Tentang Konser




Saya bukan tipe concert-goer. Dulu saya sempat punya, sih, impian pengen nonton konser idola saya semacam Energy. Waktu Energy konser di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya sekitar tahun 2003 gitu pengennya sih saya ikutan kayak teman-teman fans club yang grupis abis ngestalking Energy sampai ke hotel, bandara, stasiun radio, dan mal tempat Energy makan. Tapi alhamdulillah harga diri dan logika saya menyuarakan hal yang lain. Saya nggak mau dilihat Energy sebagai fans yang annoying dan worshipping abis. Malu, bero. Akhirnya saya nggak pernah melihat konser Energy seumur hidup saya. Saya ikhlas hanya menikmati idola saya dari layar majalah, tivi, dan vcd. Ya, tapi nggak ikhlas-ikhlas banget, sih. Kemarin waktu ke Singapura terus saya ngelewatin Kallang, tempat yang suka dipake Energy konser kalau di Singapura, saya juga sempat merasa sesak. Ternyata cinta saya nggak garis keras banget buat Energy.

Okesip buat kisah Energy. Tadi di awal saya udah bilang kalau saya bukan tipe concert-goer. Seriusan. Saya nggak pernah betah dan nggak pernah percaya akan atmosfer yang berbeda antara kita nonton konser dengan kita dengerin dari radio. Yak, silakan sambit saya dengan ayat fans garis keras artis manapun, saya nggak akan pernah mengubah mindset saya bahwa konser is not my thing and somehow i wonder why people are willing to pay so much money for actualizing their love to their idol. Nggak salah, sih. Toh juga 5 dari 4 teman saya adalah concert-goer atau minimal pernahlah sekali dua kali nonton konser idolanya, entah dengan alasan cinta sama idola atau karena tiketnya udah terlanjur dibeliin orang tua. Tapi bagi saya sih itu mubazir, hehe. Apa, ya, mungkin karena gaji saya belum cukup usia buat dibelikan tiket, which is something economician calls them as tertiary needs, mungkin karena saya lebih memilih bayar utang daripada bersenang-senang, mungkin karena saya lebih memilih investasi beli baju daripada buat beli sesuatu yang habis dalam beberapa jam dan nggak masuk perut, mungkin karena saya juga nggak punya interest besar soal musik jadi saya nggak paham sama yang namanya menghargai kerja keras artis dengan membeli cd originalnya dan datang ke konsernya, mungkin karena saya nggak suka jadi orang kebanyakan yang pada umumnya memang senang datang ke konser, mungkin juga karena saya menganggap tidur adalah sebenar-benarnya istirahat, tapi yang paling jelas sih karena lingkungan keluarga saya tidak terbiasa dengan kegiatan semacam konser dan budaya pop lainnya. Kuno? Konservatif? Bebas, sih menginterpretasikan apa, tapi saya senang dan terbiasa kok berada di lingkungan yang berpikir ulang sampai akhirnya nggak jadi dalam menikmati budaya pop. 

Posting ini sebenernya nyambung ke konser Gaga yang batal. Awalnya saya nggak tahu dan nggak peduli soal Gaga mau konser ke Indonesia. Pertama tahu sih tanggapan saya cuma, "Wih, masih bulan Mei tapi udah penuh aja sejarah konser Indonesia di tahun 2012. Tajir, nih orang Indonesia." Iya, perhatikan, deh, dalam lima bulan ini sudah berapa artis besar yang konser, bero. Yang paling deket itu Suju, Laruku, terus siapa sih band idola Bima yang waktu itu Bima batal nonton konsernya gara-gara sakit? Aduh, lupa. Ya, pokoknya yang masih keinget sama saya udah tigalah, itu juga artisnya gede banget. Ya makanya pas tahu Gaga mau konser, ya luar biasa aja sih saya ngerasanya sama bangsa Indonesia. Anjir kemarin perasaan baru protes soal BBM naik dan BBM nggak bersubsidi, tapi ini di konser masih eksis. Paradoks, sih. Ya, memang sih yang nonton konser ya minimal harus berpunya yang pastinya juga orang-orang ini alhamdulillah diberi kecukupan rezeki sehingga kemarin mereka nggak ikutan demo BBM, tapi ya tetep aja paradoks. Gap distribusi kekayaan masyarakat kita tinggi banget. Semoga saja memang di balik kecukupan rezeki itu mereka selalu aktif membayar zakat.

