mengingat dengan cermat bahwa cita-cita saya adalah menjadi dosen dan penulis, bukan guru bimbel yang disetir oleh kepentingan kapitalistik *anjir gaya
  • mengingat dengan cermat bahwa saya harus s2 maksimal tahun depan sehingga saya harus lulus jauh hari hari sebelum deadline tanggal aplikasi s2
  • rajin nyapu, ngepel, dan ngelap kamar *bukan karena saya males dan jorok tapi kamar saya memang selalu terlihat rapi haha seriuuuusss
  • lebih sering bermain dengan teman sepermainan sebelum masa perkuliahan habis
  • beli baju, jangan cuma beli makanan *kontras lagi sama poin di atas
  • rajin berolahraga (baca : skipping)
  • lebih banyak baca novel
  • lebih sering donlot lagu
hmmmm, apa lagi yaaa?
Itu sih paling. Ntar juga kalau ada lagi pasti langsung saya tambahin.
Ah, iya, kenapa gada urusan ibadah di atas? ya masa harus saya bilang-bilang juga kegiatan yang saya rencanakan mengenai ketuhanan? Nanti saya disangka akhwat berburqa yang masih labil hehehehehe

City Hunter dan Dialog Liberalisme



Negara membuat hukum demi melindungi rakyatnya. Namun bagaimana jika malah negara sendiri yang ingkar, mempergunakan kekuasaannya kemudian bersikap banal terhadap rakyat? John Locke, Montesquieu, dan CF Strong pernah menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajukan konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan demi meminimalisasi korupsi power dari negara. Namun apakah pembagian kekuasaan antara pembuat hukum, pelaksana hukum, dan penegak hukum sudah cukup? Nampaknya tidak bagi Tsukasa Hojo, si pembuat komik strip koran di Jepang tahun 1985-1991. Melalui komiknya City Hunter, Hojo menuangkan impiannya akan keberadaan sosok yang mampu mengamankan rakyat dari kesewenangan negara. Komik tersebut kemudian mengisnpirasi film-film bertitel serupa di Jepang (1987) dan Cina (1993) serta yang teranyar di Korea (2011) melalui drama yang dibintangi aktor dan aktris rupawan yang tentu mampu menarik perhatian puluhan juta pasang mata di Asia. 

Meskipun diilhami dari komik City Hunter yang dibuat oleh Hojo, jangan pikir bahwa drama ini akan semata-mata memindahkan karakter komikal menjadi representasi manusia dengan jalan cerita yang sama. Jangan berharap menemukan Ryo Saeba, sang tokoh utama dalam komik, dalam representasi Lee Yoon Seong, tokoh utama dalam drama membasmi kejahatan ala Batman dan Spiderman di komik Marvel menggunakan pistol sambil memperdaya banyak wanita. Meski sama-sama mengisahkan perjalanan pahlawan yang bertugas menegakkan keadilan di kota, City Hunter versi Jepang ini telah banyak diadaptasi menjadi berbau Korea, tak hanya dari dekonstruksi pria maskulin ala Korea, bumbu percintaan, dan plot khas drama yang sangat kompleks menjelaskan hubungan keluarga, tetapi juga dari latar penceritaan yang menggerakkan keseluruhan cerita serta pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Drama City Hunter pun menjadi drama yang tidak biasa karena menampilkan gagasan liberalisme, kekeluargaan, dan romantisme dalam satu layar.


Konflik-konflik
Diawali dari patriotisme membela bangsa yang diserang oleh pihak musuh, lima orang pejabat teras militer merundingkan rencana pembalasan dengan menyusupkan tentara rahasia ke Korea Utara. Di tengah operasi yang dijalankan oleh 21 orang tentara rahasia tersebut, kesepakatan yang dilandasi oleh rasa emosi itu dibatalkan karena adanya pertimbangan bahwa bila pihak sekutu Korea Selatan, yakni Amerika Serikat mengetahui pengkhianatan Korsel terhadap perjanjian dengan Korut, maka AS segera mencabut perlindungan terkait nuklir untuk Korsel. Memilih citra dan keamanan Korsel di tingkat internasional atau membela dua puluh satu orang tentara yang jelas-jelas telah menjadi 'anak negara', lima jenderal tersebut pun menjustifikasi keputusan mereka untuk melenyapkan dua puluh satu tentara sepulangnya tentara tersebut dari misi di Korut.

Hal pertama yang ingin diklarifikasi oleh drama City Hunter ini adalah tentara bukan sekedar bidak yang bisa dimainkan oleh negara begitu saja, yang apabila tentara tersebut meninggal maka mereka hanya akan menjadi sekumpulan nama yang bisa dihapus dari sejarah. Tentara adalah manusia dengan cinta yang teramat besar kepada negara yang menganggap bahwa negara adalah satu-satunya tempat bernaung paling aman yang tidak mungkin mengkhianati mereka. Ketika mereka tahu bahwa negara yang mereka agungkan berbalik menghilangkan mereka, maka mereka pun memiliki pertanyaan yang berkembang menjadi dendam.

Dendamlah yang kemudian mengantarkan satu-satunya tentara yang selamat dari operasi penyapuan, Lee Jin Pyo, untuk menggerakkan plot dalam drama City Hunter. Dilatarbelakangi oleh keinginan membalaskan dendam secara banal dan megah, Lee Jin Pyo kemudian menculik bayi dari sahabatnya yang mati dalam operasi penyapuan, membawanya ke perbatasan Myanmar-Thailand, kemudian mendidiknya dengan sangat keras sehingga menjadi seorang Lee Yoon Seong yang piawai berkelahi, mahir memainkan senjata, serta jenius secara akademik, namun sayangnya setelah mendapat pendidikan di Amerika Serikat dari mulai gelar S1 hingga PhD memiliki keyakinan besar pada keberadaban penyelesaian  melalui jalan hukum.  

Dua puluh delapan tahun berjalan, ketika dikirim Jin Pyo ke Korea kemudian menjadi salah seorang tenaga ahli di Blue House atau Istana Negara, Yoon Seong diharapkan mampu memburu lima jendral yang melakukan operasi penyapuan kemudian membunuh mereka tanpa ampun. Namun, berkebalikan dengan apa yang diharapkan oleh Jin Pyo, Yoon Seong malah mencari titik-titik kesalahan masing-masing jendral yang bisa diajukan ke meja pengadilan. Tak disangka, para jenderal yang pada saat ini telah menjadi pejabat politik Korsel tersebut memang melakukan korupsi besar di sektor-sektor strategis seperti pemeliharaan anak terlantar, militer, pendidikan, keselamatan pekerja, dan pembuatan undang-undang. Menariknya, sebagaimana yang bisa dilakukan oleh drama, korupsi tersebut tidak hanya disajikan melalui angka-angka, tetapi juga diperlihatkan melalui narasi penderitaan beberapa sosok yang terimbas korupsi pejabat yang kehadiran mereka menggugah Yoon Seong untuk segera bertindak. Di sini, Yoon Seong pun tidak tampil sebagai anak yang marah karena ayahnya ditembak mati di laut setelah menjalankan misi negara, tetapi sebagai warga sipil yang merasa kepercayaannya dikhianati. Rasa sakit karena dikhianati tersebut kemudian mengantar Yoon Seong menjadi sosok yang disebut media massa sebagai City Hunter. Secara jenius, cermat, dan taktis Yoon Seong membuat taktik untuk menjebak para koruptor di luar cara-cara dan birokrasi hukum, mempermalukan pejabat tersebut di mata publik, kemudian meyerahkannya kepada kejaksaan secara misterius.

Dua titik ekstrem tindakan Yoon Seong, yakni kemahiran berkelahi, memutar otak, dan menjebak target serta kepercayaannya terhadap hukum membuat Yoon Seong tidak hanya bertikai dengan Jin Pyo, tetapi juga dengan jaksa Kim Yong Ju. Jaksa Kim merasa terlecehkan karena selalu didahului oleh Yoon Seon dalam menangkap tangan para pejabat yang korup. Selain itu, dengan kepatuhan Jaksa Kim yang teramat besar terhadap hukum, ia pun mengutuk tindakan Yoon Seong dalam menangkap pejabat-pejabat tersebut. Terkait dengan kepatuhan, konflik lain yang dihadapi Yoon Seong adalah tindakannya untuk menjatuhkan pejabat teras tersebut berlawanan dengan tugas yang diembankan kepada orang yang dicintainya Kim Na Na, seorang penjaga keamanan pejabat negara. Sama seperti Jaksa Kim, Kim Na Na juga orang yang patuh pada peraturan. Meskipun Na Na tahu pejabat yang ia lindungi bersalah, Na Na tetap harus menjaga keamanan sang pejabat dan sebisa mungkin mencegah aksi Yoon Seong.


Siapa Tokoh Utama?
Menikmati jalan cerita drama City Hunter, saya sedikit meragukan keberadaan tokoh Lee Yoon Seong sebagai tokoh utama. Lee Yoon Seong sepertinya hanyalah penengah dari dialog besar mengenai kemarahan yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum dan negara serta kepatuhan yang terlampau naif terhadap hukum. Tokoh utama di sini saya rasa adalah Jin Pyo sebagai representasi kemarahan dan dendam serta Jaksa Kim sebagai representasi kepercayaan terhadap hukum. Yoon Seong sendiri adalah solusi alternatif yang diimpikan oleh sang pembuat film dan manusia di seluruh dunia yang lelah dengan pertarungan dialog tersebut. Selain itu, ketika kita sampai hampir pada episode akhir, kita akan disajikan narasi bahwa Yoon Seong ternyata hanyalah alat pembalasan dendam Jin Pyo kepada komandannya, Choi En Chang yang memerintahkan secara langsung operasi penyusupan ke Korut dan pada saat ini menjadi Presiden Korsel.  Yoon Seong ternyata bukanlah anak kandung dari sahabat Jin Pyo yang ditembak di laut, melainkan anak hasil hubungan gelap Choi En Chang dengan perempuan yang kemudian dinikahi oleh sahabat Jin Pyo. Pembalasan dendam megah yang direncanakan Jin Pyo selama 28 tahun itu ternyata adalah membunuh En Chang melalui tangan anaknya sendiri. Di sini terlihat bahwa Jin Pyo-lah yang memegang kendali atas jalannya cerita.


Siapa yang Menang?
Dialog mengenai ketidakpercayaan terhadap hukum dan kenaifan terhadap hukum nampaknya merupakan masalah yang sulit untuk dicari penyelesainnya meski ada sosok City Hunter yang mencoba menggabungkan metode antihukum dan prohukum. Dalam penyelesaian kasus korupsi pejabat, hukum masih bisa diandalkan. Hal tersebut terlihat dari ditutupnya satu per satu kasus korupsi pejabat setiap kali mereka sudah diserahkan kepada kantor kejaksaan. Namun bagaimana dengan kasus dendam yang bahkan sedari awal sudah mencibirkan hukum sebagai instrumen yang paling lemah yang ada di dunia? Bagaimana dengan patriotisme yang dikhianati yang kemarahannya sanggup mengantarkan seseorang menjadi sosok yang berani mati? 

Sang pembuat drama ini sepertinya juga tidak sanggup mendewakan hukum berada di atas segalanya ketika sudah sampai pada titik dendam-mendendam. Hal tersebut disajikan pertama melalui kematian Jaksa Kim saat mencoba mengancam salah seorang pejabat yang ketahuan korup dengan menyebutkan daftar-daftar tuntutan yang akan menyeret sang pejabat mendekam 22 tahun di penjara. Sesaat dalam masa sekarat Jaksa Kim yang disaksikan oleh Yoon Seong yang telat datang menyelamatkan, Jaksa Kim  memercayakan penyelesaian kasus tersebut pada Yoon Seong. Ada hal yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Ya, semacam pesan bahwa hukum memiliki keterbatasan. Hukum juga ternyata bisa kalah dan itu diakui oleh si penegaknya sendiri.

