If U Can Dream It....

“If u can dream it…so u can do it..”


Percaya dengan kalimat tersebut?


Pada awalnya, saya kurang percaya, terutama dengan klausa terakhirnya, namun beberapa jam setelah saya membaca tulisan yang terpampang di Papan Mimpi atau Papan Rencana –papan yang berisi tujuan murid setelah lulus SMA, biasanya ada di tiap ruang kelas 3– kelas 3-8 itu, akhirnya saya percaya.


Apa pasal ?


Sore hari sepulang dari sekolah saya mendapati amplop coklat dari Redaksi Majalah Bobo di kamar saya. Setelah saya buka, ternyata amplop itu berisi Majalah Bobo no.46 edisi 22 Februari 2007. Dengan muka bingung karena tidak tahu mengapa saya harus dikirimi majalah oleh redaksinya sendiri, saya membuka lembar demi lembar dari majalah kesayangan saya sejak TK itu, sekedar mencari tahu jawaban. Agak lama tidak mengerti, akhirnya ketika saya menapaki halaman 29, saya menemukan jawabannya. Dongeng saya, Ketamakan An Li dimuat di sana.
Itulah saat-saat yang paling membuat saya menganga. Menganga terkejut sekaligus bahagia.

“Ini mimpi gua banget!”


Mungkin bagi penulis lain, tulisan dimuat di majalah atau koran bukanlah suatu hal yang luar biasa, namun bagi saya, hal tersebut adalah hal yang paling menakjubkan. Sungguh. Bukan bermaksud untuk sombong apalagi kampungan, hehe, tapi alasan saya mengesahkan rasa bahagia tersebut yaitu karena dengan dimuatnya tulisan saya, maka satu cita-cita dan mimpi terbesar dalam hidup saya (mulai dapat) tercapai.


Mimpi dan cita-cita?


Agak lucu juga awalnya. Setiap Kamis, hari saat Majalah Bobo terbit dan dibawakan ayah saya dari kantornya, semua isi dalam majalah habis saya lahap semua. Lalu Jumat saya mengulang membaca, Sabtu masih mengulang, Minggu mulai kesal dan tetap mengulang membaca, Senin saya sudah hapal apa saja isi majalah, Selasa saya tulis semua hal yang saya ingat dari apa yang saya baca, Rabu saya masih menulis, dan Kamis saya memiliki majalah edisi terbaru. Selalu begitu setiap minggu, sejak umur empat tahun hingga enam tahun.


Memasuki usia tujuh tahun, saya berpikir begini (jika dibahasakan dengan gaya bahasa saya sekarang), “Wah, gila, masa gua tetep nyalin tulisan majalah? Bikin sendiri aja! Gampang, kok! Masa gua nggak bisa?” –ternyata memang sifat nggak mau kalah saya ini sudah tampak sejak orok, ya!-


Dan pada saat itu saya mulai menulis apa yang saya pikirkan. Belum seratus persen berpikir di atas kreativitas saya juga sebenarnya. Memang, ketika itu saya menulis apa yang saya pikirkan, namun saya masih mengacu pada tema yang diangkat oleh rubrik-rubrik Majalah Bobo. Saya masih ingat betul, hal yang pertama saya tulis adalah puisi berjudul Gunung. Puisi itu saya tulis berangkat dari puisi dengan judul dan tema serupa, Gunung. Saya lupa siapa nama pengarangnya, yang jelas ia murid SD Xaverius, Palembang. Haha, hapal! Jumlah baris dan baitnya juga sama. Tujuh baris dan empat bait (atau kebalik, ya? Empat baris dan tujuh bait?). Intinya ketika itu saya benar-benar tidak tahu apa-apa soal menulis dan akhirnya saya belajar secara otodidak dan otomaksa, hehe, pada apa yang disajikan oleh Majalah Bobo.


Sekitar sebelas tahun saya membaca Majalah Bobo, selama sebelas tahun itu pula saya iri, “Kok mereka bisa, ya nulis di majalah?” dan yang terpikir oleh otak saya adalah, “Berarti gua harus bisa nulis dengan cara kayak mereka nulis.”


Berangkat dari pemikiran seperti itu akhirnya saya mempelajari seluk-beluk menulis dari apa yang saya baca di Majalah Bobo. Bagaimana cara menulis puisi, cerpen, dan dongeng yang baik, apa yang harus ada dalam sebuah tulisan, bagaimana penokohan dalam sebuah cerita, bagaimana meletakkan tanda baca yang tepat, bagaimana agar bahasa bisa terbaca hidup, bagaimana caranya memberikan pemahaman kepada pembaca yang usianya masih muda, dan lain-lain. Lalu yang paling membanggakan adalah apa-apa yang telah saya pelajari itu ternyata mengantarkan saya mendapatkan nilai 9 setiap ada tugas mengarang selama di SD.


Kembali pada persoalan awal, If u can dream it, so u can do it, saya kini seratus persen percaya. Dulu saya bermimpi ada tulisan saya yang dimuat di Majalah Bobo dan kini mimpi saya telah menjadi kenyataan. Siapa yang tahu, kan? Dulu saya hanya anak kecil yang tolol masalah menulis, yang bisanya hanya meramu tema yang sama menjadi tulisan berbeda namun masih satu rumpun, dan sekarang bagaimana? Berkat terus membaca, terus mengoreksi, dan terus membandingkan, ternyata mimpi saya bisa terwujud. Ini pokok persoalan mengapa saya bisa bangga. Ya, karena ini adalah mimpi saya yang dapat saya wujudkan lewat belasan tahun belajar sendiri dengan membaca berulang.


Dimuatnya satu tulisan saya bukanlah akhir dari mimpi saya, tentunya. Ini adalah awal untuk mulai berjalan mendidik adik-adik saya, awal untuk memulai mimpi saya. Dan semoga Allah membantu saya. Amin.


Mmmm, apakah saya bisa ?


Tentu. Karena saya tahu dan percaya… If u can dream it, so u can do it.







(arkiar. Dok.pri. Mar 07)