Ada seorang murid yang dalam dua kelas saya, nilainya sangat baik dan beberapa hari lalu, dia minta tolong pada saya untuk memeriksa tugas esai dari sekolahnya. Saya baca sejenak esai yang ia tulis tangan tersebut dan yes, saya terkesima sekaligus bangga karena esai itu sangat sangat bagus. Bayangkan, seorang anak SMA bisa berbicara mengenai hegemoni budaya. Serius, dia menulis hegemoni budaya, suatu istilah yang baru saya dapatkan di semester tengah dan baru saya pahami saat saya semester enam di mata kuliah Studi-studi Budaya. Saya nggak punya pikiran buruk saat membaca esai itu, apalagi esainay ditulis tangan. Saya pikir, ini anak bacaannya gila banget, sih hebat. Saya malah berpikir, pantas saja nilai pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dia sangat baik, lha wong bahasanya sudah begini hebat.
Hmmm.
Namun dengan berat hati saya harus menarik kebanggaan saya tersebut dan menggantinya dengan perasaan sedih. Sedih beneran sedih. Ah, sedihlah pokoknya.
Setelah saya baca secara skimming untuk melihat apakah strukturnya sudah benar atau belum, saya mulai membaca dengan agak mendalam untuk memahami substansinya. Di awal-awal paragraf, saya mengangguk-angguk. Substansinya luar biasa. Nah, di paragraf tengah, saya mulai mengernyitkan dahi. Ada beberapa paparan yang ia kutip dari ahli tapi tidak menggunakan footnote ataupun running note. Tapi di situ saya masih menganggap dia hanya lupa saja. Saya bilang, "Nanti ini pakai running note ya, jangan lupa ditulis di daftar pustaka." Dia jawab, "Wah, harus pakai daftar pustaka, Bu?", saya jawab lagi, "Iya, dong, ini kan kamu pakai kutipan dari orang, jadi harus disebutkan sumbernya." Dia diam saja saat itu.
Saya baca lagi, baca lagi, baca lagi, dan saya masih merasa tulisan dia bagus. Karena tulisannya bagus, saya puji lagi kan, "Wah, serius nih, bagus banget poin-poin kamu. Bagus beneran bagus." Entah mungkin saya yang suudzan, tapi waktu saya puji itu, ekspresi mukanya sama sekali nggak bangga, dia malah nunduk.
Saya baca lagi..baca lagi..baca lagi..kemudian saya mengulangi lagi bacaan saya dari awal. Nah, di situ saya menemukan kejanggalan. Strukturnya yang sangat sempurna, dari mulai EYD, klausa, dan koherensi-kohesivitas antarkalimat dan antarparagraf serta kutipan-kutipannya, mau nggak mau membuat saya curiga. Saya percaya dia pintar, tapi kalau saya perhatikan, kutipan yang ia gunakan sama sekali bukan kutipan yang dipergunakan untuk memperkuat pendapatnya akan tema yang ia angkat dalam esai, melainkan kutipan yang ditempel karena sudah satu paket dalam satu tulisan. Bingung? Maksud saya, dia meng-copy paste seluruh tulisan itu. Saya recheck lagi sampai akhirnya saya yakin bahwa iya, itu bukan tulisannya, itu tulisan orang lain.
Dan hmmmm, entahlah saya sedih.
Saya nggak tahu siapa yang salah.
Mungkin dia nggak salah karena dia nggak tahu apa itu copy-paste. Mungkin dia nggak salah karena sebagai anak SMA, gurunya nggak ngasih pemahaman mengenai seperti apa sih esai. Giliran sudah masuk musim ujian praktek, barulah seluruh murid diminta membuat esai dengan asumsi bahwa membuat esai itu semudah merebus air di rice cooker. Guru itu lupa bahwa membuat esai bukan sekedar membuat tulisan dengan struktur yang efektif, melainkan mengomunikasikan gagasan hasil olah pikir yang tentu tidak hanya membutuhkan pengetahuan mengenai EYD dan Kalimat Efektif, tetapi juga pemikiran mendalam mengenai suatu isu. Oke, mari menyetujui bahwa menulis itu sama sekali bukan soal bakat, tapi latihan. Tapi latihan apa? Latihan membuat Kalimat efektif? Latihan menjadi Editor EYD? Bukan, kan? Latihan yang dimaksud entu latihan berpikir, latihan analisis, latihan memahami suatu isu, latihan membuka pikiran, yang semuanya tidak mungkin dibebankan pada beberapa jam pelajaran Bahasa. Ketika membuat esai itu menjadi tugas wajib, jelas kelimpunganlah anak-anak. Dorongan untuk mendapat nilai pun membuat mereka mengambil jalan pintas, mengambil karya orang lain dengan banal kemudian mengklaim karya itu sebagai karya sendiri. Mungkin guru-guru itu antara tahu dan pura-pura tidak tahu perihal copy paste itu. Mungkin kalaupun mereka tahu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi di situlah letak fatalnya. Anak-anak ini pun akan menganggap bahwa copy paste itu adalah tindakan wajar bila kita dipaksa deadline mengerjakan sesuatu yang tidak kita pahami. Mereka juga terbiasa untuk tidak berlatih berpikir. Dan akhirnya, proses pendidikan di sekolah pun hanya akan mencetak manusia-manusia yang gemar mengambil milik orang lain demi keuntungan pribadi.
Ark.Feb'12.