Kedua, dari kematian Jin Pyo. Ada beberapa makna yang saya tangkap dari penyelesaian dendam Jin Pyo yang harus melalui kematian juga. Satu, Jin Pyo sudah terlampau mendendam sehingga hukum pun tidak bisa menjeratnya sehingga hanya pistol lagilah yang mampu mengakhiri nafsu dendamnya. Dua, Jin Pyo yang patriotik dan sudah mencibir hukum merasa terhina apabila hukumlah yang harus mengakhiri kisah hidupnya. Tiga, justru hukumlah yang terlampau suci untuk menjerat orang yang karena dikendalikan dendam menjadi pembunuh bertangan dingin. Kesimpulan kesatu dan saya dapatkan dari mayoritas episode ketika Yoon Seong, Jaksa Kim, dan Kim Na Na mencoba untuk menghentikan aksi balas dendam Jin Pyo namun ditolak mentah-mentah oleh Jin Pyo, kemudian aroma kesimpulan ketiga yang begitu meninggikan derajat hukum saya dapatkan pada episode terakhir ketika Jin Pyo sudah menyerah, terlihat dari jatuhnya longsong peluru dari pistolnya, namun tetap ditembak berkali-kali oleh para petugas keamanan presiden.

Hukum tidak sanggup menyelesaikan semua masalah, begitu juga dendam tidak bisa menerbitkan kelegaan atas kefrustasian, jika begitu apakah metode penggabungan kekerasan dan hukum yang diwakilkan oleh Yoon Seong menjadi pemenang? Sepertinya sang pembuat drama ini juga berpikir dua kali untuk menyimpulkan hal itu. Yoon Seong juga sempat tertembak di akhir cerita saat melindungi ayah kandungnya, sang presiden, dari tembakan ayah angkatnya, Jin Pyo. Dari situ terlihat bahwa metode pengabungan pun tak cukup kuat untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, meskipun Yoon Seong akhirnya tidak mati akibat tindakan tersebut dan malah kembali untuk menunaikan misi sebagai City Hunter lagi dengan motivasi baru yang sempat ia sebutkan di hadapan presiden yakni bukan demi dendam, melainkan demi menjaga amanah rakyat yang dikhianati pejabat, nyatanya Yoon Seong pun mengungsikan keluarganya ke luar negeri, yakni Amerika Serikat. Tindakan Yoon Seong tersebut memperlihatkan sisi-sisi Yoon Seong yang tidak dapat memercayai hukum di negaranya sendiri, namun mengharamkan kekerasan, dan pada waktu yang bersamaan juga tidak memercayai metodenya sendiri. Tindakan tersebut mencerminkan juga adanya impian mengenai sesuatu di luar sana yang bisa menjamin keamanan diri dari kebanalan negara. Impian tersebut juga bukan hanya impian Yoon Seong, tapi impian semua orang. 


Drama?
Sudah banyak rumah produksi dari berbagai negara yang meminta izin kepada Tsukasa Hojo untuk mengadaptasi komik yang diterbitkan di Weekly Shonen Jump dari tahun 1985 hingga 1991 ini. Dari sekian banyak rumah produksi yang meminta pemfilman City Hunter, konon hanya drama City Hunter yang disutradarai Jin Hyuk dari Korea yang mampu memuaskan ekspektasi Hojo meskipun City Hunter versi Lee Min Ho ini berbeda dari versi komik. Saya sepakat.

Pertama, meskipun banyak protes yang dilayangkan oleh penikmat City Hunter versi komik akan peran Lee Yoon Seong yang diperankan oleh Lee Min Ho yang dinilai lebih cocok memerankan karakter romantis, apalagi dalam beberapa scene, Lee Min Ho juga ditampilkan menggunakan celana skinny pink, merah, dan hijau, saya rasa Lee Min Ho cukup representatif untuk memerankan sosok komikal tokoh utama yang dinamai Hojo sebagai Ryo Saeba. Lee Min Ho tampan dan tinggi, itu niscaya, mutlak, dan sahih. Selain itu keluwesan Lee Min Ho dalam melakukan adegan flirting, dingin, kaku, serius, romantis, gagah, bimbang, menendang, memukul, menembak juga patut diacungi jempol karena perepresentasian tersebut hampir mirip dengan penggambaran ala komik. Jangan lupakan juga reputasi Lee Min Ho yang sudah tinggi di Asia. Hanya dengan menyebut Lee Min Ho, hampir seluruh wanita di Asia akan berteriak histeris. Audiens penikmat pesan pertarungan antara hukum dan kekerasan yang tergolong berat dan enggan dicerna masyarakat pun meluas. Setidaknya, pesan bahwa dendam dan korupsi adalah hal terhina yang akan mencelakakan banyak orang, termasuk diri sendiri, dapat tersampaikan secara internasional. Posisi Lee Min Ho strategis bagi keberhasilan drama City Hunter dan pesan-pesan di dalamnya.

Kedua, City Hunter versi Korea ini juga relevan dengan kejadian sehari-hari. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, City Hunter versi Korea ini menyajikan permasalahan yang jawabannya masih kita cari, yakni pertarungan hukum, kekerasan, dan penggabungan hukum-kekerasan. Drama ini juga tidak berusaha memihak salah satu sisi ketika ia menyajikan kekalahan dan kepesimisan bagi masing-masing sisi. Selain itu, korupsi juga suatu hal yang menghiasi lembaran berita di koran maupun cuplikan berita di televisi pada zaman ini. Meskpun pada masa kini juga tidak bisa dikatakan bahwa tingkat kriminalitas kota sudah menurun ketimbang tingkat pada tahun 1985-1991 saat komik City Hunter dibuat, namun saat ini masyarakat jauh lebih frustasi pada keberadaan koruptor yang mengkhianati suara yang mereka berikan dalam sistem demokrasi. Ada keinginan untuk menampilkan kemarahan atas keberadaan liberalisme yang dijanjikan mampu memberikan keamanan bagi rakyat, namun nyatanya malah menyiksa rakyat. 

Ketiga, City Hunter versi Korea juga menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini luput dari perhatian publik dan negara, di antaranya keberadaan tentara, anak-anak terlantar, dan buruh. Dalam hal tentara, drama ini mengungkapkan bahwa karena negara membutuhkan tentara untuk menjaga keutuhannya, negara pun sudah seharusnya memperhatikan suara dan keselamatan tentara sebagai suara dan keselamatan manusia, bukan hanya sebagai bidak yang siap disorongkan dalam berbagai kejadian berbahaya kemudian ditinggalkan setelah tidak urusan bela negara selesai. Tidak hanya melalui perjalanan dendam Jin Pyo saja City Hunter mengungkapkannya, tetapi juga dari sorotannya dalam korupsi menteri pertahanan pada pembelian pesawat jet bekas dan pabrik sepatu tentara yang mencetak sol yang mudah lepas yang kesemuanya membahayakan keselamatan tentara saat bertugas. Dalam persoalan anak-anak terlantar, selain menyoroti korupsi tidak tersampaikannya dana pemeliharaan anak terlantar kepada yang bersangkutan, drama ini juga menyoroti pilihan hidup anak terlantar yang lebih memilih tidak makan ketimbang harus menerima bantuan dari yayasan atau negara karena mereka akan dicap sebagai pengemis. Kemudian dalam persoalan buruh, drama ini memperlihatkan bahwa pihak yang paling akan menderita dari permainan politik, saham, dan krisis ekonomi adalah buruh. 

Keempat, drama ini menyajikan potret Asia kontemporer. Satu, tentu saja dari penggunaan teknologi yang begitu bertubi-tubi dalam mendapatkan informasi. Hampir semua episode dalam drama ini memperlihatkan penggunaan alat sadap, kamera supermini, tablet, IPad, dan internet supercerdas, sebuah siratan potret kehidupan Asia pada masa kini yang aktif menciptakan teknologi dan memanfaatkan teknologi. Dari situ terlihatlah Asia yang tidak lagi hanya bisa dipandang sebagai bangsa yang terlampau tradisional dan mengandalkan fisik, tetapi sebagai bangsa yang mampu mengandalkan otak. Dua, dari penitikberatan pada nilai kekeluargaan dalam arti perjuangan, penghargaan, dan penajgaan orang Asia  bagi keluarganya tapi di dalam waktu yang bersamaan juga tidak mengistimewakan keluarga apabila keluarga tersebut terbukti bersalah. Hal tersebut di antaranya diperlihatkan melalui keputusan  Yoon Seong untuk tidak bertindak kejam seperti yang diperintahkan Jin Pyo karena pertimbangannya mengenai bagaimana nasib keluarga apabila ayahnya mati dibunuh, desakan Jaksa Kim kepada ayahnya untuk meminta maaf kepada publik sebelum kasus korupsi sang ayah diungkap oleh kejaksaan, dan pengakuan palsu Jin Pyo pada saat-saat terakhir sebelum kematiannya bahwa Jin Pyolah City Hunter yang selama ini dicari kejaksaan demi melindungi masa depan Yoon Seong.

Kelima, mengenai kisah romantisme dalam cerita. Bagaimanapun juga, drama Korea tetap drama Korea yang senantiasa menyajikan kisah cinta romantis penuh tawar menawar antara harga diri dan perasaan, perjuangan, pengorbanan, dan penjagaan sang kekasih, serta harapan untuk selalu bersama. Menariknya, drama ini menyajikan kuatnya kebimbangan Yoon Seong atas keinginannya untuk hidup bersama Na Na namun tidak ingin membahayakan keselamatan Na Na yang kerap dijadikan alat tawar para musuh Yoon Seong serta kegigihan Na Na untuk meyakinkan Yoon Seong bahwa Na Na dapat diandalkan sebagai partner dan kekasih Yoon Seong. Hal yang paling heroik dari Na Na adalah keberaniannya mengungkapkan perasaannya secara jujur kepada Yoon Seong dan kekerasan niatnya untuk melindungi Yoon Seong meskipun Yoon Seong secara konsisten menampakkan sikap plin plan yang kadang mengiyakan kadang menolak.  

Namun demikian, dengan beberapa kelebihan yang dimiliki City Hunter versi Korea ini, bukan berarti ia bersih tanpa cacat. Secara makro, pesan dalam drama ini memang tersampaikan, namun memang harus diakui ada beberapa lubang dalam detail cerita. Ah, tapi tidak terlalu bermasalah juga seharusnya karena rating drama ini di Korea cukup bagus dengan menembus angka 20%. Saya juga menemukan banyak keinginan dari publik untuk menikmati sekuel dari City Hunter. Namun, terlepas dari sangkalan halus sang sutradara yang hanya akan mempertimbangkan sekuel apabila Lee Min Ho menyanggupi, bagi saya juga sepertinya harus ada alasan kuat dalam bentuk tema baru yang melandasi keinginan Yoon Seong untuk kembali menjadi City Hunter. Meskipun dalam episode-episode terakhir semakin dikukuhkan bahwa tujuan Yon Seong bukan lagi karena dendam, melainkan demi rakyat, tetap harus ada tema jelas yang menggerakan cerita sehingga drama Korea ini tetap berada pada jalur drama Korea pada umumnya, bukan drama Amerika semacam CSI atau yang lainnya yang menitikberatkan tema hanya pada satu episode yang akhirnya tidak tahu akan bagaimana mengakhirinya dan hanya menjadi rutinitas belaka. Tidak, drama Korea tidak seharusnya menjadi demikian dan Lee Min Ho tidak boleh menjadi aktor yang seperti itu. :)

Ark. Jan'12.


Resolusi


Oke, selamat tahun baru 2012, semuanya! :)
Awal tahun, akhirnya menginjak lagi awal tahun dan blog ini pun akhirnya menginjak usia kelima. Wow, saya sudah merekam sebagian hidup saya selama lima tahun, ternyata. Nostalgia sebentar dengan melihat tulisan-tulisan saya, saya jadi ingin tertawa sendiri. Tapi tidak apa-apa, saya pernah berkata pada diri saya sendiri bahwa kalau saya sudah bisa menertawai diri saya sendiri, maka artinya saya sudah mengambil pelajaran dari sana dan mungkin saya sudah satu tingkat lebih tinggi dibandingkan saat itu. 

Ya, selain membaca tulisan yang ada di blog ini, saya juga membaca tulisan saya yang ada di dalam catatan saya dan 'diary' saya. Saya juga mengingat-ingat beberapa rekaman dari otak. Ah, iya, saya juga membuka beberapa hal, baik catatan maupun ingatan, yang selama beberapa tahun ini enggan saya buka. Hehe. Masih tentang masa lalu yang tidak terlalu enak, masa lalu yang saya benci, masa lalu yang agak menyesakkan, tapi saya juga nggak bisa membenci masa itu karena tanpa ada masa-masa itu, saya nggak akan mungkin menjadi saya yang sekarang. Beberapa hari terakhir ini saya pikir saya sudah mulai tidak membenci hal-hal dan orang-orang dari masa lalu. Saya malah jadi benci sama diri saya sendiri kenapa saya bisa berada pada posisi itu dan tidak terpikir mengambil keputusan atau bertindak seperti apa yang saya pikirkan pada hari ini. Haha. Tapi ya sudahlah. Semoga pada masa ini saya tidak melakukan hal-hal yang membuat saya sedih dan menyesal pada masa mendatang. Ya, itu resolusi saya yang pertama.

