Pilihan

Ada satu hal yang menarik pada Rabu silam. Ada seorang dosen yang ingin mengetahui kecenderungan mahasiswanya dalam berorientasi melalui semacam tes psikologis. Jadi begini, menurut dosen tersebut, manusia itu terbagi dalam tiga golongan. Pertama, golongan tradisional. Golongan ini memiliki orientasi yang berpatokan pada kejayaan masa lalu. Misalnya ketika ia diharuskan memilih bupati, ia akan memilih berdasarkan pertimbangan bahwa calon bupati tersebut merupakan keturunan ningrat yang pasti mempunyai takdir pantas jadi pemimpin. Lalu kedua adalah orang ambivalen. Orang seperti ini memilikii berkecenderungan hanya memikirkan keadaan pada hari ini, Ketika ia diminta memilih bupati, ia akan memilih bupati yang saat ini memiliki kekayaan dan aset berlimpah sehingga jika nanti bupati tersebut terpilih, maka orang tersebut akan terciprat keuntungan. Ketiga adalah golongan modern. Golongan ini memiliki orientasi ke masa depan. Pertimbangan yang ia ambil ketika harus memilih bupati adalah karena calon bupati tersebut memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dan mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat.

Nah, uniknya, dalam menguji para mahasiswanya, dosen saya ini nggak menyodorkan tes-tes apalah itu yang macam ada tes bahasa, matematika, dan lain-lain selayaknya tes psikologi. Ia hanya menanyakan kepada kami (dan tentu saja harus kami jawab dalam di atas kertas lalu dikumpulkan), jika kami harus menikah dengan orang yang jauh jauh jauh jauhhhhhhhhhhhh lebih tua dari kami, pertimbangan apa yang kami pikirkan hingga kami mau menikah dengan orang yang jauh lebih tua tersebut.

Sepintas kami tertawa, namun beliau dengan cepat mengingatkan. Tujuan ia menyodorkan soal bahwa kami harus menikahi orang yang jauhhhhhh lebih tua adalah perumpamaan jika suatu saat nanti kami jadi pemimpin kami disodori pilihan yang sangat sangat sangat buruk dan nggak sesuai harapan namun harus kami ambil. Ketika kami mengiyakan pilihan buruk tersebut, tentu banyak alasan yang melatari, nah tapi kira-kira alasan apa yang paling mendominasi keputusan kita tersebut.

Beliau juga berkata bahwa tidak ada jawaban yang salah dan benar dari pilihan jawaban kami. Ia menghormati tipe manusia seperti apakah kami. Namun yang jadi permasalahan adalah kami harus bisa menyimpulkan sendiri manusia seperti apakah kami. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang kami tuliskan, apakah pertimbangan tersebut sesuai dengan kesimpulan/penilaian kami terhadap diri kami sendiri. Nah, inilah yang akan jadi penilaian kedua bagi dosen saya. Ketepatan kami dalam menilai diri sendiri. Kalau bahasa di novel Maryamah Karpov mah jangan sampailah kita overvalued dalam menilai diri sendiri. Haha.

Tapi lalu saya berpikir lagi. Hmmmm, kali ini saya ingin menarik hal besar yang dikemukakan dosen saya menjadi refleksi bagi diri saya sendiri. Jadi kali ini posting saya agak beda. Kita bermain mikro deh sekarang.

Nilai pertama yang saya dapatkan dari sana terinspirasi ketika saya dan Bima diminta dosen tersebut untuk menghitung hasil jawaban. Ternyata tidak ada satu pun teman saya yang memiliki jawaban seragam. Satu, mereka memiliki jawaban sendiri atas pertimbangan mereka. Ada yang mengakui bahwa mereka orang tradisional, orang ambivalen, dan banyak sekali yang mengaku modern. Dua, meski mereka terbatasi tiga pilihan yang membuat mereka termasuk dalam golongan tertentu, mereka memiliki pertimbangan yang berbeda dalam menyimpulkan bahwa diri mereka termasuk golongan A, B, dan C. Lalu dengan ditambah perkataan dosen saya mengenai kebebasan kami untuk memilih dan tidak ada jawaban benar atau salah atas pilihan jawaban kami, saya pun jadi berpikir, ternyata kita ini memang diciptakan berbeda. Setiap kepala memiliki pertimbangan yang berbeda sesuai dengan pengalaman, kebutuhan, dan pandangan hidupnya. Ketika mereka disodorkan hal yang sama, mereka ada yang memilih dan ada pula yang tidak. Pada saat mereka terkumpul menjadi satu golongan karena memilih jawaban yang sama, pertimbangan mereka sebenarnya pun sebenarnya saling berbeda. Nah, ini yang seharusnya kita mengerti. Apapun yang mereka pilih, tidak ada yang salah. Jangan karena pilihan mereka berbeda dari pilihan kita lalu kita menilai bahwa mereka salah. Lebih parah lagi kalau kita nggak cuman menyalahkan tapi juga berusaha mengubah dia untuk sama dengan kita.

