Sesekali, Jangan Tunjuk Pemerintah Saat Membahas Pendidikan

Dari dulu sampai sekarang, hobi saya adalah membaca Tabel Tujuan Pembelajaran yang selalu ada di awal bab buku pelajaran. Itu lho, yang isinya hal apa saja yang akan dibahas dalam bab tersebut serta harapan dari pembelajaran yang akan diberikan pada siswa. Bagian yang paling mengharukan itu bisa kita temukan pada kalimat, siswa diharapkan memiliki kompetensi…

Setiap kali saya membaca Tabel Tujuan Pembelajaran, saya selalu kagum sama pemerintah. Di sini saya bisa melihat betapa pemerintah sangat peduli terhadap perbaikan generasi bangsa. Dengan harapan yang ia cantumkan pada tabel tersebut, saya melihat suatu muatan cita-cita yang luhur untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar melalui pengoptimalan pendidikan.

Nah, ada tapinya…keharuan saya ketika membaca harapan pemerintah itu harus terhenti ketika saya memperhatikan keadaan sekitar yang tidak pernah membaik. Kompetensi yang diharapkan pemerintah bisa dimiliki siswa setelah ia memasuki bab tertentu nyatanya minim dimiliki siswa. Ketika mereka mempelajari bab tersebut, yaaaa…mereka paham tapi saat mereka memasuki bab lain, aspek-aspek yang telah mereka pelajari pada bab sebelumnya pun menguap. Hal ini sangat umum terjadi dari zaman ke zaman.

Ketegangan terjadi ketika siswa harus menghadapi ujian, baik ujian akhir semester maupun ujian akhir nasional. Penyebab ketegangan ini satu, para siswa merasa kurang menguasai kompetensi yang telah digariskan pemerintah. Pada post kali ini, minimnya penguasaan siswa akan kompetensi yang disebutkan di dalam bukulah yang akan saya bahas. Di sini, saya nggak akan membahas pemerintah. Pemerintah punya andil dalam masalah ini, ya saya tahu, tapi saya rasa pembicaraan mengenai pemerintah lebih baik kita tunda dulu. Terlalu besar rasanya kalau saya membahas pemerintah. Saya juga nggak akan membahas sistem pendidikan. Pemerintah saja sudah besar lingkupnya, apalagi sistem pendidikan. Sudah banyak juga yang sudah mengkritik pemerintah dan sistem pendidikan. Sebagai gantinya, saya akan membahas tentang kekurangan guru.

Guru merupakan ujung tombak penyampai pesan pendidikan yang telah digariskan pemerintah. Jelas, mereka mempunyai andil besar dalam membentuk kesiapan siswa dalam menghadapi ujian. Nah, jangan dulu potong pembahasan saya tentang kewajiban guru dengan isu (di sini, terminologi isu yang saya gunakan merujuk pada Masalah, bukan Kabar desas-desus) minimnya kesejahteraan guru. Tentu saja kesejahteraan guru merupakan masalah krusial, namun, bagi saya, jangan sampai isu ini menjadi justifikasi atas keluhan siswa yang menunjuk ketidakmampuan beberapa guru dalam menyampaikan ilmu sehingga membuat mereka tidak menguasai kompetensi tertentu. Kekurangan guru dalam menyampaikan ilmu kepada siswalah yang akan saya kupas di sini.

Saya sudah menghabiskan setengah hidup saya dengan menjadi siswa. Ya iyalah. Hehe. Selama empat belas tahun sekolah, dari TK sampai SMA, saya suka memerhatikan guru yang mengajar di kelas. Kebetulan, guru-guru saya juga bervariasi. Saya punya guru yang berasal dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari Afro-American sampai Irish. Saya menemukan berbagai karakteristik. Ada yang mengajar dengan santai tapi serius, ada yang santaiiiiiiiiiiiiiiii banget, sampai saya juga nggak tahu dia ngajar apa enggak, ada juga yang disiplin tapi favorit, ada juga yang disiplin dan selalu mendapat kutukan para siswa. Bervariasinya guru beserta seni mengajarnya juga saya temukan sekarang saat saya menjalani dua tahun belakangan ini dengan menjadi pengajar les. Saya kerap menerima ungkapan hati para siswa yang mengagumi dan mengutuki guru di sekolahnya. Tak hanya itu, mereka juga sering mengeluhkan kekurangan pengajar les mereka. Hmmmmm. Penglihatan saya selama menjadi siswa dan pengakuan siswa-siswa atas kekurangan gurunya, saya rasa sudah menjadi bukti bahwa kita pun perlu mengkaji aspek guru saat kita menelusuri penyebab siswa tidak menguasai kompetensi yang telah digariskan pemerintah.

Lepaskan konstruksi di pikiran kita yang mengiang-ngiangkan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa dan guru merupakan bagian yang kesejahteraannya sering dilupakan pemerintah saat kita akan membahas masalah ini. Keterpakuan kita pada konstruk tersebut merupakan diskriminasi atas kenyataan bahwa sebenarnya, guru juga manusia yang memiliki kekurangan. Saat kita berada di kelas, kita akan menemukan guru sebagai individu-individu yang unik. Ada guru yang mampu mengambil hati siswa sehingga pada mata pelajarannya, anak-anak bisa mendapat nilai baik serta kompetensi yang mumpuni, ada pula guru yang begitu egois dengan dirinya sendiri sehingga acuh terhadap siswa. Bagi guru jenis kedua ini, tak jadi masalah baginya apakah siswa paham apa yang ia sampaikan dan apakah siswa menyenangi cara pemyampaiannya. Lebih parah lagi, ia juga tidak memiliki kemampuan untuk mengenali siswanya dan menjadi teman bagi siswanya. Guru jenis itu jugalah yang suka melepas tanggung jawab saat nilai-nilai siswanya merah dengan mengatakan, “Kalian mah bodoh, gini aja nggak bisa,” ketimbang mencari metode lain untuk membangunkan otak siswanya yang selalu tidur saat ia masuk kelas.

Guru jenis kedua itu bisa kita temui dimana saja, jumlahnya sepertinya lebih banyak ketimbang guru jenis pertama. Salah satu yang paling saya ingat adalah kejadian saat SMA. Dulu, ketika saya duduk di kelas satu SMA, nilai rapor tengah semester saya bervariasi dari yang sangat bagus hingga hancur. Nah, tapi nilai merah itu tidak hanya menghiasi rapor saya saja. Semua teman saya dalam satu kelas, bahkan di kelas lain yang diajari oleh guru X, nilainya merah. Ibu saya dan ibu teman-teman saya mengajukan protes kepada wali kelas. Mereka sepakat satu hal. Kalau nilai satu anak saja yang merah, berarti memang anak itu yang tidak menguasai materi. Berbeda jika semua anak mendapatkan nilai merah. Pada kasus tersebut, bukan si anak yang salah, melainkan gurunya. Ibu-ibu yang yakin bahwa anaknya tidak bodoh tersebut mempertanyakan bagaimana cara mengajar sang guru X di kelas melalui wali kelas. Nah, masalahnya, wali kelas saya juga bukan guru yang menyenangkan. Ia adalah tipikal guru yang membuat kami, anak-anaknya dimasukkan ke neraka dengan tuduhan menghina dan mengutuk guru di belakang. Cara mengajarnya yang tidak membuat kami percaya bahwa dia paham seluk-beluk perkembangan manusia dari zaman batu hingga Perang Dingin pada saat ia mengajar Sejarah serta mukanya yang kehilangan otot tersenyum sudah kami sampaikan kepada orang tua kami untuk memberi bayangan bahwa wali kelas kami bukan wanita tua yang bijaksana dan menyenangkan saat diajak berdialog dan curhat. Tapi ibu kami tidak percaya. Akhirnya, benar saja. Sebagai respon atas protes yang mereka sampaikan, si guru yang suka menyepelekan IPS ketimbang IPA (padahal dia guru IPS) ini malah menjawab, “Setiap guru punya seni mengajar masing-masing. Mereka nggak bisa disalahkan. Anak-anak saja yang tidak bisa paham!” Sebentar, masih ada yang lain. Paragrafnya belum akan saya potong dulu. Wali kelas yang hanya mengenal anak-anak borju di kelas ini juga berkata kepada kami, “Kalian itu harus menerima guru apa adanya. Mau gurunya kayak apa juga harus kalian terima. Dengarkan saja pelajarannya, jangan lihat gurunya!”

Hmmmm. Okei. Inilah yang ingin saya soroti.

Ya, seperti yang telah saya ungkapkan tadi, saat kita berada di kelas, kita akan menemukan guru sebagai individu yang unik. Unik sendiri artinya berbeda. Mereka memiliki cara mengajar yang bervariasi. Nah, tapi masalahnya, di atas semua perbedaan yang mereka miliki, mereka memiliki beban target yang sama, mencerdaskan anak bangsa melalui penyampaian materi yang telah digariskan pemerintah. Di tangan merekalah masa depan anak-anak ini terletak. Saya juga tidak memungkiri bahwa kecerdasan, ketertarikan, cara belajar, dan sikap para siswa sendiri berlainan. Satu kelas yang berisi belasan hingga lima puluhan orang tentu berisi perbedaan yang kompleks. Logis bila para guru berdalih bahwa mereka tidak mungkin mengatasi jumlah kepala yang banyak dengan detail. Tapi bagi saya, alasan tersebut tidak dapat menjadi dasar argumen mereka untuk mengatakan bahwa pihak yang harus memahami adalah siswa, mengingat jumlah siswa lebih banyak daripada guru.

Secara kuantitas, ya siswa memang lebih banyak tapi besarnya kuantitas siswa sangat tidak tepat bila dijadikan alasan bahwa para siswa ini wajib memahami seni mengajar guru. Saya nggak menemukan keterkaitan sama sekali. Guru yang berpatokan pada pendapat tersebut malah bisa jadi melanggar hak siswa untuk belajar. Kayak begini deh, saat siswa berada di kelas, tujuan mereka itu menerima pelajaran sekaligus merespon pelajaran. Itu hak mereka. Dengan adanya hak yang melekat pada siswa tersebut, guru memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pemenuhan hak siswa. Pemenuhan fasilitas ini termasuk pula pada aspek penciptaan kondisi belajar yang memungkinkan bagi siswa untuk terpacu belajar. Saya tidak mengatakan bahwa guru wajib membuat siswa pintar. Kalau masalah bisa pintar tidaknya siswa, itu masalah lain, itu kembali lagi pada kecerdasan siswa, kemauan siswa untuk belajar, dan cara siswa memahami pelajaran. Yang menjadi kewajiban guru adalah bagaimana ia mendorong siswa-siswanya untuk mau pintar, mau memajukan dirinya, dan sadar bahwa kompetensi yang harus dimiliki para siswa tidak hanya berguna untuk menjawab soal ujian sehingga bisa jadi ranking pertama, tapi juga untuk kehidupan para siswa selepas masa ujian.

