Selain karena meja makan saya ada di depan tivi yang akhirnya membuat saya setiap kali mengambil makan noleh juga ke arah televisi, selebihnya saya udah lama nggak nonton tivi. Akibatnya, saya nggak tahu gimana rame-ramenya kenaikan BBM akhir-akhir ini selain dari pembicaraan teman-teman saya di twitter. Saya tahu BBM bakal naik sekitar Rp1500 dari twiter, saya juga tahu ada kegiatan demo besar-besaran juga dari twiter. Bukan berita yang netral, sebenarnya. Tentu saja karena twiter sendiri adalah dunia opini.
Posting kali ini saya dasarkan atas pengamatan saya atas dunia twiter yang diisi oleh pro-kontra kenaikan BBM. Yes, saya mau membahas sudut pandang teman-teman saya yang kemudian saya refleksikan dengan pandangan saya.
Seorang teman saya yang cukup aktif menyuarakan pendapatnya di twiter menyatakan persetujuannya atas kenaikan harga BBM karena harga minyak mentah di pasar dunia makin membumbung dan membuatnya makin tidak rasional dengan anggaran pemerintah Indonesia untuk membeli minyak mentah. Sampai di situ saya setuju dengan pandangan tersebut. Ya, logikanya mau ditutupi dengan uang apa kalau subsidi makin lama makin membengkak, apalagi anggaran negara nggak cuma untuk memenuhi kebutuhan perminyakan. Namun demikian, teman saya ini sempat juga meng-RT pendapat temannya yang sekubu. Nah, ini yang bikin saya agak mengernyitkan dahi. RT twit tersebut kira-kira berbunyi "Naikkan saja BBM sampai 12 ribu, subsidinya berikan kepada nelayan, petani, rs, sekolah supaya lebih efektif". Whattt, 12 ribu rupiah? Subsidinya diberikan kepada nelayan, petani, rs, sekolah? Keberatan saya terletak pertama pada poin kenaikan hingga 12 ribu, duh 12 ribu untuk satu liter bensin buat saya yang saat ini bergaji mepet UMR dan bergantung banget sama kendaraan bermotor itu berat banget, padahal saya nggak punya tanggungan apa-apa dan siapa-siapa, lalu bagaimana dengan orang-orang lain yang kondisinya tidak jauh lebih baik dari saya, yang punya tanggungan banyak banget, dan yes, bukan juga termasuk dalam golongan nelayan, petani, rs, sekolah?
Sudut pandang twit itu bagi saya nggak memihak aja sama keadaan kaum kecil secara keseluruhan. Nggak jauh berbeda denan twit yang di-RT tersebut, ada pula teman saya yang bilang bahwa "Sebenernya kenaikan 1500 itu nggak masalah..." Hmmmm, itu masalah lho. Serius, deh. Kondisinya balik lagi ke saya yang bergaji mepet UMR bla bla bla. Hitungannya gini, rata-rata dalam seminggu itu saya membeli bensin seharga Rp15.000 atau sekitar 3 liter sekian, nah kalau 3 liter itu dikonversi menjadi Rp6000/liter, maka saya akan mengeluarkan uang sekitar Rp20.000 untuk jumlah bensin yang sama. Dalam sebulan ada 4 minggu, berarti saya harus menganggarkan sekitar Rp80.000 untuk bensin. Itu baru bensin. Belum makan. Tentang pedagang yang dikritik teman saya sebagai pihak yang semena-mena dalam menaikkan harga, saya rasa itu juga bukan hal yang seharusnya dikritik. Teman saya boleh bilang kenaikan harga makanan/ bahan makanan oleh pedagang itu nggak rasional, namun bagi saya, pendapat teman saya itu juga kurang relevan. Masalahnya, dia adalah outsider yang melihat dari sudut pandang konsumen. Coba kalau dia menjalani peran sebagai produsen atau distributor yang pertimbangannya nggak cuma tentang keuntungan, tetapi juga untuk biaya perawatan, biaya karyawan, biaya produksi, dll yang juga harus ikut naik seiring dengan harga minyak yang naik, pasti dia juga harus mengambil tindakan menaikkan harga. Tapi ya memang sih, masalahnya kemudian adalah apakah dari kenaikan harga makanan dan lain-lain itu para konsumen sudah siap sedangkan besaran pendapatannya saja belum tentu dinaikkan sebanding dengan kenaikan harga BBM yang katanya 'hanya' Rp1500, dan boleh juga dinaikkan hingga Rp12.000?
Jujur, saya sebagai konsumen mah engga siap. Bukan 'belum', tapi beneran nggak siap.