Secara teoritis dan dalam tataran wacana, hal tersebut pasti kita pahami, tapi saya yakin pasti pasti pasti banget kalau aplikasinya di lapangan akan sulit terwujud dengan mudah, semudah kita mengerti konsep itu.

Saya akan menariknya ke masalah cinta. Cailah. Haha. Sesi curhat sedang akan dilangsungkan, mari baca curhat saya jika demikian. Haha. Seingat saya, hahha sok sok lupa, saya pernah jadi orang yang nggak dipilih. Oke, saya yang udah pacaran sama dia dalam kurun waktu yang nggak bisa dibilang sebentar tiba-tiba harus mendapat cobaan di siang bolong pas lagi adzan duhur yaitu ketika si pacar yang saya cinta itu mengutarakan maksudnya untuk membina hubungan pertemanan saja dengan saya. Selidik punya selidik, dia ternyata sudah menemukan belahan jiwanya yang lain. Nggak habis pikir aja gituh. Gila, gue udah pacaran gitoh sama dia terus kita harus putus gara-gara ada cewek yang baru dia kenal. Oh my goat. Haha.

Cobaan yang panas pun datang silih berganti waktu teman-teman saya ikutan menginvestigasi latar belakang cewek itu. Menurut mereka, cewek itu sekolah di tempat yang sangat biasa, dia juga bukan orang yang rajin dan cerdas, dia juga nggak feminim seperti layaknya mitos-mitos bahwa cewek itu harus lembut dan tersipu malu, malah cewek itu tomboy abissssss!! Rambutnya pendek, hobi pake celana pendek, kaos, topi, dan beragam atribut mitos kemaskulinan lainnya. Cewek itu juga termasuk dalam kasta alay *hahaha, hinaan makin parah*. Yah begitulah. Kenyataan tentang cewek itu membuat saya dan teman-teman saya nggak habis pikir nyari alasan kenapa sih si pacar saya itu milih cewek itu. Kita sempat terjebak perkiraan mistis yang tolol abis. Jangan-jangan main dukun tuh cewek. Hahha. Beragam cara pun dilakukan untuk membuat si pacar yang sudah jadi mantan itu untuk kembali berpaling ke saya. Cara yang paling sering dihembuskan adalah…tebak apa????

Menasihati pacar saya itu dengan kalimat,“Banyakkin solat sama baca Quran deh supaya kamu bisa terbebas dari kekuatan sihir dan bisa melihat mana yang baik mana yang benar lagi.”
Hahaha.

Kalau saya kaji sekarang, hahhaha, aduh itu sumpah tolol abis. Nggak ada hal yang salah dengan keputusan pacar saya untuk memilih cewek itu gitu loh. Setelah dia jalan sama saya dalam kurun waktu yang lama itu pasti otak dia terbuka. Tipikal cewek seperti apakah saya, cocok nggak saya sama kriteria dia, kuat nggak dia hidup sama saya, dan apa sih yang sebenernya dia cari dalam suatu hubungan di usia awal 20-an. Yang salah justru saya yang nggak bisa memahami orientasi hidup dia itu seperti apa, tradisionalkah, ambivalenkah, atau modern, dan dalam waktu yang bersamaan saya juga nggak bisa melihat sisi positif dan negatif saya itu termasuk sisi yang dapat memenuhi kebutuhan golongan tradisional, ambivalen, atau modern. Ketika kita nggak memahami konsep orientasi hidup seseorang dan kita sendiri, ketika itu pulalah kita udah menyiksa diri kita dengan berbagai ketidakterimaan dan berjuta kutukan. Kita boleh aja punya segudang prestasi, muka yang cantik, badan yang aduhai, harta yang melimpah, kesabaran tiada tara, kesantunan luar biasa, kesucian yang tak tersentuh, kemampuan masak tak terkira, dan banyak lagi, tetapi yang perlu kita pikirkan, sesuaikah apa yang kita miliki dengan orientasi seseorang yang kita cintai?

Kelebihan-kelebihan tersebut nggak berarti kalau si orang yang kita cintai itu nggak butuh, nggak nyari, dan nggak merhatiin. Saya jadi inget deh petuah ibu saya. Katanya, mencari baju itu harus yang sesuai. Percuma punya baju bagus dan mahal kalau kita nggak pernah diundang ke pesta. Percuma juga punya baju yang seksi dan cantik kalau badan kita nggak sesuai dengan postur yang diinginkan baju itu. Baju itu cuman indah aja dipajang dan dilihat tapi nggak pernah bisa kita pakai. Mubazir, kan? Ngapain coba kalau begitu? Mending cari baju yang emang fungsional dan yang sesuai dengan postur kita. Akan lebih bermanfaat dan cantik kalau dipakai.
Ini yang suka kita lupakan. Nggak salah ketika kita menilai bahwa kita lebih baik daripada orang lain, tapi kita juga harus ingat bahwa kita nggak boleh menyalahkan pilihan orang yang nggak memilih kita, si orang yang lebih baik.

