Tentang Konser




Saya bukan tipe concert-goer. Dulu saya sempat punya, sih, impian pengen nonton konser idola saya semacam Energy. Waktu Energy konser di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya sekitar tahun 2003 gitu pengennya sih saya ikutan kayak teman-teman fans club yang grupis abis ngestalking Energy sampai ke hotel, bandara, stasiun radio, dan mal tempat Energy makan. Tapi alhamdulillah harga diri dan logika saya menyuarakan hal yang lain. Saya nggak mau dilihat Energy sebagai fans yang annoying dan worshipping abis. Malu, bero. Akhirnya saya nggak pernah melihat konser Energy seumur hidup saya. Saya ikhlas hanya menikmati idola saya dari layar majalah, tivi, dan vcd. Ya, tapi nggak ikhlas-ikhlas banget, sih. Kemarin waktu ke Singapura terus saya ngelewatin Kallang, tempat yang suka dipake Energy konser kalau di Singapura, saya juga sempat merasa sesak. Ternyata cinta saya nggak garis keras banget buat Energy.

Okesip buat kisah Energy. Tadi di awal saya udah bilang kalau saya bukan tipe concert-goer. Seriusan. Saya nggak pernah betah dan nggak pernah percaya akan atmosfer yang berbeda antara kita nonton konser dengan kita dengerin dari radio. Yak, silakan sambit saya dengan ayat fans garis keras artis manapun, saya nggak akan pernah mengubah mindset saya bahwa konser is not my thing and somehow i wonder why people are willing to pay so much money for actualizing their love to their idol. Nggak salah, sih. Toh juga 5 dari 4 teman saya adalah concert-goer atau minimal pernahlah sekali dua kali nonton konser idolanya, entah dengan alasan cinta sama idola atau karena tiketnya udah terlanjur dibeliin orang tua. Tapi bagi saya sih itu mubazir, hehe. Apa, ya, mungkin karena gaji saya belum cukup usia buat dibelikan tiket, which is something economician calls them as tertiary needs, mungkin karena saya lebih memilih bayar utang daripada bersenang-senang, mungkin karena saya lebih memilih investasi beli baju daripada buat beli sesuatu yang habis dalam beberapa jam dan nggak masuk perut, mungkin karena saya juga nggak punya interest besar soal musik jadi saya nggak paham sama yang namanya menghargai kerja keras artis dengan membeli cd originalnya dan datang ke konsernya, mungkin karena saya nggak suka jadi orang kebanyakan yang pada umumnya memang senang datang ke konser, mungkin juga karena saya menganggap tidur adalah sebenar-benarnya istirahat, tapi yang paling jelas sih karena lingkungan keluarga saya tidak terbiasa dengan kegiatan semacam konser dan budaya pop lainnya. Kuno? Konservatif? Bebas, sih menginterpretasikan apa, tapi saya senang dan terbiasa kok berada di lingkungan yang berpikir ulang sampai akhirnya nggak jadi dalam menikmati budaya pop. 

Posting ini sebenernya nyambung ke konser Gaga yang batal. Awalnya saya nggak tahu dan nggak peduli soal Gaga mau konser ke Indonesia. Pertama tahu sih tanggapan saya cuma, "Wih, masih bulan Mei tapi udah penuh aja sejarah konser Indonesia di tahun 2012. Tajir, nih orang Indonesia." Iya, perhatikan, deh, dalam lima bulan ini sudah berapa artis besar yang konser, bero. Yang paling deket itu Suju, Laruku, terus siapa sih band idola Bima yang waktu itu Bima batal nonton konsernya gara-gara sakit? Aduh, lupa. Ya, pokoknya yang masih keinget sama saya udah tigalah, itu juga artisnya gede banget. Ya makanya pas tahu Gaga mau konser, ya luar biasa aja sih saya ngerasanya sama bangsa Indonesia. Anjir kemarin perasaan baru protes soal BBM naik dan BBM nggak bersubsidi, tapi ini di konser masih eksis. Paradoks, sih. Ya, memang sih yang nonton konser ya minimal harus berpunya yang pastinya juga orang-orang ini alhamdulillah diberi kecukupan rezeki sehingga kemarin mereka nggak ikutan demo BBM, tapi ya tetep aja paradoks. Gap distribusi kekayaan masyarakat kita tinggi banget. Semoga saja memang di balik kecukupan rezeki itu mereka selalu aktif membayar zakat.

Kejam juga ya dipikir-pikir pernyataan saya sekarang, hehehehe. Tapi seriusan itu yang jadi pemikiran saya udah dari lama banget. Saya bisa menghormati dan menghargai orang-orang yang ikutan konser, apalagi memang mereka semua adalah teman-teman saya, tapi dalam kurun waktu saya berteman dengan mereka, ya saya juga nggak pernah bisa mengubah mindset saya untuk sedikit lunak dengan konser. Saya pernah datang ke bazaar SMA 2, bazaar SMA 8, Symphonesia, tapi ya saya nggak pernah bisa mendapat atmosfer yang menyenangkan yang dijanjikan dalam konser. Ya liat mah liat aja, tapi jujur saya malah lebih sibuk nyariin orang-orang yang cipokan di konser hahahhahahahahahahahahhaaha. Iseng sih mikirin, anjir mau cipokan aja harus banget ke konser dulu, mahal cyyynnn hehhehehehehehhehehe. Saya mah seriusan nggak percaya kalau mereka datang ke konser beneran buat nonton konsernya. Paling awalnya doang itu. Ke sana-sananya otak udah kedistrak gimana nyari momen romantisnya. Kalau udah dapet juga itu dua-duanya udah sibuk dengan pikiran masing-masing. Pasti itu mah pasti. Teman-teman saya mah alhamdulillah fans garis keras dan jomblo sih jadi ya ke konser murni artis taala alias hanya untuk melihat si artisnya, jadi nggak melakukan hal-hal privat yang seharusnya nggak terekam oleh gadis dengan tingkat keingintahuan yang tinggi seperti saya. Oke, terlepas dari penyimpangan dan penistaan konser yang dilakukan oleh oknum yang berpasangan terutama pada lagu-lagu berirama mellow *padahal liriknya tentang patah hati, bukan tentang cinta selamanya*, saya memang nggak pernah bisa menerima konser sebagai bagian hidup saya.

Balik tentang Gaga, rada jengah, sih, sebenernya sama respon orang-orang tentang batalnya konser Gaga. 

Di satu sisi, saya sangat menyesalkan tindakan premanisme dan jumawa dari FPI yang bagi saya, kayak monster. Nilai yang mereka bawa sebagai isu utama untuk menolak Gaga sih saya paham dan setuju. Tapi pengaktualisasiannya itu loh, kayak yang paling benernya gitu. Lagian juga standar ganda banget. Nilai yang mereka sampaikan itu bagi saya universal dan memang cocok diterapkan di Indonesia seperti ya jangan mengundang nafsu birahi, jangan memuja setan, dan lain-lain. Nah, kalau gitu konsisten, dong. Larang juga kek dangdut erotik. Search deh di Youtube, banyak banget dangdut yang direkam dalam acara sunatan massal atau nikahan yang bahkan penyanyinya aja, dengan paha dan toket tersembul kemana-mana, ngebornya di pangkuan keyboardis. Kurang erotik, murahan, mengundang birahi, dan nggak pantas apa lagi coba? Itu bokep, sih, bukan dangdutan. Dan itu diadakan di acara nikahan atau sunatan gitu loh. Pertama ya tentu merusak iman sang mempelai. Kedua, heyyyyy itu acara sunatan woooyyyyy. Anak laki-laki seumur SD! Ketiga, itu hiburan murah yang bisa diakses secara luas oleh kelompok masyarakat umum, dari yang soleh sampai yang bejat. Spektrum audiensnya luas banget dan di situlah perusakan moral terjadi. Sidak deh ke warnet-warnet di daerah terpencil, saya yakin 4 dari 5 komputernya udah dipakai buat mendownload situs xxx oleh anak-anak dan remaja. Tanya juga berapa remaja perempuan yang sudah dibuai atau diancam putus sedemikian rupa untuk menyerahkan kegadisannya. Ketika FPI ramai mengutuk Gaga, yang sebenarnya sangat segmentatif, dalam arti sudah punya fanbase tertentu dan tiketnya mahal pula, jatuhnya itu lucu. Kita nggak bisa terus-menerus menyalahkan hal eksternal sebagai perusak moral sementara kita tahu bahwa di dalam masyarakat kita sendiri, moral itu sudah digadaikan demi saweran dan urusan syahwat. Ranah FPI pun bagi saya jadi sangat elitis. Maunya membersihkan budaya pop yang mahal di atas sana sementara yang di grassroot dibiarkan tenggelam dalam nerakanya sendiri. Coba, deh FPI itu memperluas spektrum sasaran orang yang ingin diselamatkan biar pada masuk surga. Jangan cuma orang kaya aja, tapi juga orang ekonomi menengah ke bawah. Jangan sampai membuat orang berstigma bahwa FPI itu setiran kapitalis dan jagonya pengalihan isu. Tegakkan Islam secara meratalah. Lihat ke bawah.

Namun demikian, bukan berarti juga saya mendukung orang-orang yang di twiter ramai bercuap tentang dipasungnya kebebasan berekspresi dengan batalnya konser Gaga. Seperti yang saya bilang, saya jengah. Ini juga subyektif didukung dengan latar belakang saya yang bukan anak concert-goer. Coba, deh, sebelum pada bercuap mengenai dipasungnya kebebasan berekspresi, pahami juga gap-gap yang terjadi di sekitar mereka. Saya tahu mereka berpunya dan saya juga mencoba untuk berpositive thinking bawa mereka sudah membayar zakat, tapi persoalan ini nggak berhenti di sini saja. Ini soal kepedulian dan kesetiakawanan sosial. Oke, itu pret mungkin buat kalian dan sangat okesip banget. Oke, ganti. Ini soal betapa kalian sudah menjadi budak bagi kapitalis. All hail Marx! Gue sosialis? Terserah. Kenyataannya memang demikian, kok. Baik kalian maupun artis idola kalian, dari Suju sampai Sule, itu budak kapitalis. Kalian mau bilang bahwa soal datang ke konser dan beli cd original itu adalah penghargaan bagi artis? Men, itu mitos! Itulah pengalamiahan yang diretorikakan oleh kapitalis untuk melanggengkan kekuasaan mereka atas diri kita. Melalui retorika itu kalian dipaksa bekerja lebih keras lagi untuk bisa mengeluarkan uang lebih banyak lagi demi tujuan pleasure dan leisure, yang kedua hal tersebut (kerja dan bersenang-senang) sama-sama akan menghegemonikan para kapitalis. Ya, monggolah kalau mau sekali-kali datang ke konser atau beli cd original, kasian juga kan si artis idola kalian nanti nggak makan, tapi ya nggak sampai fanatik banget bahkan sampai mempermalukan negara sendiri dengan ngetwit penuh tudingan marah ke FPI dan polisi. Ini juga makin menguatkan kapitalis gitu loh. Penistaan negara gitu itungannya. Beberapa tahun lagi, deh, kalau perilaku-perilaku emosional di twiter yang disebabkan oleh kemarahan kepada negara ini masih ramai bisa-bisa negara dibubarkan atas nama kebebasan individu yang sejatinya tidak akan membebaskan individu ke tingkatan yang bebas secara makrifat, tetapi menggiring mereka untuk masuk ke kekuasaan kapitalis yang tentu lebih kejam daripada ibu pertiwi yang sekarang sedang menangis kata Chikita Meidy.

