Dalam enam tahun ini, ini kali kedua kita bertemu. Entah kebetulan atau sudah diatur semesta atau hati kita masih terikat tanpa kita sadari, peristiwa pertemuan kita terjadi dalam jangka waktu tiga tahun. Satu hal yang paling ingin kukatakan kepadamu saat ini sama seperti apa yang ingin aku katakan tiga tahun lalu. Tapi ya begitulah, lagi-lagi aku urungkan niatku karena melihat pemandangan yang sama seperti tiga tahun lalu yang tentunya tidak seperti apa yang aku harapkan enam tahun lalu ketika kita berpisah. Kita? Ah, ya, maksudku kita memang berpisah, tapi itu lebih karena keinginanmu yang sempat aku baca.
Tiga tahun itu lama. Enam tahun apalagi. Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat siswa yang baru lulus SD bersiap-siap menjadi murid SMA. Enam tahun juga adalah waktu yang cukup untuk membuat si gadis putih merah menjelma menjadi mahasiswa dan meneriakkan kesetaraan gender. Ya, kita berpisah tentu bukan pada saat aku berusia SD. Yang aku maksud di sini adalah betapa tiga dan enam tahun itu adalah waktu yang tidak sekedar dilewatkan bumi untuk tiga sampai enam kali mengelilingi matahari dan hanya meninggalkan perubahan musim belaka. Waktu dalam satuan tahun itu adalah besaran yang sangat bermakna menciptakan ruang dan peran baru. Kurikulum saja sudah berapa kali direvisi dalam tiga hingga enam tahun itu.
Ah, entahlah. Sekarang sudah berjalan dua puluh menit. Aku lalu memasuki lift yang sudah berkali-kali naik-turun di gedung berlantai dua puluh ini. Sosokmu masih ada di luar sana. Sosok yang tidak pernah berubah dari segi penampilan, kedewasaan, bahkan status pekerjaan. Dan entah mengapa saat ini aku bersyukur kita berpisah sejak enam tahun lalu.