Kewajiban tersebutlah yang harus dipahami guru saat mereka mengajar. Itulah yang harus mereka lakukan saat mereka berdiri di depan kelas, berada di tingkatan yang lebih tinggi daripada siswanya. Dengan mereka berdiri di hadapan siswa-siswanya yang duduk, mereka seharusnya sadar bahwa makna filosofis berdiri di hadapan siswa adalah untuk memberikan suasana yang mendukung dalam proses belajar siswa.

Dalam banyak kasus guru yang tidak mampu membuat siswanya mengerti apa yang ia sampaikan, akar permasalahannya terletak pada minimnya kepahaman para guru atas kewajibannya. Ada yang benar-benar tidak paham sehingga mereka membiarkan siswanya berkubang dalam kubangan penyiksaan pantat dan kekeruhan otak selama dua jam pelajaran. Ada pula yang seolah-olah paham akan kewajibannya namun mengaplikasikannya dengan cara yang salah. Guru jenis ini hobinya marah-marah didepan kelas, menyepelekan siswa, dan pesimis terhadap perkembangan siswa. Butut sekali ini mah.

Sepengalaman saya dan menurut kesaksian siswa-siswa saya, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi guru yang mampu memenuhi kewajibannya. Dalam menciptakan suasana yang mendukung proses belajar, hal yang paling penting adalah mengambil hati siswa. Mau tidak mau, sebagai penguasa kelas (yang satu-satunya sah berdiri di kelas), guru harus bisa mengambil hati siswa agar guru tuntas menyelesaikan tugas dari pemerintah. Tugas mengambil hati siswa juga sebenarnya tidak sulit asalkan guru tersebut ikhlas, hehehe. Jangan egois dan merasa paling benar sendiri. Dari cerita yang saya dengarkan dan pengalaman saya sebagai siswa, kesimpulan yang bisa saya tarik tentang bagaimana menjadi guru yang mampu menciptakan suasana yang baik untuk belajar, antara lain :
  1. Kenali para siswa. Kalau misalnya dalam satu kelas ini kuantitas siswanya besar, coba kenali secara random, jangan dari kalangan tertentu saja, kayak yang duduk di depan saja, yang kaya saja, yang paling cerewet saja, yang nakal saja, yang sepuluh besar saja. Randomisasi ini efektif untuk menghindarkan kesan diskriminatif yang menggelayuti pikiran siswa. Selain itu, pada setiap pertemuan, jangan memanggil nama siswa yang sama. Nanti dikira diskriminatif jugaaaaa.
  2. Pahami siswa. Pelajari perkembangan siswa pada setiap pertemuan atau ujian. Gali permasalahan yang dialami siswa sehingga misalnya pada suatu ujian pertama dia mendapat nilai bagus, tapi pada ujian selanjutnya nilainya menurun. Jangan hanya bertanya dan menggali, tapi juga berikan solusi. Bahkan, jika ternyata persoalan yang menghambat perkembangan siswa tersebut berasal dari diri guru itu sendiri, guru harus menyadari dan memperbaiki dirinya sendiri. Hal yang paling buruk adalah tetap egois dan acuh terhadap suara siswa yang jelas mengeluhkan sikap dan metode pengajaran guru. Masalahnya, ini yang sering terjadi. Guru seharusnya cerdas untuk mengatasi persoalan yang berasal dari dirinya sendiri.
  3. Hargai siswa. Menghargai adalah cara terbaik untuk memotivasi siswa agar mau belajar untuk mengejar ketertinggalan, mempertahankan prestasi, dan berani bercita-cita. Siswa kadang tidak menyadari potensinya dan kekurangannya sehingga ia tidak tahu kenapa dia harus belajar apa yang harus ia pelajari. Nah, di sinilah peran guru. Mengarahkan siswa merupakan salah satu jalan menghargai mereka. Cara penyampaian pun harus diperhatikan. Jangan dengan marah-marah dan menyepelekan mereka. Itu mah namanya bukan menghargai. Alih-alih, mereka malah akan membenci guru dan bahkan meyakini bahwa mereka memang bodoh dan tidak bermasa depan. Wah, udah dosa banget ini mah kalau sampai begitu.
  4. Menyadari bahwa penghormatan dari siswa bukan berasal dari kejaiman guru dan kedisiplinan yang berlebihan. Saya sering menemukan dalih dari guru bahwa mereka melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan siswa karena mereka nggak mau siswanya ngelunjak, nggak menghormati mereka, dan mengecilkan peran mereka. Nggak logis, ah kalau kata saya. Selama ini justru saya dan siswa-siswa yang curhat dengan saya nggak bakal sayang apalagi menghormati guru-guru yang jaim dan sok disiplin. Guru-guru yang demikian malah merupakan musuh abadi kami. Kutukan kami bisa lebih tebal daripada kamus. Kami malah mencintai guru yang bisa menyatu dengan kami. Dengan mereka mengenal kami, memahami kami, dan menghargai kami, penghormatan yang secara manusiawi wajar ia harapkan malah datang dengan sendirinya. Dengan ketiga poin di atas yang dimiliki seorang guru, guru tersebut akan mendapatkan penghormatan dari siswa sekaligus berhasil mengemban tugas dari pemerintah.

Saya membayangkan jika Indonesia memiliki guru-guru yang memenuhi kriteria tersebut. Bukan hanya guru di sekolah, tentunya, tapi juga di tempat les. Selama ini saya sering menemukan guru yang dijadikan blacklist oleh siswa, baik di sekolah maupun di tempat les. Semakin banyak guru yang masuk daftar hitam, semakin terpuruk jugalah siswa. Bagaimana pedidikan dan negara kita bisa maju jika guru-guru masih egois dengan dirinya sendiri sehingga dimusuhi siswa?

Kita memang bisa membicarakan masalah sistem pendidikan dan lain-lain saat membahas ketidaksiapan siswa dalam menghadapi ujian. Tapi permasalahan tersebut terlalu makro dan luas. Pembenahannya pun akan memakan waktu lama sedangkan setiap enam bulan sekali siswa harus mengahadapi ujian. Mengapa kita tidak memulai evaluasi tersebut dari ujung tombak? Dalam pendidikan, bukankah guru dan siswa juga memiliki peranan yang besar?

Pertama, dari sisi siswa. Selama ini mereka adalah objek utama dari pelaksanaan ujian. Di tangan mereka jugalah estafet kepemimpinan bangsa berada. Namun, kita jarang menyelesaikan permasalahan sistem pendidikan dari sudut pandang mereka. Kita jarang mengupas apa saja hambatan yang mereka hadapi sehingga mereka selalu mengeluhkan ujian. Kacamata siswa inilah yang sebenarnya dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi pendidikan. Pendapat mereka akan sangat jujur sehingga data-data yang diperlukan untuk menyusun kebijakan pun dapat bersifat valid. Lalu dari sisi guru. Selama ini kita selalu terjebak pada isu kesejahteraan guru. Seolah-olah kesejaheraan adalah imunitas yang menjustifikasi kekurangmampuan guru dalam menyampaikan materi pada siswa. Ya, kesejateraan memang penting, tapi apakah semua guru yang menuntut kesejahteraan ini telah berhasil mengemban tugas dari pemerintah yang menginginkan anak-anak bangsanya mendapat pendidikan terbaik?
Di sini saya sangat menyesalkan sikap guru yang menjadikan isu kesejahteraan sebagai tameng untuk menghalangi kritik siswa akan kualitas mengajarnya lalu mengalihkan kesalahan pada pemerintah dan sistem pendidikan.


Ark. Jan’10.

Agresivitaskah Kunci Seleksi Alam?

Akhir-akhir ini lagi sering memerhatikan keadaan sekitar dan akhirnya menyimpulkan bahwa saya ternyata hidup di alam yang dipenuhi dengan agresivitas. Seleksi alam? Yah, bisa jadi. Saya juga sempat berpikir bahwa kunci utama untuk memenangkan seleksi alam adalah agresivitas. Siapa yang paling suka menyerang, dialah pemenangnya. Eeehhh tunggu, mari kita selesaikan posting kali ini dulu!

Kalau saya ingat-ingat, saya sudah berhadapan dengan agresivitas sejaaaaaaaaaaaaaaaak saya TK. Variasinya macam-macam tapi dalam menghadapi agresivitas yang bermacam-macam tersebut, hal yang saya lakukan hanya,

  1. Bingung : “Lah, kok? Itu bukannya harusnya aku ya….”
  2. Ragu-ragu : “Apa emang harusnya dia ya?”
  3. Agak yakin : “Kayaknya emang harusnya dia, deh!”
  4. Sadar kalau itu salah : “Ya enggaklah!”
  5. Ikhlas : “Yaudahlah, kalau emang dia mau ya silakan aja.”
  6. Menyingkir
  7. Lupa

Sementara orang-orang makin mengagresi saya, saya hanya bisa mengekspresikan hal-hal tersebut dalam diam sambil memerhatikan tingkah mereka. Saya bahkan nggak tahu apa saya harus sakit hati karena mereka sudah menyingkirkan saya atau malah harus bersyukur karena barangkali keagresifan mereka adalah cara Allah untuk menarik saya dari hal-hal yang tidak Dia ridhoi. Hmmm. Saya nggak pernah tahu. Yang jelas, setiap kali saya mengalami hal itu, ya saya menyingkir.

Kayak misalnya, dalam suatu kesempatan, saya berada di dalam suatu komunitas yang tidak memiliki hiearki jabatan tertentu meski ia memiliki tujuan untuk mewujudkan suatu hal. Dalam hal ini, saya tidak menampik bahwa untuk mencapai tujuan, orang-orang di dalam komunitas ini harus memiliki tugas-tugas yang berbeda yang karena itulah kelompok ini membutuhkan sosok yang bisa membagi tugas. Nah, tapi karena komunitas ini sedari awal tidak memiliki hierarki, siapa yang akan membagi tugas tersebut? Permasalahan muncul di sini. Sekecil apapun komunitas tersebut, saya yakin kita nggak akan mungkin bisa berjalan tanpa pemimpin, tapi saya juga nggak merasa nyaman ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengangkat dirinya menjadi pemimpin dan mengatur pembagian tugas. Saya sering menemukan kejadian ini dalam perjalanan saya dari TK sampai sekarang. Hal yang sebenarnya saya inginkan adalah perundingan alias musyawarah. Menurut saya, akan lebih baik jika proses pembagian tugas tersebut dilakukan secara demokratis. Anggota dalam komunitas tersebut berkumpul, membicarakan tujuan, peluang, dan hambatan lalu dengan mufakat mereka memilih tugas yang mereka inginkan. Penanggung jawab tentu diperlukan, namun pengangkatan penanggung jawab itu sendiri pun lebih baik dilakukan dalam musyawarah tersebut.