Eniwey, malam tahun baru kemarin saya melakukan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menonton kembang api dari lantai atas rumah saya. Senang rasanya melihat keadaan kota Bandung yang begitu semarak dengan kembang api. Saya memposting foto yang saya ambil pada saat itu dan hasilnya yang paling mending dibandingkan foto lainnya. Hihi. Maklum, kamera hape. Kembang api tahun ini sepertinya lebih ramai daripada kembang api tahun sebelumnya. Jauh lebig semarak, jauh lebih menggembirakan, jauh lebih gempita. Mungkin dipengaruhi juga oleh suasana hati saya yang sudah lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya, mungkin juga karena keadaan orang-orang yang bermain kembang api itu juga membaik. Ya, semoga tahun 2012 ini memang membawa hal-hal yang jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.

Bapak teman saya dan teman saya pernah bilang, kenapa harus menyakralkan momen tahun baru untuk membuat perubahan karena toh setiap hari harusnya kita melakukan perubahan tanpa harus menunggu pergantian tahun. Ya, saya juga menyepakati pernyataan itu, sebenarnya. Bukankah saya juga lebih suka dengan momen ulang tahun ketimbang tahun baru? Yah, memang pernyataan itu tidak salah, tapi sepertinya juga harus ada penghormatan atas momen yang dirayakan oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Momen itu adalah momen berkumpulnya harapan, doa, dan niat secara bersamaan yang diiringi oleh suka cita karena diberi kenikmatan masih bisa menikmati tahun yang baru meskipun ada banyak cobaan yang terjadi pada tahun yang sebelumnya. Momen itu juga merupakan momen untuk berharap pada Tuhan agar hal-hal yang terjadi pada tahun sebelumnya bisa menjadikan mereka manusia yang lebih baik dan lebih bahagia di tahun yang baru. Yah, momen dengan nilai kebersamaan dan kegembiraan yang menyenangkan. Saya juga mengharapkan hal demikian, semoga denganbekal yang saya peroleh pada tahun sebelumnya, saya bisa menjalani tahun 2012 dengan lebih baik dan membahagiakan. Itu termasuk resolusi saya yang kedua.

Ah, iya, beberapa hari terakhir saya menghiasi posting saya dengan laporan bahwa saya ke mal, saya menemukan file-file lagu Energy dan lagu lama lainnya, bikin ribut di twiter dengan mengatai teman-teman saya dan saya sendiri sebagai pejomblo, dan saya juga menonton City Hunter. Sepertinya hidup saya hedon sekali ya haha. Sebenarnya selain melakukan hal-hal menyenangkan tersebut juga saya masih UP, kok. Saya juga mengerjakan silabus baru untuk semester dua nanti. Teguran dari bos saya mengenai pekerjaan saya walaupun sempat saya terima dengan hati yang menggerutu dan celotehan protes, sebenarnya juga membuat saya berpikir keras bagaimana menjadikan anak-anak yang kapasitas otak dan kebiasaan hidupnya bervariasi ini bisa memahami pelajaran yang diberikan kepada mereka. Akhirnya ya begitulah, saya membuat silabus baru, saya membeli beberapa buku materi dan soal baru, saya download soal latihan baru, saya membaca lebih banyak, dan sebagainya yang membuat saya sempat iseng bertanya pada diri saya sendiri ketika saya sedang pusing, "Emannya gaji gue sebanding dengan apa yang gue lakuin sekarang? Emangnya ini cita-cita gueeee?" Saya kemudian menarik nafas panjang. Kayaknya saya nggak boleh, deh, berpikir kayak gitu. Kerjakan saja. Toh juga saya melakukannya tanpa dipaksa siapa-siapa. Toh juga ini hasil pemikiran saya. Toh juga saya pasti bakal senang nanti kalau mereka bisa paham apa yang ingin saya jejalkan kepada mereka dan mereka bisa masuk ke sekolah yang mereka cita-citakan. Nah, konyol rasanya saya sampai kesal pada keputusan saya sendiri. Haha. Yang saya tahu adalah orang tua saya suka berkata bahwa saya harus mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin dan secara serius. Jadi, ya, saya akan menutup mulut saya yang suka tiba-tiba protes.

Oh, iya selain mengerjakan silabus, saya juga menghabiskan siang saya dengan mengubah tata letak kamar dan terakhir, saya mengecat kamar saya. Sekarang masih belum kering benar sehingga warnanya juga masih belum terlihat rata. Saya nggak ngecat dengan warna aneh, kok, cuma warna putih saja hahahaha. Hidup saya seimbang, kan? Saya akan mempertahankan keseimbangan ini sepanjang masa. Haha. Itu resolusi ketiga. 

Ah, tadi malam saya mimpi ketemu nenek saya. Seperti apa ya sekarang keadaan nenek saya? Sepanjang tahun 2011 lalu saya tidak mengunjungi nenek saya. Hmmmm. Saya biasa memanggilnya Mbah Dewi. Nama panjangnya Dewi Nawang Sasi. Saya sayang sekali sama Mbah Dewi. Waktu ibu saya kuliah dan saya menangis, Mbah Dewi yang mengasuh saya dan menggendong saya keluar, jalan-jalan, supaya bisa lupa sama tangisan saya. Kalau saya ke Surabaya, Mbah Dewi selalu suka mengambilkan makanan dari toko tante saya, membelikan roti sisir, kelanting, dan brudel di pasar, dan masak makanan yang banyak. Ah, semenjak Kung Dam, kakek saya meninggal empat setengah tahun lalu, pas pada hari saya jadian sama mantan saya, Estu, Mbah Dewi sering melamun. Lucu sebenarnya. Waktu Kung Dam masih hidup, mereka bukan pasangan yang suka saling menggenggam tangan, tetapi pasangan yang lebih suka berantem seperti pasangan di film Korea. Sok-sok jual mahal gitu melulu hahaha. Yah, tapi waktu Kung Dam meninggal, MBah Dewi jadi sering melamun. Waktu Kung Dam meninggal juga saya nggak ke Surabaya. Saya bilang ke ayah saya kalau saya ada UTS, padahal nggak juga harus jadi alasan, sih. Saya cuma nggak bisa melihat ada orang yang dekat dengan saya dibalut kafan kemudian dikebumikan. Itu bukan pemandangan yang bisa saya hadapi dengan kuat, rasanya. Ah, tapi menyesal juga rasanya tidak berada di saat yang membuat nenek yang saya sayangi sedih. Berkaitan dengan poin ini, resolusi keempat saya selain berharap bisa ke Surabaya tahun ini setelah saya lulus, saya juga harus bisa menjadi orang yang kuat kalau dihadapkan pada sesuatu yang menyedihkan. Nggak boleh menghindar.

Harus kuat, nggak boleh menghindar, kalau begitu hal berikutnya yang harus saya jadikan resolusi adalah harus move on. Hahaha. Ya ya ya ya, saya harus bisa move on dari hal-hal yang sempat saya perjuangkan namun ternyata saya malah terinjak-injak. Saya harus ingat bahwa hidup saya nggak cuma sepanjang 16 atau 20 episode film Korea dan yang paling penting adalah si orang yang membuat saya merasa jadi orang paling bodoh sedunia itu juga bukan Lee Min Ho sehingga dia tidak perlu dan tentu saja tidak pantas menerima kebaikhatian saya yang senantiasa memaafkan dan berharap yang terbaik. Nggak sama sekali. Dia tidak terlalu berharga untuk saya pikirkan. Mungkin kemarahan saya ini juga dilatarbelakangi oleh penolakan dan penghindaran yang dia buat, tapi lebih dari itu, dia memang tidak pantas untuk saya pikirkan karena dia memang jahat sebagai laki-laki dan manusia, terlepas apakah si perempuan yang dia begitukan adalah saya atau bukan. Tahun 2012 ini saya harap saya bisa berhasil mengangkat semua tumor perasaan saya buat dia yang membesar selama tahun 2011. Saya bakal melihat orang lain yang mungkin ada di depan, belakang, samping saya. Bodoh rasanya satu tahun kemarin saya cuma fokus sama orang itu dan mempermalukan diri saya di dunia maya karena perasaan suka dan kemarahan saya. Bodoh juga rasanya saya sempat berburuk sangka pada diri saya sendiri karena ajaran dan pemahaman agama yang selama ini saya percayai dan anut dipermasalahkan dan dipeyorasikan olehnya. 

Hmmmm, sepertinya ini minggu terakhir saya liburan. Beberapa hari lagi saya harus kembali mengajar, mengaplikasikan program saya, dan tentu saja saya harus mengerjakan skripsi saya, Ya, semoga saya bisa melakukan yang terbaik dan mendapat hasil yang terbaik juga. Semoga semester dan tahun ini menyenangkan. :)

Ark. Jan'12.

Sedikit Preambule mengenai City Hunter, Liberalisme, dan Lee Min Ho


Bahwa Lee Min Ho sangat tampan bin ganteng, gagah, kharismatik, memesona dalam penampilannya di City Hunter itu adalah hal yang paling sahih, niscaya, takterbantahkan, dan mutlak difatwa. Namun demikian, masih ada hal-hal jauh lebih penting yang hendak disampaikan oleh City Hunter kepada para penonton dan pembaca komiknya. Di antara gelimang ketampanan dan pesona yang ditampilkan Lee Min Ho, saya yakin bukan dua hal itu yang ingin ditampilkan oleh si pembuat film. Lee Min Ho, meski tampan tak terperi, bagi saya tidak lebih hanya sebagai representasi bentukan idealis dari imajinasi si empunya komik. Bahkan, saya curiga bahwa karakter Lee Yoon Seong yang dimainkan oleh Lee Min Ho sebenarnya juga bukan fokus utama dari komik dan film City Hunter. 

Ada dialog mengenai nilai-nilai liberalisme* dan ejekan terhadapnya yang begitu kental disajikan oleh sang pembuat cerita. Dialog yang diawali dari pertanyaan filosofis yang sering ditanyakan oleh anak SMA atau semester awal kuliah yang baru mengetahui standar-standar ganda dalam kehidupan atau dialog yang sering diajukan oleh aktivis-aktivis yang berdemo di depan bangunan dan secara naif percaya bahwa teriakan mereka di depan bangunan itu akan membuat risih sang dewan yang berada di dalamnya padahal teriakan mereka bagi para anggota dewan itu tak lain hanya merupakan teriakan kaum pagan yang percaya bahwa Ratu Adil akan muncul dari atas punden berundak. Dialog, "Jika pelaku kriminal yang melawan negara dapat ditangkap dengan mudah oleh negara melalui hukum, lalu siapakah yang akan sanggup menangkap kebanalan negara sedangkan hukum saja berada di bawah naungan negara?" ;dan "Jika hukum takdapat berbicara maka biarkan pistol yang bertindak," merupakan dialog yang melandasi berjalannya 20 episode City Hunter. 
  
Dari dialog yang sangat manusiwai tersebut, fillm (dan komik) City Hunter kemudian mengembangkan fiksi sepanjang 20 episode dengan menitikberatkan pergulatan  garis linear yang titik kirinya didiami oleh keputusasaan atas korupnya negara yang akhirnya melegalkan akal untuk menggunakan pistol dan titik kanannnya dihuni oleh keyakinan bahwa hukum adalah cara paling beradab untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Konflik yang menghiasi berpuluh abad kehidupan manusia tersebut kemudian diberi resolusi  yakni keberadaan sosok yang mampu menggabungkan jalan kekerasan dan hukum untuk menyeret pelaku kejahatan genosida zaman sekarang, para pejabat yang tidak amanah terhadap kepercayaan rakyat. Saya menyingkirkan dulu pesona Lee Min Ho yang didapuk menjalankan peran ini. Meskipun sekali lagi saya bilang bahwa Lee Min Ho itu mutlak tampan, tapi peran yang dimainkannya sebenarnya hanya merupakan representasi impian yang terlampau idealis tidak hanya dari pembuat komiknya, tetapi juga dari kita semua, si penduduk bumi yang lelah menonton berita korupsi. Tokoh yang dimainkan Lee Min Ho ini semu untuk kita temukan di dunia ini. 

