Black Box

Kata Nuran dalam judul postingnya, yang ia kutip dari seorang pria tambun, berambut kribo *tapi baru cukur rambut dalam rangka lebaran haji*, belum lulus *sama kayak saya sih, tapi dia lebih tua dua tahun daripada saya* yang ketika galau mendatangi rumah Nuran dan akhirnya mereka tidur bersama *terus kenapa isi posting ini jadi berbau koran lampu merah?*, ada beberapa hal yang harus dimasukkan ke dalam keranjang dan jangan diingat lagi. Saya tersenyum. Saya juga punya falsafah seperti itu di dalam sanubari saya yang kadang lapang dan kadang dangkal tergantung dari laju angin dan rasi bintang. Bedanya, saya menyebutnya sebagai kotak hitam.

Ya, dalam hidup memang ada hal-hal yang terlampau pahit untuk diingat. Ada beberapa saat ketika kita lupa dimana menyimpan pasokan maaf. Ada titik ketika kita sudah terlalu jenuh untuk mendengar motivasi Mario Teguh dan Oprah Winfrey mengenai sisi positif dari setiap kejadian. Ada masa sebelum atau setelah kita mengadu pada Tuhan yang kita manfaatkan untuk merasa sesak kemudian membenci meskipun entah membenci siapa atau apa. Ada momen ketika kita langsung ingin menutup telingan rapat-rapat saat ada kenangan menyeruak dan memaksa kita menari di antara masa kini dan masa lalu. Iya, itu ada. Dan karena alasan-alasan itulah sebuah kotak hitam kita perlukan.

Jangan berpikir secara literal kemudian langsung menghubungi gerai AirAsia terdekat untuk memesan kotak hitam. Kotak hitam yang saat ini sedang saya bicarakan adalah sebentuk sugesti yang apabila dicari bentuk geometrinya maka hanya akan tergambar kubus hitam mengkilat yang bernuansa sendu ala natal di Timbuktu bersama gerombolan Siberat tanpa ada ketupat dan opor ayam kalkun. Kotak hitam itulah yang kita butuhkan ketika kita merasa dunia sedang tidak bersahabat dengan kita.

Koran Kompas edisi Minggu, bubur ayam tanpa kacang, teh manis, iTunes, YM, facebook, tuiter, kolam renang, hujan gerimis kecil di antara sinar matahari, dan ..................................... hei, black box i need you...