Dimensi Intrinsik Buku Irshad Manji


Pdf yang saya download dan baca tadi malam merupakan terjemahan dari Trouble with Islam. Manji sudah menyadari bahwa judul yang dipilihnya ini provokatif. Ya, kalau kita memosisikan diri sebagai penjaga panji-panji kesakralan Islam, judul ini memang provokatif untuk membuat alis dan emosi kita naik. Tapi, seperti yang diakui Manji, judul ini dipilih karena dalam pandangannya, ada yang salah dengan penerapan atau realita Islam dengan apa yang dianjurkan dalam Quran. Singkat kata, dalam pemahaman saya, Manji mengkritik kita, si muslim, yang kerap bertindak atas nama Quran tapi sebetulnya kita hanya melakukan justifikasi saja atas segala tindakan kita yang menurut Manji, buruk.
Membaca hingga seratus halaman, poin yang diajukan Manji di awal bukunya itu memang selalu konsisten ditekankan. Manji memberikan bukti-bukti betapa buruknya akhlak kita di lapangan ketimbang seharusnya. Dari mulai perbudakan atas bangsa Afrika, penindasan terhadap perempuan, hingga demonisasi-demonisasi terhadap bangsa Yahudi dan pemeluk Kristen. Saya tidak menampik argumen Manji tersebut. Buka google, masukkan keyword, kemudian kita akan menemukan pemberitaan yang menyajikan potret buruk orang Islam. Buka terjemah Quran, kita juga akan menemukan ayat-ayat yang menurut Manji mengajarkan kelembutan dan kekerasan yang menurutnya membuat Agama Islam dan Quran berwajah ganda. Akan tetapi, apakah bijak apabila hanya dengan melihat dan mengalami kekerasan yang dilakukan orang Islam, yang menurut Manji didasarkan pada Quran, maka Agama Islam dan Quran langsung dipersalahkan sebagai penuntun yang tidak sempurna?
Dalam pandangan saya, pertama, Manji seharusnya melakukan pembedaan apa yang dinamakan Islam sebagai Agama dan Quran sebagai Kitab Suci yang menuntun pemeluknya, dengan pemeluk Islam itu sendiri yang sejatinya adalah manusia yang state of nature-nya, kalau meminjam istilah Hobbes, buruk. Islam sebagai Agama dan Quran sebagai Kitab Suci tentu saja berisi hal-hal normatif. Islam sebagai agama dan Quran dengan segala peraturan mengikatnya yang menyebutkan hak, kewajiban, dan ganjaran berupa pahala, azab, dosa, dan jenis hukuman adalah sesuatu yang memang harus ada untuk mendidik manusia-manusia pemeluknya sehingga bisa diangkat ke derajat yang lebih luhur sebagai manusia. Tidak bijak rasanya apabila Manji hanya melihat Agama Islam dan Quran sebagai hal utopis hanya karena mereka menjanjikan surga dengan segala nikmatnya yang tidak ada di dunia. Agama Islam dan Quran memang perlu menjadikan surga itu sebagai janji agar manusia terpacu memutihkan sisi hitamnya yang sangat hitam. Begitu pun ketika Manji melihat Agama Islam dan Quran sebagai agama dan kitab yang mengajarkan kekerasan. Bukan berarti karena agama dan kitab suci adalah sesuatu yang normatif maka keduanya jahat bila menyebutkan azab, dosa, siksa, dan jenis hukuman bagi manusia yang ingkar. Melihat sisi asli manusia yang sangat hitam, janji saja tidak cukup. Tentu harus ada penyeimbang.
Kedua, dari kritik Manji mengenai Agama Islam dan Quran, saya merasa Manji tidak membuat sikap yang berbeda dari kaum ekstremis yang mengkritik teori-teori dan konsep-konsep sosial yang kebetulan digelontorkan oleh ilmuwan Barat. Keduanya sama-sama tidak melihat konteks secara utuh. Ketika Manji mengkritik ayat jihad dan perang serta demonisasi terhadap Yahudi dan Kristen, misalnya, apakah Manji sudah melihat konteks di dalam Quran itu sendiri yang menceritakan latar belakang kedua tema seruan itu? Manji juga harus membuka sejarah-sejarah apa yang dialami Agama Islam dalam kaitannya dengan jihad, perang, Yahudi, Kristen serta kondisi-kondisi apa yang membuat Agama Islam geram dan memberikan last resort tersebut. Dengan sikap Manji yang demikian, apa yang bisa membuat saya membedakan Manji dengan hizbut tertentu di kalangan ekstremis Islam yang menentang kesetaraan gender, misalnya? Keduanya sama-sama tidak melihat konteks sejarah yang menceritakan dinamika aksi-reaksi penindasan dan perjuangan.