Dari poin tersebut awalnya saya mencibir bahwa pada akhirnya akan ada dua kemungkinan jawaban ending cerita, mengingat biasanya film-film hanya akan meninabobokan kita pada impian terlampau idealis, pertama, hukum yang menang, atau kedua, sosok hero semacam Lee Yoon Seong yang akan menang. Iya, itu hanya awalnya saja, ternyata. Ending film ini tidak mengatakan demikian. 

Saya hampir menyepakati penilaian sebagian orang yang mengatakan bahwa film ini memiliki ending yang hambar, namun kemudian saya menyadari ini bukan karena ketidakpiawaian sang sutradara memberikan ending. Bisa saja sutradara memberikan ending yang lebih wah seperti pada akhirnya Lee Yoon Seong setelah menuntaskan misinya menikah dengan Kim Na Na lalu ya, seperti yang diharapkan oleh kaum hawa lainnya, berciuman dengan sangat dramatik. Lalu bisa juga sang sutradara menambahkan bahwa sang Presiden yang ternyata ayah kandung Lee Yoon Seong mundur dari jabatannya kemudian menjadi ayah yang baik dan hidup dengan Kyung Hae, si mantan pegawai bar yang pernah ditidurinya 28 tahun lalu sehingga melahirkan Lee Yoon Seong. Tak hanya itu, bisa juga sutradara tidak mematikan karakter jaksa Kim Jung Su dan membiarkannya hidup bahagia dengan istrinya, si dokter hewan yang selalu menolong Lee Yong Sung saat babak belur menghadapi musuh. Ya, saya rasa sutradara bisa saja menambahkan ending seperti itu karena itu bukan pekerjaan yang sulit. Namun bukan citra-citra kebahagiaan seperti itu yang ingin ditunjukan oleh film City Hunter.

City Hunter bukanlah film drama atau eksyen biasa yang bertujuan membuai kita dalam kesenangan semu meskipun City Hunter menampilkan Lee Min Ho, si aktor yang bagi sebagian besar pria di dunia yang merasa sirik atas ketampanannya yang dielu-elukan wanita merupakan aktor yang hanya bisa memainkan peran yang menye-menye yang mengandalkan senyuman dan air mata. City Hunter adalah film yang menampilkan kehidupan sosial kita yang menggarisbawahi bahwa pada akhirnya kita tidak akan bisa menjawab bagaimana ending kehidupan nyata kita yang memang selalu dihiasi oleh konflik senjata versus hukum. Kehambaran dalam endingnya saya rasa hendak memberitakan hal itu.

Saya merencanakan untuk membahas City Hunter secara detail dalam posting terpisah. Tunggu saja :)

Ark.Jan'12


Catatan
*tentu liberalisme yang saya maksudkan di sini sama sekali bukan mengenai hal-hal semacam kebebasan seksual karena bahkan teaser-teaser bahwa di film ini Lee Min Ho berciuman secara hot dengan lawan wanitanya saja hanya terjadi satu kali dan ciuman tersebut pun saya nilai biasa saja alias tidak hot alias bisa kalian temukan di film-film lain sehingga tidak seharusnya menjadi sorotan di berbagai berita YahooNews. Liberalisme di sini adalah paham yang titik awalnya bersumber dari kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya baik,  berkecenderungan untuk mencari keamanan, kemudian mengejawantahkannya pada keberadaan negara dan hukum.

Kapitalisme dan Pendefinisian Hidup Kita


Selepas bimbingan yang baru selesai jam sembilan malam, saya dan Ayi meluncur ke che.co. Entah kenapa che.co malam itu ramaiiiiiii sekaaaaliiiii. Perasaan udah sering juga di che.co sampai malam, tapi baru sekali itu che.co sepenuh itu. Hampir tidak mendapatkan tempat duduk strategis, untungnya ketemu Andris yang sudah mendapatkan kursi yang wokeh dan seperti biasa membicarakan hal-hal berbau gay, lalu putar otak memesan makanan dan minuman yang kebetulan sudah banyak yang habis, dan akhirnya terdampar pada majalah Elle yang Ayi ambil dari meja di dekat wastafel che.co. Ada satu artikel yang menarik perhatian Ayi yang Ayi bagikan isinya kepada saya yang menginspirasi posting ini.

Artikel yang menarik perhatian Ayi itu adalah artikel mengenai definisi kecantikan wanita dari zaman ke zaman. Pasti tahu, kan kalau setiap zaman pasti punya definisi cantiknya masing-masing? Macam zaman sekarang, nih, yang cantik itu adalah yang putih, tinggi, langsing, dan sebagainya yang secara langsung mengeksklusi saya dari kriteria cantik. Huhuhuhuhu. Nah, si artikel yang dibaca sama Ayi itu membahas hal yang kayak gitu, malah dari abad 17 gitu. Secara paternistik, sih, meskipun zaman sudah berputar beberapa abad, terdapat beberapa definisi cantik yang terus berulang. Kulit putih bergantian dengan kulit sawo matang; tubuh langsing bergantian dengan tubuh berisi; pinggang kecil bergantian dengan pinggul besar; payudara besar bergantian dengan dada rata; seperti-seperti itulah. 

Menemukan pola demikian, saya sepakat dengan Remon yang pernah bilang kalau segala sesuatu itu bisa dibuat oleh pasar. Iya, saya yakin bahwa definisi yang bergantian sepanjang zaman itu tak lain adalah bagian dari perebutan pasar yang dibuat oleh kaum kapitalis. Bukan kita, si konsumer, yang membuat definisi cantik, tapi si kapitalis, si pembuat produk dan pemilik modal, yang menciptakan definisi kemudian memaksa kita untuk berebut memasuki klasifikasi yang dibuat mereka. Kang Jawot juga pernah membahas hal tersebut saat membahas skripsi Teh Eris tentang globalisasi representasi mitos "cantik" yang dilakukan oleh salah satu produsen pemutih kulit terkemuka di dunia. Untuk mempertahankan keberlangsungan hidup si produk pemutih kulit tersebut, konsumer diajak memasuki gerbang penindasan mental itu secara bertahap. Pertama, dikasih pemahaman bahwa putih itu cantik, gelap itu aib. Kalau mau cowok-cowok atau cewek-cewek mendekati kita, kulit itu harus putih, suatu pernyataan yang kontan langsung membuat saya mikir ketika menonton tivi, "Damn, pantesan gue jomblo." Target kedua adalah menunjukkan bahwa putih saja tidak cukup, tetapi juga harus bebas jerawat. Muncullah produk pemutih dan antijerawat atau pemutih plus antijerawat. Konstruksi ketiga adalah kulit keriput itu nggak banget. Dibuatlah produk antiaging. Target berikutnya akan ada lagi dan dibuat secara terus-menerus. Sebagai orang Asia yang tidak mungkin berkulit putih ala bule, kita dicengkram terus-menerus dalam konstruksi dan impian bahwa kita bisa kok tampil memesona ala bule dalam iklan supaya kita tetap membeli produk itu.

Definisi kemudian berubah ketika ada produk lain yang masuk ke pasaran. Untuk meraih perhatian dari konsumer, produk baru ini membuat definisi yang kontras dari definisi yang lama. Coba perhatikan, deh di rak-rak produk kosmetik di swalayan, sekarang lagi ada embel-embel "Putih Langsat", "Cantik Asia", "Langsat Asia". Produk-produk tersebut seolah memberi penyadaran bahwa kita selama ini dibodohi oleh produk lama dan ini loh, produk yang benar yang sesuai dengan kecantikan asli. Kenapa seolah? Ya, karena tujuan produk itu bukan untuk memberi penyadaran dalam arti mencerdaskan macam iklan layanan masyarakat Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu yang nyanyi lahir jangan rapat-rapat, jangan dekat-dekat, melainkan untuk menarik kita ke dalam cengkraman pembelian produknya. Keluar sarang macan masuk sarang buaya kalau kata mbah kita.

Pertarungan produsen yang slaing kontras tersebutlah yang menciptakan sejarah pendefinisian cantik dari abad kapan hingga abad kapan. Sampai kiamat pasti kita akan selalu dipingpong dari satu definisi ke definisi lain yang tujuannya adalah untuk menjadikan kita konsumer yang setia. Sementara kita bekerja keras demi bisa membeli produk yang harganya bervariasi dari sepuluh ribu hingga jutaan rupiah, si kapitalis tertawa lebar meraup uang kita kemudian beli tas Prada keluaran terbaru yang dipamerkan di ION Orchard. 

Lalu apakah kita setelah mengetahui kenyataan itu kita akan bisa keluar dari definisi yang mereka ciptakan? Nggak lagi-lagi beli produknya, misalnya? No, nggak akan ada istilah seperti itu, bahkan Kim Jong Il dan Lenin saja masih curi-curi pandang ke dunia Barat demi kelangsungan hidupnya. Plis juga jangan jadikan kaum-kaum pengikut khotbah solat Jumat di depan fakultas saya yang selalu bilang kapitalisme Barat itu haram sebagai contoh kaum yang bisa keluar dari definisi-definisi yang dibuat kaum kapitalis karena jika kalian mau sedikit jeli, toh khotbah yang membakar semangat anti-Barat dan anti-Zionis itu juga masih dikemukakan dengan bantuan mikrofon buatan antek Yahudi. Jangan berpikir terlampau muluk dengan keyakinan bahwa kita akan bisa keluar dari pendefinisian kaum kapitalis, Teman-teman. Mereka sudah membuat sistem pencengkraman sedemikian rupa yang disebut Gramsci sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik tersebut bisa dilewatkan melalui kenikmatan dan janji yang diilusikan kepada kita; bisa juga melalui ketakutan kita yang akhirnya mencegah kita untuk keluar dari 'zona nyaman'; atau bisa juga melalui judgement dari orang-orang di sekitar kita apabila kita menjadi alien atau menjadi orang yang bebas dari konstruksi. Memang luar biasa trik dari kapitalis ini, bukan?

Beralih dari definisi kecantikan, artikel Elle tersebut juga membahas mengenai perkembangan fashion seiring dengan definisi kecantikan. Satu hal menarik yang saya dan Ayi simpulkan dari pemaparan artikel tersebut adalah, Barat nggak melulu tentang baju seksi. Yap, kalau Teman-teman masih menganggap wanita Barat itu sungguh adalah makhluk yang akan paling dikutuk karena feminismenya mengajarkan keterbukaan pakaian sebagai eksplorasi atas kebebasan tubuh, oh plis, ralat pemikiran itu karena dari sejarah yang dipaparakan di dalam artikel tersebut terlihat bahwa keseksian perempuan yang kalian kutuk namun secara diam-diam kalian simpan di bawah kolong kasur itu adalah bentukan kapitalis juga. Dosen Gender dan Seksualitas dalam HI saya akan sangat murka kalau kita terus-menerus menyalahkaprahkan feminisme melulu hanya mengenai kebebasan mengeksplorasi tubuh. Pempertontonan banyak bagian dari tubuh perempuan di Barat sendiri baru marak dilakukan mulai Perang Dunia II sekitar tahun 1939. Itu pun bukan timbul dari keinginan si perempuan untuk memperlihatkan bagian tubuhnya. Buktinya, pada tahun bahkan abad sebelumnya, baju perempuan di Barat selalu bergaya Victoria yang berlengan panjang dan ber-rok panjang. Ya memang, sih, meskipun menggunakan baju panjang, tapi bagian pinggang tetap ketat dan payudara ditonjolkan, tapi itu juga berkaitan dengan kaum kapitalis yang ingin menonjolkan titik-titik definisi kecantikan. Nah, dari situ hal yang bisa kita lihat adalah Barat juga pernah kok mengonsepkan baju tertutup.

