Pengalaman tertindas sudah jelas menjadi unsur ekstrinsik dominan
yang diperlihatkan oleh Manji. Tapi ada yang menarik dari sini. Bukan tentang
pengalaman Manji yang membuat saya berkali-kali bilang, "Ohh,",
"Hmmmm,", "Yaampun," "Ckckckckck", melainkan
tentang pencitraan betapa beauty, brilliance, dan benign-nya multikulturalisme,
demokrasi, dan segala yang menjadi penyangga liberalisme Barat. Menariknya
lagi, bahkan Manji pun menampik tesis Edward Said yang membela kaum Timur.
Lagi-lagi saya luar biasa salut pada Barat. Soft power-nya benar-benar
tersistem dan mampu mencetak agen, yang entah fanon (berlindung pada topeng
Barat) entah benar-benar termanipulasi oleh keelokan nilai (beauty), kejeniusan
(brilliance), dan keramahtamahan (benignity) yang sejatinya hanyalah mitos.
Membahas mengenai soft power Barat dalam menegakkan liberalismenya,
citra beauty dapat begitu mudah kita temukan dari pernyataan Manji mengenai
indahnya penerimaan dalam perbedaan yang terjadi di dalam lingkungan demokratis
dan multikultur. Manji mempertajam citra tersebut dengan melakukan perbandingan
sikap gurunya di madrasah yang tidak menoleransi sikap kritis Manji dengan
sikap kepala sekolah SMP-nya yang meskipun tidak setuju dengan Manji, tidak
memperlihatkan sikap yang mengancam Manji. Selain itu, kita juga akan menemukan
citra brilliance dari bagaimana cara 'gereja' memenuhi rasa keingintahuan Manji
dengan jawaban yang bisa menenangkan Manji dan penghargaan bagi sikap kritis
Manji. Perbandingan sebagai cara mepertajam citra kembali dilakukan Manji
melalui kejengkelan Manji yang sulit mengakses perpustakaan madrasah. Kemudian
dalam hal benignity, Manji memperlihatkan citra menarik itu di dalam tubuh
liberalisme melalui sikap-sikap tidak manusiawi dari kaum muslim kepada kaum
tertindas yang menyebabkan kaum tertindas menderita padahal dari kaum tertindas
itu pula muslim pernah mendapat bantuan.
Memang harus diakui bahwa soft power adalah power yang
kepemilikannya bergantung pada negara. Sikap kepala sekolah SMP Manji dan
gereja yang saya katakan sebagai pengaktualisasian soft power negara
multikultur bisa saja diragukan dengan argumen, "Memangnya ada briefing
khusus bagi para kepala sekolah dan gereja mengenai cara bersikap kepada
orang-orang seperti Manji?" Ya, saya juga ragu apakah ada briefing formal.
Namun, masalahnya bukan pada ada tidaknya briefing formal, melainkan pada telah
meresapnya budaya penerimaan atas perbedaan pada negara-negara penegak
liberalisme. Pada negara-negara dengan budaya seperti ini, sudah tidak perlu
lagi ada duta-duta soft power karena semua rakyatnya telah menjadi agen soft
power secara otomatis. Saya rasa ini juga tidak ada kaitannya dengan agama,
tetapi lebih kepada praktek kultural yang telah berlangsung lama yang akhirnya
menjadi penguat peradaban. Adanya penyertaan gereja saya rasa hanya sebagai
pemertajam citra.
Dalam bukunya, Manji beberapa kali menyebut bahwa di antara semua
ketertindasan yang dialaminya dari kaum Muslim, penyelamatnya adalah
nilai-nilai liberalisme Barat. Lucunya, Manji menegaskan bahwa betapapun
demikian ia tertindas dan mengkritik Islam, ia tetap menganut Islam. Saya tidak
menghimbau pada Manji untuk keluar dari Agama Islam, saya hanya mengkritisi
dimana posisi Manji saat ini. Saya bingung menentukan apakah Manji ini fanon
atau subyek termanipulasi yang dijadikan duta soft power oleh Barat. Dalam
beberapa hal, saya melihat Manji sebagai fanon. Manji ini merayakan nilai-nilai
Barat dan mengkritik Agama Islam, tapi Manji juga tidak bisa menutupi
identitasnya sebagai non-Barat. Manji ya Manji, orang Asia dan penganut Islam.
Sebagai orang Timur dan penganut Islam, Manji adalah one of the others yang
dimarginalkan Barat, tapi masih membutuhkan Barat sehingga ia harus menopengi
dua identitas marginalnya untuk mendapat penerimaan dari Barat.
Namun demikian, dengan analisis soft power, Manji juga bisa dilihat
sebagai subyek yang preferensinya sudah dibentuk sedemikian rupa oleh Barat
sehingga percaya dengan mitos-mitos Barat dan menyebarkan preferensinya
tersebut untuk membentuk preferensi orang-orang yang sekaum dengannya, yakni
Timur yang Muslim. Kekerasan hati Manji untuk tetap menjadi muslim meskipun ia
telah mengalami perlakuan tidak mengenakkan dari Islam saya lihat lebih sebagai
bentukan Barat yang memang tujuannya untuk membentuk preferensi Muslim bukan
untuk kristenisasi, tetapi untuk mengamankan kepentingannya dengan Muslim.
Seperti yang saya tekankan sebelumnya, ini memang bukan persoalan agama,
melainkan persoalan survival dari sebuah peradaban yang bernama peradaban Barat
yang terancam dengan perkembangan Islam yang tidak hanya sebagai agama, tetapi
juga sebagai peradaban dengan penyebarannya yang tidak mengenal batas negara.
Hal yang ingin dicapai Barat dari duta soft powernya yang bernama Manji seperti
yang diungkapkan Vuving sebagai tujuan diperlihatkannya sisi beauty,
brilliance, benignity sejatinya adalah pengidolaan, pengimitasian, perlindungan,
penghormatan, dan kepercayaan. Pihak-pihak ekstremis Islam yang merasa marah
dengan Manji dan Barat juga seharusnya memperhatikan poin ini kemudian
menghilangkan keburuksangkaannya bahwa Barat ingin mengkristenkan Muslim.
cont