Ah, tapi yasudahlah. Silakan balik ke kesenangan pribadi saja, maunya gimana ya monggolah, urip-uripmu hehehehehe. Baik FPI maupun pendukung konser Gaga ini sama-sama jumawa, jadi ya sulit juga kalau mau didamaikan. Sekarang mah mending FPI banyak turun mengawasi keadaan grassrootlah. Pendukung Gaga dan concert-goers lain juga mending mulai menyadari hakikat hidup kalian yang sudah masuk ke dalam kungkungan kapitalis. Kalian yang baca posting ini juga mending pada shalat isya dulu, deh. Saya juga belum, nih. Yuuuuu dadah babay.


*Posting ini ditulis malam hari walaupun dipublish siang hari

Ark.Mei'12.

Enam Tahun

Dalam enam tahun ini, ini kali kedua kita bertemu. Entah kebetulan atau sudah diatur semesta atau hati kita masih terikat tanpa kita sadari, peristiwa pertemuan kita terjadi dalam jangka waktu tiga tahun. Satu hal yang paling ingin kukatakan kepadamu saat ini sama seperti apa yang ingin aku katakan tiga tahun lalu. Tapi ya begitulah, lagi-lagi aku urungkan niatku karena melihat pemandangan yang sama seperti tiga tahun lalu yang tentunya tidak seperti apa yang aku harapkan enam tahun lalu ketika kita berpisah. Kita? Ah, ya, maksudku kita memang berpisah, tapi itu lebih karena keinginanmu yang sempat aku baca.

Tiga tahun itu lama. Enam tahun apalagi. Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat siswa yang baru lulus SD bersiap-siap menjadi murid SMA. Enam tahun juga adalah waktu yang cukup untuk membuat si gadis putih merah menjelma menjadi mahasiswa dan meneriakkan kesetaraan gender. Ya, kita berpisah tentu bukan pada saat aku berusia SD. Yang aku maksud di sini adalah betapa tiga dan enam tahun itu adalah waktu yang tidak sekedar dilewatkan bumi untuk tiga sampai enam kali mengelilingi matahari dan hanya meninggalkan perubahan musim belaka. Waktu dalam satuan tahun itu adalah besaran yang sangat bermakna menciptakan ruang dan peran baru. Kurikulum saja sudah berapa kali direvisi dalam tiga hingga enam tahun itu.

Ah, entahlah. Sekarang sudah berjalan dua puluh menit. Aku lalu memasuki lift yang sudah berkali-kali naik-turun di gedung berlantai dua puluh ini. Sosokmu masih ada di luar sana. Sosok yang tidak pernah berubah dari segi penampilan, kedewasaan, bahkan status pekerjaan. Dan entah mengapa saat ini aku bersyukur kita berpisah sejak enam tahun lalu.

Irshad Manji


Berawal dari twit Remon tentang link pdf Irshad Manji dan lebih dipicu lagi oleh retweet dari radiobuku tentang ramainya diskusi Irshad Manji di *kalau nggak salah* Yogya yang di-'jaga' oleh kelompok bersenjata, saya akhirnya baca juga tentang Irshad Manji. Saya pernah dengar selintasan, sih tentang Manji ini tapi ya cuma sekedar dengar saja. Jadi, ya, buat yang mencap saya sebagai JIL, harap dipertimbangkan lagi, deh anugerah gelarnya, haha. Baca Manji aja baru tadi malam, itu juga baru seratus halaman terus saya tidur.
Setelah saya membaca seratus halaman buku Manji yang saya rasa tone-nya konsisten, saya mulai mendapat kesimpulan bagaimana posisi Manji di buku itu. Klarifikasi lagi, saya dimana-mana hanya memosisikan diri sebagai pengamat. Saya ini abu-abu dan nggak mau masuk ke dalam salah satu golongan, apakah itu FPI atau JIL, apakah itu ektremis atau liberal, dan sebagainya. Kedua titik itu terlalu ekstrem bagi saya. Selain itu, saya rasa mustahil juga bila kita (atau khususnya saya) bisa hidup di salah satu dari dua titik ekstrem tersebut. Saya percaya adanya titik tengah yang ekletik yang menggabungkan fragmen-fragmen baik dari kedua titik tersebut yang tidak perlu juga bila dijadikan aliran baru. Dengan mengambil posisi seperti itu, ya akhirnya lahirlah posting ini yang saya tujukan untuk membahas dan mengkritik Irshad tapi juga bukan untuk membela FPI haha.
Tulisan saya kali ini cukup sangat panjang hehehe jadi saya bagi  ke dalam tiga post, yaitu Dimensi Intrinsik Irshad Manji yang membahas isi tulisan Manji, Dimensi Ekstrinsik Irshad Manji yang membahas bagaimana posisi Manji dalam tulisannya, serta Jadi, Apa dan Bagaimana Irshad Manji yang saya jadikan kesimpulan dari dua bagian sebelumnya. Penataan posting ini sengaja saya dahulukan bagian kesimpulannya supaya scrolling tidak dilakukan dari bawah ke atas, tapi atas ke bawah.
Baiklah, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan YME karena melalui rahmatnya blogspot ini dapat tercipta.