Fashion berbaju mini mulai berkembang seiring dengan banyaknya tentara yang dikirim perang.  Apa pasal? Siapa, sih, yang senang dapat tugas ke medan perang? Penanaman nasionalisme bagi para tentara memang oke, mungkin hampir sama dengan penanaman fundamentalisme agama di kalangan teroris. Namun, bedakan dengan teroris yang memang bertujuan sekali jalan sekali mati, kondisi perang yang berlangsung berhari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun ini dapat memicu stres. Tidak ada kepastian hidup atau mati; teman yang sekarang kita ajak ngobrol, bisa saja dua jam kemudian mati di depan mata kita; istri yang diambil tetangga karena si istri berpikir bahwa tidak ada kepastian hubungan dengan tentara; rindu anak; dan sebagainya. Kondisi yang dihadapi oleh tentara perang ini merupakan kondisi berat bagi seorang tentara yang secara politis hak-hak kemanusiaannya seperti berkeluarga dan hidup damai telah ditukar dengan kelangsungan hidup negara, namun secara manusiawi, khususnya dalam hal biologis, nilainya sebagai manusia yang berkebutuhan untuk menyalurkan kebutuhan seksual tidak hilang. Kondisi tersebut yang dilihat kaum kapitalis dan didukung oleh negara untuk mengembangkan terobosan penyemangat para tentara. Mulai pada masa ini mulai berkembang wanita-wanita yang didandani secara minimalis kemudian dipotret dan dijadikan poster penyemangat bagi para tentara yang bertugas di medan perang dengan tujuan membuat tentara nyaman berada di dalam kondisi penuh ketegangan perang, 

Melihat respon yang baik dari para tentara, kaum kapitalis kemudian melihat lahan basah. Ekspansi pasar pun dilakukan. Gadis-gadis berbaju imut pun menjadi komoditas yang bisa digunakan untuk menjaring pasar dari manusia berjenis kelamin pria. Hal inilah yang kemudian berkembang hingga masa kini dan menyebar ke seluruh dunia. Takhanya sampai di situ pekerjaan tangan kapitalis. Untuk menciptakan produk-produk yang lebih banyak, kaum kapitalis juga harus merangkul perempuan. Kaum perempuan harus dibuat suka dan rela, bahkan berebut untuk menjadi gadis-gadis imut penghias dinding kamar dan peralatan elektronik laki-laki. Muncul pemahaman bahwa cara untuk menjadi perempuan yag sempurna adalah dengan menjadi perempuan yang diinginkan laki-laki. Agar perempuan itu diinginkan laki-laki, perempuan harus memiliki hal yang dikritisi Bu Junita sebagai 5B, yakni beauty, brain, behavior, booty, dan boops. Dua hal yang disebut terakhir yang menjadi poin penting penilaian laki-laki. Dengan hal tersebut, kaum kapitalis berhasil menggiring perempuan untuk berbondong-bondong menata dirinya sesensual mungkin di hadapan laki-laki dan mengharap banyak laki-laki takluk padanya. 

Hal yang jelas-jelas menjajah perempuan tersebut tentu akan menyulut penolakan perempuan lain yang merasa dirinya sudah tersadarkan dalam gerakan feminisme. Mengakali hal tersebut, kaum kapitalis pun tidak menyerah. Pengeksplorasian tubuh kemudian dikatakan sebagai tindakan kebebasan perempuan. Hal tersebut pun kemudian diidentikkan dengan feminisme. Hmmmmm, sungguhlah memang cihuy sekali kaum kapitalis ini.

Eh, tapi tunggu dulu, saya juga mau menambahkan hal lain. Di Indonesia, khususnya di Bandung dan lebih khusus lagi di lingkungan sekitar saya, fashion yang sedang berkembang adalah busana muslim. Nah, bila melihat penjelasan saya yang menyebutkan bahwa baju mini sesungguhnya adalah buatan kapitalisme untuk mendapatkan pasar, lalu apakah busana muslim adalah bentuk kontras dari busana mini ala kapitalis atau dengan kata lain busana muslim bebas dari cengkraman kapitalis? Saya rasa tidak ada satu hal di dunia ini yang luput dari kuasa Allah dan kelicikan kaum kapitalis. Busana muslim pun sudah mulai ditunggangi oleh kapitalis. Tidak semua baju muslim, tentunya. Apabila kita menggunakan busana muslim secara fungsional atau murni sebagai baju muslim, baju muslim yang kita pakai tesebut masih memenuhi kriteria tulus lillahi taala. Namun akan berbeda tentunya jika kita menggunakan baju muslim dengan berbagai aksesori yang berlebihan dengan tujuan tetap tampil gaul meski berbaju muslim. Pertama, kita nggak lillahi taala dan belum ikhlas benar menggunakan baju muslim. Tujuan inti dari baju muslim untuk menutupi aurat dan demi mengabdikan diri pada Allah terdistraksi oleh keinginan manusiawi kita yang tetap ingin terlihat menarik. Kedua, itulah tanda-tanda kekuasaan kapitalis atas diri kita. 

Membaca posting saya ini, jangan salah paham dengan berpikir bahwa saya akan menutupnya dengan himbauan, "Hancurkan kapitalis!!!" atau ajakan masuk ke dalam gerakan politis berhalauan agama atau membangkitkan semangat kaum Marxis. Saya bukan tipe orang yang akan membicarakan hal-hal di luar kemampuan saya. Yang harus saya atau tepatnya kita akui adalah kita nggak akan bisa lepas dari cengkraman kapitalis. Semua definisi hidup kita itu yang membuat ya kapitalis. Ketika kita sadar dan kita ingin memberontak, diri kita sendiri yang akan mencegah tindakan tersebut dengan hal-hal yang sangat common sense, semacam :
  •  Kasus nggak mau pakai pelembab pemutih kulit lagi  => Terus nanti kalau kulit aku jadi kusam dan kering gimana?
  • Kasus nggak mau pakai baju mini lagi => Masa aku table manner besok pakai celana dan kaos aja? Kan nggak pantes. Salah kostum.
  • Kasus nggak mau pakai baju muslim dan aksesoris gaul lagi => Loh, Allah kan juga menyukai keindahan, masa pakai kerudung ala Syahrini aja nggak boleh?
So, saya nggak akan merekomendasikan tindakan apa pun untuk menghalangi cengkraman kapitalisme dari hidup kita. Kita hanya ikan kecil yang pasti kabur juga kalau bertemu ikan paus.


Ark. Des'11.

Nostalgia Lagu

Gara-gara nemu Ah Di udah punya anak dan sempat terharu juga waktu lihat video-video Youtube Ah Di yang nyanyi buat anaknya, semua memori lagu zaman SMP pun menguak kembali. Nggak, nggak, nggak, jangan berharap bahwa saya akan mempost lagu-lagu indie atau pop Barat atau rock and roll atau lagu Padi. Saya nggak melewatkan masa SMP saya dengan hal-hal yang banyak dilakukan oleh kawan-kawan seusia saya dan di sekitar saya. Saya malah melewatkannya dengan lagu Mandarin yang aksesnya saya dapatkan melalui Radio Mei Sheng, radio berbahasa Mandarin di Bandung. Pokoknya kalau suatu saat nanti saya harus berdiri di podium dan mengucapkan terima kasih, saya pasti nyebutin nama Radio Mei Sheng sebagai radio yang telah mencetak saya sebagaimana saya adanya pada masa kini dan masa depan.

Nah, gara-gara memori lagu SMP itu menguak, saya jadi iseng nyari lagu-lagu itu di internet. Saya pikir nggak bakal ada, eh ternyata saya salah. Saya langsung jadi merasa durhaka gitu sudah menyepelekan kemampuan mumpuni Ki Google dan menafikkan perkataan Anthony Giddens bahwa pada masa kini tak ada yang tak mungkin terakses berkat adanya dedistanciation of time and space. Tak dinyana, tak diduga, saya nemu hampir semua lagu yang dulu setiap sore saya smskan ke Radio Mei Sheng sebagai request lagu plus salam-salamnya, yang di dalamnya juga selalu memuat salam buat Ifan, padahal seumur hidup si Ifan mah nggak pernah denger Mei Sheng. Eeeeeaaaaa.

Saya terkesima aja gitu, gile ya ternyata ada dong di internet. Terus lebih terkesima lagi waktu nemu banyak banget orang-orang kayak saya di luar sana yang menyukai musik dan artis dari Taiwan. Amazed aja gitu. Dulu sih nggak terlalu nyadar. Ya, dari seringnya request ke Mei Sheng sih saya jadi apal dan diapal dan saling apal sama penyiarnya dan remaja-remaja seusia saya yang juga suka request ke Mei Sheng. Bahkan sampai apal juga buat siapa aja salamnya. Tapi dulu itu kayaknya kita biasa aja, nggak sampai kayak yang saya temuin di internet. Masa dong bayangin ada yang selalu rela dateng ke Singapura dan Malaysia buat nonton promo atau konser Energy, terus ngintil ke bandara, hunting CD dan bonusnya, terus rajin ngirim surat ke Energy, dan bahkan sampai dihapal juga sama Energy-nya. Ehemmmm, poin terakhir seriusan bikin sensi. Giling, sampai segitunya gitu loh. Betenya lagi sampai ada yang bikin surprise party gitu kalo personel Energy ulang tahun. Apa deh. Asik, beneran kesel lah saya. Haha. Ih, pokoknya amazed, cederung sirik, cenderung bete, cenderung nyesel nggak ngelakuin hal-hal itu di masa muda saya. Aslinya.

Hmmmm, yasudahlah biarkan mereka hidup dalam kebanggaannya sementara saya menyesali kekuranglincahan saya. Saya akan melanjutkan hidup. Akhirnya gara-gara saya bete baca cerita mereka, saya pun meneruskan pencarian saya atas lagu-lagu Mandarin lainnya yang tidak dinyanyikan oleh Energy. Saya nemu lumayan banyak. Lumayanlah. Pokoknya lagu-lagu yang dulu cuma saya koleksi melalui kaset rekaman dari siaran Radio Mei Sheng atau paling maksimal adalah kaset yang saya beli di Disc Tarra atau Aquarius sekarang sudah ada versi digitalnya. Mmmm, ini dia daftar yang sudah saya download :


  • Wo Nan Guo-5566
  • Wu Suo Wei-5566
  • One More Try-5566
  • Bao Feng Yu-Toro
  • Ni Ying Gai Zhi Dao-Toro
  • Wang Le Ai-Toro
  • Dui Shou-Toro dan Johny Yan
  • Jue Ding Ai Ni-Vivian Hsu
  • Wo Hu Xi Ni- Vic Zhou
  • Rang Wo Ai N-Vic Zhou dan Barbie Hsu
  • Shou Xi de Wen Rou - Vic Zhou
  • You Ni de Shi Jie - Jimmy Lin
  • Qu Zou Zou- Jimmy Lin
  • I Want You I Need You-Jimmy Lin
  • Zai Xing_Peter Ho dan Chen Yi Rong
  • Zai Jian Ying Huo Chong -Jacko Yuan
  • Yong Yuan Yong Yuan - Li Yi Jin
  • Don't Stop - Jolin Tsai
  • Shuo Ai Ni- Jolin Tsai
  • Ting Bu Dao Ni - WeWe
  • Just Fall in Love - WeWe
  • Happy Day-WeWe
  • Sara-WeWe
  • Yi Shi de Mei Hao- Angela Zhang
  • Journey-Angela Zhang
  • I Don't Want to Know -Chen Wei
  • Hua Xiang-Ambrose Hui


Lagu lain yang sudah saya download sebelumnya ya paling Energy, SHE, Jay Chou. Kalau mereka sih saya udah punya full albumnya. F4 juga walaupun waktu SMP saya masih belum suka sama mereka juga saya udah punya albumnya. Hampir full album. Mmmm, 5566 juga udah punya albumnya, tapi saya lupa jadi saya malah download lagi tiga lagu. Terus yang full album lagi itu Comic Boyz, BAD, sama Tension. Itu boyband semua gitu yak. Haha. Tapi serius deh, walaupun mereka adalah boyband, jangan bandingkan dengan boyband zaman sekarang yang bajunya lebay dan mukanya mirip cewek *walaupun tetep ganteng dan menggiurkan sih*. Boyband zaman saya SMP itu mah tampilannya tetep maskulin, bajunya cuma jeans, kaos, jaket, paling maksimal juga paling kemeja putih berjas kalau lagi konser yang lagunya lagu ballad. Mereka juga ngedance, mereka juga ganteng, suara mereka juga khas. Okelah pokoksnyah.

