Sedikit Preambule mengenai City Hunter, Liberalisme, dan Lee Min Ho


Bahwa Lee Min Ho sangat tampan bin ganteng, gagah, kharismatik, memesona dalam penampilannya di City Hunter itu adalah hal yang paling sahih, niscaya, takterbantahkan, dan mutlak difatwa. Namun demikian, masih ada hal-hal jauh lebih penting yang hendak disampaikan oleh City Hunter kepada para penonton dan pembaca komiknya. Di antara gelimang ketampanan dan pesona yang ditampilkan Lee Min Ho, saya yakin bukan dua hal itu yang ingin ditampilkan oleh si pembuat film. Lee Min Ho, meski tampan tak terperi, bagi saya tidak lebih hanya sebagai representasi bentukan idealis dari imajinasi si empunya komik. Bahkan, saya curiga bahwa karakter Lee Yoon Seong yang dimainkan oleh Lee Min Ho sebenarnya juga bukan fokus utama dari komik dan film City Hunter. 

Ada dialog mengenai nilai-nilai liberalisme* dan ejekan terhadapnya yang begitu kental disajikan oleh sang pembuat cerita. Dialog yang diawali dari pertanyaan filosofis yang sering ditanyakan oleh anak SMA atau semester awal kuliah yang baru mengetahui standar-standar ganda dalam kehidupan atau dialog yang sering diajukan oleh aktivis-aktivis yang berdemo di depan bangunan dan secara naif percaya bahwa teriakan mereka di depan bangunan itu akan membuat risih sang dewan yang berada di dalamnya padahal teriakan mereka bagi para anggota dewan itu tak lain hanya merupakan teriakan kaum pagan yang percaya bahwa Ratu Adil akan muncul dari atas punden berundak. Dialog, "Jika pelaku kriminal yang melawan negara dapat ditangkap dengan mudah oleh negara melalui hukum, lalu siapakah yang akan sanggup menangkap kebanalan negara sedangkan hukum saja berada di bawah naungan negara?" ;dan "Jika hukum takdapat berbicara maka biarkan pistol yang bertindak," merupakan dialog yang melandasi berjalannya 20 episode City Hunter. 
  
Dari dialog yang sangat manusiwai tersebut, fillm (dan komik) City Hunter kemudian mengembangkan fiksi sepanjang 20 episode dengan menitikberatkan pergulatan  garis linear yang titik kirinya didiami oleh keputusasaan atas korupnya negara yang akhirnya melegalkan akal untuk menggunakan pistol dan titik kanannnya dihuni oleh keyakinan bahwa hukum adalah cara paling beradab untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Konflik yang menghiasi berpuluh abad kehidupan manusia tersebut kemudian diberi resolusi  yakni keberadaan sosok yang mampu menggabungkan jalan kekerasan dan hukum untuk menyeret pelaku kejahatan genosida zaman sekarang, para pejabat yang tidak amanah terhadap kepercayaan rakyat. Saya menyingkirkan dulu pesona Lee Min Ho yang didapuk menjalankan peran ini. Meskipun sekali lagi saya bilang bahwa Lee Min Ho itu mutlak tampan, tapi peran yang dimainkannya sebenarnya hanya merupakan representasi impian yang terlampau idealis tidak hanya dari pembuat komiknya, tetapi juga dari kita semua, si penduduk bumi yang lelah menonton berita korupsi. Tokoh yang dimainkan Lee Min Ho ini semu untuk kita temukan di dunia ini. 

Dari poin tersebut awalnya saya mencibir bahwa pada akhirnya akan ada dua kemungkinan jawaban ending cerita, mengingat biasanya film-film hanya akan meninabobokan kita pada impian terlampau idealis, pertama, hukum yang menang, atau kedua, sosok hero semacam Lee Yoon Seong yang akan menang. Iya, itu hanya awalnya saja, ternyata. Ending film ini tidak mengatakan demikian. 

Saya hampir menyepakati penilaian sebagian orang yang mengatakan bahwa film ini memiliki ending yang hambar, namun kemudian saya menyadari ini bukan karena ketidakpiawaian sang sutradara memberikan ending. Bisa saja sutradara memberikan ending yang lebih wah seperti pada akhirnya Lee Yoon Seong setelah menuntaskan misinya menikah dengan Kim Na Na lalu ya, seperti yang diharapkan oleh kaum hawa lainnya, berciuman dengan sangat dramatik. Lalu bisa juga sang sutradara menambahkan bahwa sang Presiden yang ternyata ayah kandung Lee Yoon Seong mundur dari jabatannya kemudian menjadi ayah yang baik dan hidup dengan Kyung Hae, si mantan pegawai bar yang pernah ditidurinya 28 tahun lalu sehingga melahirkan Lee Yoon Seong. Tak hanya itu, bisa juga sutradara tidak mematikan karakter jaksa Kim Jung Su dan membiarkannya hidup bahagia dengan istrinya, si dokter hewan yang selalu menolong Lee Yong Sung saat babak belur menghadapi musuh. Ya, saya rasa sutradara bisa saja menambahkan ending seperti itu karena itu bukan pekerjaan yang sulit. Namun bukan citra-citra kebahagiaan seperti itu yang ingin ditunjukan oleh film City Hunter.

City Hunter bukanlah film drama atau eksyen biasa yang bertujuan membuai kita dalam kesenangan semu meskipun City Hunter menampilkan Lee Min Ho, si aktor yang bagi sebagian besar pria di dunia yang merasa sirik atas ketampanannya yang dielu-elukan wanita merupakan aktor yang hanya bisa memainkan peran yang menye-menye yang mengandalkan senyuman dan air mata. City Hunter adalah film yang menampilkan kehidupan sosial kita yang menggarisbawahi bahwa pada akhirnya kita tidak akan bisa menjawab bagaimana ending kehidupan nyata kita yang memang selalu dihiasi oleh konflik senjata versus hukum. Kehambaran dalam endingnya saya rasa hendak memberitakan hal itu.

Saya merencanakan untuk membahas City Hunter secara detail dalam posting terpisah. Tunggu saja :)

Ark.Jan'12


Catatan
*tentu liberalisme yang saya maksudkan di sini sama sekali bukan mengenai hal-hal semacam kebebasan seksual karena bahkan teaser-teaser bahwa di film ini Lee Min Ho berciuman secara hot dengan lawan wanitanya saja hanya terjadi satu kali dan ciuman tersebut pun saya nilai biasa saja alias tidak hot alias bisa kalian temukan di film-film lain sehingga tidak seharusnya menjadi sorotan di berbagai berita YahooNews. Liberalisme di sini adalah paham yang titik awalnya bersumber dari kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya baik,  berkecenderungan untuk mencari keamanan, kemudian mengejawantahkannya pada keberadaan negara dan hukum.