Masalahnya, kok kayaknya susah banget gitu mewujudkan sila keempat Pancasila tersebut? Yang saya lihat, kebanyakan dalam komunitas tersebut, ada satu atau beberapa orang yang merasa dirinya pemimpin dan dengan penuh keyakinan diri memerintah orang-orang yang ia rasa lebih nggak berpengetahuan daripada dia. Bagian ini juga yang sebenarnya nggak enak. Rata-rata, orang yang merasa dirinya lebih melek daripada orang-orang lain itu kalau kita perhatikan, sebenernya lebih buta daripada bawahannya. Ia hanya memiliki agresivitas yang tinggi sedangkan pengetahuannya nggak melebihi pengetahuan orang-orang yang ia jadikan bawahan. Kalau sudah begini, kan rusak. Ketika suatu permasalahan datang, keputusan yang ia ambil pun tidak bijak. Hasilnya? Ya, sudah bagus kalau komunitas tersebut nggak bubar.

Masalah kedua, serupa tapi tak sama. Kejadiannya begini, misalnya di dalam suatu komunitas yang berhierarki, saya sudah memiliki keahlian atau tugas tertentu. Karena saya mengemban tugas itu, maka saya berusaha bertanggung jawab penuh atas tugas itu dengan cara yang saya anggap paling sesuai. Nah, tiba-tiba, datang satu atau beberapa orang yang sok asyik gitu. Awalnya, mereka mengomentari pekerjaan saya. Mendengarnya, saya hanya mesem-mesem. Berlanjut, mereka lalu menceritakan kehebatan mereka. Saya? Mendengar sambil kagum. Selanjutnya, mereka mengambil alih pekerjaan saya sedikit demi sedikit. Saya? Lihat ketujuh langkah di atas dan ini lanjutannya. Setelah saya menyingkir, kan mereka tuh yang berusaha menyelesaikan. Nah, masalahnya, mereka nggak sebertanggung jawab itu dalam menyelesaikan tugas yang sudah mereka okupasi dari saya. Pada akhirnya, pekerjaan itu mereka tinggalkan.

Akhirnya, mari kita lanjutkan ketujuh langkah di atas,

  1. Dipanggil/ Sadar akan kekacauan
  2. Diminta/Harus kembali mengerjakan
  3. Murka : “ #$@@$%&(*(()_)_*(&*^&%&^%^$!!!!!!!!”
  4. Terpaksa mengerjakan
  5. Kerjaan beres, beberapa pujian datang
  6. DON’T EVER EVER EVER EVER EVER ASK ME AGAIN FOR DOING THIS!

Nah, dua pola tersebut saya temukan di berbagai aspek hidup. Dari mulai tugas kuliah, kepanitiaan, organisasi, pertemanan, pekerjaan, bahkan cinta! Hal yang paling saya benci adalah ketika para aggressor itu nggak bertanggung jawab dalam mengurus daerah okupasiannya. Ketika saya sudah melakukan ketujuh hal yang tadi saya sebutkan, saya sudah benar-benar ikhlas meyakini bahwa saya memang ditakdirkan untuk nggak berkecimpung lagi di sana, tapi ketika saya dihadapkan oleh kegagalan para aggressor tersebut, perasaan yang sudah saya netralkan itu tiba-tiba asam lagi. Buat apa mengagresi kalau pada akhirnya nggak diurus? Jadinya kayak main-main aja gituh. Kalaupun memang cara saya dianggap kurang sesuai dibanding cara mereka, saya rasa kecacatan saya lebih akan membawa hasil ketimbang kesemenaan mereka mengambil alih lalu kemudian ditinggalkan begitu saja. Wih, emosi nih. Hahaha.

Yang paling bikin sesak itu kalau udah menyangkit masalah cinta. Kayak yang udah-udah, saya lagi dekat atau bahkan pacaran terus tiba-tiba ada orang ketiga yang asyik banget ngambil orang yang udah saya kasih separuh jiwa saya (haha). Nah, perpisahan kan sakit banget tuh, tapi karena si pria tersebut emang udah nggak mau sama saya lagi, yaudah mau gimana, akhirnya kan ikhlas. Nah, tapi kalian tahu akhirnya apa? Mereka nggak pacaran atau bahkan nikah kayak yang saya bayangkan, tapi si orang ketiga yang sudah asyik banget ngerebut si mas-mas itu ternyata niatnya cuman main-main. Dicampakkanlah itu si mas-mas setelah dikasih harapan dan iming-iming. Udah giliran kayak begini, datang lagi si mas-mas tersebut ke saya, minta dikasih jiwa lagi.

Hmmm, emang sih saya dulu cuman ngasih separuh jiwa, jadi masih ada sisa separuh lagi, tapi masalahnya, kalau sisa separuh itu saya kasih lagi, saya hidup pakai apa? So, susah kayaknya buat saya untuk melaksanakan poin nomor 8, 9, 11, dan 12. Loncat langsung ke nomor 10 dan 13! Murka! Saya nggak bisa membuka hati lagi untuk orang yang sama.

Ngomong-ngomong masalah agresivitas yang tidak didukung kematangan kognisi, sebenernya saya bingung. Kalau mereka nggak punya pengetahuan yang cukup, terus kenapa mau mengagresi? Saya malah mikirnya kayak begini,

  1. Mereka memang hobi aja mengagresi, jadi nggak punya alasan khusus untuk memahami hal yang mereka agresi
  2. Mereka pengen eksis tapi nggak bisa memulai dari awal, jadi numpang tenar ke tempat yang udah mau berhasil
  3. Mereka kesepian dan nggak ada pekerjaan, jadi agresi itu mereka anggap kayak pekerjaan pengisi waktu luang
  4. Memang sengaja menyingkirkan orang yang nggak mereka suka
  5. Kalau untuk masalah cinta, mungkin mereka memang wanita atau pria yang putus asa sama kejombloannya karena mereka nggak kunjung mendapat pasangan.
  6. Masih masalah cinta, mungkin mereka nggak suka lihat pasangan lain bahagia
  7. Masalah cinta lagi, mungkin mereka lagi memenuhi syarat dukunnya yang bilang harus menaklukan seribu jejaka atau perawan dalam waktu 100 hari sebelum berendam di air terjun Sambernyawa di kaki Gunung Nunjauhdimato

Nah, mengingat niat yang tiada baik tersebut, saya rasa itulah alasan Allah untuk membuat agresivitas mereka tidak mampu mengantarkan mereka hingga ke akhir waktu. No knowledge, no character, so they can’t do more! Ingat motto SMA saya, Knowledge is power but character is more! Apa hubungannya ya? Haha.

Bagi saya, agresivitas bukanlah kunci untuk menaklukan dunia. Saya lebih suka konsistensi ketimbang agresi. Saat kita melakukan sesuatu yang kita sukai, saat kita berhasil menaklukan segala kesulitan yang terjadi, saat kita berhasil menjadikan batu sandungan sebagi batu loncatan, saat kita berhasil menancapkan bendera di puncak sambil bilang alhamdulillah, saat kita diminta lagi mengerjakan hal serupa tapi dengan tantangan yang lebih besar, saat kita menjadi tumpuan kepercayaan orang-orang di sekeliling kita, itulah kemenangan kita dalam seleksi alam yakni KONSISTENSI dalam menggeluti bidang yang kita yakini bisa kita kerjakan, bukan AGRESI kayak waktu kita bisa menyingkirkan orang dalam suatu kesempatan. Allah nggak akan suka, orang-orang nggak akan suka, dan bahkan hati nurani sendiri pun nggak akan suka. Akhirnya, agresivitas hanyalah menjadi barang usang dalam seleksi alam.

Selama ini, saya selalu kalah dalam agresi. Alih-alih memperjuangkan, saya lebih suka menyingkir. Tapi bagi saya, itu bukan kekalahan. Saya hanya menunggu waktu untuk menunjukkan konsistensi saya saat rekan yang mengagresi tersebut mengibarkan bendera putih. Tapi jika ia tidak mengibarkan bendera putih, ya baguslah. Saya senang. Jika demikian, barangkali memang tanpa saya sadari, sayalah yang mengagresi dia. Lebih baik saya berpindah ke bidang lain dan melaksanakan konsistensi lain. Eh, tapi ini nggak berlaku untuk masalah cinta. Kalau untuk masalah cinta, nooooo….nggak ada perjuangan-perjuangan. Kalau si pria yang sudah saya kasih separuh jiwa itu lebih memilih orang ketiga, bagi saya itu adalah sabda alam bahwa dia memang bukan jodoh saya! Titik. Jangan pernah berpikir menggoudha sayah lagih! Emosi nih! Hahaha.



Ark. Jan’10.

Ancaman dari Jalan Raya

Pfuuuuuihhhhh.


Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara kendaraan yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.


Wah, sungguh merupakan cobaan yang berat, Ya Allah.


Ada beberapa hal yang ingin saya soroti dari kehidupan aspal di Bandung. Pertama, naiknya volume kendaraan, dan kedua, ketidaktertiban orang dalam berlalu lintas.


Dalam masalah yang pertama, naiknya volume kendaraan ini meliputi mobil, motor, dan truk serta terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang –jadi tidak hanya terjadi ketika musim liburan. Sejauh pengamatan saya, Idul Fitri dan pelebaran jalan di Jatinangor merupakan katalis peningkatan volume kendaraan ini, hanya saja mereka berperan sebagai katalis peristiwa yang berbeda. Idul Fitri meningkatkan kepemilikan kendaraan pribadi, sedangkan pelebaran jalan Jatinangor yang tiada lain merupakan jalur antarprovinsi penting di Pulau Jawa meningkatkan aktivitas truk yang sedang berjibaku di dunia perekonomian mikro. Logika nya begini. Hmmm, tentang Lebaran duluan. Ketika lebaran, dengan syarat pengajuan kredit yang ramah serta uang muka yang ringan, orang-orang berbondong-bondong mengajukan kredit kendaraan. Sepertinya masyarakat mulai meyakini bahwa membeli sendiri jauh lebih baik daripada menumpang. Nah, semangat masyarakat atas kepemilikan pribadi ini sangat jelas menambah ramai jalan raya yang setiap Idul Fitri tidak mengalami perubahan lebar. Akibatnya? Nggak ada jalur Bandung ke Cileunyi yang nggak macet. Buah Batu macet, Gatot Subroto padat, Cicadas ramai, Kiara Condong tersumbat, mau lewat Cicaheum macet, mau muter ke Soekarno Hatta juga tersendat. Mau masuk tol Pasteur ah sama aja, Pasteurnya merayap. Ckckckckkckck. Mending tidur deh di rumah.