Ah, senanglah saya bisa dapat lagu-lagu lama itu dalam versi digitalnya. Terus pas saya dengerin juga kualitasnya bagus dan yang paling penting adalah saya masih hapal lirik lagu mereka. Ah, cucoklah pokoknya akhir tahun ini habis UP saya bisa menyanyi dengan gembira dan tartil. :* Terima kasih, Google :)

Ark.Des'11.

Di Akhir Semester 9

Alhamdulillah, setelah melewati masa pembimbingan yang luar biasa mengeluarkan darah, keringat, dan air mata sejak bulan Maret 2011, tanggal 27 Desember 2011 lalu saya akhirnya bisa melaksanakan Seminar Usulan Penelitian skripsi saya yang berjudul Pencitraan Internasional dalam Destination Branding Singapura melalui Turisme Mal. Seminar UP tersebut bisa dibilang sangat berkesan *halah* terutama kalau mengingat detik-detik pasca-acc sampai detik-detik sebelum UP.

Saya sudah mendapat tanda tangan acc sejak tanggal 11 November 2011 lalu. Nah, tapi hidup ternyata belum beres di situ. Beberapa hari setelah penandatanganan draft saya itu, saya masih dapat DM dari pembimbing saya *ada di posting di bawah* yang akhirnya membuat rumusan masalah saya ada dua dan beranak hingga sebelas pertanyaan serta cara analisis dalam metode penelitian saya juga jadi ada dua, yakni deskriptif dan semiotika. Dari DM itu saya masih melakukan revisi-revisi dan akhirnya saya baru daftar UP itu awal Desember 2011. Habis daftar UP, hidup juga belum beres. Saya masih bimbingan bahkan hingga lima hari sebelum UP dan masih ada revisi. Revisi dari dosen pembimbing saya pada lima hari sebelum UP itu sebenarnya tidak banyak, hanya saja ketika malam setelah bimbingan hingga jam 9 malam yang kemudian dilanjut makan malam dengan Ayie dan Andris di che.co sampai jam 11 malam, saya membuat finishing dokumen, eh saya nemu lagi hal-hal yang bolong dari draft saya. Finishing yang awalnya hanya pikir akan selesai pukul 1 dari start pukul 00.00 itu pun molor sampai pukul 3 pagi. Zzzzzzz. Sebentar, hidup belum beres. Jam 7 saya bangun dan setengah delapan saya sudah nongkrong di gerai print dan fotokopi paling gaul se-Jatinangor yakni di Febrian depan Pangdam. Ngapain? Ngeprint, motokopi, dan ngejilid si draft. Kenapa harus sepagi itu soalnya saya harus langsung membagikan undangan kepada para pembimbing dan penguji. Itu kritis banget, soalnya itu udah hari Jumat, sementara saya UP hari Selasa, dan hari Senin itu kan libur Natal. Ditambah lagi, menurut info yang beredar, si dosen penguji saya itu cuma nongkrong di kampus pas Jumat dari jam 7 sampai jam setengah 10 pagi. Hrrrrrrr. 

Saya pikir si print, fotokopi, dan jilid saya itu bakal beres setengah jam, eh ternyata baru beres jam 9. Ngeprintnya sih sebentar, apalagi saya sudah mengikuti saran Ayi untuk menyimpan dokumen saya dalam bentuk doc, nggak docx, gara-gara Office saya Office 2010 yang mengakibatkan kalau saya ngetik di 2010 tapi diprint di rental yang office-nya masih 2007 maka ada banyak teks yang nggak pake spasi. Biasanya saya lama ngeprint gara-gara saya selalu nyimpan dokumen saya dalam bentuk docx 2010 yang akhirnya membuat saya harus mengedit spasi di tempat ngeprint. Ngeprint cuma sebentar, yang bikin lama itu fotokopi dan jilidnya. Ingat, Febrian ini sangat terkenal seantero Jatinangor karena harganya yang murah dan kualitas global. Ingat juga bahwa tanggal saya mendatangi Febrian itu adalah tanggal 23 bulan Desember yang saya yakin nggak cuma saya yang mengejar seminar UP pada akhir tahun, tapi juga jutaan mahasiswa Unpad lainnya. DItambah lagi ratusan ribu mahasiswa lain yang harus mengumpulkan tugas akhir semester. Tak heran, Febrian pun luar biasa ramai pada hari itu. Pasti saham Febrian di BEJ langsung melonjak ya pada akhir tahun ini. Saking ramainya Febrian, orderan fotokopi dan jilid saya yang berjumlah lima ekslemplar itu pun terkatung-katung. Saya tinggal mengambil uang di ATM, eh masih belum beres. Saya tinggal beli amplop coklat kecil, eh belum beres. Saya nempelin label di amplop-amplop undangan, eh belum beres juga. Oh iya, senangnya si label untuk undangan ini udah dipotongin dan ditempelin sama Ayi satu hari sebelumnya waktu Ayi lagi nungguin saya bimbingan, jadi saya tinggal nempelin yang belum sempat tertempel di amplop coklat kecil yang baru saya beli. Kalau di amplop coklat gede kan udah ditempelin Ayi jadi saya sangat senang dan bersyukur mmuah mmuah karena pekerjaan saya teringankan hihihihi. Pukul sembilan hampir merangkak ke setengah sepuluh, orderan saya beres. Sedih juga harus mengeluarkan tujuh puluh ribuuuuuuuuu hiks. Ini baru draft UP, gimana draft seluruh skripsi, gimana jilid skripsi yang pakai hard cover. Oke, pesan moralnya, menabunglah untuk beberapa bulan ke depan sidang skripsi . Hehehe.

Sampai di kampus, ternyata dosen yang saya cari nggak ada. Eeeeeaaaa. Ternyata beliau nggak ngampus. Eeeeaaaa. Saya cuma berhasil ngasih undangan secara langsung itu ke Ketua Jurusan dan ke pembimbing satu saya. Untuk dosen lainnya, semuanya minta dititipkan di Jurusan saja. Eeeeaaaa. Masih ada masalah lagi, si penguji saya itu sebenarnya belum konfirmasi iya atau engga untuk menguji saya. Hmmmh. Tegang. Tapi itu rasnaya udah pasrah bangetlah. Mau bisa atau engga, ya sudahlah. Kalau mereka bisa datang, ya berarti UP saya jadi diadakan tanggal 27 Desember 2011, kalau mereka nggak bisa datang ya sudahlah paling Januari atau Februari. Apapunlah. Udah pasrah banget.

Sabtu sampai Senin, saya membuat slide. Ini bagian terniat dari UP saya setelah draft saya tentunya. Sebenarnya saya sudah mendownload templates power point sejak saya di-acc dan slide juga sudah saya buat sejak saya daftar UP di awal bulan, tapi belum beres. Waktu itu saya cuma bikin kerangka slide dan paling juga memasukkan bagian Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian. Yang lainnya belum. Akhirnya Jumat malam setelah menyerahkan undangan-undangan, karena saya jadi agak-agak lupa apa yang saya tulis secara detail, saya baca lagi draft saya dan mencari intisari yang menjual, tidak menimbulkan kontroversi, tidak menggugah pertanyaan, dan padat untuk ditampilkan di slide. Sabtu seharian saya memasukkan inti dari Bab I-III, Minggu seharian membuat efek animasi dan transisinya sekaligus menetapkan diri memilih satu desain template yang tidak alay, tidak sepi, secara kuat menyiratkan kepribadian saya, dan tidak merusak mata penguji dan pembimbing, haha, dan Senin saya membuat script yang harus tuntas dibaca dalam waktu 15 menit. Tiga hari yang cukup termanajemenlah dalam hidup sayalah pokoknya. Haha. Iya, saya benar-benar menghindari kebut-kebutan dan woles-wolesan. Pokoknya itu tiga hari yang sangat iye banget dahhhh. Hahaha.

Nah, datanglah hari Selasa yang ditunggu-tunggu itu. 

Kelegaan pertama : Dua dosen pembimbing saya datang sebelum pembukaan UP.
Kelegaan kedua : Notulen saya, Kanjeng Bos Grinanda, juga datang ngebela-belain dari Jakarta. :* :* :*
Kelagaan ketiga : Kajur saya ngamuk gara-gara dosen-dosen penguji hari itu beberapa belum datang dan tidak konfirm.

Meskipun sudah ada tiga kelegaan itu, masih ada lagi ganjalan yang utama. Kemana atuhlah dosen penguji sayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....

Satu kabar datang : Dosen Penguji I membatalkan kesediannya
Kabar berikutnya : Dosen Penguji II katanya sedang berada di Bali

Udahlah ini mah udahlah

Eh tapi di saat-saat tegang itu, tiba-tiba plung plung plung...
Dosen Penguji II saya datang dengan rokoknya dan muka santainya.
Tidak berapa lama kemudian...
Dosen Penguji II saya yang killer, yang di mata kuliahnya saya nggak pernah dapat A, yang sangat positivis, yang terlihat sangat mainstream....DATANG.

Saya nggak tahu harus lega atau engga si bapak killer itu datang. Lega sih lega soalnya saya ada penguji. Nggak mungkin kan saya UP secara independen macam kepala daerah. Nggak leganya soalnya saya pikir saya pasti di cecar dengan perdebatan positivis-postpoitivis, yang nantinya bakal mempertanyakan apakah skripsi saya cukup HI atau tidak, apakah reputasi itu nyata adanya, apakah citra itu terasa, dan apakah saya mengada-ada. Ah, tapi yaudahlah. Yang saya pikir, sih, saya sudah membaca banyak literatur yang memberi peyakinan akademis kepada saya bahwa Tuhan itu ada, baik, dan selalu memberi pertolongan melalui akal sehat dalam mengemukakan pendapat. Oke, UP pun dimulai.

Beres menerangkan presentasi yang dilafalkan secara padat, cepat, tegas yang didukung juga secara moril dengan anggukan kepala dari dosen pembimbing saya yang saya pikir beliau lega atas kekhawatirannya terhadap saya jika sampai salah kata, salah konsep, atau melewati konsep dalam beberapa poin krusial, serta picingan mata berpikir dari dosen penguji yang kemudian menarik nafas yang sepertinya menandakan bahwa pertanyaannya terjawab dalam slide, saya mengucapkan wassalam. Siap-siap dicerca tapi kali ini dengan perasaan yang lebih lapang karena saya sudah beres memaparkan slide saya. Di luar dugaan....kedua dosen penguji saya bilang penelitian saya baguuuuuuusssss dan bisa membuka pandangan mengenai cara Singapura mendapatkan power dari seduksi citra di mal-malnya. Yaiiiiyyyyyyyyy. Lega. Seminar UP yang biasanya dihiasi oleh cecaran judul, rumusan masalah, tujuan, manfaat, pendekatan, dan metode, kemarin kebanyakan diisi oleh saran hal-hal apa yang harus saya masukkan agar skripsi saya lebih menyeluruh (baca : tebal). Ada juga catatan atas kealpaan saya, yang senangnya saya juga menyadari kealpaan itu jadi saya tahu apa yang harus saya lakukan (baca : nggak ngotot ngerasa bener sendiri).  UP Kemarin juga yang saya rasakan, dosen penguji saya bukan menguji dalam arti memberi ujian. Saya melihatnya diskusi. Ada, sih yang bilang kalau suasana itu terbangun karena si dosen saya itu basic-nya mainstream, jadi 'kurang masuk' ke dalam pembahasan saya. Tapi kayaknya nggak segitunya juga, sih. Dosen pasti paham sebaru apa pun pembahasan yang dibawa mahasiswanya. Awalnya juga kan saya takut kalau saya dicerca gara-gara betapa berbedanya jalan yang diambil saya dan dosen penguji saya *halah*, tapi ternyata mereka juga merasakan fenomena yang saya rasakan. Salahnya sih kemarin saya lupa menyebut kata 'negara' sebagai unit analisis saya dan sebagai aktor yang berperan. Saya kebanyakan langsung menyebut 'Singapura' dan 'mal' sehingga seolah-olah 'mal di Singapura'-lah yang menjadi agen power Singapura secara mandiri, padahal 'mal di Singapura' juga diatur oleh pemerintah Singapura, sehingga kata 'Singapura' yang saya sebutkan itu sebenarnya merujuk pada 'Negara' sebagai aktor dan agen power, bukan secara langsung merujuk pada 'mal'. Mal mah alatnya.

