It is You Decide!

Kemarin saya menemukan satu status di fesbuk yang cukup membuat saya mengernyitkan dahi. Saya lupa bagaimana bunyi lengkapnya, intinya si teman saya itu mengajak teman-teman dia di fesbuk (termasuk saya) untuk mem-follow dia di jejearing social baru yaitu salingsapa.com karena jejaring itu lebih islami. Saya sih nggak ada masalah sama jejaring salingsapa.com. Saya mengapresiasinya sebagai kreasi baru. Hal yang saya permasalahkan di sini adalah penekanan islami sebagai alasan untuk membuat akun di jejaring social dan penggunaan komparasi lebih antara salingsapa.com dan facebook.com padahal mereka sama-sama jejaring social.

Waktu saya pertama membaca status si teman saya itu, seperti biasa, saya langsung buang sampah di twitter. Saya malas menanggapi dia langsung di statnya. Pertama, saya kebiasaan aja ngatain orang di twitter. Kedua, kolom comment di facebook bagi saya bukan sarana yang pas untuk menuangkan pemikiran saya yang suka overlap karakter alias panjang banget. Ketiga, saya nggak suka aja diskusi di facebook. Keempat, saya sudah lama nggak posting di blog. Akhirnya ya begitulah, Teman-teman, intinya sih saya mau bilang saya nggak pengecut nggak nanggepin langsung di statnya. Hahaha. Jadi, akhirnya saya memutuskan untuk menangani keresahan hati saya secara darurat di twitter melalui tiga twit,


Rikianarsyi ANW
mau situsnya islami kek,klo itu diisi dgn stat provokatif,rasis,sara abis,mengumpat ya jadi ga islami lagi
Rikianarsyi ANW
bukan situsnya yg penting,tp apa yg kamu sisipkan dsana yg penting
Rikianarsyi ANW
br baca stat temen saya yg ngajakin pindah ke salingsapa.com krn lebih islami.. yaelah mbak

lalu pada hari ini saya menuangkannya secara panjang lebar di blog.

Stat persuasif teman saya itu sebenarnya bukan satu-satunya kelucuan yang saya temui di dunia ini. Ia juga bukan yang pertama yang saya temui. Banyak. Banyak sekali persuasi-persuasi senada yang dilewatkan baik melalui stat, twit, bahkan pidato yang saya rasa itu tidak terlalu cerdas. Saya sulit menganggapnya sebagai bujukan, rayuan, ajakan, himbauan, ancaman, tekanan sebagaimana yang disyaratkan oleh wacana persuasi yang baik. Saya malah menganggapnya sebagai sebuah cibiran. Parahnya lagi, cibiran yang tersirat dalam stat persuasi teman saya itu bukan sembarang cibiran seperti dalam iklan pemutih kulit yang diputar di kawasan Asia yang (hanya) mengatakan bahwa wanita berkulit putih itu lebih cantik daripada yang berkulit gelap. Cibiran yang terkandung dalam stat teman saya itu, pertama, jelas mengandung unsur keagamaan. Kedua, kalau kita mengkajinya secara cultural, ia juga ia juga lucu. Kenapa? Mari kita runut.


It is about Religion, Stupid!

Saya mau meminjam slogan terkenal Clinton waktu kampanye, “It is about economic, Stupid!” untuk mendefinisikan keadaan negara saya sekarang. Bedanya, saya mau mengganti kata economic menjadi religion alias agama. Gimana enggak, coba deh kita perhatikan berita-berita di media massa. Kita akan dengan mudah menemukan betapa bangsa kita ini begitu gampang terprovokasi sama hal-hal berbau keagamaan. Bahkan kalau mau sarkas-sarkasan, istilah senggol bacok juga sudah bisa diganti dengan beda perspektif bacok. Nggak usah harus berlainan agama dulu, bahkan dalam satu agama pun udah bisa main kekerasan.

Tingginya sensitivitas bangsa ini akan urusan keagamaan harusnya sudah bisa menjadi referensi kita untuk bertindak dan berucap lebih hati-hati. Maka dari itu saya langsung mengernyitkan dahi waktu membaca sta teman saya. Lebih islami, aduh frase itu jadi frase yang begitu mengerikan bagi saya, apalagi ia dipasang di facebook, jejaring social yang akibat dipasangi stat itu jadi mengalami peyorasi bahwa ia tidak lebih islami sehingga patut ditinggalkan.