Begitu pun sebaliknya jika kita sedang memutuskan bahwa si A nggak baik untuk kita, yaudah lakukan dengan ringan, jangan bawa-bawa perasaan nggak enak apalagi kasihan. Hidup ini kan kita yang menjalani, kita yang merasakan, dan kita yang merefleksikan. Kita punya kebutuhan, pandangan, pengalaman, dan keinginan. Go fighting for it! Perasaan-perasaan nggak enak itu malah bikin kita tersiksa dan terkekang. Nggak sehat aja gituh. Jadilah manusia yang bebas memilih dan menghormati pilihan orang. Pada akhirnya kita bakal menemukan jalan hidup yang terbaik untuk kita. Mungkin nanti kita akan ketemu sama jodoh impian atau bisa juga akhirnya kita memilih untuk sendirian. Hmmmm, itu yang pertama. Tapi ingat, walaupun saya hanya memberi refleksi dari aspek cinta, hal ini juga bisa kita refleksikan dalam aspek lainnya. Seperti apa? Pikirlah, Nak. Saya cape ngetik. Hehe.

Kita lanjutkan pada nilai kedua. Ehem, okei, ketika dosen saya berkata bahwa hal yang ia nilai adalah kesesuaian pertimbangan dengan kesimpulan yang kami buat, nilai yang saya tarik adalah sepertinya kita kerap menemui kesulitan dalam menilai dan menyimpulkan tindakan dan pemikiran yang keluar dari diri sendiri. Kayak yang tadi saya bilang, bisa jadi kita sering overvalued dalam menilai diri kita. Kita menganggap kita ini golongan A tapi ternyata yang kita lakukan tuh nggak A banget atau ketika kita baru melakukan suatu hal kecil, kita sudah menilainya sebagai hal yang besar. Malu banget sih harusnya orang yang kayak gitu tapi sayangnya orang seperti itu mah banyak. Orang-orang yang cari muka demi kepentingan rezeki. Hmmmm. Bisa juga sebaliknya, kita sering nggak sadar bahwa kita telah melakukan hal yang besar. Namanya mah bukan rendah hati tapi bego. Keenggasadaran bahwa kita telah melakukan hal besar akan membuat kita dimanfaatkan pihak-pihak licik ala kapitalis yang melihat peluang untuk mengeruk laba sebanyak-banyaknya dari keenggasadaran kita.

Nah, dalam menilai, kita harus mampu menilai dengan kadar yang pas. Jika kita hanya melakukan hal kecil, akuilah hal tersebut sebagai hal kecil dan jika kita melakukan hal besar, akuilah bahwa itu hal besar yang penting. Nggak salah kok untuk menilai diri kita ini seperti apa. Salah banget kalau kita nggak bisa menilai. Ketidakmampuan kita untuk menilai diri sendiri ini yang menurut saya menjadi penyebab mengapa banyak pengangguran di Indonesia. Banyak orang yang sok tinggi dan nggak mau menyadari bahwa dia itu nggak hebat-hebat amat. Banyak orang yang menilai kemampuannya biasa saja padahal dia kalau masukkin lamaran ke tempat yang benar, dia punya prospek karir yang cerah. Ini lho hal yang sering kita abaikan. Kemampuan kita untuk menilai diri kita sendiri dengan kadar yang tepat dan benar.

Hmmmmm. Kuliah yang hanya dua SKS tapi memiliki refleksi sampai dalam hati. Oia, pertanyaan itu adalah pertanyaan UTS mata kuliah Politik Luar Negeri RI I. Yap, mungkin Pak Sumpena adalah orang yang sangat mempercayai konsep bahwa negara sebagai individu yang sangat bergantung pada sosok kepala negara. Mungkin ia juga meresapi benar factor idiosinkratik dalam polugri. Saya juga mengamini konsep tersebut. Faktor kepemimpinan merupakan factor yang penting dalam polugri. Dan sepertinya itulah alasan mengapa Pak Sumpena memberikan pertanyaan UTS seperti itu. Dia ingin tahu seperti apakah kondisi negara Indonesia sepeninggal ia sebagai dosen ketika nanti dipimpin kami.

Hmmmmm. Sepertinya ini UTS yang berfungsi sebagai penerawangan masa depan. Semoga teman-teman saya mampu melihat sisi yang lebih besar dari pertanyaan UTS tersebut ketimbang menertawakannya.


Ark. Apr’10.