Seminar beres, menunggu yudisium. Kemarin cukup lama juga yudisiumnya. Dari jam setengah dua beres UP, baru jam setengah empat atau jam tiga gitu ya diumumkan yudisiumnya. Hore saya dapat A. Tapi masih mengganjal, sih. Biasanya dan dari yang sudah-sudah sih, sebelum disebutkan huruf mutunya, disebutkan dulu skor-nya. Misalnya, Dedeh, skor 3,19, huruf mutu B. Biasanya gitu. Nah, yang kemarin itu entah kenapa nggak disebutkan. Jadi ya sudahlah pokoknya A saja. Hmmh. Saya tanya sih ke Kajurnya kenapa nggak diumumin pakai skornya, tapi beliau tidak memberi jawaban yang masuk akal (baca : tidak terayu untuk memberikan bocoran berapa nilai saya). Ya nggak apa-apa, sih. Sudah A gitu loh. Hmmm, tapi apa ya...Udah terlanjur tegang nungguin angka, sih. Macem orang nunggu hasil togel aja kali ya. Haha. Iya, sebenernya yang bikin tegang dari yudisium UP itu ya skor-nya. Kemarin udah nanggung tegang, yah ga ada skornya. Rugi bandar aja gitu. Hehehe. Tapi yasudahlah. Yang penting saya legaaaaa sudah UP di akhir semester 9 ini :)

Beres UP, saatnya berkonsentrasi pada bab 4-7. Yah, semoga bakal tetap 7, nggak nambahin lagi. Saatnya turun ke lapangan dan membuat laporan. Jangan tanya kapan saya akan beres. Saya juga nggak tahu kapan. Haha. Pesan moral dari proses menuju UP kemarin sih, selalu ada jalan terbaik dari Allah kok kalau kita tekun berusaha, jadi ya sekarang mah saya cuma bisa menjalani sebaik mungkin  :)

Balada Sepuluh Tahun Energy





Kalau ada yang bilang bahwa sekarang adalah masanya boyband, saya kurang setuju. Dari zaman saya TK juga boyband sudah ada, masalahnya ya media untuk mengakses si boyband yang banyaknya berasal dari Amerika itu masih belum merata dan merakyat. Beda sama masa sekarang yang warnet sudah masuk desa, dulu mah baru ABRI yang bisa masuk desa. Kalau mau nonton boyband, minimal harus kenal dulu sama MTV.

Hmmm, ngomongin soal boyband dan jadi satu dari sekian bayak fans boyband, saya juga pernah jadi gadis yang kalau dibahasakan dengan bahasa zaman sekarang ya jadi gadis alay. Haha. Iya, kan, sekarang kita kalau lihat anak-anak SMP dan SMA yang masih ternganga setiap melihat Suju, Beast, SS501, atau bahkan HITZ, pasti kita langsung memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Pemberi Petunjuk agar segera menyadarkan mereka bahwa nikmat penglihatan itu sebaikanya tidak digunakan hanya untuk melihat glamoritas pria-pria yang sulit dijangkau. Nah, saya waktu SMP sampai kelas 2 SMA pernah mengalami masa-masa itu. Errrr, ralat, kayaknya sampai sekarang masih sih tapi karena keterbatasan zaman dan berkembangnya rasionalitas dari dalam dompet, saya pun sekarang sudah tidak sesanter dulu dalam mencintai boyband legendaris dari Taiwan, Energy.


Saya suka band yang digawangi oleh Ah Di, Shu Wei, Kun Da, Toro, Niu Nai, dan Xiao Gang ini sejak tahun 2002. Hmmm, sekitar kelas 2 SMP. Ah, iya, dinamika anggota Energy ini cukup bikin sesak juga. Personel yang ada dari awal sampai sekarang itu cuma Ah Di, Shu Wei, dan Kun Da. Toro keluar tahun berapa gitu ya lupa, terus berapa tahun kemudian giliran Niu Nai yang keluar, terus digantikan oleh Xiao Gang. Karena XIao Gang ini anggota yang sangat baru, saya nggak punya kedekatan emosional dnegan Xiao Gang. Halah. Iya, saya nggak terlalu kenal Xiao Gang dan enggak kepengen juga tertarik sama Xiao Gang lalu menerima dengan ikhlas bahwa Xiao Gang adalah anggota resmi Energy. Pokoknya selepas Toro dan Niu Nai pergi, Energy ya cuma Ah Di, Shu Wei, dan Kun Da. Demi apaaaaa, keterangan barusan penting pisan. Haha.


Alasan saya suka sama Energy? Hmmm, ya lagunya enak didengar, dari yang ballad sampai yang keras, terus skill ngedance mereka sungguh mempesona, beberapa di antaranya bermuka ganteng khas Asia Timur, warna suara dua vokalis utamanya, Ah Di dan Shu Wei, totally amazing, sempat banyak diliput media yang kerennya, liputan tersebut nggak memperlihatkan kepongahan, kesokterkenalan, atau eksklusivitas mereka. Energy itu selalu diceritakan sama seperti remaja-remaja pada umumnya yang gokil. Pokoknya nggak palsu. Kalau dianalogikan sama kehidupan saya selama mahasiswa sekarang ya mungkin Energy itu tipikal pria-pria yang suka makan di Pedca, nungguin dosen bimbingan, ngambil duit di ATM yang dua puluh ribuan, nongkrong di kafe sambil nge-kepoin orang-orang secara random, cuma bedanya Energy itu ganteng dan menjual, nggak kayak saya dan teman-teman saya.


Nah, selayaknya anak-anak remaja alay pada umunya, saya pun membuktikan ke-fetish-an sama terhadap Energy dengan membeli majalah, tabloid, dan kaset serta memutar lagu-lagu Energy terus menerus sampai saya hapal semua lagunya, nggak cuma lagu ballad, tapi juga lagu yang ada rap-nya. Jagoan lah pokoknya saya. Sampai sekarang kalau playlist saya secara random memutar lagu Energy, saya tanpa sadar langsung mengikuti liriknya. Hmmmm, saya juga pernah nangis dua kali terkait dengan Energy. Errrr, pertama waktu Toro, salah satu personel yang unyu, keluar dari Energy, dan kedua waktu Energy terancam bubar sekitar setahun atau dua tahun sepeninggal Toro. Ah, sedih pisanlah. Saya akui itu alay, tapi saya juga sampai sekarang nggak bisa bohong bilang kalau saya nggak merasa sesak dengan keretakan Energy. Lebay? Iya, sih, tapi saya seriuuuusssss ini seriusnya seriusssss. 

Namun demikian, di antara dedikasi saya yang begitu tulus untuk Energy dan meskipun kamar saya sempat penuh dihiasi poster Energy serta saya nggak berhenti memutarkan lagu Energy, saya punya dosa yang tidak terampuni soal Energy. Saya nggak pernah bisa menirukan dance-dance mereka macam anak-anak zaman sekarang yang gara-gara jatuh cinta sama Suju jadi lancar ngedance padahal nggak pernah ikut kursus cheerleader zaman sekolah. Bukan karena saya nggak niat dalam mencintai Energy, tapi saya emang nggak berbakat dalam mengoordinasikan mata, otak, tangan, kaki, pinggang, bahu, dan musik. Saya bebal masalah olah tubuh. Dosa berikutnya adalah saya juga nggak pernah datang ke konser Energy yang bahkan sempat konser di Bandung. Makanya saya sebel banget sama bapak saya yang pernah sepesawat sama Energy waktu Energy mau konser empat kota di Indonesia sekaligus saya menyesal nggak nganterin bapak saya ke bandara. Ah, gila, dulu saya punya kesempatan gituh buat ketemu Energy tapi saya meluputkannya. 


Hidup sembilan tahun dengan Energy dan mengoleksi kenangan-kenangan bersama Energy membuat perasaan saya jadi begitu sentimentil selama dua hari terakhir gara-gara waktu saya main ke fanpage-nya Energy di facebook, saya nemu video aplotan sesama penggemar Energy yang memutarkan suara Ah Di yang kini mendedikasikan dirinya untuk anak perempuannya. Ah, iya, sejak saya kuliah, saya agak longgar mengikuti berita-berita Energy sampai-sampai saya nggak tahu kalau Ah Di sudah menikah dan sudah punya anak cewek yang lucu. Jleb pisan rasanya tahu Ah Di punya berita besar tapi saya telat tahu. 



Nah, didorong oleh rasa jleb yang beberapa bulan lalu sempat menghinggapi saya, makanya waktu saya liat video Ah Di yang sedang menyanyi untuk anaknya, saya jadi merasa sentimentil dan melankolis. Saya jadi tersadar satu hal, yes we have grown up so far. Dulu saya hanya seorang gadis sekolah menengah dan mereka adalah sekumpulan remaja yang bernyanyi untuk fansnya. Sekarang saya sudah berumur 22 tahun dan idola saya juga sudah memiliki dunia lain di luar dunia panggungnya. Yappppp, dunia berputar dan mengoleh-olehkan saya kenangan masa lalu. Enggak, saya nggak akan berhenti suka sama Energy. Meskipun sekarang mereka sedang vakum bikin single atau album dan media sudah jarang meliput mereka, saya tetap suka sama mereka, yah setidaknya telinga saya paling nyaman kalau sedang mendengarkan lagu mereka. Hmmm, apa ya...saya sentimentil aja gitu, gila ya sekarang gue udah gede, mereka juga udah jadi bapak-bapak (meskipun belum semuanya nikah dan punya anak). Terus kayak, ah serius nih gue udah bukan anak SMP-SMA lagi. Beneran nih sekarang sudah mau tahun 2012? Bener nih kalau tahun 2012 dan tahun 2002 itu jaraknya sepuluh tahun yang kalau dikonversikan dengan usia manusia mah umur segitu udah mau Ujian Nasional SD. Ah, masa sih gue udah berjalan sejauh ini. Gila ajalah, ini udah sepuluh tahun. Sepuluh tahun gituloh. Pohon mangga dan jambu air yang dulu saya tanam berbarengan dengan saya mendengarkan lagu Energy yang masih sama Toro sekarang juga beberapa dahannya sudah ditebang karena tingginya sudah melebihi tinggi rumah saya. Hmmmmm....sepuluh tahun...Dunia sudah berjalan selama sepuluh tahun, ternyata.

Ark.Des'11

Ciwalk dan BIP : Representasi Citra Beauty dan Benign dalam Aspek Tourism dan Trade


Setelah Jumat lalu saya mengunjungi BSM, saya jadi kepikiran untuk mengunjungi mal-mal lain yang berada di Bandung. Sama sekali bukan untuk belanja, kok (errrr...tapi sempat membeli beberapa-suatu juga sih akhirnya). Saya lagi latihan menangkap citra-citra brilliance, beauty, benignity di mal supaya nanti kalau saya turun observasi lapangan di Singapura buat skripsi saya, saya nggak grogi lagi. Haha. Selain itu juga saya lagi menguji coba kamera hape saya apakah bisa digunakan sebagai alat kunci perekaman objek. Apa pasal? Pasalnya adalah kamera digital saya rusak dan kayaknya sayang aja kalau saya beli kamera digital baru. Nah, dalam melaksanakan uji coba tersebut, untuk menghindari niat belaka tanpa ada eksekusi, akhirnya pada hari Senin yang siangnya cerah dan sorenya hujan, saya pun melangkahkan motor ke Cihampelas Walk dan Bandung Indah Plaza setelah saya mengunjungi Kantor Pajak Majalaya di Jalan Peta. Sempat hujan deras dan jaket saya basah kuyup (termasuk juga sayalah tentunya), tapi hal tersebut tidak mengurangi kegigihan saya. Asek. Saya memulai petualangan mal pada pukul 16.30 hingga pukul 21.00. Kenapa lama sekali? Karena pada prinsipnya janganlah menyia-nyiakan perjalanan Anda tanpa menoleh-noleh Fitting Room.

Cihampelas Walk
Bangunan utama Ciwalk


Terletak di bilangan yang sudah terkenal seantero Indonesia sebagai pusat jeans dan sempat menjadi pusat turisme Bandung, Cihampelas Walk dibangun untuk melengkapi wisata belanja di sepanjang Jalan Cihampelas yang sejak saya TK sudah membuat saya ternganga karena keunikan bangunan-bangunannya. Menjadi cantik dan unik secara desain pun merupakan keharusan bagi Mal Cihampelas Walk. Citra beauty atau elok atau secara lengkap disebutkan Ruth Lorand dalam Aesthetic Order : A Philosophy of Order, Beauty, and Art sebagai bentuk abstrak yang dalam representasi materialnya mengandung nilai-nilai estetik dan mampu menciptakan kesenangan, kekaguman, dan pengidolaan di benak subyek yang mengamatinya pun saya temukan di beberapa sudut mal ini, terutama di ruang terbukanya. 


