City Hunter dan Dialog Liberalisme



Negara membuat hukum demi melindungi rakyatnya. Namun bagaimana jika malah negara sendiri yang ingkar, mempergunakan kekuasaannya kemudian bersikap banal terhadap rakyat? John Locke, Montesquieu, dan CF Strong pernah menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajukan konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan demi meminimalisasi korupsi power dari negara. Namun apakah pembagian kekuasaan antara pembuat hukum, pelaksana hukum, dan penegak hukum sudah cukup? Nampaknya tidak bagi Tsukasa Hojo, si pembuat komik strip koran di Jepang tahun 1985-1991. Melalui komiknya City Hunter, Hojo menuangkan impiannya akan keberadaan sosok yang mampu mengamankan rakyat dari kesewenangan negara. Komik tersebut kemudian mengisnpirasi film-film bertitel serupa di Jepang (1987) dan Cina (1993) serta yang teranyar di Korea (2011) melalui drama yang dibintangi aktor dan aktris rupawan yang tentu mampu menarik perhatian puluhan juta pasang mata di Asia. 

Meskipun diilhami dari komik City Hunter yang dibuat oleh Hojo, jangan pikir bahwa drama ini akan semata-mata memindahkan karakter komikal menjadi representasi manusia dengan jalan cerita yang sama. Jangan berharap menemukan Ryo Saeba, sang tokoh utama dalam komik, dalam representasi Lee Yoon Seong, tokoh utama dalam drama membasmi kejahatan ala Batman dan Spiderman di komik Marvel menggunakan pistol sambil memperdaya banyak wanita. Meski sama-sama mengisahkan perjalanan pahlawan yang bertugas menegakkan keadilan di kota, City Hunter versi Jepang ini telah banyak diadaptasi menjadi berbau Korea, tak hanya dari dekonstruksi pria maskulin ala Korea, bumbu percintaan, dan plot khas drama yang sangat kompleks menjelaskan hubungan keluarga, tetapi juga dari latar penceritaan yang menggerakkan keseluruhan cerita serta pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Drama City Hunter pun menjadi drama yang tidak biasa karena menampilkan gagasan liberalisme, kekeluargaan, dan romantisme dalam satu layar.


Konflik-konflik
Diawali dari patriotisme membela bangsa yang diserang oleh pihak musuh, lima orang pejabat teras militer merundingkan rencana pembalasan dengan menyusupkan tentara rahasia ke Korea Utara. Di tengah operasi yang dijalankan oleh 21 orang tentara rahasia tersebut, kesepakatan yang dilandasi oleh rasa emosi itu dibatalkan karena adanya pertimbangan bahwa bila pihak sekutu Korea Selatan, yakni Amerika Serikat mengetahui pengkhianatan Korsel terhadap perjanjian dengan Korut, maka AS segera mencabut perlindungan terkait nuklir untuk Korsel. Memilih citra dan keamanan Korsel di tingkat internasional atau membela dua puluh satu orang tentara yang jelas-jelas telah menjadi 'anak negara', lima jenderal tersebut pun menjustifikasi keputusan mereka untuk melenyapkan dua puluh satu tentara sepulangnya tentara tersebut dari misi di Korut.

Hal pertama yang ingin diklarifikasi oleh drama City Hunter ini adalah tentara bukan sekedar bidak yang bisa dimainkan oleh negara begitu saja, yang apabila tentara tersebut meninggal maka mereka hanya akan menjadi sekumpulan nama yang bisa dihapus dari sejarah. Tentara adalah manusia dengan cinta yang teramat besar kepada negara yang menganggap bahwa negara adalah satu-satunya tempat bernaung paling aman yang tidak mungkin mengkhianati mereka. Ketika mereka tahu bahwa negara yang mereka agungkan berbalik menghilangkan mereka, maka mereka pun memiliki pertanyaan yang berkembang menjadi dendam.

Dendamlah yang kemudian mengantarkan satu-satunya tentara yang selamat dari operasi penyapuan, Lee Jin Pyo, untuk menggerakkan plot dalam drama City Hunter. Dilatarbelakangi oleh keinginan membalaskan dendam secara banal dan megah, Lee Jin Pyo kemudian menculik bayi dari sahabatnya yang mati dalam operasi penyapuan, membawanya ke perbatasan Myanmar-Thailand, kemudian mendidiknya dengan sangat keras sehingga menjadi seorang Lee Yoon Seong yang piawai berkelahi, mahir memainkan senjata, serta jenius secara akademik, namun sayangnya setelah mendapat pendidikan di Amerika Serikat dari mulai gelar S1 hingga PhD memiliki keyakinan besar pada keberadaban penyelesaian  melalui jalan hukum.  