Oke oke oke, secara fisik jejaring social salingsapa.com memang mengandung unsur-unsur keislaman. Oke, provider jejaring itu ada di Indonesia dan dijalankan oleh orang Indonesia yang menganut budaya Timur dan ia pun Muslim sehingga ia lebih tanggap dalam merespon konten-konten ‘berbahaya’ alias tidak sesuai dengan nilai Timur dan nilai Islam yang bisa saja diposkan oleh penggunanya. Oke, karena kita menggunakan jejaring social tersebut dan kita mengklik panel accept pada formulir Syarat dan Ketentuan maka kita terikat pada peraturan jejaring social tersebut yang tidak mengizinkan adanya konten-konten makian, umpatan, ejekan, kejahilan, kegeraman, kenakalan, dan ketidakpantasan lain. Pokoknya yang bakal lewat sensor adalah kalimat thoyyibah dan puji syukur, deh, jadi mungkin dengan mengeposkan sesuatu di jejaring social itu kita juga akan menambah pahala :p.

Ah, namun demikian, penggunaan komparasi lebih islami yang ditulis oleh teman saya di stat fesbuknya juga bukan pilihan tepat. Komparasi tersebut bagi saya tidak lain merupakan pembineran antara yang islami dengan yang tidak islami yang kemudian akan berujung pada pembineran antara yang baik dengan yang buruk, yang mana yang bakal masuk surga dengan yang mana yang bakal masuk neraka. Permasalahannya lagi, tidak bijak rasanya menentukan baik buruk dan islami tidaknya seseorang hanya berdasar identitas jejaring sosialnya. Pembineran tersebut tidak saja akan mengotakkan mana orang islam dan mana orang yang bukan islam, tetapi juga mana orang islam yang islami dan yang tidak islami. Bisa-bisa perang lagi kitaaaaaaaaaaaaaaa nanti.


Identity and Places

Pernah merasa bete sebete-betenya sama orang yang menganggap dirinya berbeda dan lebih berkelas dari orang lain hanya karena dia beli baju di butik di Grand Indonesia? Pernah dengan hati dongkol menerima kenyataan bahwa sebenarnya identitas kita lebih banyak didapatkan dengan penilaian orang sekitar kita ini makan di restoran apa, beli baju dimana, pacaran sama anak konglomerat yang mana, naik motor Ninja seri berapa, dan beli Prada di negara mana?

Saya pikir identitas yang sangat bergantung pada tempat itu hanya terjadi dalam tataran materialistis seperti di atas, tapi ternyata saya salah. Dalam tataran keagamaan pun peng-kelas-an juga terjadi. Dengan komparasi yang dilakukan oleh teman saya di dalam stat fesbuknya itu, saya jadi punya bukti baru bahwa yang namanya peng-kelas-an itu ya terjadi di semua bidang. Pada dasarnya kita memang manusia yang butuh identitas, butuh pengakuan, dan akhirnya butuh ruang yang bisa memberikan pengakuan akan identitas yang kita inginkan.

Butuh identitas sebagai orang islam? Tinggalkan fesbuk, tinggalkan twitter, itu yang bikinnya Amerika, di Amerika udah mereka agamanya nggak islam, banyak yang Yahudi, pula! Udah tinggalin ajaaaaa. Bukankah yang mengikuti setan dan kafir itu juga dianggap segolongan?

Secara nggak langsung, itu terjemahan dari komparasi bahwa salingsapa lebih islami seperti yang dibilang teman saya. Seolah-olah kalau kita nggak beralih ke salingsapa, maka kita bukan lagi orang islam dan nerakalah ganjarannya. Itu nggak hanya kekanak-kanakkan dan dangkal, tapi juga menyulut perang.


Postcolonialism in the Midst of Freedom Celebration

Dalam kasus salingsapa.com, selain adanya kecenderungan adanya kebutuhan pengakuan akan identitas, saya juga melihat adanya kecenderungan yang (mungkin) pada awalnya bertujuan positif yaitu mengatasi kejengahan atas konten-konten di dalam jejaring social pada umumnya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Timur dan Islam karena adanya perbedaan budaya antarpengguna dan antara pengguna dengan provider. Solusi dari kejengahan tersebut pun dituangkan dalam pembuatan jejaring social baru yang diharapkan dapat mengatasi kejengahan yang ditimbulkan jejaring social lama.