Lalu logika mengenai pelebaran jalan di Jatinangor. Seingat saya, saya baru menyaksikan pawai truk-truk besar pascaselesainya jalan di Jatinangor diperlebar. Sebelumnya, saya nggak pernah sesering sekarang berjalan berdampingan dengan truk yang mengangkut muatan besar. Perbaikan jalan di Jatinangor ternyata sangat mampu menghubungkan Jawa Barat dengan provinsi lain dalam hal ekonomi. Bukan hal aneh, mengingat jalur Jatinangor merupakan jalur penghubung penting antarprovinsi. Pelebaran jalur Jatinangor pun tak main-main, fuihhhhh lebar bangeeettttt sampai teman-teman bisa mengajak sanak saudara dan handai taulan piknik menggelar tikar di sana sambil bercengkrama dengan bus DAMRI, angkot Sumedang-Cilenyi, Gedebage-Majalaya via Sayang, dan ojeg yang sedang ngetem serta menikmati angin semilir yang bertiup dari knalpot kendaraan yang asyik berlalu lalang. Lebar vissssuuuuuuuundth lah! Pelebaran jalan tersebut tentu saja memancing peningkatan aktivitas ekonomi. Indikatornya? Ya, banyaknya jumlah truk yang bisa Teman-teman temui sepanjang jalur Jatinangor. Bheuh. Truknya gede bangetlah. Muatannya superbanyak!


Nah, masuk ke permasalahan kedua yaitu tentang ketidakdisiplinan pengguna jalan raya. Seperti contoh menegangkan yang sudah saya sebutkan tadi, wiiiih hal ini sangat berkaitan dengan mudahnya mengakses izin mengemudi di jalan raya. Dari sekian banyak kabupaten dan kotamadya di Indonesia, hanya berapa sih yang serius menjalankan proses ujian SIM dengan sungguh-sungguh? Bisa dihitung jari! Jari ayam, malah! Kebanyakan mereka menghalalkan penembakan SIM. Berbeda dengan Kabupaten Bandung, Sebagai warga Kabupaten Bandung yang makmur, wih saya mah bangga pisanlah. Ujian SIM-nya jujur! Insya Allah ngga ada tembak-tembakan. Nih, saya lulus ujian setelah satu kali nggak lulus. Adik saya juga sama. Awalnya, saya juga pengen melewatkan ujian SIM tersebut. Setres. Ujiannya kok kayaknya susah gitu. Eh, tapi setelah saya berhasil lulus dan melanglangbuana di jalanan, saya merasakan manfaat dari ujian tersebut. Saya tahu sopan-santun berjalan raya. Saya nggak mau membahayakan keselamatan saya dan keselamatan orang lain. Nah, perasaan seperti itu yang saya rasakan sangat kurang sekali diresapi oleh pengguna jalan raya yang saya temui. Jangankan mempedulikan keselamatan orang lain, peduli dengan keselamatan sendiri pun tidak! Masalah lampu yang tadi saya tandai, misalnya. Apa orang tersebut tidak takut mati tertabrak?


Masalah naiknya volume kendaraan dan ketidakdisiplinan pengguna jalan raya tersebut bisa menjadi permasalahan yang serius, lho Teman-teman. Dalam peningkatan volume kendaraan, kita jangan hanya berpikir bahwa hal tersebut akan mengantarkan kita pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kenaikan penghasilan perkapita. Ingat, krisis energi dan global warming! Belum lagi umur jalan raya yang makin berkurang.


Pertama tentang krisis energi, saya yakin Teman-teman bisa langsung menangkapnya. Heyyyy persediaan minyak bumi makin menipis sementara kendaraan makin menjamur! Lama-lama, minyak kita akan habis untuk memodali perjalanan, bukan memodali industrialisasi dan pembangunan. Bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan dari negara maju dan melepaskan status keberkembangan kita jika industrialisasi kita makin kalah dengan bensin?


Langkanya minyak bumi juga akan membuat industri kita makin tidak dapat bersaing dengan produk impor bawaan pasar bebas karena harga produksi kita terlalu mahal. Tentu kita semua sudah mengetahui bahwa harga bahan bakar minyak untuk industri lebih tinggi daripada harga bahan bakar untuk konsumsi pribadi, padahal saat ini kita belum memasuki babak KRISIS energi. Nah, bayangkan saat kita telah memasuki fase tersebut: Harga minyak bagi industri semakin mahal, harga jual produk mereka pun menjadi tinggi, mereka pun menjadi tidak efisien, lalu akhirnya mereka kalah oleh MNC dan produk impor.


Hasilnya? Pengangguran meningkat.


Lalu tentang global warming. Masalah ini terlalu klasik. Semua sudah tahu. Aktivitas pelepasan CO2 yang berasal dari kendaraan jelas akan mengantarkan kita pada kekacauan iklim. Siapa yang rugi? Banyak! Banjir bisa menghancurkan rumah, menghanyutkan tambak, menenggelamkan sawah, dan lain sebagainya. Itu baru banjir. Korbannya tidak hanya manusia sekawasan lokal, tapi bisa nasional. Ketahanan pangan terancam! Makanan menjadi barang langka. Akhirnya? Makin banyak kasus kekurangan gizi, manusia Indonesia tidak beranjak cerdas, pembangunan terhambat.


Lalu pengurangan umur jalan. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas dan ditambah pula berat mereka yang luar biasa subhanallahnya, maka sudah pasti umur jalan tidak sesuai dengan umur yang diproyeksikan para insinyur. Biaya perawatan dan perbaikan jalan pun makin besar. Dana pembangunan kita berkurang untuk memperbaiki jalan raya yang belum waktunya rusak. Ckckckckkck.


Ketidaktertiban lalu lintas melengkapi daftar penderitaan bangsa. Nembak SIM itu korupsi lho! Percuma, dong tipi-tipi zaman sekarang membuat konstruk yang buruk tentang korupsi jika ternyata kita sang pemirsa yang suka sok ngerti dan ikutan emosi atas korupsi nggak jauh beda perilakunya sama contoh buruk yang dipaparkan tipi. Masalahnya bukan lagi pada doktrin bahwa korupsi itu dosa, tapi korupsi ujian SIM itu pada akhirnya akan membahayakan keselamatan kita di tengah jalan raya yang sangat ramai dan hampir rusak. Para pengguna jalan raya yang diwajibkan memiliki SIM merupakan angkatan produktif Indonesia, jika mereka sampai mengalami kecelakaan, roda kehidupan Indonesia akan terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan. Kita harus sadar, Teman-teman, bahwa ujian SIM adalah salah satu cara dari negara untuk melindungi kita, sang angkatan kerja produktif. Dengan adanya SIM, negara menilai seseorang telah mampu untuk mengatasi cobaan di jalan raya yang begitu ganas. Kalau nggak lulus, berarti kita memang belum mampu menghadapi cobaan tersebut. Kalau begitu, jangan memaksa. Kita harus belajar lagi sampai akhirnya lulus ujian SIM.


Yah, permasalahan jalanan ini sering kita anggap enteng, padahal dari jalan raya, malapetaka bisa dimulai. Selain itu, disadari atau tidak, kita juga, lho yang memberi sumbangsih pada kiamat beberapa tahun mendatang. Wih. Berattttt. Kalau kita mau kehidupan di dunia ini tetap menyenangkan, ayo kita ubah perilaku kita di jalan raya! Kalau nggak butuh-butuh amat, jangan beli kendaraan baru, nggak peduli Teman-teman sekaya apa dan kredit kendaraan segampang apa. Lalu, jangan konsumtif karena kekonsumtifan Teman-teman bisa mengundang lebih banyak lagi truk yang melintasi Jatinangor. Daaaan terakhir, ayo kita ujian SIM! No nembak , please…..Semua untuk keselamatan kita kok!


Ark, Jan’10.

Ancaman dari Jalan Raya

Pfuuuuuihhhhh.


Jangan kaget kalau saat saya membonceng Teman-teman, saya sering mengeluarkan kata-kata ketus tak bersahabat. Kata-kata tersebut tidak saya tujukan kepada Teman-teman, tentunya, tapi kepada pengendara kendaraan yang semakin brutal di atas aspal. Dari mulai khilaf pasang lampu sign, smsn dan telpon-telponan di tengah jalan, ngga bisa stabil ngendaliin motor dan mobil sehingga berjalan zig-zag, posisi kendaraan yang nggak jelas mau ke kiri, ke kanan, atau di tengah, tiba-tiba mengerem, tiba-tiba menikung, tiba-tiba putar balik, tiba-tiba mundur waktu mau melanjutkan jalan setelah terjebak kemacetan, sampai (mungkin) sambungan listrik aki ke lampunya tersumbat sehingga LAMPU ANDA MATI SEMENTARA MOTOR ANDA MELAJU DENGAN KECEPATAN 100KM/JAM, MENYALIP 80KM/JAM SAYA DARI KIRI DAN MEMOTONG JALUR KANAN SAYA DI JALAN SOEKARNO HATTA DEKAT PINUS REGENCY YANG SUPER GELAP!!! Selamat, Anda sudah berhasil membuat saya kaget dan refleks meneriakkan kemarahan.


Wah, sungguh merupakan cobaan yang berat, Ya Allah.


Ada beberapa hal yang ingin saya soroti dari kehidupan aspal di Bandung. Pertama, naiknya volume kendaraan, dan kedua, ketidaktertiban orang dalam berlalu lintas.


Dalam masalah yang pertama, naiknya volume kendaraan ini meliputi mobil, motor, dan truk serta terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang –jadi tidak hanya terjadi ketika musim liburan. Sejauh pengamatan saya, Idul Fitri dan pelebaran jalan di Jatinangor merupakan katalis peningkatan volume kendaraan ini, hanya saja mereka berperan sebagai katalis peristiwa yang berbeda. Idul Fitri meningkatkan kepemilikan kendaraan pribadi, sedangkan pelebaran jalan Jatinangor yang tiada lain merupakan jalur antarprovinsi penting di Pulau Jawa meningkatkan aktivitas truk yang sedang berjibaku di dunia perekonomian mikro. Logika nya begini. Hmmm, tentang Lebaran duluan. Ketika lebaran, dengan syarat pengajuan kredit yang ramah serta uang muka yang ringan, orang-orang berbondong-bondong mengajukan kredit kendaraan. Sepertinya masyarakat mulai meyakini bahwa membeli sendiri jauh lebih baik daripada menumpang. Nah, semangat masyarakat atas kepemilikan pribadi ini sangat jelas menambah ramai jalan raya yang setiap Idul Fitri tidak mengalami perubahan lebar. Akibatnya? Nggak ada jalur Bandung ke Cileunyi yang nggak macet. Buah Batu macet, Gatot Subroto padat, Cicadas ramai, Kiara Condong tersumbat, mau lewat Cicaheum macet, mau muter ke Soekarno Hatta juga tersendat. Mau masuk tol Pasteur ah sama aja, Pasteurnya merayap. Ckckckckkckck. Mending tidur deh di rumah.