Kejam juga ya dipikir-pikir pernyataan saya sekarang, hehehehe. Tapi seriusan itu yang jadi pemikiran saya udah dari lama banget. Saya bisa menghormati dan menghargai orang-orang yang ikutan konser, apalagi memang mereka semua adalah teman-teman saya, tapi dalam kurun waktu saya berteman dengan mereka, ya saya juga nggak pernah bisa mengubah mindset saya untuk sedikit lunak dengan konser. Saya pernah datang ke bazaar SMA 2, bazaar SMA 8, Symphonesia, tapi ya saya nggak pernah bisa mendapat atmosfer yang menyenangkan yang dijanjikan dalam konser. Ya liat mah liat aja, tapi jujur saya malah lebih sibuk nyariin orang-orang yang cipokan di konser hahahhahahahahahahahahhaaha. Iseng sih mikirin, anjir mau cipokan aja harus banget ke konser dulu, mahal cyyynnn hehhehehehehehhehehe. Saya mah seriusan nggak percaya kalau mereka datang ke konser beneran buat nonton konsernya. Paling awalnya doang itu. Ke sana-sananya otak udah kedistrak gimana nyari momen romantisnya. Kalau udah dapet juga itu dua-duanya udah sibuk dengan pikiran masing-masing. Pasti itu mah pasti. Teman-teman saya mah alhamdulillah fans garis keras dan jomblo sih jadi ya ke konser murni artis taala alias hanya untuk melihat si artisnya, jadi nggak melakukan hal-hal privat yang seharusnya nggak terekam oleh gadis dengan tingkat keingintahuan yang tinggi seperti saya. Oke, terlepas dari penyimpangan dan penistaan konser yang dilakukan oleh oknum yang berpasangan terutama pada lagu-lagu berirama mellow *padahal liriknya tentang patah hati, bukan tentang cinta selamanya*, saya memang nggak pernah bisa menerima konser sebagai bagian hidup saya.

Balik tentang Gaga, rada jengah, sih, sebenernya sama respon orang-orang tentang batalnya konser Gaga. 

Di satu sisi, saya sangat menyesalkan tindakan premanisme dan jumawa dari FPI yang bagi saya, kayak monster. Nilai yang mereka bawa sebagai isu utama untuk menolak Gaga sih saya paham dan setuju. Tapi pengaktualisasiannya itu loh, kayak yang paling benernya gitu. Lagian juga standar ganda banget. Nilai yang mereka sampaikan itu bagi saya universal dan memang cocok diterapkan di Indonesia seperti ya jangan mengundang nafsu birahi, jangan memuja setan, dan lain-lain. Nah, kalau gitu konsisten, dong. Larang juga kek dangdut erotik. Search deh di Youtube, banyak banget dangdut yang direkam dalam acara sunatan massal atau nikahan yang bahkan penyanyinya aja, dengan paha dan toket tersembul kemana-mana, ngebornya di pangkuan keyboardis. Kurang erotik, murahan, mengundang birahi, dan nggak pantas apa lagi coba? Itu bokep, sih, bukan dangdutan. Dan itu diadakan di acara nikahan atau sunatan gitu loh. Pertama ya tentu merusak iman sang mempelai. Kedua, heyyyyy itu acara sunatan woooyyyyy. Anak laki-laki seumur SD! Ketiga, itu hiburan murah yang bisa diakses secara luas oleh kelompok masyarakat umum, dari yang soleh sampai yang bejat. Spektrum audiensnya luas banget dan di situlah perusakan moral terjadi. Sidak deh ke warnet-warnet di daerah terpencil, saya yakin 4 dari 5 komputernya udah dipakai buat mendownload situs xxx oleh anak-anak dan remaja. Tanya juga berapa remaja perempuan yang sudah dibuai atau diancam putus sedemikian rupa untuk menyerahkan kegadisannya. Ketika FPI ramai mengutuk Gaga, yang sebenarnya sangat segmentatif, dalam arti sudah punya fanbase tertentu dan tiketnya mahal pula, jatuhnya itu lucu. Kita nggak bisa terus-menerus menyalahkan hal eksternal sebagai perusak moral sementara kita tahu bahwa di dalam masyarakat kita sendiri, moral itu sudah digadaikan demi saweran dan urusan syahwat. Ranah FPI pun bagi saya jadi sangat elitis. Maunya membersihkan budaya pop yang mahal di atas sana sementara yang di grassroot dibiarkan tenggelam dalam nerakanya sendiri. Coba, deh FPI itu memperluas spektrum sasaran orang yang ingin diselamatkan biar pada masuk surga. Jangan cuma orang kaya aja, tapi juga orang ekonomi menengah ke bawah. Jangan sampai membuat orang berstigma bahwa FPI itu setiran kapitalis dan jagonya pengalihan isu. Tegakkan Islam secara meratalah. Lihat ke bawah.