Dua puluh delapan tahun berjalan, ketika dikirim Jin Pyo ke Korea kemudian menjadi salah seorang tenaga ahli di Blue House atau Istana Negara, Yoon Seong diharapkan mampu memburu lima jendral yang melakukan operasi penyapuan kemudian membunuh mereka tanpa ampun. Namun, berkebalikan dengan apa yang diharapkan oleh Jin Pyo, Yoon Seong malah mencari titik-titik kesalahan masing-masing jendral yang bisa diajukan ke meja pengadilan. Tak disangka, para jenderal yang pada saat ini telah menjadi pejabat politik Korsel tersebut memang melakukan korupsi besar di sektor-sektor strategis seperti pemeliharaan anak terlantar, militer, pendidikan, keselamatan pekerja, dan pembuatan undang-undang. Menariknya, sebagaimana yang bisa dilakukan oleh drama, korupsi tersebut tidak hanya disajikan melalui angka-angka, tetapi juga diperlihatkan melalui narasi penderitaan beberapa sosok yang terimbas korupsi pejabat yang kehadiran mereka menggugah Yoon Seong untuk segera bertindak. Di sini, Yoon Seong pun tidak tampil sebagai anak yang marah karena ayahnya ditembak mati di laut setelah menjalankan misi negara, tetapi sebagai warga sipil yang merasa kepercayaannya dikhianati. Rasa sakit karena dikhianati tersebut kemudian mengantar Yoon Seong menjadi sosok yang disebut media massa sebagai City Hunter. Secara jenius, cermat, dan taktis Yoon Seong membuat taktik untuk menjebak para koruptor di luar cara-cara dan birokrasi hukum, mempermalukan pejabat tersebut di mata publik, kemudian meyerahkannya kepada kejaksaan secara misterius.

Dua titik ekstrem tindakan Yoon Seong, yakni kemahiran berkelahi, memutar otak, dan menjebak target serta kepercayaannya terhadap hukum membuat Yoon Seong tidak hanya bertikai dengan Jin Pyo, tetapi juga dengan jaksa Kim Yong Ju. Jaksa Kim merasa terlecehkan karena selalu didahului oleh Yoon Seon dalam menangkap tangan para pejabat yang korup. Selain itu, dengan kepatuhan Jaksa Kim yang teramat besar terhadap hukum, ia pun mengutuk tindakan Yoon Seong dalam menangkap pejabat-pejabat tersebut. Terkait dengan kepatuhan, konflik lain yang dihadapi Yoon Seong adalah tindakannya untuk menjatuhkan pejabat teras tersebut berlawanan dengan tugas yang diembankan kepada orang yang dicintainya Kim Na Na, seorang penjaga keamanan pejabat negara. Sama seperti Jaksa Kim, Kim Na Na juga orang yang patuh pada peraturan. Meskipun Na Na tahu pejabat yang ia lindungi bersalah, Na Na tetap harus menjaga keamanan sang pejabat dan sebisa mungkin mencegah aksi Yoon Seong.


Siapa Tokoh Utama?
Menikmati jalan cerita drama City Hunter, saya sedikit meragukan keberadaan tokoh Lee Yoon Seong sebagai tokoh utama. Lee Yoon Seong sepertinya hanyalah penengah dari dialog besar mengenai kemarahan yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum dan negara serta kepatuhan yang terlampau naif terhadap hukum. Tokoh utama di sini saya rasa adalah Jin Pyo sebagai representasi kemarahan dan dendam serta Jaksa Kim sebagai representasi kepercayaan terhadap hukum. Yoon Seong sendiri adalah solusi alternatif yang diimpikan oleh sang pembuat film dan manusia di seluruh dunia yang lelah dengan pertarungan dialog tersebut. Selain itu, ketika kita sampai hampir pada episode akhir, kita akan disajikan narasi bahwa Yoon Seong ternyata hanyalah alat pembalasan dendam Jin Pyo kepada komandannya, Choi En Chang yang memerintahkan secara langsung operasi penyusupan ke Korut dan pada saat ini menjadi Presiden Korsel.  Yoon Seong ternyata bukanlah anak kandung dari sahabat Jin Pyo yang ditembak di laut, melainkan anak hasil hubungan gelap Choi En Chang dengan perempuan yang kemudian dinikahi oleh sahabat Jin Pyo. Pembalasan dendam megah yang direncanakan Jin Pyo selama 28 tahun itu ternyata adalah membunuh En Chang melalui tangan anaknya sendiri. Di sini terlihat bahwa Jin Pyo-lah yang memegang kendali atas jalannya cerita.