Lalu logika mengenai pelebaran jalan di Jatinangor. Seingat saya, saya baru menyaksikan pawai truk-truk besar pascaselesainya jalan di Jatinangor diperlebar. Sebelumnya, saya nggak pernah sesering sekarang berjalan berdampingan dengan truk yang mengangkut muatan besar. Perbaikan jalan di Jatinangor ternyata sangat mampu menghubungkan Jawa Barat dengan provinsi lain dalam hal ekonomi. Bukan hal aneh, mengingat jalur Jatinangor merupakan jalur penghubung penting antarprovinsi. Pelebaran jalur Jatinangor pun tak main-main, fuihhhhh lebar bangeeettttt sampai teman-teman bisa mengajak sanak saudara dan handai taulan piknik menggelar tikar di sana sambil bercengkrama dengan bus DAMRI, angkot Sumedang-Cilenyi, Gedebage-Majalaya via Sayang, dan ojeg yang sedang ngetem serta menikmati angin semilir yang bertiup dari knalpot kendaraan yang asyik berlalu lalang. Lebar vissssuuuuuuuundth lah! Pelebaran jalan tersebut tentu saja memancing peningkatan aktivitas ekonomi. Indikatornya? Ya, banyaknya jumlah truk yang bisa Teman-teman temui sepanjang jalur Jatinangor. Bheuh. Truknya gede bangetlah. Muatannya superbanyak!


Nah, masuk ke permasalahan kedua yaitu tentang ketidakdisiplinan pengguna jalan raya. Seperti contoh menegangkan yang sudah saya sebutkan tadi, wiiiih hal ini sangat berkaitan dengan mudahnya mengakses izin mengemudi di jalan raya. Dari sekian banyak kabupaten dan kotamadya di Indonesia, hanya berapa sih yang serius menjalankan proses ujian SIM dengan sungguh-sungguh? Bisa dihitung jari! Jari ayam, malah! Kebanyakan mereka menghalalkan penembakan SIM. Berbeda dengan Kabupaten Bandung, Sebagai warga Kabupaten Bandung yang makmur, wih saya mah bangga pisanlah. Ujian SIM-nya jujur! Insya Allah ngga ada tembak-tembakan. Nih, saya lulus ujian setelah satu kali nggak lulus. Adik saya juga sama. Awalnya, saya juga pengen melewatkan ujian SIM tersebut. Setres. Ujiannya kok kayaknya susah gitu. Eh, tapi setelah saya berhasil lulus dan melanglangbuana di jalanan, saya merasakan manfaat dari ujian tersebut. Saya tahu sopan-santun berjalan raya. Saya nggak mau membahayakan keselamatan saya dan keselamatan orang lain. Nah, perasaan seperti itu yang saya rasakan sangat kurang sekali diresapi oleh pengguna jalan raya yang saya temui. Jangankan mempedulikan keselamatan orang lain, peduli dengan keselamatan sendiri pun tidak! Masalah lampu yang tadi saya tandai, misalnya. Apa orang tersebut tidak takut mati tertabrak?


Masalah naiknya volume kendaraan dan ketidakdisiplinan pengguna jalan raya tersebut bisa menjadi permasalahan yang serius, lho Teman-teman. Dalam peningkatan volume kendaraan, kita jangan hanya berpikir bahwa hal tersebut akan mengantarkan kita pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kenaikan penghasilan perkapita. Ingat, krisis energi dan global warming! Belum lagi umur jalan raya yang makin berkurang.


Pertama tentang krisis energi, saya yakin Teman-teman bisa langsung menangkapnya. Heyyyy persediaan minyak bumi makin menipis sementara kendaraan makin menjamur! Lama-lama, minyak kita akan habis untuk memodali perjalanan, bukan memodali industrialisasi dan pembangunan. Bagaimana kita akan mengejar ketertinggalan dari negara maju dan melepaskan status keberkembangan kita jika industrialisasi kita makin kalah dengan bensin?


Langkanya minyak bumi juga akan membuat industri kita makin tidak dapat bersaing dengan produk impor bawaan pasar bebas karena harga produksi kita terlalu mahal. Tentu kita semua sudah mengetahui bahwa harga bahan bakar minyak untuk industri lebih tinggi daripada harga bahan bakar untuk konsumsi pribadi, padahal saat ini kita belum memasuki babak KRISIS energi. Nah, bayangkan saat kita telah memasuki fase tersebut: Harga minyak bagi industri semakin mahal, harga jual produk mereka pun menjadi tinggi, mereka pun menjadi tidak efisien, lalu akhirnya mereka kalah oleh MNC dan produk impor.


Hasilnya? Pengangguran meningkat.


Lalu tentang global warming. Masalah ini terlalu klasik. Semua sudah tahu. Aktivitas pelepasan CO2 yang berasal dari kendaraan jelas akan mengantarkan kita pada kekacauan iklim. Siapa yang rugi? Banyak! Banjir bisa menghancurkan rumah, menghanyutkan tambak, menenggelamkan sawah, dan lain sebagainya. Itu baru banjir. Korbannya tidak hanya manusia sekawasan lokal, tapi bisa nasional. Ketahanan pangan terancam! Makanan menjadi barang langka. Akhirnya? Makin banyak kasus kekurangan gizi, manusia Indonesia tidak beranjak cerdas, pembangunan terhambat.


Lalu pengurangan umur jalan. Dengan meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas dan ditambah pula berat mereka yang luar biasa subhanallahnya, maka sudah pasti umur jalan tidak sesuai dengan umur yang diproyeksikan para insinyur. Biaya perawatan dan perbaikan jalan pun makin besar. Dana pembangunan kita berkurang untuk memperbaiki jalan raya yang belum waktunya rusak. Ckckckckkck.


Ketidaktertiban lalu lintas melengkapi daftar penderitaan bangsa. Nembak SIM itu korupsi lho! Percuma, dong tipi-tipi zaman sekarang membuat konstruk yang buruk tentang korupsi jika ternyata kita sang pemirsa yang suka sok ngerti dan ikutan emosi atas korupsi nggak jauh beda perilakunya sama contoh buruk yang dipaparkan tipi. Masalahnya bukan lagi pada doktrin bahwa korupsi itu dosa, tapi korupsi ujian SIM itu pada akhirnya akan membahayakan keselamatan kita di tengah jalan raya yang sangat ramai dan hampir rusak. Para pengguna jalan raya yang diwajibkan memiliki SIM merupakan angkatan produktif Indonesia, jika mereka sampai mengalami kecelakaan, roda kehidupan Indonesia akan terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan. Kita harus sadar, Teman-teman, bahwa ujian SIM adalah salah satu cara dari negara untuk melindungi kita, sang angkatan kerja produktif. Dengan adanya SIM, negara menilai seseorang telah mampu untuk mengatasi cobaan di jalan raya yang begitu ganas. Kalau nggak lulus, berarti kita memang belum mampu menghadapi cobaan tersebut. Kalau begitu, jangan memaksa. Kita harus belajar lagi sampai akhirnya lulus ujian SIM.


Yah, permasalahan jalanan ini sering kita anggap enteng, padahal dari jalan raya, malapetaka bisa dimulai. Selain itu, disadari atau tidak, kita juga, lho yang memberi sumbangsih pada kiamat beberapa tahun mendatang. Wih. Berattttt. Kalau kita mau kehidupan di dunia ini tetap menyenangkan, ayo kita ubah perilaku kita di jalan raya! Kalau nggak butuh-butuh amat, jangan beli kendaraan baru, nggak peduli Teman-teman sekaya apa dan kredit kendaraan segampang apa. Lalu, jangan konsumtif karena kekonsumtifan Teman-teman bisa mengundang lebih banyak lagi truk yang melintasi Jatinangor. Daaaan terakhir, ayo kita ujian SIM! No nembak , please…..Semua untuk keselamatan kita kok!


Ark, Jan’10.

Jreng Jreng Jreng…..Januari!

Selamat Tahun Baru, semuaaaaaa pembaca anaksawahmainkekota!!!

Sudah lama sekali ya nampaknya saya nggak ngasih kabar ke dunia maya… Hmmmm… Alasannya masih sama, waktu yang saya punya ternyata nggak cukup untuk mengerjakan semua hal yang sudah saya mulai. Yah, hasilnya ya begini, blog yang tahun 2010 ini berumur 4 tahun pun menjadi korban keterbengkalaian.

Eh, tapi tenaaaangggg, setelah bersibuk-sibuk ria sepanjang tahun 2009, saya udah bikin resolusi untuk 2010 ini. Apakah resolusinya? Jeng jeng…..menyempatkan diri melakukan hal-hal yang dulu sudah membesarkan saya tapi sempat saya tinggalkan karena ada urusan baru. Huffff. Sebagai bukti keseriusan, saya sudah memutuskan untuk meninggalkan beberapa hal yang cukup menyita waktu, hati, pikiran, dan tenaga lalu menggantinya dengan hal yang…yahhhh…hmmmm….secara materi dan secara jangka pendek, mungkin nilainya kalah dibanding nilai hal-hal yang saya tinggalkan, tapi secara batin dan dalam jangka panjang, hal-hal pengganti ini begitu membahagiakan, melegakan, dan bernilai sangat tinggi!

Menulis, itu yang utama. Nulis di blog kek, di kertas bekas bungkus cengek kek, di tembok kek, kalau perlu juga di atas batu lah. Haha. Wow. Sudah lama sekali saya nggak nulis hal-hal yang nggak berbau tugas.

Selain menulis, ada juga membaca! Selama setahun lalu, saya udah nimbun fotokopian buku lumayan banyak tapi belum sempat ditamatin semua. Nah, berhubung tahun 2010 ini menurut Mama Loreng merupakan Tahun Membaca, maka saya harus ikut tren itu. Membaca! Bukankah buku adalah gudang ilmu?

Habis itu, saya juga pengen punya waktu untuk libur! Bheuh, sepanjang tahun 2009, hal yang paling langka dan mahal adalah LIBUR! Bahkan sering banget saya masih harus berkeliaran di jalan raya pada hari Minggu. Wets, bukan dengan delman tentunya. Bukan pula dengan ayah saya. Ayah saya nggak suka ke kota naik delman istimewa, apalagi kalau saya sampai duduk di muka. Udah nggak terhitung sudah berapa Minggu saya lewatkan bersama motor saya.

Berbicara tentang liburan, saya jadi ngerasa cupu abis. Hmmm. Kayaknya saya punya terminologi liburan yang berbeda dari teman-teman saya. Bagi saya, liburan adalah tidur. Kalau jalan-jalan, bukan liburan namanya. Jalan-jalan malah bikin capek. Liburan ya liburan, jalan-jalan ya jalan-jalan. Dari kecil emang jarang jalan-jalan sih, lagian saya juga males jalan-jalan sama keluarga. Hehe. Selain itu, emang selama berhari-hari kuliah, kerja, dan jadi panitia, badan itu capeeeeeeeee banget, jadi saya lebih butuh tidur daripada jalan-jalan. Jalan-jalan itu cape. Mana jalan-jalan ngabisin duit pula. Hehehe. Mau naik angkot kek, naik motor kek, nebeng mobil temen kek, mau ditraktir kek, pasti keluar uang banyak. Gila aja. Gaji ngajar saya berjam-jam harus habis di tangan makanan dan bensin. Huhu.

