Dari Sebuah Buku "Islam dan Sekularisme" Part 2


Tentang Manusia

Harus saya akui, penjelasan yang begitu mulia mengenai din Islam seperti dalam paragraf di atas memang merupakan penjelasan yang normatif. Saya pikir Pak Attas akan terjebak seperti penulis lain yang mencoba menjelaskan Islam hanya dari segi Islam itu sendiri yang tentu saja sangat-sangat indah padahal tantangan di luar sana menyoroti perilaku umat Islam yang jauh dari karakteristik Islam. Ternyata Pak Attas ini memang pantas menjadi penulis sejuta debar jantung karena Pak Attas juga membahas segi manusia. 

Ingat asumsi Realis dan Liberalis mengenai state of nature manusia yang saling bertolak belakang dan memecah umat Hubungan Internasional menjadi dua kubu yang sama-sama jumawa? Kata Realis, manusia itu sifat dasarnya buruk, sedangkan kata Liberalis, manusia itu sifat dasarnya baik. Nah, saya pikir Pak Attas ini harus di-HI-kan juga, deh. Konstrukstivis boleh mengklaim dirinya sebagai jembatan pertarungan Realis dan Liberalis hingga ke Neo-Neonya, tapi saya pikir Pak Attas ini cocok dapat penghargaan Nobel melebihi Alexander Wendt atau Nicholas Onuf. 

Pak Attas bilang manusia itu baik dan buruk, tergantung apa yang menguasai dirinya, apakah jiwa akalnya yang berasal dari ruh atau jiwa hewaninya yang berasal dari raga. Begitu saya menemukan penjelasan Pak Attas mengenai hal ini, saya langsung setuju. Pasalnya, bagi saya, menjadi manusia pada dasarnya adalah mengalami pergulatan dua sisi utama dari dirinya yang dalam bahasa metafora diperbandingkan dengan pertarungan kata malaikat dan kata setan di dalam hati. Hal yang selalu saya yakini,menjadi manusia adalah proses tarik-menarik antara akal dan nafsu yang seharusnya dimenangkan oleh akal. Namun memang, dalam proses pemenangan akal ini, segala sesuatu tidak berjalan dengan mudah.  Karena itulah proses menjadi manusia ini bukan proses semalam, melainkan proses seumur hidup. Ditambah lagi manusia ini hidup sebagai anggota dari beragam afiliasi masyarakat yang mengikatnya dalam beragam kepentingan yang bisa jadi saling tolak menolak, yang parahnya lagi, afiliasi masyarakat ini juga disusun oleh manusia-manusia yang sama-sama bergelut dengan akal dan nafsunya.  

Manusia-manusia ini pun kerap tidak memahami hakikat hidupnya sebagai manusia di dunia. Hidup ya hidup. Urusan mati ya tinggal dikubur. Berhubung di kuburan belum tahu bakal ada mal atau tidak, mending sekarang ke mal dulu.  Di situ nafsu hewani yang muncul. Itu baru urusan kesenangan di mal, belum kesenangan-kesenangan lain yang konon menggiurkan. Ketika manusia mengedepankan nafsu hewaninya, ya sifat hewan yang muncul, salah satunya keengganan untuk diikat. Mana ada kambing yang suka diikat? Mana ada burung yang bahagia di sangkar? Kalau bentuk ikatan kambing dan burung kan kasat mata, ya, nah bentuk ikatan bagi manusia yang nafsu hewaninya muncul ini adalah peraturan-peraturan yang tidak kasat mata tetapi membatasi gerak manusia. Din yang notebene diisi oleh peraturan pun menjadi musuh besar yang diretorikakan sebagai hal yang akan mengikat kreativitas dan kesejahteraan manusia. Din pun dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Saya pikir bukan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, melainkan tidak sesuai dengan nafsu hewani manusia. Dengan adanya din, manusia akan dijanjikan kenyamanan, tetapi konsekuensinya, manusia harus patuh pada segala hukum din dan rela menundukkan nafsu hewaninya sehingga nantinya manusia itu akan diangkat ke derajat yang lebih tinggi sebagai manusia seutuhnya, bukan manusia 'siluman'. Dan proses itu sulit. Coba tanya kepada diri kita sendiri, sudah berapa persen diri kita yang memberi ruang pada ruh, bukan pada nafsu hewani? 

Keengganan akan keterikatan pada din ini yang menurut saya membuat manusia tidak sepenuhnya berserah diri pada din, malah  mengamini konsep religion ala Barat yang menganggap agama adalah tahap kanak-kanak pemikiran manusia yang dalam titik ekstrem, bisa jadi manusia ini memutukan untuk menjadi atheis. Namun memang pembahasan mengenai atheis ini harus dibahas dalam kesempatan khusus. Faktornya kompleks. DI bawah atheis, dalam kasus tidak sepenuhnya berserah diri pada din, hal yang kita temukan adalah perilaku menyimpang umat yang seharusnya menjadi rahmat, malah menjadi manusia-manusia amoral dan bejat. Manusia ini yang menjadi sebab bagi kritik atas din Islam. Bagi saya, kritik-kritik atas din Islam ini salah alamat. Bukan din Islam yang harus dipersalahkan, melainkan manusia-manusia yang tidak menyerahkan dirinya secara penuh kepada Islam dengan tidak menambah asupan makanan bagi akalnya, malah memperkaya nafsu hewaninya. Namun demikian, manusia-manusia ini pintar pula beretorika untuk menjustifikasi perilakunya. Hal-hal esensial yang diamanatkan din Islam pun tersamar oleh justifikasi tempelan mereka. Perilaku mereka ini yang membuat din Islam nampak usang dan melelahkan. Ini yang kemudian menjadi semacam stimulus bagi banyak pihak untuk berontak terhadap agama dan berbalik menyalahkan Tuhan.  