Siapa yang Menang?
Dialog mengenai ketidakpercayaan terhadap hukum dan kenaifan terhadap hukum nampaknya merupakan masalah yang sulit untuk dicari penyelesainnya meski ada sosok City Hunter yang mencoba menggabungkan metode antihukum dan prohukum. Dalam penyelesaian kasus korupsi pejabat, hukum masih bisa diandalkan. Hal tersebut terlihat dari ditutupnya satu per satu kasus korupsi pejabat setiap kali mereka sudah diserahkan kepada kantor kejaksaan. Namun bagaimana dengan kasus dendam yang bahkan sedari awal sudah mencibirkan hukum sebagai instrumen yang paling lemah yang ada di dunia? Bagaimana dengan patriotisme yang dikhianati yang kemarahannya sanggup mengantarkan seseorang menjadi sosok yang berani mati? 

Sang pembuat drama ini sepertinya juga tidak sanggup mendewakan hukum berada di atas segalanya ketika sudah sampai pada titik dendam-mendendam. Hal tersebut disajikan pertama melalui kematian Jaksa Kim saat mencoba mengancam salah seorang pejabat yang ketahuan korup dengan menyebutkan daftar-daftar tuntutan yang akan menyeret sang pejabat mendekam 22 tahun di penjara. Sesaat dalam masa sekarat Jaksa Kim yang disaksikan oleh Yoon Seong yang telat datang menyelamatkan, Jaksa Kim  memercayakan penyelesaian kasus tersebut pada Yoon Seong. Ada hal yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Ya, semacam pesan bahwa hukum memiliki keterbatasan. Hukum juga ternyata bisa kalah dan itu diakui oleh si penegaknya sendiri.

Kedua, dari kematian Jin Pyo. Ada beberapa makna yang saya tangkap dari penyelesaian dendam Jin Pyo yang harus melalui kematian juga. Satu, Jin Pyo sudah terlampau mendendam sehingga hukum pun tidak bisa menjeratnya sehingga hanya pistol lagilah yang mampu mengakhiri nafsu dendamnya. Dua, Jin Pyo yang patriotik dan sudah mencibir hukum merasa terhina apabila hukumlah yang harus mengakhiri kisah hidupnya. Tiga, justru hukumlah yang terlampau suci untuk menjerat orang yang karena dikendalikan dendam menjadi pembunuh bertangan dingin. Kesimpulan kesatu dan saya dapatkan dari mayoritas episode ketika Yoon Seong, Jaksa Kim, dan Kim Na Na mencoba untuk menghentikan aksi balas dendam Jin Pyo namun ditolak mentah-mentah oleh Jin Pyo, kemudian aroma kesimpulan ketiga yang begitu meninggikan derajat hukum saya dapatkan pada episode terakhir ketika Jin Pyo sudah menyerah, terlihat dari jatuhnya longsong peluru dari pistolnya, namun tetap ditembak berkali-kali oleh para petugas keamanan presiden.

Hukum tidak sanggup menyelesaikan semua masalah, begitu juga dendam tidak bisa menerbitkan kelegaan atas kefrustasian, jika begitu apakah metode penggabungan kekerasan dan hukum yang diwakilkan oleh Yoon Seong menjadi pemenang? Sepertinya sang pembuat drama ini juga berpikir dua kali untuk menyimpulkan hal itu. Yoon Seong juga sempat tertembak di akhir cerita saat melindungi ayah kandungnya, sang presiden, dari tembakan ayah angkatnya, Jin Pyo. Dari situ terlihat bahwa metode pengabungan pun tak cukup kuat untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, meskipun Yoon Seong akhirnya tidak mati akibat tindakan tersebut dan malah kembali untuk menunaikan misi sebagai City Hunter lagi dengan motivasi baru yang sempat ia sebutkan di hadapan presiden yakni bukan demi dendam, melainkan demi menjaga amanah rakyat yang dikhianati pejabat, nyatanya Yoon Seong pun mengungsikan keluarganya ke luar negeri, yakni Amerika Serikat. Tindakan Yoon Seong tersebut memperlihatkan sisi-sisi Yoon Seong yang tidak dapat memercayai hukum di negaranya sendiri, namun mengharamkan kekerasan, dan pada waktu yang bersamaan juga tidak memercayai metodenya sendiri. Tindakan tersebut mencerminkan juga adanya impian mengenai sesuatu di luar sana yang bisa menjamin keamanan diri dari kebanalan negara. Impian tersebut juga bukan hanya impian Yoon Seong, tapi impian semua orang. 