Makanya rada bingung juga waktu temen saya dari Surabaya bilang mau ke Bandung. Sebagai tuan rumah yang baik, saya tentu akan menjadi guide-nya, tapi bingung, mau di-guide-in kemana yak….Saya cuma tahu Tangkuban Perahu, Kawah Putih, Dago Pakar. Itu juga cuman tahu nama doang, gatau jalan ke sana naik apa, hehehe. Kalau saya main sama temen-temen SMA juga nongkrongnya ga jauh-jauh dari sekitar SMA 3, BIP, Dago, Braga. Jhahhhh. Cupu yak. Iya emang. Ya tapi begimana, emang nggak suka jalan-jalan, udah capeeee. Tidur is always okeh. Nah, punya lebih banyak waktu untuk tidur adalah resolusi ketiga saya.

Lagipula, daripada saya menghabiskan waktu untuk jalan-jalan, bukankah lebih baik saya mengurusi blog ini saja? Selama berbulan-bulan tersumbat di dunia nyata, sebenarnya ada banyak hal yang pengen saya bagi di dunia maya. Dari mulai pelebaran jalan Jatinangor yang memancing pergerakan ekonomi antarpropinsi, terus tekanan perdebatan dan politik di lingkungan hima yang nggak kalah mengguncangkan seperti kasus @$@$%^%&**^*(&^@(^@^)#^%#*%#*&^((*(!( yang bisa kita santap dari tipi setiap hari, setiap waktu, setiap saat, setiap payung sebelum hujan, yah setiap-setiap kapan pun Anda inginkan, bahkan setiap Anda tidak ingin pun, kasus tersebut selalu mengitari, trus perilaku pengendara kendaraan bermotor yang makin jauh dari etika berdisiplin lalu lintas, trus tentang tema ASEAN yang makin merajalela dimana-mana padahal waktu tahun 2006 ASEAN masih dipandang nggak penting –soalnya mereka nggak tau, atau juga masalah hilangnya Pasar Unpad, wah banyaklah pokoknya! Nanti saya bagi-bagi sedikit-sedikit deh. Maaf nggak bisa banyak-banyak, energi sudah makin langka nih, Saudara-saudara!

Nah, di bawah post tulisan ini Teman-teman bisa melihat sisi lain saya yang serius. Hahaha. Mau bagi-bagi dikit ah yang bagian serius. Biasanya di sini nulis tema serius tapi sok-sokan diasik-asikkin. Biar nggak bosan. Hahha. Tapi jadi bingung, ini blog jadinya campur-campur dong kalau gitu, nggak ada tema sentral yang membawa satu pesan khusus gituh. Haha. Eh, tapi jangan salah, justru ini yang diamanatkan oleh nama anaksawahmainkekota. Anak sawah artinya sejak saya pindah ke negara Cileunyi tercinta yang loh jinawi ini, saya diitari oleh sawah. Waktu saya SD, sawah, kebun, dan sungainya keren nih. Nah, sejak saya SMP, saya sekolah di kota, tepat banget di jantung kota. SMPN 7 di Jalan Ambon dan SMAN 3 di Jalan Belitung, di pusat peradaban. Nah, selama saya sekolah di Bandung, saya menganggap perjalanan saya adalah jurnal yang nggak jauh beda sama main. Saya dapat banyak pelajaran dari hal-hal yang saya lihat selama di kota, baik saat pukul 06.30-13.00 di sekolah maupun saat 1-2 jam perjalanan berangkat dan pulang. Nah, kondisi itu nggak jauh berbeda waktu saya kuliah. Yang beda adalah Jatinangor bukan di kota. Tapi, saya nggak mungkin ganti nama blog jadi anakswahmainkedesa. Satu, malu. Dua, ntar pada kehilangan jejak lagih. Hahaha. Nah, makanya saya nggak bakal merasa bersalah naro segala macam tema dan gaya bahasa di sini. Hey, ini semua adalah hal-hal yang saya temukan selama main! Bahkan saya sendiri pun nggak bisa menduga besok bakal nulis apa untuk blog ini. Hanya Allah yang Maha Tahu. Hehehhehe.

Huffff. Okai. Saya sudah memulai tahun 2010 ini dengan resolusi dan memori tentang apa yang sudah saya temukan selama hidup sebagai anak jalanan, kalau begitu, mari realisasikan resolusi tersebut!!!!

Hapi reading all!

Terima kasih karena masih sayang sama anaksawah!




Ark, Jan’10.

Globalisasi : Malaikat Pencabut HAM Buruh




Buruh migran dan korporasi multinasional merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan saat kita membahas globalisasi. Mereka pun tak hanya sekedar menjadi identitas unsur-unsur globalisasi, tapi juga sebagai potret tarik-menarik nilai-nilai universal globalisasi mengenai pasar bebas dan HAM yang ternyata sampai saat ini masih dimenangkan oleh pasar bebas. Sepertinya negara lebih suka menyejahterakan rakyatnya melalui nilai uang ketimbang penegakan HAM.

Buruh di Pusaran Pasar Bebas

Buruh, baik buruh migran maupun buruh MNC, merupakan pihak yang paling rawan dirugikan dalam era pasar bebas.

Pertama, buruh migran. Hampir semua buruh migran merupakan orang-orang yang berasal dari pendidikan dasar. Mereka hanya merupakan pekerja tak terdidik dan tak terlatih. Sektor yang mempekerjakan mereka kebanyakan sector domestic. Kesulitan bermula dari sini. Dengan bekerja di sector domestic yang privat, negara sulit mengawasi pelanggaran yang mereka derita, penyiksaan fisik dan gaji yang tidak dibayarkan misalnya. Berharap pada hukum internasional juga sulit. Satu, hukum internasional memang mengakui individu sebagai subjek hukumnya, namun penuntutan masih harus dilakukan atas nama negara dan atas tindakan yang mengafeksi negara. Dua, para buruh migran yang hanya merupakan lulusan pendidikan dasar dan tinggal di kawasan rural kebanyakan buta hukum, ditambah lagi perusahaan penyalur mereka tidak memberikan pemahaman hukum yang memadai. Kebutaan mereka akan hukum membuat mereka tidak peka ketika mereka sedang dirugikan dan memiliki alasan kuat untuk meminta perlindungan hukum. Tiga, yang paling utama, negara-negara yang aktif melakukan transaksi penyaluran tenaga kerja tersebut sama-sama tidak terikat pada konvensi perlindungan tenaga kerja. Tanpa jaminan hukum, posisi mereka sangat rawan. Di negara tamu, mereka disiksa, dan di negara asal, mereka minim mendapatkan jaminan dan bekal perlindungan.

Kedua, buruh MNC. Kerawanan mereka terutama bersumber dari dua hal. Satu, dari kebandelan MNC yang betah memberikan status pegawai kontrak bagi mereka meski pemerintah negara tamu telah menetapkan peraturan pemberian status pegawai tetap bagi para buruh. Kebandelan MNC ini tentu saja meletakkan buruh sebagai pihak yang rawan kehilangan pekerjaan. Dalam suatu kondisi khusus, MNC bisa hengkang dengan tenang dari negara tamu saat ia merasa bahwa negara tamu tersebut tidak lagi menguntungkan bagi jalannya perusahaan tanpa memikirkan tunjangan dan pesangon bagi buruh yang ia tinggalkan. Lalu, selanjutnya kerawanan kedua. Kerawanan ini bersumber dari posisi para buruh sebagai salah satu factor produksi yang keberadaannya dianggap tak berbeda dari benda. Buruh tidak dianggap sebagai manusia yang di belakangnya berdiri sekumpulan anggota keluarga yang memiliki kebutuhan ekonomi sekaligus tertekan karenanya. Dalam posisinya sebagai sekedar factor produksi, apabila sang produsen merasa bahwa harga produksi terlalu mahal, produsen tersebut bisa dengan ringannya mengelak dari kewajiban upah minimum pekerja dan memberikan upah semampu produsen. Bahkan, bila produsen merasa bahwa mekanisasi lebih murah, mereka akan memihak pada mekanisasi dan mengurangi jumlah buruhnya.


Kerawanan Negara

Jika diagregasikan, kerawanan buruh migran dan buruh MNC tersebut sudah pasti menjadi kerawanan negara yang bersangkutan. Dalam istilah yang sarkastik, kerawanan tersebut sudah mulai mengarah pada penurunan harga diri negara. Dalam hal buruh migran, kerawanan mereka pada bidang perlindungan hukum akan menempatkan negara pada kondisi yang tidak lagi dipercaya rakyatnya. Di negeri sendiri, pemerintah tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan, di negeri lain pun pemerintah terkesan lepas tangan. Begitu pula pada kasus buruh MNC. Kerawanan dalam kesejahteraan pekerja tidak hanya memperlihatkan bahwa pemerintah tidak hanya tak bisa melindungi rakyatnya dari kesemena-menaan kapitalis, tapi juga pemerintah tidak bisa melindungi sumber dayanya dari eksploitasi secara langsung dan besar-besaran dari negara core.

Seharusnya, negara-negara yang tidak hanya diisi oleh buruh migran dan buruh MNC ini sadar bahwa mereka sedang berada dalam posisi dirugikan. Kesadaran tersebut seharusnya pula membawa mereka pada pertimbangan pembuatan kebijakan yang mampu mengatasi kerawanan tersebut. Tapi nyatanya, pemerintah negara-negara yang rata-rata berstatus negara berkembang ini bermental seperti para buruh migran dan buruh MNC-nya. Mereka bermental nrimo alias pasrah terhadap kondisi yang mereka hadapi. Bisa jadi karena memang bargaining position negara-negara berkembang yang membutuhkan pembangunan ini sama lemahnya dengan bargaining position para buruh migran dan buruh MNC yang tidak dilindungi negara saat sudah berhadapan dengan angka-angka ekonomi. Miris sudah kondisi keduanya.


Indonesia : Membela Siapa ?

Globalisasi sebenarnya tidak semata-mata memberikan kemirisan. Di satu sisi, ia memang mempermudah hisapan negara core kepada negara periphery, namun di sisi lain, globalisasi sebenarnya menyebarkan nilai-nilai universal mengenai perlindungan terhadap individu. Globalisasi sebenarnya memiliki misi pula untuk mengajak negara-negara menggeser terminology keamanannya menuju keamanan individu. Globalisasi sebenarnya ingin melindungi individu murni sebagai individu. Nah, permasalahannya, pesan kedua dari globalisasi ini merupakan pesan yang sulit dipenuhi oleh negara. Indonesia, contohnya.