 Saya melihat beberapa hal yang mendorong kentalnya citra beauty di Ciwalk. Pertama karena Ciwalk harus bersaing menarik kunjungan wisatawan yang menyambangi toko-toko jeans di sekitarnya. Di kawasan Cihampelas, meskipun Ciwalk menjadi the only one mall, bukan berarti Ciwalk tidak memiliki saingan. Dalam hal ini, kita harus melihat Ciwalk tidak sebagai mal, tetapi sebagai toko yang menjual komoditas yang berada di kawasan turisme. Dibandingkan dengan toko-toko jeans di sekitarnya, Ciwalk tidak memiliki keunikan komoditas yang dijual. Ciwalk memang memiliki J.Co, Yogya Department Store, Adidas, Elizabeth, dan toko-toko bermerk lainnya, tetapi toko-toko seperti itu juga bisa ditemui para turis di wilayah asalnya. Selain itu, komoditas di Ciwalk juga dijual dengan harga yang standar alias di seluruh Indonesia atau singkat cerita, tidak ada harga atau promosi khusus bagi para pengunjung mal. 

Dengan minimnya keunikan, baik dari segi komoditas maupun harga, sementara pada dasarnya turis melakukan kegiatan turisme karena adanya dorongan ingin mencari sesuatu yang otentik dan unik, bagaimana Ciwalk dapat bertahan apabila Ciwalk tidak mengeksplorasi  citra beauty? Melalui citra beauty, Ciwalk dapat menunjukkan keunikannya dibanding toko-toko di sekitarnya. Dari beauty juga Ciwalk mengimpresi benak para pengunjungnya. Setelah pengunjung terimpresi kemudian tetarik menelusuri sudut-sudut Ciwalk, baru kemudian pengunjung diajak untuk menikmati komoditas yang dijual di Ciwalk. Pada proses penjualan komoditas di dalam Ciwalk, saya rasa Ciwalk menyerahkan sepenuhnya kepada para pemilik gerai. Tidak ada koordinasi khusus seperti adanya kartu anggota Ciwalk yang bisa dijadikan kartu diskon di gerai-gerai di Ciwalk.  
Kedua, kesatuan tema dengan bagunan-bangunan toko di kawasan Cihampelas menjadi alasan juga bagi Ciwalk untuk menjadi mal yang cantik. Sebagai bangunan yang terletak di kawasan yang bertema unik, tentu Ciwalk juga harus berada di dalam tema agar tidak menjadi alien. Kelebihan Ciwalk pada poin ini adalah sebagai mal, Ciwalk memiliki fleksibilitas yang tinggi untuk mempercantik diri dalam tema tertentu sesuai dengan perayaan terdekat. Ciwalk pun memiliki banyak wajah yang bisa dinanti-nanti oleh para wisatawan. Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini, misalnya, kita bisa menikmati elemen estetik Ciwalk sejak kita masih berada di luar bangunan mal Ciwalk. Di ruang terbukanya yang luas, kita dengan mudah menemukan lampu-lampu Natal yang dirangkai di pepohonan, boneka salju lengkap dengan elemen-yang-saya-nggak-tahu-namanya-apa-tapi-bentuknya-seperti-tongkat, dan tentu saja pohon Natal yang besar lengkap dengan bintang-bintang cantiknya yang dengan mudah menarik perhatian pengunjung untuk berfoto di dekatnya. 




Melangkah ke pintu masuk utama Ciwalk, kita akan menemukan representasi citra beauty yang lebih total dengan adanya empat pohon Natal yang lagi-lagi lengkap dengan saya-nggak-tahu-namanya-apa-tapi-bentuknya-kayak-tongkat dan boneka santa serta rusa. Sebenarnya citra beauty dari penampilan tersebut sudah bisa kita temukan sejak kita berfoto di tiga obyek yang tadi saya sebutkan. Saya jadi melihat bahwa ketiga obyek tadi merupakan spoiler atau teaser atau cuplikan kecil dari citra beauty yang ingin ditampilkan Ciwalk. Representasi citra beauty yang utama berada di pintu masuk utama Ciwalk. Dari spoiler-spoiler yang ditampilkan di ruang terbuka Ciwalk, pengunjung digiring untuk menemukan representasi beauty utama dari Ciwalk. Uniknya lagi, berbeda dari mal-mal pada umumnya yang menampilkan citra beauty pada ruang dalam, Ciwalk menampilkannya pada ruang luar. Tema Natal pada ruang dalam Ciwalk hanya berupa lampu-lampu bergaya Natal yang menggantung. Nah, bila kita proyeksikan penampilan ruang luar Ciwalk ke ruang yang lebih luas di sekitar Ciwalk, yakni di kawasan Cihampelas, Ciwalk pun menjadi serupa dengan toko-toko lain di Cihampelas. Bukankah hampir semua toko di kawasan Cihampelas menonjolkan eksterior yang menggoda? Ada yang menampilkan Aladdin, Superman, bahkan kapal. Jejak-jejak khas Cihampelas ternyata masih menempel di Ciwalk yang notabene adalah mal, yakni toko yang mencoba berbeda dari toko-toko tradisional yang berada di Cihampelas. Dari keberadaan penampilan pintu masuk utama bertema Natal, Ciwalk ternyata masih satu tema dengan toko-toko di  Cihampelas.


Bandung Indah Plaza









Bandung Indah Plaza atau BIP merupakan mal tertua di Bandung yang sudah berdiri sejak tahun 1990 dan bahkan menurut bandungtourism.com sempat menjadi ikon belanja di Bandung karena sebelum BIP berdiri, orang Bandung hanya mengetahui konsep department store dan pasar swalayan. Terletak di Jalan Merdeka yang dekat dengan Alun-alun serta sekolah-sekolah terbaik Bandung, BIP pun selalu menjadi dibanjiri pengunjung yang kebanyakan berasal dari warga lokal.

Menjadi mal yang kebanyakan dikunjungi oleh warga lokal sekaligus menjadi ikon belanja tertua di Bandung membuat BIP berbeda dari Ciwalk yang mengeksplorasi citra beauty dalam aspek tourism. BIP dalam kacamata saya merupakan mal fungsional yang hanya bisa dilihat sebagai ruang perdagangan atau trade. BIP seolah bersepakat dengan warga Bandung bahwa BIP adalah tempat untuk berbelanja saja atau maksimal tempat bertemu/berkumpul dengan kawan. Dengan adanya 'kesepakatan' yang diamini secara tidak sadar tersebut, BIP seakan mendapat jaminan bahwa pengunjung yang mendatangi BIP hampir pasti akan mengeluarkan uangnya untuk membeli sesuatu atau banyak-suatu. BIP pun tidak perlu membuang banyak dana untuk mempercantik dirinya sebagaimana Ciwalk untuk menarik kunjungan dan pembelian. 

Nilai yang terkandung dalam BIP tersebut kemudian menggiring karakteristik BIP yang kita temui sekarang. Pertama, gerai-gerai di BIP merupakan gerai yang populer di mata masyarakat dan memiliki harga yang terjangkau. Keberadaan gerai-gerai tersebut kemudian menjadikan BIP sebagai mal yang ramah bagi penduduk Bandung. Tidak ada pengklasan sosial di BIP sehingga BIP menjadi ruang perkumpulan bagi masyarakat kota. Kedua, BIP juga merupakan mal yang paling banyak menawarkan diskon. Meskipun BIP juga tidak memiliki kebijakan kartu anggota yang memungkinkan pemberian potongan harga di gerai-gerainya sebagaimana Ciwalk, gerai-gerai di BIP kerap menawarkan diskon, bahkan tanpa perlu didorong perayaan khusus. Kedua hal tersebut membuat saya menyimpulkan bahwa BIP secara khusus mengeksplorasi citra benignity atau yang didefinisikan oleh Alexander Vuving sebagai kesantunan dalam bentuk pertolongan, perlindungan, dukungan, perhatian, penghormatan terhadap kebutuhan dan kepentingan subjek. Diskon yang diperlihatkan melalui banner-banner di depan gerai yang bersangkutan atau secara terkoordinasi diletakkan di tempat-tempat strategis oleh BIP merupakan representasi dari citra benign dari aspek trade yang ditujukan BIP untuk menarik dan mempertahankan konsumsi dari para pengunjungnya.

Usaha untuk mendorong kunjungan dan konsumsi yang terus-menerus dari pengunjungnya juga dilakukan BIP melalui penyelenggaraan live event. Dalam perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini BIP secara khusus menyebarkan pamflet-pamflet serta poster yang berisi jadwal pertunjukan langsung. BSM juga melakukan usaha serupa, sebenarnya, namun promosi yang dilakukan BSM tidak segencar promosi yang dilakukan oleh BIP. Dengan adanya live event sebagai pengganti penampilan visual tema Natal seperti yang dilakukan Ciwalk, BIP ingin menyampaikan pesan perayaan yang vibrant atau hidup kepada para pengunjungnya. Berbeda dari Ciwalk yang berkomunikasi melalui penampilan visual, BIP berkomunikasi melalui audio. Namun demikian, tujuan keduanya sama, yakni mengajak pengunjungnya untuk terlibat dalam perayaan yang mereka buat yang kemudian berujung pada konsumsi. Ya, bagaimanapun juga, keduanya tetap mal yang hidup dari konsumsi para pengunjungnya.




Mal dan Ruang yang Tidak Pernah Kosong Makna

Mal bagi saya merupakan ruang yang paling banyak memuat citra atau yang disebut Daniel J.Borrstin di dalam The Image sebagai profil berupa nilai simbolik menyenangkan yang sengaja diciptakan untuk diperlihatkan kepada publik. Citra yang berasal dari penajaman beberapa hal tertentu yang dianggap dapat menarik perhatian publik diperlukan demi tujuan stand out from the crowd atau menjadi pembeda yang kasat mata sehingga mampu mengantarkan suatu obyek menjadi pemenang persaingan. Mal jelas membutuhkan pengeksplorasian citra, baik untuk bersaing dengan sesama mal maupun untuk bersaing dengan toko-toko tradisional, department store, atau pasar swalayan. Apalagi, beban mal dibandingkan dengan jenis toko lainnya lebih berat karena mal memuat banyak toko yang berusaha menghadirkan konsep one stop shopping.  

Pengeksplorasian citra pun dapat kita temukan di seluruh mal yang ada di dunia, dengan contoh yang paling dekat adalah Ciwalk dan BIP. Sama-sama terletak di Bandung, kedua mal ini mengeksplorasi citra berbeda pada aspek yang berbeda untuk menarik perhatian khalayak meski keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menciptakan konsumsi terus-menerus dari pengunjung. Ciwalk lebih mengekplorasi citra beauty dalam aspek turismenya, sedangkan BIP mengeksplorasi citra benign dalam aspek perdagangannya. Dari pengeksplorasian citra yang berbeda tersebut, Ciwalk dan BIP pun memiliki karakteristik yang berbeda meskipun semua mengamini bahwa keduanya adalah mal. 

Kentalnya mal dengan citra-citra membuat mal tidak lagi cukup apabila hanya dianggap sebagai ruang tanpa makna. Bahkan, mal dalam pandangan Margaret Crawford merupakan contoh dari hiperrealitas dan menurut Featherstone merupakan ruang spektakuler yang mengonotasikan kemewahan, impian, dan nostalgia. Pengunjung mal pun dibuat terkesan oleh citra-citra yang terdapat di mal dan digiring untuk tidak bisa membedakan mana citra dan mana realita. Dari kesenangan dan kebiasan yang ditimbulkan oleh citra tersebut, pengunjung merasa betah berada di mal dan tidak berkeberatan menghabiskan lebih banyak lagi uangnya di sana.  Lebih jauh lagi, keberadaan mal malah telah menjadi sebuah syarat bagi kota atau bahkan negara untuk dapat dikategorikan sebagai tujuan/destinasi yang menarik dan patut dikunjungi. Mal pada masa kini telah berkembang menjadi salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam GNC atau Gross National Cool suatu negara :)



Ark. Des'11