Dimensi Intrinsik Buku Irshad Manji


Pdf yang saya download dan baca tadi malam merupakan terjemahan dari Trouble with Islam. Manji sudah menyadari bahwa judul yang dipilihnya ini provokatif. Ya, kalau kita memosisikan diri sebagai penjaga panji-panji kesakralan Islam, judul ini memang provokatif untuk membuat alis dan emosi kita naik. Tapi, seperti yang diakui Manji, judul ini dipilih karena dalam pandangannya, ada yang salah dengan penerapan atau realita Islam dengan apa yang dianjurkan dalam Quran. Singkat kata, dalam pemahaman saya, Manji mengkritik kita, si muslim, yang kerap bertindak atas nama Quran tapi sebetulnya kita hanya melakukan justifikasi saja atas segala tindakan kita yang menurut Manji, buruk.
Membaca hingga seratus halaman, poin yang diajukan Manji di awal bukunya itu memang selalu konsisten ditekankan. Manji memberikan bukti-bukti betapa buruknya akhlak kita di lapangan ketimbang seharusnya. Dari mulai perbudakan atas bangsa Afrika, penindasan terhadap perempuan, hingga demonisasi-demonisasi terhadap bangsa Yahudi dan pemeluk Kristen. Saya tidak menampik argumen Manji tersebut. Buka google, masukkan keyword, kemudian kita akan menemukan pemberitaan yang menyajikan potret buruk orang Islam. Buka terjemah Quran, kita juga akan menemukan ayat-ayat yang menurut Manji mengajarkan kelembutan dan kekerasan yang menurutnya membuat Agama Islam dan Quran berwajah ganda. Akan tetapi, apakah bijak apabila hanya dengan melihat dan mengalami kekerasan yang dilakukan orang Islam, yang menurut Manji didasarkan pada Quran, maka Agama Islam dan Quran langsung dipersalahkan sebagai penuntun yang tidak sempurna?
Dalam pandangan saya, pertama, Manji seharusnya melakukan pembedaan apa yang dinamakan Islam sebagai Agama dan Quran sebagai Kitab Suci yang menuntun pemeluknya, dengan pemeluk Islam itu sendiri yang sejatinya adalah manusia yang state of nature-nya, kalau meminjam istilah Hobbes, buruk. Islam sebagai Agama dan Quran sebagai Kitab Suci tentu saja berisi hal-hal normatif. Islam sebagai agama dan Quran dengan segala peraturan mengikatnya yang menyebutkan hak, kewajiban, dan ganjaran berupa pahala, azab, dosa, dan jenis hukuman adalah sesuatu yang memang harus ada untuk mendidik manusia-manusia pemeluknya sehingga bisa diangkat ke derajat yang lebih luhur sebagai manusia. Tidak bijak rasanya apabila Manji hanya melihat Agama Islam dan Quran sebagai hal utopis hanya karena mereka menjanjikan surga dengan segala nikmatnya yang tidak ada di dunia. Agama Islam dan Quran memang perlu menjadikan surga itu sebagai janji agar manusia terpacu memutihkan sisi hitamnya yang sangat hitam. Begitu pun ketika Manji melihat Agama Islam dan Quran sebagai agama dan kitab yang mengajarkan kekerasan. Bukan berarti karena agama dan kitab suci adalah sesuatu yang normatif maka keduanya jahat bila menyebutkan azab, dosa, siksa, dan jenis hukuman bagi manusia yang ingkar. Melihat sisi asli manusia yang sangat hitam, janji saja tidak cukup. Tentu harus ada penyeimbang.
Kedua, dari kritik Manji mengenai Agama Islam dan Quran, saya merasa Manji tidak membuat sikap yang berbeda dari kaum ekstremis yang mengkritik teori-teori dan konsep-konsep sosial yang kebetulan digelontorkan oleh ilmuwan Barat. Keduanya sama-sama tidak melihat konteks secara utuh. Ketika Manji mengkritik ayat jihad dan perang serta demonisasi terhadap Yahudi dan Kristen, misalnya, apakah Manji sudah melihat konteks di dalam Quran itu sendiri yang menceritakan latar belakang kedua tema seruan itu? Manji juga harus membuka sejarah-sejarah apa yang dialami Agama Islam dalam kaitannya dengan jihad, perang, Yahudi, Kristen serta kondisi-kondisi apa yang membuat Agama Islam geram dan memberikan last resort tersebut. Dengan sikap Manji yang demikian, apa yang bisa membuat saya membedakan Manji dengan hizbut tertentu di kalangan ekstremis Islam yang menentang kesetaraan gender, misalnya? Keduanya sama-sama tidak melihat konteks sejarah yang menceritakan dinamika aksi-reaksi penindasan dan perjuangan.
Ketiga, Manji juga seharusnya memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks. Manji seharusnya tidak melakukan penyederhanaan identitas dengan langsung menganggap bahwa ketika si A memeluk agama Islam, maka si A akan langsung menjadikan Agama Islam sebagai satu-satunya penuntunnya. Idealnya memang demikian, namun tidak semua yang ideal itu bisa teraih. Kita tidak bisa melakukan isolasi terhadap manusia. Manusia selalu memiliki keterkaitan dengan teks-teks di sekitarnya. Kita harus melihat teks budaya, gender, profesi, keluarga, status, agama, dan banyak lagi dalam kesehariannya serta mana yang mendominasi pertimbangan-pertimbangannya. Pergulatan berbagai teks tersebut dalam dirinyalah yang menjadikan manusia sebagai manusia itu sendiri.
Ya, saya memang menyejajarkan kedudukan agama dengan teks budaya, gender, dan sebagainya, namun bukan berarti kesimpulan bahwa agama sudah gagal menjadi penuntun manusia bisa diambil. Kegagalan tidak terjadi ketika manusia menjadikan agama sejajar dengan teks-teks sosial lain yang mengitarinya, tetapi ketika agama itu tidak masuk ke dalam salah satu teks yang bergelut di dalam diri manusia. Harus diakui, keterikatan manusia dengan agama adalah hal yang paling lemah ketimbang keterikatan manusia dengan teks-teks lain sehingga ketika agama sudah bisa masuk ke dalam pergelutan teks, maka itu adalah prestasi besar bagi manusia. Ada beberapa sebab. Satu, agama adalah hal yang paling jauh dari jangkauan indera yang ganjarannya masih abstrak. Surga dan neraka, kurang jauh apalagi dengan indera manusia? Karena itulah dalam rukun iman juga disebutkan bahwa kita harus percaya pada hari akhir. Tanpa kepercayaan pada hari akhir, mustahil kita akan percaya pada terminologi surga-neraka. Masalahnya lagi, hari akhir itu apa? Itu juga tidak terjangkau. Satu-satunya yang terjangkau adalah kematian yang waktunya rahasia. Itu yang menjadi penghubung kita dengan keimanan pada hari akhir. Dua, agama pada dasarnya adalah seruan bagi kita untuk berpuasa. Kita diminta untuk menahan nafsu yang bersarang di dalam tubuh kita, dari mulai nafsu amarah, serakah, seksual, mabuk, dan masih banyak lagi yang kesemuanya tentu sulit dilakukan, mengingat hal tersebut sudah menjadi buah khuldi yang ada di dalam diri kita. Agama pun berkembang menjadi peraturan-peraturan mengikat yang menjadi beban dalam pergelutan teks dalam diri. Mengapa menjadi beban? Saya tidak bisa memutuskan apakah buah khuldi di dalam diri kita itu memang alamiah dan given terkandung dalam DNA kita ataukah bentukan sosial yang telah menghegemon dan mengalami pengalamiahan sehingga seolah-olah alamiah. Namun demikian, memang harus diakui bahwa agama adalah hal baru yang masa kelahirannya sudah didahului oleh keterbentukan budaya. Ini masuk menjadi alasan ketiga. Agama adalah modernisasi atas tradisionalitas pemikiran yang sudah membudaya. Masalah yang tumbuh di sini adalah agama dipertemukan dengan kebiasaan-kebiasaan turun-menurun yang lebih menyenangkan, lebih kasat mata, dan lebih dekat. Ganjaran surga-neraka dari agama harus mampu menjawab ganjaran berupa karma dan kutukan leluhur yang sudah berakar. Empat, agama adalah revolusi atas tindak penindasan yang dilakukan kaum yang lebih superior yang kekuatannya dihimpun oleh rasa senasib-seperjuangan para kaum tertindas. Masalah yang dihadapi di sini adalah pencibiran kaum superior akan agama dan penganutnya yang melahirkan dua kemungkinan konsekuensi. Konsekuensi pertama terjadi apabila peperangan antara dua pihak tersebut berakhir win-win solution karena kedua belah pihak masih saling memiliki kebergantungan. Di sini, kaum pembela agama harus berkompromi dengan kaum superior yang memiliki elitisisme tertentu yang ingin diakomodasi pula dalam agama. Akibatnya, bisa jadi agama mengalami penyesuaian-penyesuaian yang menyebabkan agama seolah memiliki wajah ganda. Konsekuensi kedua terjadi ketika perang tersebut menghasilkan hasil yang zero-sum alias yang menang memegang kendali, sementara yang kalah menanggung kehancuran dahsyat. Di sini kita tidak bisa berharap pada nilai-nilai kasih agama untuk mengampuni pihak yang kalah. Di sini, pergelutan teks kembali terjadi yang biasanya memberikan porsi yang lebih besar pada dendam. Keberingasan kaum beragama pun terekam menjadi sejarah yang dimaknai generasi berikutnya dengan beragam interpretasi. Bisa sebagai teladan yang patut dilanjutkan dalam perang berikutnya, bisa juga sebagai kegagalan yang makin menjauhkan agama dari kepercayaan manusia.
Kembali pada Manji, kritik Manji pada Agama Islam, Quran, dan penganutnya memang tidak bisa dianggap sebagai omong kosong, tetapi saya rasa Manji juga harus melebarkan fokusnya sehingga tidak terjebak pada ungkapan curahan hati pembelaan diri yang mengatasnamakan kaum tertindas tanpa memahami state of nature manusia itu sendiri.

cont

Dimensi Ekstrinsik Irshad Manji


Pengalaman tertindas sudah jelas menjadi unsur ekstrinsik dominan yang diperlihatkan oleh Manji. Tapi ada yang menarik dari sini. Bukan tentang pengalaman Manji yang membuat saya berkali-kali bilang, "Ohh,", "Hmmmm,", "Yaampun," "Ckckckckck", melainkan tentang pencitraan betapa beauty, brilliance, dan benign-nya multikulturalisme, demokrasi, dan segala yang menjadi penyangga liberalisme Barat. Menariknya lagi, bahkan Manji pun menampik tesis Edward Said yang membela kaum Timur. Lagi-lagi saya luar biasa salut pada Barat. Soft power-nya benar-benar tersistem dan mampu mencetak agen, yang entah fanon (berlindung pada topeng Barat) entah benar-benar termanipulasi oleh keelokan nilai (beauty), kejeniusan (brilliance), dan keramahtamahan (benignity) yang sejatinya hanyalah mitos.
Membahas mengenai soft power Barat dalam menegakkan liberalismenya, citra beauty dapat begitu mudah kita temukan dari pernyataan Manji mengenai indahnya penerimaan dalam perbedaan yang terjadi di dalam lingkungan demokratis dan multikultur. Manji mempertajam citra tersebut dengan melakukan perbandingan sikap gurunya di madrasah yang tidak menoleransi sikap kritis Manji dengan sikap kepala sekolah SMP-nya yang meskipun tidak setuju dengan Manji, tidak memperlihatkan sikap yang mengancam Manji. Selain itu, kita juga akan menemukan citra brilliance dari bagaimana cara 'gereja' memenuhi rasa keingintahuan Manji dengan jawaban yang bisa menenangkan Manji dan penghargaan bagi sikap kritis Manji. Perbandingan sebagai cara mepertajam citra kembali dilakukan Manji melalui kejengkelan Manji yang sulit mengakses perpustakaan madrasah. Kemudian dalam hal benignity, Manji memperlihatkan citra menarik itu di dalam tubuh liberalisme melalui sikap-sikap tidak manusiawi dari kaum muslim kepada kaum tertindas yang menyebabkan kaum tertindas menderita padahal dari kaum tertindas itu pula muslim pernah mendapat bantuan.
Memang harus diakui bahwa soft power adalah power yang kepemilikannya bergantung pada negara. Sikap kepala sekolah SMP Manji dan gereja yang saya katakan sebagai pengaktualisasian soft power negara multikultur bisa saja diragukan dengan argumen, "Memangnya ada briefing khusus bagi para kepala sekolah dan gereja mengenai cara bersikap kepada orang-orang seperti Manji?" Ya, saya juga ragu apakah ada briefing formal. Namun, masalahnya bukan pada ada tidaknya briefing formal, melainkan pada telah meresapnya budaya penerimaan atas perbedaan pada negara-negara penegak liberalisme. Pada negara-negara dengan budaya seperti ini, sudah tidak perlu lagi ada duta-duta soft power karena semua rakyatnya telah menjadi agen soft power secara otomatis. Saya rasa ini juga tidak ada kaitannya dengan agama, tetapi lebih kepada praktek kultural yang telah berlangsung lama yang akhirnya menjadi penguat peradaban. Adanya penyertaan gereja saya rasa hanya sebagai pemertajam citra.
Dalam bukunya, Manji beberapa kali menyebut bahwa di antara semua ketertindasan yang dialaminya dari kaum Muslim, penyelamatnya adalah nilai-nilai liberalisme Barat. Lucunya, Manji menegaskan bahwa betapapun demikian ia tertindas dan mengkritik Islam, ia tetap menganut Islam. Saya tidak menghimbau pada Manji untuk keluar dari Agama Islam, saya hanya mengkritisi dimana posisi Manji saat ini. Saya bingung menentukan apakah Manji ini fanon atau subyek termanipulasi yang dijadikan duta soft power oleh Barat. Dalam beberapa hal, saya melihat Manji sebagai fanon. Manji ini merayakan nilai-nilai Barat dan mengkritik Agama Islam, tapi Manji juga tidak bisa menutupi identitasnya sebagai non-Barat. Manji ya Manji, orang Asia dan penganut Islam. Sebagai orang Timur dan penganut Islam, Manji adalah one of the others yang dimarginalkan Barat, tapi masih membutuhkan Barat sehingga ia harus menopengi dua identitas marginalnya untuk mendapat penerimaan dari Barat.
Namun demikian, dengan analisis soft power, Manji juga bisa dilihat sebagai subyek yang preferensinya sudah dibentuk sedemikian rupa oleh Barat sehingga percaya dengan mitos-mitos Barat dan menyebarkan preferensinya tersebut untuk membentuk preferensi orang-orang yang sekaum dengannya, yakni Timur yang Muslim. Kekerasan hati Manji untuk tetap menjadi muslim meskipun ia telah mengalami perlakuan tidak mengenakkan dari Islam saya lihat lebih sebagai bentukan Barat yang memang tujuannya untuk membentuk preferensi Muslim bukan untuk kristenisasi, tetapi untuk mengamankan kepentingannya dengan Muslim. Seperti yang saya tekankan sebelumnya, ini memang bukan persoalan agama, melainkan persoalan survival dari sebuah peradaban yang bernama peradaban Barat yang terancam dengan perkembangan Islam yang tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai peradaban dengan penyebarannya yang tidak mengenal batas negara. Hal yang ingin dicapai Barat dari duta soft powernya yang bernama Manji seperti yang diungkapkan Vuving sebagai tujuan diperlihatkannya sisi beauty, brilliance, benignity sejatinya adalah pengidolaan, pengimitasian, perlindungan, penghormatan, dan kepercayaan. Pihak-pihak ekstremis Islam yang merasa marah dengan Manji dan Barat juga seharusnya memperhatikan poin ini kemudian menghilangkan keburuksangkaannya bahwa Barat ingin mengkristenkan Muslim.

cont

Jadi, Apa dan Bagaimana dengan Manji?