Dari kekurangmampuan pemerintah Indonesia memfasilitasi rakyatnya untuk tetap bekerja di dalam negeri sehingga rakyatnya terpaksa mencari penghidupan di negara lain atau di negeri sendiri namun dengan upah dari korporasi multinasional; dari kebijakan-kebijakan perlindungan bagi buruh migran dan buruh MNC yang lemah, dengan berat hati, nilai yang bisa kita ambil dari sana adalah pemerintah Indonesia masih terjebak pada janji manis globalisasi yang dalam beberapa waktu mendatang akan menjadi boomerang menyakitkan. Indonesia masih menyandarkan keamanannya dalam skala nasional, belum pada level individu.


Pelanggaran HAM dibalas Kenaikan Upah


Setidaknya ada dua kecacatan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam melindungi buruh migrant.

Pertama, Indonesia belum meratifikasi UN Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of Their Families padahal konvensi ini merupakan konvensi kunci bagi kuatnya perlindungan buruh, baik legal maupun illegal, dan anggota keluarganya. Dengan meratifikasi konvensi ini, buruh migrant akan memiliki kebebasan berserikat, asuransi, fasilitas pengacara, dan yang paling penting, perlindungan penuh dari negara asal serta jaminan ketiadaan pelanggaran HAM dari pengguna jasa di negara tujuan. Dalam Tempo Interaktif 1 Desember 2009 lalu , Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Muhaimin Iskandar mengisyaratkan ratifikasi Konvensi Buruh Migran 1990 masih dua tahun lagi. Menurutnya, pemerintah masih terpaku untuk menyamakan presepsi antardepartemen, meski sudah ditandatangi sejak era Presiden Megawati dan masuk dua kali Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut Muhaimin lagi, mereka perlu menyiapkan diri dan mematangkan kerangka infrastruktur yang harus disediakan konvensi ini. Selain itu, ke-14 negara tujuan pengiriman buruh migran Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.

Menilik pada alasan pertama, alasan tersebut logis sebenarnya, mengingat peratifikasian memiliki konsekuensi yang cukup berat, namun pada alasan kedua, Indonesia terlihat sangat pasif, hanya menunggu inisiatif dari negara penerima sementara kebutuhan perlindungan buruh migran sudah sangat mendesak. Lihat saja berbagai kasus yang sepanjang tahun 2009 lalu sangat mencengangkan. Ya, negara penerima buruh migrant memang perlu diikat dalam konvensi tersebut karena pelanggarannya terhadap HAM buruh migrant, namun menunggu mereka tanpa bergerak juga tak dapat dibenarkan. Satu, konvensi tersebut memberikan akses lebih besar bagi negara asal untuk melindungi rakyatnya yang menjadi buruh migrant, baik ia buruh legal maupun illegal. Meski negara penerima belum meratifikasi konvensi tersebut, buruh migrant setidaknya sudah memiliki perlindungan yang besar dari negara asal karena posisi negara asal dalam memberikan perlindungan sudah lebih kuat. Hal itu akan lebih baik ketimbang kedua negara belum meratifikasi sehingga keduanya bisa lepas tangan atas pelanggaran HAM yang dialami buruh migrant. Dalam kondisi kedua negara belum meratifikasi konvensi tersebut, buruh tidak memiliki perlindungan dari siapa-siapa.

Kecacatan kedua, ada kejanggalan saat Indonesia berupaya memberi perlindungan buruh migrant tanpa melalui ratifkasi Konvensi 1990. Janggal saja saat sebuah negara berusaha menjadi pelindung bagi rakyatnya namun sebenarnya perlindungan tersebut tidak menyentuh kebutuhan sebenarnya dari sang rakyat. Kejanggalan pertama, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Permasalahannya tidak hanya terletak pada keterbatasan undang-undang ini yang sekedar mengatur tata cara penempatan buruh migrant Indonesia dan menjelaskan bahwa buruh migrant Indonesia memiliki hak-hak yang dilindungi negara Indonesia atas penempatannya di luar negeri, tapi juga pada kecilnya peran Indonesia sebagai negara asal dalam melindungi buruh migrant yang tak lain adalah rakyatnya. Kecilnya peran pemerintah Indonesia tersebut terlihat dari ketatnya peraturan administrasi pergerakan buruh migrant yang ditetapkan pemerintah Indonesia seperti mereka wajib memiliki dokumen lengkap dan wajib melaporkan kedatangan dan kepulangan mereka namun dalam surat perjanjian yang dibuat buruh, pemerintah tidak ikut terlibat kecuali apabila buruh tersebut dipekerjakan di sector kepemerintahanan juga. Pada sector domestic dan swasta, pengurusan perlindungan terhadap buruh migrant dilimpahkan kepada perusahaan perekrut. Posisi perusahaan perekrut jelas tidak kuat dan tidak pula mampu menghentikan tindakan-tindakan pelanggaran HAM dari pengguna jasa buruh migrant.

Kejanggalan berikutnya adalah ketika pemerintah Indonesia mengupayakan perundingan bilateral dengan Malaysia sebagai negara penerima buruh migrant Indonesia. Perundingan tersebut membahas usulan memperbolehkan TKI memegang sendiri paspor mereka, memberikan hak cuti sehari dalam seminggu, transparansi kontrak kerja dan deskripsi kerja yang jelas, kenaikan gaji dan perlindungan kepada TKI, penghapusan penempatan secara individu, dan penegakan hukum bagi majikan yang memakai TKI ilegal. Dari keenam usulan pihak Indonesia tersebut, pihak Malaysia hanya menyetujui tiga poin, yakni paspor yang diserahkan kepada TKI, libur sehari dalam seminggu, dan adanya kenaikan skala gaji . Dalam poin kenaikan gaji, pihak Indonesia mendesak Malaysia untuk menaikkan gaji TKI tersebut menjadi kisaran 650 ringgit–800 ringgit atau Rp1,8 juta–2,4 juta . Malaysia sendiri masih bertahan dengan nilai 600 ringgit. Banyak pihak yang mengkritik perundingan tersebut. Kritikan tersebut senada dengan kritik penulis.

Bagi penulis, perundingan tersebut kecil sekali menyentuh persoalan utama yang dialami oleh buruh migrant. Perundingan tersebut memang sudah membahas kebutuhan buruh migrant, namun penekanan perundingan pada kenaikan gaji sepertinya bukan masalah yang krusial bila dibandingkan dengan perlindungan HAM yang minim. Kasus-kasus yang selama ini menimpa buruh migrant bagi penulis merupakan kasus yang erat kaitannya dengan HAM. Penyiksaan fisik, ketiadaan kesetaraan hukum saat buruh migrant melakukan tindak pidana di negara tujuan, dan penahanan gaji jelas merupakan pelanggaran HAM yang seharusnya menjadi konsentrasi utama negara. Untuk apa meminta peningkatan upah jika pada akhirnya upah tersebut malah tidak dibayarkan? Untuk apa upah yang tinggi bila sang buruh harus menanggung luka-luka bekas setrika?

Permasalahan pelanggaran HAM yang diderita buruh migrant sebenarnya telah mengemuka sejak tahun 2007 pada saat Sidang Sessi ke 4 Dewan HAM PBB di Geneva dalam sesi pemaparan laporan kunjungan UN Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants ke Indonesia, Prof DR Jorge Bustamante . Bustamante mengemukakan bahwa kondisi buruh migran Indonesia berada pada situasi yang rentan, dan bahkan dia juga menyatakan telah ada pelanggaran hak asasi manusia terhadap buruh migran Indonesia. Kenyataan kerentanan HAM buruh migrant yang hanya direspon pemerintah Indonesia dengan pembagian peran pelindung antara negara dengan perusahaan penempatan TKI serta penekanan kenaikan upah buruh migrant jelas merupakan kejanggalan. Kejanggalan yang menggelikan.


World is Flat, SKB 4 Menteri, dan Buruh MNC

World is Flat yang ditulis Friedman merupakan rujukan yang penting dalam memahami kejayaan ekonomi global. Dalam bukunya ini, Friedman menggunakan gaya bahasa yang ringan dan posistif sehingga mengonstruksi pemikiran kita akan manisnya globalisasi. Namun tunggu dulu hingga kita membaca kasus-kasus ketidakadilan yang menimpa buruh korporasi multinasional. Penjelasan manis Friedman tersebut akan langsung mengantar kita pada kepesimisan terhadap globalisasi. Kekuatan globalisasi yang dipaparkan Friedman ternyata merupakan factor yang mendorong pengeksploitasian terhadap buruh MNC serta penurunan perlindungan negara terhadap buruh MNC.

Friedman menyebut globalisasi yang saat ini mengitari kita merupakan globalisasi gelombang tiga. Menurut Friedman, globalisasi gelombang tiga ini merupakan globalisasi yang didominasi oleh individu. Melalui berakhirnya Perang Dingin dan majunya teknologi, individu dari berbagai belahan dunia memiliki pintu penghidupan ekonomi yang lebih besar. Mereka bebas berkompetensi dengan orang-orang yang berada di belahan dunia mana saja. Melalui globalisasi, kesempatan begitu besar terbuka di mata mereka. Namun, kesempatan besar bagi individu ini sebenarnya tidak semanis itu. Faktor pertama, perusahaan multinasional masih memegang kendali yang kuat dalam masa ini meski era kejayaannya sudah disebut Friedman pada globalisasi gelombang dua. Melalui outsourcing, offshoring, supply-chaining, dan insourcing, posisi perusahaan multinasional semakin kuat. Harga produksi atau biaya operasional yang tinggi di suatu negara akan langsung membuat mereka memindahkan operasinya dari negara tersebut dan meninggalkan buruh-buruh yang terlibat di negara awal. Beruntunglah bagi buruh-buruh yang tinggal di kawasan yang berbiaya produksi dan operasional rendah namun berproduktivitas tinggi. Sementara sisanya? Entah, mungkin menumpuk menjadi angka-angka statistik pengangguran di negara berkembang yang didata oleh World Bank. Kesempatan yang besar untuk bermain di level global akhirnya hanya akan melahirkan seleksi alam, yang terefisienlah yang akan menang.

Faktor kedua, kuatnya perusahaan multinasional sejak globalisasi gelombang dua sangat nyata melemahkan peran negara dalam menjalankan perannya sebagai pelindung rakyat. Dalam suatu artikel menarik berjudul Negara, MNC, dan Buruh, penulisnya mengatakan,
“Pada masa antara 1945-1980, buruh menikmati perlindungan dari negara. Tetapi hal itu kemudian berubah….David Korten dalam bukunya When Corporations Rule the World (2001) dengan jelas dan gamblang melukiskan sepak terjang MNC di yang membuat negara Dunia Ketiga kewalahan menyusun kebijakan yang menguntungkan rakyatnya…Perusahaan tingkat nasional dengan skala yang lebih kecil tidak mungkin bersaing dengan mereka. Apa yang terjadi kemudian malah bersaing satu sama lain untuk memperoleh order dari MNC sebagai bagian dari strategi outsourcing. ”

Pelemahan peran negara juga terjadi ketika perusahaan multinasional tersebut memberikan pilihan yang sulit bagi negara antara hengkanganya perusahaan yang berujung pada PHK massal atau penentuan upah minimum buruh yang sesuai dengan kemampuan perusahaan multinasional.