Drama?
Sudah banyak rumah produksi dari berbagai negara yang meminta izin kepada Tsukasa Hojo untuk mengadaptasi komik yang diterbitkan di Weekly Shonen Jump dari tahun 1985 hingga 1991 ini. Dari sekian banyak rumah produksi yang meminta pemfilman City Hunter, konon hanya drama City Hunter yang disutradarai Jin Hyuk dari Korea yang mampu memuaskan ekspektasi Hojo meskipun City Hunter versi Lee Min Ho ini berbeda dari versi komik. Saya sepakat.

Pertama, meskipun banyak protes yang dilayangkan oleh penikmat City Hunter versi komik akan peran Lee Yoon Seong yang diperankan oleh Lee Min Ho yang dinilai lebih cocok memerankan karakter romantis, apalagi dalam beberapa scene, Lee Min Ho juga ditampilkan menggunakan celana skinny pink, merah, dan hijau, saya rasa Lee Min Ho cukup representatif untuk memerankan sosok komikal tokoh utama yang dinamai Hojo sebagai Ryo Saeba. Lee Min Ho tampan dan tinggi, itu niscaya, mutlak, dan sahih. Selain itu keluwesan Lee Min Ho dalam melakukan adegan flirting, dingin, kaku, serius, romantis, gagah, bimbang, menendang, memukul, menembak juga patut diacungi jempol karena perepresentasian tersebut hampir mirip dengan penggambaran ala komik. Jangan lupakan juga reputasi Lee Min Ho yang sudah tinggi di Asia. Hanya dengan menyebut Lee Min Ho, hampir seluruh wanita di Asia akan berteriak histeris. Audiens penikmat pesan pertarungan antara hukum dan kekerasan yang tergolong berat dan enggan dicerna masyarakat pun meluas. Setidaknya, pesan bahwa dendam dan korupsi adalah hal terhina yang akan mencelakakan banyak orang, termasuk diri sendiri, dapat tersampaikan secara internasional. Posisi Lee Min Ho strategis bagi keberhasilan drama City Hunter dan pesan-pesan di dalamnya.

Kedua, City Hunter versi Korea ini juga relevan dengan kejadian sehari-hari. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, City Hunter versi Korea ini menyajikan permasalahan yang jawabannya masih kita cari, yakni pertarungan hukum, kekerasan, dan penggabungan hukum-kekerasan. Drama ini juga tidak berusaha memihak salah satu sisi ketika ia menyajikan kekalahan dan kepesimisan bagi masing-masing sisi. Selain itu, korupsi juga suatu hal yang menghiasi lembaran berita di koran maupun cuplikan berita di televisi pada zaman ini. Meskpun pada masa kini juga tidak bisa dikatakan bahwa tingkat kriminalitas kota sudah menurun ketimbang tingkat pada tahun 1985-1991 saat komik City Hunter dibuat, namun saat ini masyarakat jauh lebih frustasi pada keberadaan koruptor yang mengkhianati suara yang mereka berikan dalam sistem demokrasi. Ada keinginan untuk menampilkan kemarahan atas keberadaan liberalisme yang dijanjikan mampu memberikan keamanan bagi rakyat, namun nyatanya malah menyiksa rakyat. 

Ketiga, City Hunter versi Korea juga menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini luput dari perhatian publik dan negara, di antaranya keberadaan tentara, anak-anak terlantar, dan buruh. Dalam hal tentara, drama ini mengungkapkan bahwa karena negara membutuhkan tentara untuk menjaga keutuhannya, negara pun sudah seharusnya memperhatikan suara dan keselamatan tentara sebagai suara dan keselamatan manusia, bukan hanya sebagai bidak yang siap disorongkan dalam berbagai kejadian berbahaya kemudian ditinggalkan setelah tidak urusan bela negara selesai. Tidak hanya melalui perjalanan dendam Jin Pyo saja City Hunter mengungkapkannya, tetapi juga dari sorotannya dalam korupsi menteri pertahanan pada pembelian pesawat jet bekas dan pabrik sepatu tentara yang mencetak sol yang mudah lepas yang kesemuanya membahayakan keselamatan tentara saat bertugas. Dalam persoalan anak-anak terlantar, selain menyoroti korupsi tidak tersampaikannya dana pemeliharaan anak terlantar kepada yang bersangkutan, drama ini juga menyoroti pilihan hidup anak terlantar yang lebih memilih tidak makan ketimbang harus menerima bantuan dari yayasan atau negara karena mereka akan dicap sebagai pengemis. Kemudian dalam persoalan buruh, drama ini memperlihatkan bahwa pihak yang paling akan menderita dari permainan politik, saham, dan krisis ekonomi adalah buruh. 