Saya melihat potret perang pemikiran ektremis vs liberal yang kadang bersinggungan dengan perang fisik ini sebagai sebuah kewajaran dan bisa jadi merupakan perpanjangan sejarah.
Dari sisi Barat, perang ini adalah usahanya untuk mempertahankan keberadaannya yang terancam dengan perkembangan Islam. Sementara itu dari sisi ektremis Islam, perang ini adalah usaha-usaha untuk mempertahankan kesakralan agama yang mereka percayai sebagai anak tangga bagi manusia untuk meraih derajat yang lebih tinggi. Menariknya, perang ini dilakukan dengan cara yang berbeda. Barat mengandalkan soft power sebagai alat pembentuk preferensi, sedangkan ekstremis Islam yang selalu berupaya untuk blak-blakan dan menjauhkan diri dari segala tindak manipulatif yang munafik mengandalkan kekuatan fisik dan nafsu amarah untuk menertibkan masyarakat ke jalan surga. Di satu sisi, Barat memang manipulatif bin munafik, tapi saya rasa hal tersebut wajar karena tujuan yang ingin mereka capai adalah pembentukan preferensi umat Muslim mengenai Barat agar tidak mengancam keberlangsungan hidup Barat. Di sini Barat tidak hendak menjadikan Muslim sebagai bagiannya. Satu, Barat tetap merasa dirinya lebih superior dibanding Muslim yang notabene didominasi oleh orang Timur. Kedua, memelihara Muslim dalam orde-orde liberalisme sama seperti mengasuh anak harimau. Masalahnya tidak hanya karena jumlah Muslim itu banyak, tetapi memang nilai-nilai dalam liberalisme itu adalah nilai yang bila tidak dibatasi akan menumbangkan kekuasaan Barat. Ketika Manji memuji Barat yang menghargai perbedaan dan mau dikritik oleh Barat sendiri, itu hanya praktek di permukaan yang diperlihatkan untuk menambah kemenarikan belaka. Barat juga tetap mencari cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu, respon emosi dari ektremis Islam saya rasa juga wajar, mengingat mereka adalah pihak yang paling pertama dilecehkan. Namun memang harus diingat bahwa karena yang diinginkan Barat adalah keamanan dari rasa terancam, dengan sikap reaktif kaum ektremis tersebut, kaum ektremis akan kehilangan reputasi. Kaum ektremis malah akan menjadi terdemonisasi oleh sikapnya sendiri.
Saya pikir hal yang harus dikembangkan dari fenomena di atas adalah pemahaman secara mendetail apa yang diinginkan oleh pihak yang dianggap lawan. Barat cukup piawai dalam hal ini. Selain itu, perlu juga dikembangkan sikap kritis dalam diri kita sehingga tidak terseret dalam pertarungan dua kepentingan besar antara ektremis Islam dengan Barat. Yang paling patut diwaspadai adalah Barat. Dengan kehalusan cara mereka untuk membentuk preferensi kita, saya pikir kita harus mendalami apa kepentingan Barat atas kita dalam setiap teks-teks yang mereka gulirkan. Saya rasa ketelitian, kecerdasan, kecermatan, pikiran yang terbuka, dan hati yang lapang adalah kunci bagi kita agar tidak terseret dalam dua arus utama ini.


Ark. Mei'12.