Namun demikian, saya juga tidak bisa melihat peristiwa tersebut hanya dengan kacamata yang murni. Saya mengapresiasi adanya jejaring social baru tersebut, namun saya juga melihat adanya rasa ego tandingan, “Bikin yang ginian macam fesbuk atau twitter sih gue juga bisa!” Ada cuatan ego yang lahir dari perasaan tersubordinasi di sana. Entah itu balas dendam atau apa, tapi saya melihatnya sebagai keinginan dari pihak yang awalnya ‘terjajah’ untuk menyetarakan diri dengan yang ‘menjajah’. Nggak masalah, tapi itu benar-benar berbau poskolonial sekali. Poskolonialnya lagi, meski jejaring social salingsapa.com itu merupakan hasil dari kejengahan dan keinginan untuk merdeka dari Barat, ia pun masih berbau, bahkan tiruan Barat. Ia masih berbentuk jejaring social ala Barat. Ia masih menggunakan prinsip-prinsip jejaring social Barat. Keislamian yang ditampilkan di sana juga masih berupa aksesoris luar. Sistemnya masih ‘meminjam’ sistem Barat.

Itulah. Itulah yang saya bilang lucu. Kita itu sangat poskolonialis sekali. Sebenarnya kita nggak pernah membuat sesuatu yang baru atau yang benar-benar berbeda dari yang menjajah kita. Kita hanya memodifikasi dengan menempelkan aksesori-aksesori luar yang memang didesain oleh penjajah untuk bisa dimodifikasi. Sayangnya lagi, kita nggak sadar akan hal itu. Kita malah menganggap kita sudah berbeda, sudah setara dengan penjajah, dan menganggap bahwa orang-orang yang masih menginduk pada penjajah, yang dalam hal ini masih menghamba pada fesbuk dan twitter dan belum beralih ke salingsapa.com, adalah orang-orang yang belum tercerahkan, orang-orang yang derajatnya belum setinggi kita, dan berpotensi untuk kita perangi. Lucu sekali, bukan? Kita masih sama-sama menginduk pada penjajah yang sama. Nggak ada satu pun dari kita yang sudah lepas. Hanya kesadaran palsu kita saja yang berbeda.


What Should We Do?

Harus ngapain? Terserah, yang jelas jangan perang antarjejaring social. Nah, ini yang penting. Jangan perang itu gampang diucapkan tapi implementasinya susah loh.

Ketika kita mengikrarkan untuk tidak perang antarjejaring, maka, pertama, kita harus sadar bahwa kita semuaaaaa, yang pakai salingsapa, yang pakai fesbuk, yang pakai twitter, yang pakai friendster, yang pakai plurk, yang pakai apa lagi tuh kalau nggak salah ada banyak banget deh, adalah manusia yang sederajat. Lengkapnya, manusia yang sama-sama menginduk pada teknologi Barat hanya berbeda aksesori luar. Kalau kita perang, apalagi sampai bawa-bawa nasionalisme Timur dan atas nama agama, satu pihak yang bakal girang banget adalah Barat.

Kedua, ya kita harus bisa melepaskan ketergantungan kita akan pengakuan identitas dari tempat yang kita tinggali. Bukan tempat yang menentukan identitas kita, melainkan diri kita sendiri. Kita juga nggak bijak jika kita menentukan identitas orang lain berdasar tempat yang ia tinggali. Balik lagi, bukan tempat yang berkuasa atas diri kita, melainkan diri kita sendiri. It is You Decide to Act in a Moslem Way or Not!

Ketiga, jangan bertindak konyol dengan mengatakan salingsapa.com lebih islami daripada facebook di kolom facebook. Kan ketahuan tuh kalau kita dulunya nggak islami. Tuh buktinya punya akun di facebook. Hehehehe. Nah, tapi kalau sudah terlanjur bikin stat bilang kayak begitu, ya sudahlah insaf, jangan muncul lagi di facebook keesokan harinya. Kan jadinya nggak konsisten keislamiannya. Hehehehe. Tapi nggak apa-apalah, kita jadi tahu kalau nanti misalnya ada perang antara salingsapa.com dan facebook, tipe orang yang kayak gitu yang nggak bisa dijadikan pemimpin perang.

Ark. Feb’11.