Keempat, drama ini menyajikan potret Asia kontemporer. Satu, tentu saja dari penggunaan teknologi yang begitu bertubi-tubi dalam mendapatkan informasi. Hampir semua episode dalam drama ini memperlihatkan penggunaan alat sadap, kamera supermini, tablet, IPad, dan internet supercerdas, sebuah siratan potret kehidupan Asia pada masa kini yang aktif menciptakan teknologi dan memanfaatkan teknologi. Dari situ terlihatlah Asia yang tidak lagi hanya bisa dipandang sebagai bangsa yang terlampau tradisional dan mengandalkan fisik, tetapi sebagai bangsa yang mampu mengandalkan otak. Dua, dari penitikberatan pada nilai kekeluargaan dalam arti perjuangan, penghargaan, dan penajgaan orang Asia  bagi keluarganya tapi di dalam waktu yang bersamaan juga tidak mengistimewakan keluarga apabila keluarga tersebut terbukti bersalah. Hal tersebut di antaranya diperlihatkan melalui keputusan  Yoon Seong untuk tidak bertindak kejam seperti yang diperintahkan Jin Pyo karena pertimbangannya mengenai bagaimana nasib keluarga apabila ayahnya mati dibunuh, desakan Jaksa Kim kepada ayahnya untuk meminta maaf kepada publik sebelum kasus korupsi sang ayah diungkap oleh kejaksaan, dan pengakuan palsu Jin Pyo pada saat-saat terakhir sebelum kematiannya bahwa Jin Pyolah City Hunter yang selama ini dicari kejaksaan demi melindungi masa depan Yoon Seong.

Kelima, mengenai kisah romantisme dalam cerita. Bagaimanapun juga, drama Korea tetap drama Korea yang senantiasa menyajikan kisah cinta romantis penuh tawar menawar antara harga diri dan perasaan, perjuangan, pengorbanan, dan penjagaan sang kekasih, serta harapan untuk selalu bersama. Menariknya, drama ini menyajikan kuatnya kebimbangan Yoon Seong atas keinginannya untuk hidup bersama Na Na namun tidak ingin membahayakan keselamatan Na Na yang kerap dijadikan alat tawar para musuh Yoon Seong serta kegigihan Na Na untuk meyakinkan Yoon Seong bahwa Na Na dapat diandalkan sebagai partner dan kekasih Yoon Seong. Hal yang paling heroik dari Na Na adalah keberaniannya mengungkapkan perasaannya secara jujur kepada Yoon Seong dan kekerasan niatnya untuk melindungi Yoon Seong meskipun Yoon Seong secara konsisten menampakkan sikap plin plan yang kadang mengiyakan kadang menolak.  

Namun demikian, dengan beberapa kelebihan yang dimiliki City Hunter versi Korea ini, bukan berarti ia bersih tanpa cacat. Secara makro, pesan dalam drama ini memang tersampaikan, namun memang harus diakui ada beberapa lubang dalam detail cerita. Ah, tapi tidak terlalu bermasalah juga seharusnya karena rating drama ini di Korea cukup bagus dengan menembus angka 20%. Saya juga menemukan banyak keinginan dari publik untuk menikmati sekuel dari City Hunter. Namun, terlepas dari sangkalan halus sang sutradara yang hanya akan mempertimbangkan sekuel apabila Lee Min Ho menyanggupi, bagi saya juga sepertinya harus ada alasan kuat dalam bentuk tema baru yang melandasi keinginan Yoon Seong untuk kembali menjadi City Hunter. Meskipun dalam episode-episode terakhir semakin dikukuhkan bahwa tujuan Yon Seong bukan lagi karena dendam, melainkan demi rakyat, tetap harus ada tema jelas yang menggerakan cerita sehingga drama Korea ini tetap berada pada jalur drama Korea pada umumnya, bukan drama Amerika semacam CSI atau yang lainnya yang menitikberatkan tema hanya pada satu episode yang akhirnya tidak tahu akan bagaimana mengakhirinya dan hanya menjadi rutinitas belaka. Tidak, drama Korea tidak seharusnya menjadi demikian dan Lee Min Ho tidak boleh menjadi aktor yang seperti itu. :)

Ark. Jan'12.