im back im back im back


Wow, sudah lama sekali ngga ngeblog. Modem saya rusak, bro. Nggak kedetect gitu jadinya ngga ada sinyal yang masuk ke laptop. No, jangan nuduh laptop saya yang bermasalah. Saya sempat nyoba masukin modem lain ternyata bisa kok saya gunakan. Kartu xl saya juga ngga bermasalah. Kalau kartunya saya taro di hape, saya bisa internetan. Nah, itu juga sebabnya sekarang no im3 saya nggak bisa dihubungi kalau malam. Saya masang xl modem di hape saya jadi saya bisa twiteran, fesbukan, atau googling.
Ah, ya, terakhir saya nulis di sini itu mmmm ngabari kalau saya mau ke Singapura ya? Yah, itu alhamdulillah sudah terlaksana tanggal 15-18 April lalu. Senang? Puas? Lega? Yah, patut disyukuri sajalah. Prinsipnya sih, ya yang namanya juga skripsi yah, pasti ada aja kan cobaannya. Alhamdulillahnya sih saya hidup layak di Singapura, tapi ya tentu ada harga hati yang dibayar di sana. Tapi ah yasudahlah, overall saya senang kok. Alhamdulillah sudah bisa studi lapangan.
Saya jadi kepikiran kalau nanti saya ngambil s2 atau s3, saya mau studi lapangan lagi. Mmmmmm tapi negaranya harus yang menantang, nih. Kayak apa ya..mmmm di Amerika Latin, misalnya Kolombia, Peru, Brazil, Meksiko. Brazil, atauuuu Kuba hahahahaha. Tapi itu neliti kajian apa yak...masih belum kepikiran. Yang kepikiran ya negara yang bagus aja. Itu sih pasti arahnya ke pencitraan lagi. Aaaaa, sepertinya saya mulai jatuh cinta sama pencitraan. Pencitraan itu pada akhirnya membawa kita memahami teori dan filsafat lebih dalam. Hmmmm, apa ya...kita tuh jadi berkontemplasi gitu. Saya kan senang tuh merhatiin orang-orang, lingkungan, terus merenung, terus nyari jawaban kenapa bisa gitu, terus merasa orang-orang di dunia ini suck banget dan bertanya kenapa ngga segera kiamat aja hehehehehehe. Ya pokoknya tipikal Aristoteles tapi mikirnya di ruang ber-AC dan di depan ada Dunkin Donuts. Hahahahaha.
Oh, iya saya mau cerita selama di Singapura ngapain. Saya cerita bagian senang dan bodohnya saja deh, hehehe. Yang bagian gendoknya disensor aja.
Saya berangkat dari rumah itu jam 12 malam. Berangkat jam 12-nya ngga masalah, yang bikin masalah adalah hal yang saya lakukan sebelum jam 12 malam itu. Saya ngajar intensif UN Bahasa Inggris SMA sampai jam setengah tujuh malam dari jam delapan pagi. Jam 8 sampai jam 11 saya ngajar di Ujung berung, lanjut jam 1 sampai jam setengah 5 di Cibiru, dan jam setengah 5 sampai setengah 7 di rancaekek. Di sela ngajar itu saya transfer uang untuk travel, ngambil sebagian uang di Bank Mandiri, ngesms orang buat konfirmasi. Hmmm, beres ngajar jam setengah 7 itu saya masih belum bisa langsung pulang ke rumah. Saya masih harus ngeprint form-form buat penelitian lapangan. Harusnya saya ngeprint aja di Ganesha, tapi saya lupa. Saya jadi belok dulu ke Nangor. Pulang dari situ, saya ngambil kamera dulu ke Dewa. Kameranya sih punya Solpa, baterenya punya Gigih, tapi itu lagi dibawa Dewa. Dewa lagi di Dmagh, tempat futsal di  Cileunyi. Abis dari Nangor terus ke Dmagh. Beres dari Dmagh, saya masih harus nyari titipan buat orang Singapur. Ada yang nitip cheesestick Amanda tapi karena keterbataan waktu, saya beliin cheesestick Vannisa.
Oke, akhirnya saya sampai di rumah jam delapan malamlah. Udah nggak bisa mikir, entah mau digimanain ini packing tuh. Packing akhirnya beres jam sepuluh. Beres itu, saya baru ganti baju terus makan terus cuci muka terus sikat gigi. Beres ngurus badan akhirnya jam 11. Baru rebahan bentar di kasur, udah ada telepon, ternyata sopir travelnya udah dateng. Kyaaaaa, ganti baju lagi. AKhirnya jam dua belas kurang dikit saya berangkatlah ke Bandara Soekarno Hatta.
Saya ternyata sampai di bandara sebelum jam setengah tiga pagi. Ajaib kan? Entahlah itu gimana caranya. Hufff, tapi bandara belum buka :(. Akhirnya saya nunggu di teras bandara sambil duduk di trolley. Ngapain ya? Yaudah saya buka laptop dan nonton serial yang ada. Kalau ngga salah saya nonton Big Bang sama Good Wife. Adalah itu sejaman. Nah, di situ ada kejadian menegangkan. Tanggal 15 itu bertepatan dengan gempa bumi di Banten. Getarannya itu kerasa sampai bandara tapi saya nggak sadar. Cukup gede juga sih tapi saya mikirnya itu getaran resonansi dari trolley. Tapi aneh aja sih kenapa pas abis getaran itu, lampu bandara langsung mati. Saya pun bergelap ria sambil santai nonton Good Wife. Saya baru sadar kalau itu adalah gempa pas saya mau boarding. Pas jam 5 pagi saya OL twiter, lah ada kabar gempa. Subhanallah saya ngerasain gempa tadi.
Sampai di Singapura jam setengah 9 pagi, rasanya....hmm apa ya...saya biasa sendirian sih jadi ngga berasa apa-apa hahahahha. Yaudah, jalan aja sambil bawa ransel, satu tas tangan, dan masukin tangan ke saku jaket. Biasanya saya pakai earphone, tapi selama di Singapura itu saya udah bertekad untuk membuka mata, hidung, telinga, otak, dan mulut supaya penelitian ini lebih berasa. Saya kan ke Singapura buat studi lapangan, bukan buat kabur dari kenyataan hahahaha. Eh, tapi asik sih kayaknya kalau misalnya gitu ya kita lagi ngambek atau hancur terus kita jalannya ke luar negeri meskipun itu untuk sehari. Hahaha. Eh, justru lebih boros sehari kali. Pesawatnya mahal, cing! Mending diem di sana minimal seminggu dengan gaya hidup yang ala kadarnya seperti makan mie instan sama kopi di seven eleven terus tinggal di masjid. Yoiiii kannnnn? *Terlihat bahwa saya ini adalah tipikal orang yang lebih senang hidup miskin di kota ketimbang hidup makmur di desa. Pantesan ngga jodoh sama Ardi Bakrie.
Pengalaman selama studi lapangan? Wiiiih, walaupun Singapura bagi saya nggak asing-asing amat, tapi berhubung ini adalah studi lapangan, bukan belanja lapangan, ada banyak hal detail yang saya temukan yang bikin saya terkesima, "Anjrit banget ini Singapura serius banget penataannya!" Kalian harus masuk ke ION Gallery di ION Orchard Lantai 4. Galeri seni biasa sih, tapi atmosfernya asik. Beneran bikin rileks. Kalian juga harus ke ION Sky. Sedihlah saya ngga ke ION Sky berhubung duitnya ngga cukup. Itu aja sih. Sedihlah ke Singapore Flyer nggak mampu, ke ION Sky juga ngga bisa. Oh, iya kalian juga harus mampir ke Paragon terus ke liftnya di lantai bawah. Di situ ada toilet gitu, tapi cuma buat pengunjung VIP. Kalau mau masuk, harus nunjukin kartu. Buat kita-kita yang jelata, ada papan himbauannya supa kita pipis ke tempat lain hahahahhaha.
Terus apa lagi ya...
hmmmm, oh iya saya ke Raffles pake MRT naik di Orchard tuh. Keluar-keluar kan di Esplanade *tapi ga sempet ke Esplanadenya hiks huaaaaaaa* terus ke Suntec City. Buahhhhhhhhh subhanallah itu Suntec City luasnya seluas-luas apalah. Satu bundaran itu dikelilingi sama Suntec City doang, bahkan kalau ada jalan raya, itu Suntec City-nya dimasukin ke bawah tanah. Intinya mah sewilayah itu punyanya Suntec City doang. Abis dari Raffles, saya mau ke Sentosa.  Saya udah niat sih dari awal kalau habis dari Suntec, saya harus balik lagi ke Dhoby Gahut buat naik MRT jalur ungu yang North East, tapi masalahnya, saya rada males turun naik MRT. Pas saya tau si Esplanade yang jalur kuning CL atau Circle Line itu juga nanti nyambungnya ke Harbour Front alias pelabuhan menuju Sentosa, yaudah saya naik CL aja. Pertimbangannnya saya nggak usah turun naik MRT. Bener, sih saya emang nggak turun naik MRT, tapi itu berlangsung selama satu jammmmmmm. Arrrggg. Esplanade itu stasiun CL 3, nah si Harbor Front itu tebak dong ada di CL berapa? CL 29, pakdeeee!!!!! Hahahaha. Harusnya saya naik North East loh, serius. Saya nggak sadar aja kalau yang namanya Circle Line, ya line-nya itu meng-circle alias ngelilingin. Dari yang saya pelajari ketika malam hari ketika saya pulang dari Sentosa ke Harbor Front terus ke Dhoby Ghaut naik jalur ungu yang ternyata only took 10 minutes instead 60 minutes, jadi si Circle Line ini rutenya bikin lingkaran yang kebuka dikitlah, sedangkan jalur ungu adalah tali busur si lingkaran Circle Line. Wakakakakkakakaka. Kacaulah. Tapi nggak apa-apa, gara-gara saya naik CL, saya jadi tahu penampakan penduduk Singapura, terutama anak sekolahnya. Jalur CL ini kan melewati HBD atau kompleks perumahan Singapura, terus kawasan SD-Universitas *buat yang mau ke NUS sama ISEAS, naik MRT jalur CL ini aja*, jadi saya ngerasa kayak ngeblend gitu sama lingkungan Singapura. Berasa kayak tinggal di situlah. Kedekatan emosionalnya itu tercipta banget. Aaaaaaa jadi pengen sekolah di Singapuraaaaa hahahahhaa.
Hmmmm, kejadian yang menarik lagi itu terjadi di Vivocity. Nah, si Vivocity ini ternyata adalah mal yang mengalahkan Suntcity dalam hal ukuran. Dulunya sih Suntec itu mal terbesar di Singapura, nah sejak ada Vivo, Vivolah pemenangnya. Nggak percaya? Booooohooooowwww, jangan pernah meremehkan mal Singapura, nak. Jadi, saya ini sudah bangga dengan status diri saya sebagai anak mal atau anak Factory Outlet yang tahan berdiri jalan di pusat perbelanjaan, berapapun jumlah toko itu, dari jam buka sampai jam tutup. Saya juga apal tata letak dan jalan keluar mal. Udah pede-pede gitu, tapi sepertinya saya memang harus menyadari bahwa kemampuan saya nggak ada apa-apanya kalau sudah dihadapkan pada mal sesungguhnya, yakni di Singapura, tepatnya di Vivocity. Pas datang ke Vivo, saya nyasar satu jam muter-muter di mal nggak tahu dimana jalan keluar buat ke jalur boardwalk Sentosa Island. Pas pulangnya, saya juga nyasar nyari dimana stasiun MRT. Nggak tanggung-tanggung, saya nyasar dua jam di mal. Mennnnnnnnnn!!!
Cobaan belum berakhir, tuan dan nyonya. Kebayang aja itu, saya dari pagi jalan ke Orchard terus muter-muter di Raffles, terus nyasar dua kali di Vivocity, terus jalan kaki pulang pergi dari Sentosa ke Vivocity, nah sebagai penutupnya adalah....saya pulang dari Orchard ke tempat tinggal saya di Chatsworth juga jalan kaki. Jaraknya lebih dari dua kilo lah. Yang dua kilo itu yang jalan lurusnya. Jalan yang berkelok-kelok penuh dosanya itu panjang juga hiks. Eh, tapi itu justru hal yang paling asyik yang ada di dunia ini loh. Saya selalu suka jalan malam, sendirian, di tempat asing. Senengnya lagi Singapura itu aman dan syahdu jadi saya beneran kayak lagi jalan di surga. Hahahahhaa. Tapi itu juga sebenernya nggak sengaja juga sih. Saya baru sadar kalau jalan yang biasanya saya lewati kalau saya berangkat ke mal itu one way. Saya bisa naik bis kalau saya pergi ke Orchard, tapi saya nggak bisa pulang dengan naik bis lewat jalur yang sama. Epic banget itu epic. Hahahahahhaha.
Hmmmm, tapi apakah saya sudah puas? Seriusan belum. Masih banyak dari Singapura yang belum saya jelajahi. Ada sih yang bilang kalau menjelajahi Singapura itu dua hari saja cukup. Yah, kalau kaliannya jalan-jalan doang dan dengan budget yang terbtas cuma buat beli hal-hal yang udah kalian rencanain beli sih ya bisa aja dua hari. Tapi, saya rasa kalau kalian mau menikmati Singapura sesingapura singapuranya singapura, terutama bagian pencitraannya, jangankan dua hari, empat hari aja nggak cukup. Itu juga dengan hitungan Singapura itu bagi saya nggak asing-asing amat. Kalau saya ada kesempatan ke Singapura lagi, saya malah mauuuuu....
1. Main ke museum-museumnya
2. Main ke galeri seni dan gedung teaternya, terus cari pertujukan gratisan
3. Main ke Marina Bay
4. Joging atau jalan-jalan santai sore-sore di taman-taman Singapura. Di jalur MRT CL banyak nih.
5. Hunting barang murah di mal-mal-mal-mal-mal
6. Main ke Chinatown, Little India, Bugis, dan pusat-pusat budaya lain. Jalan aja beneran jalan.
7. Pura-pura mau daftarin anak atau keponakan di sekolah Singapura terus jalan-jalan keliling sekolahnya
8. Ke perpustakaan umum yang ada di tiap kecamatan atau ke ISEAS, atau ke NUS
9. Nongkrong di kantin NUS sama NTU
10. Naik MRT dari ujung ke ujung sambil berhenti-berhenti di stasiun yang menarik
11. Main ke Clarke Quay *huaaaaaaa sedih kemarin ga sempetttttt :(((((*
12. Main ke taman nasional, kebun binatang, HBD, makan di seven eleven
13. Masuk ke segala macem gerai papan atas di mal terus jadi konsumen yang rewel tapi nggak beli
14. Solat di banyak mesjid di Singapura
15. Beli coklatttttttt sama gorengan duriannnnnn
Apa lagi ya....ya hal-hal yang bisa dilakukan tanpa temanlah...realitanya kan saya sendirian dan suka sendirian, jadi ya harus yang berbau kemandirian, hihihiihihi.
Hmmmmm, pengalaman saya pastinya nggak segitu doang, tapi ya gimana ya..ada yang patut disensor dan ada yang patut dijadikan pembahasan skripsi. Intinya sih saya senanglah di Singapura. Paspor saya lima tahun ini pun dibuka dan ditutup oleh Singapura. Ah, semoga di paspor yang baru nanti akan ada banyak tempat lain yang menarik yang akansaya kunjungi. :)

Bulbo Epic

Masih inget friendster? Pastilah, ini jejaring sosial paling ngehip zaman-zaman kita SMP-SMA, nih. Pokoknya tingkat kegaulan kita itu akan dinilai dari seberapa banyak jumlah temen kita, yang ga peduli itu kita kenal beneran atau engga, dan seberapa banyak isi testimonial yang positif tentang kita, akakakakakaka. Nah, selain jumlah teman dan testi, ada juga nih sarana gaul frindster yang yoi banget..apakah ituuuuu? jeng jeng jeng jeng...BULLETIN BOARD!!! Hahahaha. Saya lupa sih sebenernya bulletin board (bulbo) itu digunakan pertama kali buat apaan. Yang saya inget, saya makin serius berkecimpung di dunia perfriendsteran gara-gara saya nemu sejenis permainan di bulbo yang meletakkan kita sebagai artis dan si bulbo sebagai wartawan. Ahahaha. Itu loh mainan tanya-jawab gitu. Kakak saya yang terganteng sejagat Surabaya, Jember, dan sekitarnya, Ayos Purwoaji pernah bilang sama saya ngapain saya mainan yang kayak begitu, sama sekali nggak berguna. Weitttssss, siapa bilaaangggg. Justri ini pertanyaan bulbo ini berguna banget. Contoh real-nya adalah saya jadi tahu begitu banyak detail dari kehidupan kecengan saya semasa SMA errrrr saya sebenernya nggak berkeberatan sih ngasih tau namanya di sini, tapi masalahnya dia adalah salah satu anggota band indie terkenal di Bandung dan nasional yang pasti banyak yang kepo. JANGAN SAMPAI identitas saya tercium wartawan. Hahaha. Iya jadi dulu si kecengan saya yang baru menapaki jalan di dunia per-band-an ini sering bikin bulbo dan jawab pertanyaan gitu. Saya selain baca dan menghapal jawabannya untuk saya renungi sebagai kecengan yang baik juga copast pertanyaan dia terus jawab pertanyaan itu. Saya juga kadang bikin pertanyaan sendiri *anjiiiiirrrrrrr* dan ngumpulin pertanyaan dari teman-teman saya yang lain. Hal yang paling bikin seneng dari bulbo ini adalah kalo si Saug...ehhh kan kesebut namanya, iya kalo si kecengan saya ini copast pertanyaan saya dan dia jawab sendiri. Anjir banget itu rasanya kalian harus tau. Sumpah itu girang banget. Berasa kita tuh nanya dan dia jawab. Eh ya iyalah. Hahaha. Maksud saya, berasa pertanyaan kita buat dia tuh terjawab gituh. Ini yang membuat semangat untuk bikin atau ngumpulin pertanyaan bulbo itu terus menggelora. Harapannya sih satu, plis Gan, jawab pertanyaan aku. Hahahahahaha. Nggak cuma sampai SMA doang sih mainan bulbo ini. Pas kuliah juga saya sering main beginian sama Bima atau Geza. Si kecengan saya udah nggak main lagi kayaknya. Belakangan saya tahu bahwa dia udah berpindah ke facebook.