Kasus tersebut terjadi di Indonesia tahun 2008 lalu. Posisi Indonesia? Tentu saja lebih memilih menjaga kestabilan jumlah angkatan kerja dengan bermanis-manis dengan perusahaan lewat Surat Keputusan Bersama Empat Menteri. Sepertinya pemerintah Indonesia lebih senang dalam menangani protes buruh ketimbang menghadapi tekanan perusahaan multinasional.
Pasal-pasal dalam SKB Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang diprotes buruh tersebut di antaranya,
  1. Pasal 2 huruf a : Konsolidasi unsur pekerja/buruh dan pengusaha melalui forum LKS tripartit nasional dan daerah serta dewan pengupahan nasional dan daerah agar merumuskan rekomendasi penetapan upah minimum yang mendukung kelangsungan berusaha dan ketenangan bekerja dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional.
  2. Pasal 2 huruf b : Upaya agar gubernur dalam menetapkan upah minimum dan segala kebijakan ketenagakerjaan di wilayahnya mendukung kelangsungan berusaha dan ketenagakerjaan dengan senantiasa memperhatikan kemampuan dunia usaha khususnya usaha padat karya dan pertumbuhan ekonomi nasional
  3. Pasal 3 : Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional (Namun kemudian pasal ini direvisi menjadi : Gubernur dalam menetapkan upah minimum diupayakan memperhatikan tingkat inflasi di masing-masing Daerah).

Menanggapi SKB tersebut, buruh ramai memprotes. Mereka mengerti bahwa pilihan yang diambil pemerintah untuk memihak keinginan perusahaan sebenarnya untuk melindungi mereka juga. Tentu lebih baik demikian daripada perusahaan-perusahaan tersebut memecat para buruh karena tidak kuat menanggung biaya produksi yang tidak sebanding dengan pemasukan di tengah krisis global. Namun, mereka mengkhawatirkan kelicikan perusahaan-perusahaan yang menggunakan SKB 4 Menteri tersebut untuk memanipulasi upah yang diterima buruh. Apalagi, SKB ini tidak jelas memuat kondisi seperti apa yang dijadikan syarat pemberlakuan dan pemberhentian SKB. Penetapan upah yang diserahkan pada pihak perusahaan tanpa ada campur tangan pemerintah ini tampak berlaku untuk selamanya meski suatu saat nanti keadaan ekonomi telah membaik. Bila menghubungkan SKB ini dengan penjelasan Ronaldo Munck dalam Globalisation and Labor, ketetapan SKB 4 Menteri tersebut mengukuhkan keberadaan sistem Labour Flexibility Market (LFM) yang meliputi :
  1. 1. External numerical flexibility: jumlah pekerja disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  2. 2. Externalisation: sebagian dari pekerjaan perusahaan diserahkan kepada sub-kontrak
  3. 3. Internal numerical flexibility: jam kerja dan kerja itu sendiri disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  4. 4. Fuctional flexibility: jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha
  5. 5. Wages flexibility: upah kerja disesuaikan dengan produktivitas dan situasi pasar

Pada era globalisasi gelombang ketiga saat ini, negara-negara benar-benar dijauhkan dari rakyatnya sehingga negara pun tidak lagi melindungi HAM buruh. Entah kata tidak melindungi tersebut disebabkan karena apa. Apakah karena tidak berdaya atau tidak mau. Apapun itu, buruh sudah murni dianggap sebagai individu yang harus survive sendirian meski secara administratif ia terdaftar di dalam dokumen kependudukan negara yang seharusnya berhak mendapat perlindungan negara.


HAM yang Makin Menghilang

Buruh migrant dan buruh MNC merupakan potret paradoksal dari globalisasi. Di satu sisi, globalisasi menyebarkan nilai-nilai perlindungan HAM bagi setiap individu, namun di sisi lain, globalisasi mengecilkan peran negara yang selama ini dijadikan tumpuan perlindungan HAM.

Globalisasi yang terjadi sekarang bagi penulis merupakan globalisasi yang belum direspon secara sempurna oleh semua pihak, baik negara, buruh, maupun korporasi multinasional. Menyadari peran negara saat ini makin kerdil dalam lalu lintas globalisasi, negara tidak berusaha memperpanjang keinginannya untuk mengatasi hal tersebut. Belum diratifikasinya konvensi buruh hingga sepuluh tahun ini oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi buruh migran merupakan ketidakpekaan negara atas konsekuensi globalisasi. Ketidakpedulian korporasi multinasional akan nilai-nilai kemanusiaan buruh yang mereka pekerjakan demi kelangsungan hidup perusahaan juga merupakan tindakan tak bertanggung jawab atas globalisasi yang mereka ciptakan. Tindakan dari negara dan korporasi multinasional tersebutlah yang menjadi sumber buramnya potret globalisasi di mata buruh. Amanah penghargaan HAM yang diusung globalisasi pun akhirnya hanya menjadi amanah usang di hadapan angka ekonomi. Globalisasi telah merengut nyawa kemanusiaan manusia. Manusia pun dianggap tak ubahnya seperti barang.




Ark, Jan'10


ASEAN, Kunci Perdamaian Asia Tenggara

Setiap kali ada deadline nulis dari STAIr, pasti kelabakan. Cuma dikasih waktu seminggu dua minggu doang! Haha. Edisi STAIr yang paling anyar akan mengangkat tema tentang perdamaian. Hmmmm. Berhari-hari jugkir balik di kasur dan di depan laptop dengan niat nyari ide yang out of the box akhirnya mendamparkan saya kembali pada tema yang nggak jauh-jauh dari kehidupan saya sehari-hari, ASEAN. Cekidot.

Pernah meragukan keyakinan kaum liberal bahwa kerja sama adalah kunci bagi perdamaian?

Keyakinan kaum liberal bahwa kerja sama adalah salah satu kunci bagi terciptanya perdamaian dapat kita buktikan di Asia Tenggara melalui kerja sama yang kita kenal dengan nama ASEAN. Seperti yang selalu ditekankan oleh mantan Menteri Luar Negeri RI, Hasan Wirayuda, saat kita membicarakan perdamaian di Asia Tenggara, mau tak mau kita akan membicarakan ASEAN. Ibaratnya, ASEAN dan perdamaian di Asia Tenggara adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Eratnya ASEAN dengan perdamaian bukan lahir tanpa alasan. Sejak awal, ASEAN memang dibentuk untuk menciptakan perdamaian. Bagi Indonesia, tanpa adanya perdamaian, mustahil kita mencapai kemakmuran. Namun mustahil pula kita meraih perdamaian jika kita hanya berjuang sendiri. Kita membutuhkan negara-negara lain untuk bersama-sama menciptakan perdamaian. Keinginan ini makin menguat saat memasuki dekade 60'an. Akhirnya, setelah diplomasi intensif dilakukan oleh Adam Malik dan direspon oleh berbagai masukan dari empat negara lain, di Bangkok, 8 Agustus 1967 bersama-sama Narcisco Ramos, Rajaratnam, Tun Abdul Razak, dan U Thant, Adam Malik mendeklarasikan Association of Southeast Asian Nations.

Saat pertama berdiri, ASEAN belum menjadi organisasi seperti yang kita kenal sekarang. Belum ada sekretariat khusus, kedudukan sekjen belum setingkat menteri, belum ada konferensi tingkat tinggi, belum ada piagam, dan tentu masih ada perbedaan-perbedaan persepsi yang tajam mengenai suatu isu di tiap negara anggota. Terlebih lagi, Asia Tenggara masih seolah-olah terbagi dua antara ASEAN five (pendiri ASEAN) dan Indochina. Itu dalam bidang politik. Dalam bidang ekonomi, ASEAN juga masih memiliki hambatan. Intratrade bukanlah suatu tren karena lima negara anggota ASEAN memiliki keadaan geografis yang tak jauh berbeda sehingga mereka memproduksi barang yang sama.

Namun nyatanya, struktur yang longgar, perbedaan persepsi ancaman dan perdamaian, dan minimnya aktivitas ekonomi di antara mereka tidak menjadikan ASEAN mati di tengah jalan. Pada akhir dekade 70'an hingga akhir 80'an ASEAN setahap demi setahap mulai melakukan spill-over hingga akhirnya, pada hari ini ASEAN sedang bersiap menjadi sebuah komunitas.

Perkembangan ASEAN yang positif dari tahun ke tahun itulah yang membuktikan bahwa ASEAN berhasil merealisasikan cita-cita perdamaian serta stabilitas kawasan yang dirumuskan founding fathers-nya empat puluh dua tahun lalu. Tanpa menjadi suatu aliansi keamanan, ASEAN mampu menghadirkan perdamaian sehingga rakyat Asia Tenggara tidak terancam oleh adanya peperangan meskipun masih ada beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan rumah ASEAN seperti permasalahan perbatasan, sumber daya alam bersama, pekerja imigran, dan perlindungan hak milik. Ada benarnya jika kita menyimak poin yang diungkapkan oleh Ben Perkasa Drajat, salah seorang yang berkonsentrasi terhadap ASEAN, "Jangan mempertanyakan mengapa masih ada konflik di Asia Tenggara meski telah ada ASEAN. Kita harus mengubah cara pandang kita menjadi bagaimana keadaan di Asia Tenggara jika tidak ada ASEAN."

Ya, tanpa ASEAN, perbedaan-perbedaan pandangan rawan berkembang menjadi konflik besar. Lihat saja di region lain. Lagipula, jika kita becermin terhadap sejarah ASEAN yang sedikit demi sedikit mampu menyelesaikan tantangannya, dari struktur yang sangat longgar menjadi mengikat dan signifikan melalui pemberian status jabatan Sekjen ASEAN setingkat dengan menteri, peratifikasian Piagam ASEAN, serta pengadaan KTT setahun dua kali, dari hambatan samanya produksi barang menjadi komitmen single base production, pendirian Badan HAM ASEAN, dan masih banyak lagi, tentu logis jika kita berharap bahwa pekerjaan yang belum terselesaikan akan segera ditemukan titik solusinya. Wajar juga bila kita berharap ASEAN sepuluh, lima belas, dua puluh, atau seratus tahun lagi akan menjadi ASEAN yang sangat besar dan tidak kita bayangkan pada hari ini. Perdamaian pun akan selalu hadir di Asia Tenggara, kawasan lingkar konsentris terdepan Indonesia.