ASEAN, Kunci Perdamaian Asia Tenggara

Setiap kali ada deadline nulis dari STAIr, pasti kelabakan. Cuma dikasih waktu seminggu dua minggu doang! Haha. Edisi STAIr yang paling anyar akan mengangkat tema tentang perdamaian. Hmmmm. Berhari-hari jugkir balik di kasur dan di depan laptop dengan niat nyari ide yang out of the box akhirnya mendamparkan saya kembali pada tema yang nggak jauh-jauh dari kehidupan saya sehari-hari, ASEAN. Cekidot.

Pernah meragukan keyakinan kaum liberal bahwa kerja sama adalah kunci bagi perdamaian?

Keyakinan kaum liberal bahwa kerja sama adalah salah satu kunci bagi terciptanya perdamaian dapat kita buktikan di Asia Tenggara melalui kerja sama yang kita kenal dengan nama ASEAN. Seperti yang selalu ditekankan oleh mantan Menteri Luar Negeri RI, Hasan Wirayuda, saat kita membicarakan perdamaian di Asia Tenggara, mau tak mau kita akan membicarakan ASEAN. Ibaratnya, ASEAN dan perdamaian di Asia Tenggara adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Eratnya ASEAN dengan perdamaian bukan lahir tanpa alasan. Sejak awal, ASEAN memang dibentuk untuk menciptakan perdamaian. Bagi Indonesia, tanpa adanya perdamaian, mustahil kita mencapai kemakmuran. Namun mustahil pula kita meraih perdamaian jika kita hanya berjuang sendiri. Kita membutuhkan negara-negara lain untuk bersama-sama menciptakan perdamaian. Keinginan ini makin menguat saat memasuki dekade 60'an. Akhirnya, setelah diplomasi intensif dilakukan oleh Adam Malik dan direspon oleh berbagai masukan dari empat negara lain, di Bangkok, 8 Agustus 1967 bersama-sama Narcisco Ramos, Rajaratnam, Tun Abdul Razak, dan U Thant, Adam Malik mendeklarasikan Association of Southeast Asian Nations.

Saat pertama berdiri, ASEAN belum menjadi organisasi seperti yang kita kenal sekarang. Belum ada sekretariat khusus, kedudukan sekjen belum setingkat menteri, belum ada konferensi tingkat tinggi, belum ada piagam, dan tentu masih ada perbedaan-perbedaan persepsi yang tajam mengenai suatu isu di tiap negara anggota. Terlebih lagi, Asia Tenggara masih seolah-olah terbagi dua antara ASEAN five (pendiri ASEAN) dan Indochina. Itu dalam bidang politik. Dalam bidang ekonomi, ASEAN juga masih memiliki hambatan. Intratrade bukanlah suatu tren karena lima negara anggota ASEAN memiliki keadaan geografis yang tak jauh berbeda sehingga mereka memproduksi barang yang sama.

Namun nyatanya, struktur yang longgar, perbedaan persepsi ancaman dan perdamaian, dan minimnya aktivitas ekonomi di antara mereka tidak menjadikan ASEAN mati di tengah jalan. Pada akhir dekade 70'an hingga akhir 80'an ASEAN setahap demi setahap mulai melakukan spill-over hingga akhirnya, pada hari ini ASEAN sedang bersiap menjadi sebuah komunitas.

Perkembangan ASEAN yang positif dari tahun ke tahun itulah yang membuktikan bahwa ASEAN berhasil merealisasikan cita-cita perdamaian serta stabilitas kawasan yang dirumuskan founding fathers-nya empat puluh dua tahun lalu. Tanpa menjadi suatu aliansi keamanan, ASEAN mampu menghadirkan perdamaian sehingga rakyat Asia Tenggara tidak terancam oleh adanya peperangan meskipun masih ada beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan rumah ASEAN seperti permasalahan perbatasan, sumber daya alam bersama, pekerja imigran, dan perlindungan hak milik. Ada benarnya jika kita menyimak poin yang diungkapkan oleh Ben Perkasa Drajat, salah seorang yang berkonsentrasi terhadap ASEAN, "Jangan mempertanyakan mengapa masih ada konflik di Asia Tenggara meski telah ada ASEAN. Kita harus mengubah cara pandang kita menjadi bagaimana keadaan di Asia Tenggara jika tidak ada ASEAN."

Ya, tanpa ASEAN, perbedaan-perbedaan pandangan rawan berkembang menjadi konflik besar. Lihat saja di region lain. Lagipula, jika kita becermin terhadap sejarah ASEAN yang sedikit demi sedikit mampu menyelesaikan tantangannya, dari struktur yang sangat longgar menjadi mengikat dan signifikan melalui pemberian status jabatan Sekjen ASEAN setingkat dengan menteri, peratifikasian Piagam ASEAN, serta pengadaan KTT setahun dua kali, dari hambatan samanya produksi barang menjadi komitmen single base production, pendirian Badan HAM ASEAN, dan masih banyak lagi, tentu logis jika kita berharap bahwa pekerjaan yang belum terselesaikan akan segera ditemukan titik solusinya. Wajar juga bila kita berharap ASEAN sepuluh, lima belas, dua puluh, atau seratus tahun lagi akan menjadi ASEAN yang sangat besar dan tidak kita bayangkan pada hari ini. Perdamaian pun akan selalu hadir di Asia Tenggara, kawasan lingkar konsentris terdepan Indonesia.