Nah, berhubung barusan banget saya iseng inget sama si bulbo ini, saya langsung googling nyari bulletin board friendster. Eh, pas-pasan saya nemu pertanyaan di bawah ini. Wakakakkaakakakakakakakak. Gokil bangetlah. Mainan bulbo dikit yuk di sini, biarinlah Mas Ayos mau menghina saya lagi, toh dia juga semakin sibuk dengan proyek hifatlobrainnya yang makin cihuyyyyy dan semakin tidak peduli dengan keberadaan saya hiks. Oke mari kita cekiprot broooo. Buat yang mau kepo sama saya, sok mangga dibaca dan dihayati yah setiap jawaban sayah. Akakakakakakakaka ini serius ngakaklah saya inget-inget bulbo ini.

1. Siapa yang ada di background handphone kamu? 

>>  kok "SIAPA" sih? gambar apa merennnnnnn...
2. Siapa orang terakhir yang kamu sms?


>> Bu Sofieee
3. Siapa orang terakhir yang kamu YM?

>> Siapa yak...paling si bos riri
4. Siapa orang terakhir yang kamu telpon? 

>> Call center Mandiri 
5. Siapa orang yang sekarang ada di sebelah kamuuu hiii…


>> Sendirian
6. Siapa temen kamu yang baru aja ulang tahun? 


>> Ochaaaa
7. Siapa sih temen yang setiap hari kamu ajak ngobrol? 


>>Nggak punya temen sekarang mah, si Ayi udah jadi alumni, menyingkir dari nangor
8. Kenapa dia? 

>> Karena Ayi sabar *opo hubungannneeee
9. Kalo kamu punya duit 100rb, kamu mau traktir siapa dan apa?

>> Bayar utang dulu lah sama zakat
10. Siapa temen kamu yang pernah bikin kamu nangis?


>> Hehehehehehheheehhee, jangan deh orangnya pasti baca *siapaaaaaaaaa hahahhaa

Tentang Kamu :
11. Kebiasaan kamu yang patut ditiru orang lain apa sih? 


>> Nangis di kamar sampai ingusan
12. Kalo kamu mau ngupil bilang-bilang dulu ngga?


>> ngga, langsung aja tempel ke kulit paha orang terdekat lalu kabuurrrrr
13. Biasanya kamu buang upil kemana? 
>> ke kulit adik gw hahhahahhahaha
14. Apa sih hal yang aneh dari kamu?


>> kalo nangis ato kepedesan pasti ingusan
15. Pernah berantem sama lawan jenis tapi bukan pacar?


>> PERNAHLAHHHHHH!!! Paling epic mah yang kls 2 SMP, sama si Agan, toyor-toyoran brayyyy gara-gara si Agan rebek pisan pas di kelas beberapa kali ngelewatan bangku aku bilang "Ih, yang rengking 1 kalah yah nilai ulangan sejarahnya sama saya yang ga rengking. Saya aja 10, masa kamu 9,5." Rebek anjiiiirrrrrrrr berisik sehari teh berapa kali meren ngomong gitu dan itu teh berhari-hari. Yaudah weh aku gencet dan labrak akakakakakkaka. Abis toyor2an seru dan dipanggil ke BP, yaudah weh kita terus musuhan sampe selamanya meren. Sampe kelas 3 kita juga masih padelek-delek tiap papasan. Terus apa cikkkkk? Si agan kan pas kelas 3-nya kan 3C yah, aku teh 3I, tapi temen segeng aku teh banyak yang di 3C, eh si Aganlah di bangku temen segeng aku nitipin kertas isinya semacam puisi tapi isinya ngehina-hina aku, itu teh gara-gara nilai UAN bahasa inggris aku teh 10. Kata dia nggak mungkin cenah aku dapet nilai 10. Plis atuhlah da dari kelas 1 aku teh rangking 1 umum di sekolah. Ya mungkin-mungkin aja atuhlah nilai aku teh 10. Siga nu dia teh rengking wae lah. Terus dia juga di surat itu bilang kalo aku teh ga pantes cenah suka sama si Ifan soalnya si Ifan teh baik. Hubunganna naon ai kamu teh Agan bawa-bawa Ifan segalaaaaa..hahahhahaha terus taunya aku teh pas SMA sesekolah sama Agan, tapi tenang aja da NEM-nya gedean NEM aku da kemana-mana mah JAUHHHHHH,  akakakakakkakakkaa, ngan hanjakal weh naha si Agan masih bisa masuklah ke SMA aku...pokoknya mah aku inget da si agan teh rengkingnya rengking terakhir di penerimaan siswa baru da nilai dia sama passing grade teh beda 0,01. Pas di SMA taunya apa cik? Si Agan jadi cowok populer anjiiirrrrrrr, mana ceweknya teh salah satu cewek hot di SMA lagih....padahal waktu SMP dia teh udah mah cupu, manja, ngehe, kayak cewek, pendeekkkkkkk, siga nu moal boga kabogoh. Mana sahabat aku teh di SMA juga cinta mati sama si Agan. Banyak lagi yang suka sama dia teh. Tau ngga di buku alumni SMA aku teh siapa yang bikin puisi di halaman depannya? Aganlahhhhhhhh!!!! Apa-apaaan itu!!!! Terus apa lagi cikkk? Dia abis ini pengen masuk di Kemenlu jugalahhhhhhhh. Apalah si Agan teh hidupnya tuturut aku pisan. Untung aku mah sekarang mau jadi dosen, gamau jadi diplomat lagi. Edan panjang gini gara-gara si Agan.
16. Binatang apa sih yang menggambarkan kamu bangedh?


>> Lele di kolam depan yang gedenya segede monster soalnya makannya banyak
17. Alat musik yang bisa kamu mainin?


>> piano dong #eeeeaaaaaa
18. Biasanya mandi berapa kali sehari?


>> sekali udah cukup, kalo libur ga usah mandi
19. Benda dari seseorang yang sampe sekarang masih kamu simpen? apa? dari siapa?


>> semua juga gw simpen *diplomasi
20. Benda yang lagi kamu pengenin banget?


>> apa yak...gada kayaknya alhamdulillah semua udah dicukupkan oleh Allah


Tentang Sekolah / Waktu Sekolah :
21. SMP/SMA mana?


>> SMP 7 bandung, SMA 3 bandung
22. Nilai paling bagus pelajaran apa?


>> Biologi
23. Kalo jajan ke kantin beli apa? 
>> Ayam bakar, nasi kornet, roti kukus pake mentega, jus alpukat
24. Berapa uang jajannya waktu itu?


>> berapa yak...seadanya aja di ATM ada berapa sebulan itu akakakaka
25. Pernah jadian ngga waktu itu? sama?


>> YA PERNAHLAHHHHHH!!!! Masa SMA ga pacaran. ada tuh sama adit sama ferdy
26. Guru yang paling kamu benci? kenapa? 


>> BU ERNI!!!!!!!! Sesekolah juga benci sama dia dan dengan alasan yang sama. Beuuuhhhhh.
27. Pelajaran yang paling kamu ngga suka?


>> Fisika dong ah akakakakakaka
28. Siapa temen kamu yang paling aneh di kelas? kenapa?


>> Si pendekar biru temen sebangkunya Sony, kelakuan kayak ninja hattori  akakakaka
29. Gebetan kamu waktu itu?


>> ferdy, broooohhh. *padahal ini ferdy baca ini posting da yakin akakakaka haiii ferdy!!!
30. Yang paling kamu kangenin dari sekolah?


>> Nongkrong di koridor tiap jamnya solat jumat *ngecengin alumni*

Tentang Si Dia :
31. Gebetan / Pacar? 


>> I like him, yes.
32. Siapa tuh namanya berani sebut ngga?


>> Ah semua juga udah pada tau
33. Kenal dimana?


>> di ujungberung
34. Tau makanan kesukannya ngga? 
>> Engga taulah sumpah akakakkakakakkaka maafkan
35. Kira-kira dia lagi ngapain ya sekarangg?


>> menyukseskan pemilu mungkin
36. Kenapa sih kamu suka sama dia?


>> gamau inget gamau inget gamau ingettttt
37. Dia unyu banget kalo lagi ngapain sih?


>> kalooooo lagiiiiii hmmmmm ngehadep ke belakang
38. Lagu yang kamu dan dia banget?


>> ya lagu-lagu patah hati atau kasih ngga nyampe aja semua
39. Terakhir kali ketemu dia kapan? 

>> dua minggu lalu gitu ya...
40. Pengen banget pergi kemana sih sama dia? 

>> pergi ke lain hati uwwwoooooohhhhhhh

Tentang lain-lain :
41. Pengen banget bisa ngelakuin apa?


>> ke belgia sama swiss beli coklat terus pulang lagi ke sini,makan coklat dgn penuh perasaan
42. Pengen banget pergi ke negara apa?


>> hmmmmmmm amerikaaaaaaa
43. Sesuatu yang pengen banget kamu punya/beli? 

>> coklat belgia yang tidak habis-habis
44. Pekerjaan impian kamu?

>> jadi penelitiiiiiii yang kerjanya baca, ngetik, ngajar, presentasi, makan, tidur
45. Artis favorit kamu?


>> energyyyyyyy
46. Kalo skrg kamu bisa ketemu sama siapa aja, pengen ketemu siapa?

>> energyyyyyyy
47. Benda kesayangan kamu yang ilang?

>> HELM!!!!!!! HELM!!!!! 
48. Sesuatu yang kamu jago banget ngelakuinnya?


>> apa yah...masak mungkin....AKAKAKAKAKAKKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKA

@claauudzip




Bahahahahahahaahhaahahahahah sumpah ini kocak dan gokil abislah. Ini harus digalakkan kembali loh ini bulbo ini. Ntar yah kalo saya nemu file saya yang isinya bulbo, ntar sayah posting lagi yah itung-itung untuk memenuhi hasrat orang-orang yang kepo sama saya cuma sungkan nanyain arah mata angin. Ikikikikikikikik.