Namun demikian, bukan berarti juga saya mendukung orang-orang yang di twiter ramai bercuap tentang dipasungnya kebebasan berekspresi dengan batalnya konser Gaga. Seperti yang saya bilang, saya jengah. Ini juga subyektif didukung dengan latar belakang saya yang bukan anak concert-goer. Coba, deh, sebelum pada bercuap mengenai dipasungnya kebebasan berekspresi, pahami juga gap-gap yang terjadi di sekitar mereka. Saya tahu mereka berpunya dan saya juga mencoba untuk berpositive thinking bawa mereka sudah membayar zakat, tapi persoalan ini nggak berhenti di sini saja. Ini soal kepedulian dan kesetiakawanan sosial. Oke, itu pret mungkin buat kalian dan sangat okesip banget. Oke, ganti. Ini soal betapa kalian sudah menjadi budak bagi kapitalis. All hail Marx! Gue sosialis? Terserah. Kenyataannya memang demikian, kok. Baik kalian maupun artis idola kalian, dari Suju sampai Sule, itu budak kapitalis. Kalian mau bilang bahwa soal datang ke konser dan beli cd original itu adalah penghargaan bagi artis? Men, itu mitos! Itulah pengalamiahan yang diretorikakan oleh kapitalis untuk melanggengkan kekuasaan mereka atas diri kita. Melalui retorika itu kalian dipaksa bekerja lebih keras lagi untuk bisa mengeluarkan uang lebih banyak lagi demi tujuan pleasure dan leisure, yang kedua hal tersebut (kerja dan bersenang-senang) sama-sama akan menghegemonikan para kapitalis. Ya, monggolah kalau mau sekali-kali datang ke konser atau beli cd original, kasian juga kan si artis idola kalian nanti nggak makan, tapi ya nggak sampai fanatik banget bahkan sampai mempermalukan negara sendiri dengan ngetwit penuh tudingan marah ke FPI dan polisi. Ini juga makin menguatkan kapitalis gitu loh. Penistaan negara gitu itungannya. Beberapa tahun lagi, deh, kalau perilaku-perilaku emosional di twiter yang disebabkan oleh kemarahan kepada negara ini masih ramai bisa-bisa negara dibubarkan atas nama kebebasan individu yang sejatinya tidak akan membebaskan individu ke tingkatan yang bebas secara makrifat, tetapi menggiring mereka untuk masuk ke kekuasaan kapitalis yang tentu lebih kejam daripada ibu pertiwi yang sekarang sedang menangis kata Chikita Meidy.

Ah, tapi yasudahlah. Silakan balik ke kesenangan pribadi saja, maunya gimana ya monggolah, urip-uripmu hehehehehe. Baik FPI maupun pendukung konser Gaga ini sama-sama jumawa, jadi ya sulit juga kalau mau didamaikan. Sekarang mah mending FPI banyak turun mengawasi keadaan grassrootlah. Pendukung Gaga dan concert-goers lain juga mending mulai menyadari hakikat hidup kalian yang sudah masuk ke dalam kungkungan kapitalis. Kalian yang baca posting ini juga mending pada shalat isya dulu, deh. Saya juga belum, nih. Yuuuuu dadah babay.


*Posting ini ditulis malam hari walaupun dipublish siang hari

Ark.Mei'12.