Ketiga, Manji juga seharusnya memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks. Manji seharusnya tidak melakukan penyederhanaan identitas dengan langsung menganggap bahwa ketika si A memeluk agama Islam, maka si A akan langsung menjadikan Agama Islam sebagai satu-satunya penuntunnya. Idealnya memang demikian, namun tidak semua yang ideal itu bisa teraih. Kita tidak bisa melakukan isolasi terhadap manusia. Manusia selalu memiliki keterkaitan dengan teks-teks di sekitarnya. Kita harus melihat teks budaya, gender, profesi, keluarga, status, agama, dan banyak lagi dalam kesehariannya serta mana yang mendominasi pertimbangan-pertimbangannya. Pergulatan berbagai teks tersebut dalam dirinyalah yang menjadikan manusia sebagai manusia itu sendiri.
Ya, saya memang menyejajarkan kedudukan agama dengan teks budaya, gender, dan sebagainya, namun bukan berarti kesimpulan bahwa agama sudah gagal menjadi penuntun manusia bisa diambil. Kegagalan tidak terjadi ketika manusia menjadikan agama sejajar dengan teks-teks sosial lain yang mengitarinya, tetapi ketika agama itu tidak masuk ke dalam salah satu teks yang bergelut di dalam diri manusia. Harus diakui, keterikatan manusia dengan agama adalah hal yang paling lemah ketimbang keterikatan manusia dengan teks-teks lain sehingga ketika agama sudah bisa masuk ke dalam pergelutan teks, maka itu adalah prestasi besar bagi manusia. Ada beberapa sebab. Satu, agama adalah hal yang paling jauh dari jangkauan indera yang ganjarannya masih abstrak. Surga dan neraka, kurang jauh apalagi dengan indera manusia? Karena itulah dalam rukun iman juga disebutkan bahwa kita harus percaya pada hari akhir. Tanpa kepercayaan pada hari akhir, mustahil kita akan percaya pada terminologi surga-neraka. Masalahnya lagi, hari akhir itu apa? Itu juga tidak terjangkau. Satu-satunya yang terjangkau adalah kematian yang waktunya rahasia. Itu yang menjadi penghubung kita dengan keimanan pada hari akhir. Dua, agama pada dasarnya adalah seruan bagi kita untuk berpuasa. Kita diminta untuk menahan nafsu yang bersarang di dalam tubuh kita, dari mulai nafsu amarah, serakah, seksual, mabuk, dan masih banyak lagi yang kesemuanya tentu sulit dilakukan, mengingat hal tersebut sudah menjadi buah khuldi yang ada di dalam diri kita. Agama pun berkembang menjadi peraturan-peraturan mengikat yang menjadi beban dalam pergelutan teks dalam diri. Mengapa menjadi beban? Saya tidak bisa memutuskan apakah buah khuldi di dalam diri kita itu memang alamiah dan given terkandung dalam DNA kita ataukah bentukan sosial yang telah menghegemon dan mengalami pengalamiahan sehingga seolah-olah alamiah. Namun demikian, memang harus diakui bahwa agama adalah hal baru yang masa kelahirannya sudah didahului oleh keterbentukan budaya. Ini masuk menjadi alasan ketiga. Agama adalah modernisasi atas tradisionalitas pemikiran yang sudah membudaya. Masalah yang tumbuh di sini adalah agama dipertemukan dengan kebiasaan-kebiasaan turun-menurun yang lebih menyenangkan, lebih kasat mata, dan lebih dekat. Ganjaran surga-neraka dari agama harus mampu menjawab ganjaran berupa karma dan kutukan leluhur yang sudah berakar. Empat, agama adalah revolusi atas tindak penindasan yang dilakukan kaum yang lebih superior yang kekuatannya dihimpun oleh rasa senasib-seperjuangan para kaum tertindas. Masalah yang dihadapi di sini adalah pencibiran kaum superior akan agama dan penganutnya yang melahirkan dua kemungkinan konsekuensi. Konsekuensi pertama terjadi apabila peperangan antara dua pihak tersebut berakhir win-win solution karena kedua belah pihak masih saling memiliki kebergantungan. Di sini, kaum pembela agama harus berkompromi dengan kaum superior yang memiliki elitisisme tertentu yang ingin diakomodasi pula dalam agama. Akibatnya, bisa jadi agama mengalami penyesuaian-penyesuaian yang menyebabkan agama seolah memiliki wajah ganda. Konsekuensi kedua terjadi ketika perang tersebut menghasilkan hasil yang zero-sum alias yang menang memegang kendali, sementara yang kalah menanggung kehancuran dahsyat. Di sini kita tidak bisa berharap pada nilai-nilai kasih agama untuk mengampuni pihak yang kalah. Di sini, pergelutan teks kembali terjadi yang biasanya memberikan porsi yang lebih besar pada dendam. Keberingasan kaum beragama pun terekam menjadi sejarah yang dimaknai generasi berikutnya dengan beragam interpretasi. Bisa sebagai teladan yang patut dilanjutkan dalam perang berikutnya, bisa juga sebagai kegagalan yang makin menjauhkan agama dari kepercayaan manusia.
Kembali pada Manji, kritik Manji pada Agama Islam, Quran, dan penganutnya memang tidak bisa dianggap sebagai omong kosong, tetapi saya rasa Manji juga harus melebarkan fokusnya sehingga tidak terjebak pada ungkapan curahan hati pembelaan diri yang mengatasnamakan kaum tertindas tanpa memahami state of nature manusia itu sendiri.

cont