Aged-Pregnancy dan Patriarki

Sepertinya posting kali ini agak berbahaya dan bisa menimbulkan salah interpretasi, jadi mohon disiapkan tisunya yang banyak *lohhh. Posting kali ini berkaitan dengan wacana yang saya temukan di soal ujian SPMB tahun 2010 kode 346 yang menurut saya bias gender. Nggak hanya dari isi teksnya, tetapi juga dari soal dan jawaban benarnya. Rasanya menemukan teks dan soal yang isinya bertabrakan dengan pandangan saya tapi saya harus bersikap netral karena teks itu adalah teks ujian yang harus disampaikan dengan seada-adanya jawaban wih berat sekali. Untungnya itu teks terakhir jadi saya betenya nggak kelamaan. Oke, ini dia teksnya dan tulisan yang saya tebalkan adalah framing yang saya pikir bias gender:

"It is common knowledge that as women get older, pregnancy becomes a riskier enterprise. Advanced maternal age is linked to a number of developmental disorders in children, such as Down's syndrome. Now, a study has confirmed that older mothers are more likely to give birth to a child with autism, too. The authors of the epidemiological study, published February 8 in Autism Research, examined the parental age of more than 5 12,000 children with autism and nearly five million "control" children between 1990 and 1999, all living in California. The researchers found that mothers over 40 had a 51 percent higher risk of having a child with autism than mothers 25 to 29, and a 77 percent higher risk than mothers under 25.

Autism-a developmental disorder characterized by impaired social interaction" and communication appears to be on the rise. The U.S. Centers for Disease Control and Prevention now estimates that as many 10 as one in 110 children in the U.S. has an autistic spectrum disorder-a group of developmental disorders including autism, Asperger's syndrome and pervasive developmental disorder. The prevalence of autistic spectrum disorders in California in 2007 was 12 times that from 1987, representing an average annual growth of 13 percent, according to a report from the California Department of Developmental Services. Only a fraction of these extra cases can be explained by changes to diagnostic criteria and earlier diagnoses.

15 Maternal age is also increasing in the USA. California-based study reported a three-fold increase in the number of births to women aged 40 to 44 between 1982 and 2004. But this trend toward delayed childbearing accounted for less than 5 percent of the total increase in autism diagnoses in California over the decade, according to the study-a finding that surprised Janie Shelton, a doctoral student in University of California, Davis's Department of Public Health Sciences and the study's lead author. "I would have expected to see 20 more of a contribution, because age is a risk factor and women are having kids later," she says. Earlier work had suggested that both maternal and paternal ages are independently associated with autism risk. But the current study found that paternal age is  only a risk factor when the mother is under 30."

Lalu ini soal dan pilihan jawabannya, yang saya tebalkan itu yang bias gender :

41.ln the text above the writer deals with a topic on ...
(A) prevalence of autism among children.
(B) possible biological causes of autism.
(C) research findings on mental disorders.
(D) maternal age and autism in children.
(E) negative effects of delayed pregnancy.

43. It can be concluded from the text that ...
(A) a big age difference of parents of 40 years or beyond may result in autism.
(B) several mental disorders can be prevented by having kids earlier.
(C) women today show a general trend in delaying pregnancy.
(D) the paternal age only partly explains the case of mental disorders among children.
(E) the case of autism among children remains a mystery among scientists.

44. Which of the following best describes the author's purpose in this study?
(A) To reveal that the case of autism among children is prevalent
(B) To analyse how delayed pregnancy brings about autism
(C) To make the readers aware of the consequence of delayed pregnancy
(D) To refute a common misconception about the cause of autism
(E) To demonstrate that autism is associated with delayed pregnancy

45. From the information in the first and second paragraphs, it can be inferred that ...
(A) developmental disorders in children are close to delayed pregnancy.
(8) modified diagnosis criteria can detect many cases of autism.
(C) many of the children in the US obviously suffer from autism.
(0) Asperger's syndrome is not related in any way to autism.
(E) studies on autism have not successfully revealed its causes.

Poin yang saya buat dari teks dan soal di atas adalah :
  1. Perempuan (ibu) masih menjadi pihak yang paling bertanggung jawab mengenai perkembangan anak, tidak hanya ketika anak tersebut bertumbuh kembang di dunia, tetapi juga sejak anak masih menjadi janin, sementara laki-laki (ayah) hanya menjadi pihak yang sebagian bertanggung jawab.
  2. Perempuan dibuat berada dalam keadaan yang sulit untuk mengambil keputusan, yakni bekerja di luar atau tetap berada di sektor domestik, karena taruhannya adalah masa depan anak yang nanti ia kandung. 
  3. Power patriarki yang lahir dari ego laki-laki semakin dikukuhkan dengan knowledge yang dibuat sealamiah mungkin, salah satunya melalui sains yang secara common sense sudah diterima sebagai sumber pengetahuan yang paling sahih.
Oke,mari kita bahas, tapi sebelumnya saya mau bilang bahwa posisi saya di sini hanya sebagai penganalisis. Metode penganalisisan dalam posting ini nonpartisipan dan tidak reflektif jadi jangan tempatkan saya sebagai pihak yang mendukung delayed pregnancy. Jodoh saya belum datang kok jadi kalau nanti saya termasuk dalam golongan ini, itu semua hanya karena suratan takdir, bukan karena pilihan saya ahahahaha. Jangan plis atuhlah ya allah. Tapi kalau misalnya saya segera bertemu jodoh dan saya tidak melakukan delayed pregnancy juga dorongannya bukan karena ketakutan adanya kecenderungan disorder pada anak, melainkan karena sudah takdirnya saya punya anak. Oke masbro?

Hal pertama yang saya sesalkan dari teks di atas adalah cepatnya sang penulis memutuskan bahwa aged pregnancy disebabkan oleh wanita yang memutuskan untuk men-delay pregnancy-nya. Bagi saya, tidak semua aged pregnancy disebabkan oleh keputusan men-delay preganncy. Salahnya lagi, teks tersebut juga kurang lengkap menyebutkan apakah anak-anak yang terkena mental disorder karena dilahirkan oleh ibu yang berusia di atas 40 itu merupakan anak pertama atau anak tengah atau anak bungsu. Bisa saja kan seorang ibu hamil pada usia 40 dan itu bukan kehamilannya yang pertama? Ibu saya dan beberapa ibu teman saya juga melahirkan anak bungsu pada usia 40. Kemudian, bagaimana juga dengan ibu yang sudah lama tidak dikaruniai anak dan baru diberi anak pada usia 40? Apakah aged pregnancy-nya disebabkan ileh pilihannya untuk menunda kehamilan? Posisi saya jelas di sini, bagi saya, aged pregnancy tidak bisa disinonimkan dengan delayed-pregnancy.

Namun demikian, andaikata memang ada wanita yang men-delay pregnancy-nya sehingga ia mengalami aged-pregnancy, apakah itu juga sikap yang salah sehingga harus ditertibkan dengan keberadaan rezim pengetahuan bahwa delayed pregnancy itu mengorbankan perkembangan anak? Pertama ini soal pilihan. Ada perempuan yang memilih menikah dan punya anak, ada pula perempuan yang memilih untuk menyelesaikan dulu keinginan, cita-cita, dan tuntutan sektor nondomestik. Ini juga bukan soal egois tidak egois, tetapi ini adalah cara pandang seseorang yang pasti berbeda dari orang-orang lain. Laki-laki juga sama kok, mereka punya pilihan, apakah menikah atau tidak menikah. Mengapa hanya pilihan perempuan yang dipermasalahkan? 

Saya melihat fenomena bermasalahnya perempuan yang memilih untuk tidak atau menunda pernikahan dan kehamilan ini sebagai produk budaya kita, yang tidak hanya terbatas di Indonesia, di Timur, dan di agama-agama, tetapi juga tersebar diamini secara universal. Ya, saya rasa ini hal yang sudah dianut secara universal : perempuan seharusnya manut ada di sektor domestik. Perempuan yang mencoba menghindari kewajiban budaya ini secara otomatis dianggap sebagai perempuan yang salah. 

Pengikatan perempuan untuk berada di sektor domestik pun saya rasa sudah dipraktekan sejak lama. Adanya tabu, pamali, cap buruk, dosa mengenai perempuan yang memilih untuk berasa di luar rumah saya yakini merupakan bentuk pengikatan bagi perempuan untuk menjaga rezim patriarki. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tentu tabu, pamali, stereotype, dan dosa ini makin terasa tradisionalitasnya sehingga kurang ampuh untuk mengekang perempuan. Lahirlah kemudian knowledge yang berasal dari ilmu pengetahuan yang metodenya disepakati sebagai metode ilmiah yang akhirnya membuat semua pengetahuan yang lahir darinya sebagai pengetahun ilmiah yang obyektif, nyata, sahih, dan benar. Studi-studi mengenai penundaan kehamilan pun bermunculan untuk memberi gambaran apa 'dosa' yang paling faktual dan instan dari penundaan kehamilan, yakni lahirnya anak yang seharusnya suci dan bahagia tapi malah 'berbeda' dari anak kebanyakan yang lahir dari perempuan (ibu) baik-baik yang menurut pada budaya patriarki.  

Masalahnya lagi adalah rezim patriarki ini pun tidak hanya didukung oleh laki-laki, tetapi juga dari kalangan perempuan sendiri. Contohnya bisa dilihat pada paragraf terakhir teks di atas. 
"I would have expected to see 20 more of a contribution, because age is a risk factor and women are having kids later," she says.
Keberadaan perempuan-perempuan yang memihak budaya patriarki merupakan hal yang penting bagi penguatan budaya patriarki. Mereka akan membuat perempuan lain yang ingin menentang budaya patriarki merasa salah dengan keputusannya. Selain itu, mereka juga adalah contoh dan teladan baik yang akan membuat perempuan yang tidak seperti mereka terdemonisasi secara otomatis. Mereka adalah batas biner antara yang baik dan buruk di dalam grup perempuan.

Saya nggak bermaksud bilang bahwa perempuan yang manut pada budaya patriarki itu jahat dan perempuan yang berani menentang budaya patriarki sebagai pihak yang baik. Saya hanya menyesalkan mengapa harus ada penguatan suatu budaya tertentu yang membuat dikotomi biner antara baik dan buruk. Bagi saya, mustahil bila kita membuat suatu dikotomi dan generalisasi mengenai apa yang baik dan buruk. Setiap orang (perempuan) tentu memiliki pandangan dan pengalaman masing-masing yang sepatutnya bukan dihakimi, melainkan dihormati. 

Ark.Apr'12.