Kondisi ekstrem lain yang lahir dari sana bisa jadi manusia itu akan keluar dari din Islam kemudian mencari agama lain yang menurutnya bisa memberikan kedamaian atau dia keluar dari agama sama sekali. Untuk kasus yang pertama, bagi saya hal tersebut tidak recommended. Manusia yang seperti itu adalah manusia yang salah paham. Masalah yang melelahkannya sebenarnya tidak terletak pada din, tetapi pada manusianya. Dalam agama lain pun saya kira dia akan menemukan manusia-manusia yang 'menyesatkan' ajaran agama. Kemudian untuk kasus yang kedua saya punya asumsi bahwa mereka yang seperti itu adalah mereka yang ingin mencintai Tuhan tetapi tidak ingin tunduk secara penuh melalui garis yang telah ditentukan agama/din. Permasalahannya bukan pada manusia-manusia yang mereka amati dan melelahkan mereka, melainkan pada diri mereka sendiri yang masih jumawa untuk menerima kecenderungan alami mereka untuk ber-din/agama. Mereka ingin mencintai Tuhan bukan dalam keadaan mereka sebagai ruh, melainkan dalam keadaan yang mereka sebagai pemangku nafsu hewaniah.

Pada akhirnya, mengabdi pada Allah dalam din Islam ini memang bukan perkara mudah. Banyak manusia yang lahir dalam keadaan keluarganya ber-din Islam, tetapi tentu masing-masing dari manusia yang lahir itu nantinya akan mengalami proses pendewasaan sebagai umat Islam dari tarik-menariknya dengan urusan ruh dan nafsu. Mereka pun akan terbagi ke dalam hieraki-hierarki taqwa dan ilmu. Selama mereka hidup di dunia, saya rasa konflik juga tidak akan pernah berakhir. Ada  manusia yang terus berjuang memberikan ruang terbesar bagi ruhnya hingga akhir hayatnya, ada pula manusia yang memilih mengabdikan hidupnya bagi nafsu hewani yang bersemayam di dalam dirinya. Ada manusia yang secara jelas melihat apa tujuan yang ingin diraihnya selama hidup, ada manusia yang buta, entah dibutakan atau membutakan diri. 

Satu hal yang penting di dalam pergolakan akal dan nafsu manusia yang bisa mendamaikan dan menunjukkan jalan yang terang adalah ilmu.  Ilmu yang dimaksud di sini pun tidak sekedar ilmu formal semacam yang didapatkan di sekolah, tetapi juga ilmu mengenai Allah yang membuat manusia tidak hanya akan menjadi manusia yang cerdas secara kognitif, tetapi yang lebih  penting adalah menjadi manusia yang baik. Ilmu mengenai Allah ini lebih penting daripada ilmu mengenai manusia karena ilmu inilah yang akan menuntun manusia menuju kebahagiaan dan ketenangan sesungguhnya. Ilmu ini juga yang akan mendasari manusia untuk menjadi manusia yang tidak terombang-ambing dalam keraguan mengenai ilmu manusia. Keraguan akan ilmu manusia itu menurut Pak Attas, mengutip dari ayat Quran,  wajar karena memang manusia tidak diberi pengetahuan mengenai manusia sendiri, kecuali sedikit. Semakin manusia merenungi ilmu mengenai manusia, maka akan semakin meragulah ia. Kata dosen pembimbing saya, ilmu itu semakin dikupas, semakin akan menimbulkan pertanyaan. Dinamika ilmu di Barat yang selalu meragu, marah, mendekonstruksi itu bagi saya juga tidak salah. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa para ilmuwan Barat itu selalu mendayagunakan rasionya untuk mencari kebenaran. Nah, mengamankan dari segala jenis keraguan yang melanda, saya menyetujui pernyataan dosen saya yang lain, pada akhirnya di titik yang penuh pertanyaan itu manusia akan berhenti bertanya dan semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Nah, kesadaran untuk mendekatkan diri pada Tuhan ini juga tidak dapat didapat secara serta-merta sebagai konsekuensi otomatis selepas manusia meragukan manusia. Sebelum manusia meragu mengenai ilmu manusia, manusia ini harus dulu memiliki bekal ilmu mengenai Allah. Bekal ini yang menjadi tujuan pencariannya akan ilmu mengenai manusia dan yang akan menjaganya tetap menjadi manusia ber-ruh, bukan manusia hewani. 

Hmmm, akhir kata, hidup ini memang kompleks. Kompleksitas ini pun sebenarnya bukan diciptakan oleh Allah, tetapi oleh diri kita yang sampai kapan pun akan selalu bergelut dengan akal dan nafsu. Sekarang tinggal kembali pada diri kita sendiri, kita mau memilih jalan yang yang mana? Jalan akal atau jalan hewan? Kita kok yang membangun surga dan neraka kita sendiri di dunia dan di akhirat. 

PS : Terima kasih atas pinjaman bukunya. Sangat bermanfaat :) 

Ark. Mei'12.