Alhamdulillah

Jadi ini progress report dari posting saya sebelumnya yang bilang kalau saya lagi galau. Alhamdulillah hari ini kegalauan itu sudah tuntas diberi jawaban dan kelancaran. Asheeek, berasa abis acara lamaran aja ini preambule ini. Haha. Iya jadi akhirnya Senin lalu itu saya mendapatkan jawaban bahwasanya insentif memang ditiadakan untuk semua pengajar. Sedihlah sedih. Tapi alhamdulillah, hikmahnya sih saya semakin yakin bahwa memang rezeki saya ya masih dicukupkan sampai angka ppiiiiiiiiiip sekian jutttt...piiiiipp. Iya, meskipun insentif saya ditiadakan pada bulan ini, bukan berarti jumlah gaji saya berkurang, alhamdulillahnya sih tetap seperti bulan-bulan sebelumnya karena ada banyak jadwal di luar jadwal yang tertulis di surat tugas yang saya kerjakan. Tapi ya memang sih sempat sedih juga beneranlah insentif ditiadakan. Ada nilai yang harusnya bisa saya capai tapi ternyata belum dapat teraih. Itu galau. Karena saya galau, akhirnya saya mampir ke Griya. Pas ke Griya itulah hidup saya berubah. Bukan, bukan soal saya ketemu Lee Min Ho. Saya di Griya menemukan belimbing. Dari belimbinglah hidup saya kembali ceria.

Mengapakah oh mengapakah?

Karena sesungguhnya dari belimbing yang saya beli untuk aba tanpa tendensi dan intensi apapun saya pun mendapat jalan rezeki yang lain, yakni bapak saya terharu. Awalnya saya nggak tahu kalau belimbing itu merupakan ujian bagi anak yang berbakti, Jadi intinya habis pulang ngajar dari pagi sampai jam 11 yang dilanjutkan ke Griya sampai jam 12 itu saya kan galau yah terus saya juga nggak enak badan, yaudah saya langsung pulang. Tidur aja sayah teh. Tiba-tiba ada sms pas deket asar. Dari aba. Nanyain kapan rencananya saya ke Singapura. Saya balas "Nggak tahu, Ba, tapi paspor festy habis minggu depanan. Minggu depan sih harusnya ke Singapuranya." Baru beres pencet tombol send, eh ibu saya dateng ke kamar saya bawa hape, katanya aba mau bicara. Ya nanya-nanya, ya saya jawab dengan nada sendu-sendu bangun tidur. Yang saya inget aba nanyain masih kurang berapa uangnya. Saya jawab sekian jut..piiippppp. Yah sekitar delapan belas jutalah. Eeeeaaa. Aba nggak bilang apa-apa sih dan saya juga nggak berharap. Eh pas udahan ditelpon itu ibu saya bilang bahwa tadi itu ibu saya cerita kalau saya bawain belimbing buat aba terus aba terharu gitu langsung nanyain kapan saya mau ke Singapura dan ya itu tadi akhirnya ngsms dan mau ngomong sama saya. Kan saya senang dong akhirnya. Tapi saya juga nggak berani berharap.

Pas malamnya bapak saya pulang, saya disuruh nunggu di depan kamarnya, nggak boleh berpindah pokoknya harus nungguin. Lama teh. Taunya bapak saya solat. Ganti baju. Ngangkat telpon temennya. Ah sedih dicuekin. Sudah mau menyerah itu teh, tapi akhirnya ujian tersebut usai. Bapak saya ngasih saya uang dongggggggggggg alhamdulillah. Langsung aja saya senyum-senyum bahagia sambil kayang satu tangan persis kayak tadi sore waktu teman SMA saya komen di wall saya.

Tadi siang juga saya nganterin dosen pembimbing saya ke penjahit. Katanya beliau mau bikin kebaya gitu. Selain akhirnya saya dapat pengetahuan baru tentang dimensi keruangan dalam kain, saya juga diarahkan mengenai bentukan tabel untuk modal saya penelitian lapangan di mal Singapura nanti. Senenglah akhirnya saya dapat gambaran yang sangat jelas dan meyakinkan mengenai hal apa yang saya cari dan harus saya petakan. Jadi dari 12 mal yang mau saya teliti itu, nanti dibagi dalam tiga tema. Dari tiga tema itu dilihat unsur tiga citranya. Terus karena ini strukturalis dan positivistik, dari tiap citra itu dikaji vivid atau engganya. Kalau vivid, dibagi lagi dilihat dari segi apa vividnya, apakah dari ikon, simbol, atau indeksnya. Nanti masing-masingnya dipotret dan dideskripsikan. Nah itu yang nanti pas saya pulang ke sini bakal saya semiotikakan. Legaaaaaa udah dapat gambaran yang nyata.

Nah, karena tiga kegalauan sudah ada jawaban dan jalannya masing-masing, akhirnya saya pun meniatkan diri untuk beli tiket pesawat. Ini agak alot juga, nih. Jetstar itu murah, tapi tanggal yang saya incer itu udah keburu abis promonya dan kok ya tiba-tiba juga gitu kartu saya sedang tidak dapat dipergunakan. Bisa juga sih beli pake yang debet, tapi ini cuma Batavia Air. Harganya 1,1 kalo ga salah dan bagasinya free 25 kg. Kalau dibanding-bandingkan dengan Jetstar dan Air Asia juga harganya sama sih. Air Asia sama Jetstar itu emang sih di bawah sejuta, tapi tanpa bagasi. Nah, kalau mereka berdua ditambahin bagasi juga harganya jadi sama kayak Batavia. Tapi ya itu dia sih, kayaknya saya lebih mending milih makan layak daripada bawa bagasi hehe. 25 kg itu banyak banget, malah jadi mubazir gitu, orang saya bawanya dikit doang. Yaudah akhirnya saya pilih Air Asia. Pas liat ke situs Air Asia, eh di tanggal dan hari yang saya incer, harganya pas dong. Terus pas liat lagi nanti di Changi turunnya di terminal mana, eh ternyata di Terminal 1 bukan di Budget Terminal. Saya udah pernah turun di Budget Terminal, nah di situ kurang oke, nggak bisa diteliti keadaannya. Dan jauh dari mal airport gitu. Berhubung dulu waktu ke India dibiayainnya sama pemerintah India makanya bisa naik Singapore Airlines dari Soekarno Hatta, saya inget keadaan Budget Terminal itu emang jauh banget dibanding Terminal 3 tempat nongkrongnya SQ. Hahaha. Karena saya juga mau neliti mal yang ada di airport dan mal itu cuma ada di daerah Terminal 1,2,3, maka tempat turun Air Asia di Terminal 1 yang deket aksesnya ke Terminal 2 dan 3 itu sangat berarti buat saya.

Hal lain yang bikin saya seneng adalah tanggal dan hari pergi-pulang. Pertama, tanggal 15 gitu! Kemarin-kemarin juga kan saya galau gimana caranya saya bisa minta izin nggak ngajar padahal tanggal 16 itu UN SMA. Apalagi saya juga nggak mau ngelepasin intensif murid yang udah saya ajar satu tahun ke guru lain tepat di saat paling penting bagi mereka. Iya, dari yang kemarin-kemarin saya mantau harga tiket pesawat itu yang murahnya ya tanggal 12,13,14 di hari kerja. Hadehhhh. Dilema ngajar untuk membuat anak-anak lulus atau penelitian lapangan untuk membuat diri sendiri segera lulus. Eh tapi ya alhamdulilah ini di Air Asia tiba-tiba ada yang murah tanggal 15 hari Minggu. Saya jadi bisa ngajar untuk intensif SMA di minggu terakhir sebelum UN, terutama di hari Sabtunya. Apalagi minggu depannya kan saya pulang hari Rabu tuh, nah itu hari Kamisnya saya juga bisa lanjut ngajar intensif UN SMP. Paspor saya juga nggak ngepas banget masa berlakunya. Kedua, yang bikin seneng juga adalah hari Minggunya itu! Saya pengen banget liat Singapura hari Sabtu atau Minggu. Dari yang udah-udah sih kesananya cuma hari kerja jadi kurang lihat khalayak internasional yang ramenya. Yaudahlah akhirnya saya beli tanggal 15 April jam setengah enam pagi dan pulang tanggal 18 April jam delapan pagi. Pas mau bayar, lah ya iya kan ya kan kartu saya nggak bisa dipakai. Nanya ke Vita, kata Vita coba minta tolong ke Fahmi atau Bos Riri. Saya tanya Bos Riri, tapi ternyata Riri nggak ada klik BCA-nya. Minta tolonglah saya ke Fahmi yang baik hati. Eh serius loh fahmi itu baik banget huhuhuhuuhu mau direpotkan. Terima kasih banyak bangetlah sama Fahmi akhirnya saya hari ini lancar beli tiket ke Singapuranya.

Hmmmmm, yah akhirnya sudah ada satu jalan yang terang. Sekarang saatnya mengusahakan surat ke KBRI Singapuranya lancar, terutama dari birokrasi kampus, terus mikirin nanti tidur dimana. Hahaha. Tidur di airport jadi agak kurang mungkin dilaksanakan di hari pertama karena pesawatnya datang pagi dan saya harus langsung penelitian di mal Airport, Orchard, Marina, dan Sentosa. Nggak mungkin saya balik lagi malemnya ke Changi kan, apalagi tiket pulang saya itu masih tanggal 18. Hahaha. Ya paling hostel backpacker. Yang murah ya di daerah Geylang. Hehehe. Harusnya sih ini agak serem gitu karena letaknya di Red District, tapi ya lets see lah berhubung ini harganya cukup reasonable di kantong mahasiswa slash pengajar bimbel yang insentifnya bulan ini diganti dengan insentif dari bapak kandungnya. Tante saya tinggal sih di Singapura di komplek KBRI gitu. Tapi ya berhubung beberapa hari terakhir ini saya baca stat fesbuknya sarapan di KBRI, tapi siangnya udah ada di Surabaya, dan besok paginya udah joging di sekitaran Marina Bay, saya juga nggak bisa berharap tinggal di rumahnya. Kata bapak saya juga saya nggak boleh ngerepotin orang dan berutang budi. Edhhhaaannn. Keren nggak tuh bapak saya? Tapi saya rasa bapak saya bakal narik perkataannya sih kalau bapak saya tahu detail perencanaan hidup saya di sana nanti hehehehe. Tapi saya emang nggak enak sih tinggal di tante saya. Apa ya...nggak enak weh gitu tinggal dengan orang lain. Sungkan. Apalagi ini hidup saya jamnya nggak teratur. Gimana ntarlah...kalo tante saya maksa saya ya apa dikata...ahahhahahaha.

Yasudahlah, mari kita tidur sekarang dan semoga hari-hari esok makin lancar. Alhamdulillah dulu ah buat hari ini.