Membanjirnya Novel Remaja

Bandung, Desember 2005


Membanjirnya novel remaja di pasaran tak ubahnya seperti fenomena telepon genggam atau sinetron. Awalnya hanya satu dua saja setiap beberapa bulan, dan seiring dengan berlalunya waktu , jumlah yang dilempar ke pasaran makin tak terkendali.
Sekarang hanya tergantung pada kepintaran kita sebagai konsumen untuk memilih mana yang bagus dan tidak mengecewakan. Kadang ada yang dari lay out cover-nya bagus, atau judulnya menarik namun begitu kita menapaki lembar puluhan atau bahkan belasan, tak jarang kita yang menelan ludah sambil mengernyitkan dahi.
Tak selamanya yang banyak pilihan menunjukkan grafik meningkat. Ya, seperti novel-novel itulah, semakin banyak jumlahnya di pasaran, semakin menurun kualitasnya.
Dulu novel remaja yang ada di pasaran memang sedikit, namun dari segi cerita memang benar-benar menarik, bermutu, mendidik, dan sarat pesan, sekalipun itu adalah novel ringan.
Dari segi si penulis, si penulis itu memang sudah sangat berpengalaman malang melintang di dunia tulis-menulis. Pendek kata, dari segi penulis dan apa yang ditulis sudah sangat sangat bermutu.
Kini, coba perhatikan, dari sekian banyak novel yang ada di pasaran, hanya sedikit bukan yang ceritanya bermutu ? Bermutu dalam arti mendidik, sarat pesan, setting dan plotnya terkesan tidak ‘memaksa’, serta fokus ke inti cerita.
Apabila diperhatikan lagi, novel remaja kini menunjukkan suatu keseragaman tema. Keseragaman yang membuat bosan konsumen. Parahnya lagi, keseragaman ini malah merusak generasi muda kita. Aneh memang, generasi muda dirusak oleh generasi muda.
Percintaan di lingkungan sekolah yang diikuti oleh persaingan mendapatkan cinta, tak lupa dibumbui oleh harta kekayaan. Dari segi ending, kalau tidak berending sangat tragis, pasti berending tentang kesempurnaan hidup. Akhir adalah awal yang indah.
Persaingan mendapatkan cinta terbagi dalam dua sisi. Dari sisi tokoh wanita pasti menggambarkan kelicikan, kesewenangan, obsesi terlalu berlebihan, kemunafikan, adu mulut, tak lupa aksi balas dendam yang terkesan sadis.
Dari sisi tokoh pria, persaingan digambarkan dengan adu fisik, balapan motor, atau tawuran antar geng.
Dan lucunya, tokoh utamanya adalah remaja usia SMP-SMA.
Secara pribadi, saya heran dan tidak bisa menerima isi novel itu. Aneh, takjub. Selama ini, saya tinggal di lingkungan yang biasa saja, bukan lingkungan luar biasa seperti yang diceritakan novel-novel itu. Makanya saya juga agak bergidik ngeri, apakah separah inikah dunia di luar dunia saya ini ?
Akhirnya saya akhirnya tidak bisa memutuskan, apakah novel itu terinspirasi berdasar kehidupan  nyata atau cerita novel itu yang menginspirasikan kehidupan nyata remaja dewasa ini.
Saya sangat menghargai kebebasan berkarya dan menuangkan buah pikiran dalam tulisan. Mengarang adalah mengarang dengan segala kebebasan, imajinasi kitalah yang bermain. Dalam mengarang, kitalah yang menjadi raja, bebas menentukan takdir para tokoh. Namun yang saya sayangkan, mengapa khayalan para penulis muda kita ini sangat tinggi dan tanpa sadar dapat mempengaruhi kehidupan nyata serta mengarahkannya ke arah yang kurang baik, degradasi moral lah.
Apa yang menjadi pesan dalam tiap karya mereka, tak bisa saya temukan. Yang saya temukan hanyalah teriakan mereka agar orang dewasa tahu keinginan mereka, mengakui keberadaan mereka. Seolah-olah merea ingin menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh orang dewasa dapat juga mereka lakukan.
Para penulis muda kita ini seperti kehilangan identitasnya sebagai seorang pelajar. Pacaran, rebutan pacar, pembalasan dendam, bolos sekolah, pembangkangan terhadap orang tua, itulah yang selalu mereka tuangkan dalam tulisannya, apakah itu sikap seorang pelajar?
Sejauh ini saya belum menemukan novel remaja yang temanya di luar keseragaman, yang temanya mampu menggugah para remaja untuk berubah ke arah yang lebih baik. Kemana kreativitas mereka ?
Satu novel laris di pasaran, diangkat menjadi film atau sinetron, langsung berbondong-bondong novel dengan tema sama, alur sedikit berbeda masuk ke pasaran. Berharap mendapat hoki yang sama.
Inilah yang menyebabkan kreativitas remaja kita terkungkung, keinginan mendapat hoki, keinginan menyabet pasaran. Sekalipun itu merusak moral.
Ingat, penulis juga sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan moral. Tulisan para penulis bisa menjadi doktrin bagi para pembacanya. Ingat tidak ketika kalian masih duduk di bangku TK, kalau ada cerita, misalnya kelinci dijauhi teman-temannya karena ia pelit, maka kalian spontan berkata, “Aku nggak mau pelit ah, aku kan nggak mau dimusuhin sama teman-teman..”. Nah, itu adalah salah satu contoh bahwa tulisan penulis bisa menjadi doktrin bagi para pembacanya, kan ?
Tak hanya sebatas pada fabel atau cerita-cerita yang sampai pada kalian di usia belia kalian yang mampu menjadi doktrin. Tulisan kalian sekarang, tentang dunia kalian juga sangat sangat bisa menjadi doktrin bagi teman-teman kalian. Bisa jadi banyak remaja yang sedih karena tak punya pacar adalah akibat dari doktrin yang mereka dapatkan bahwa punya pacar pasti menyenangkan. Banyak remaja yang menyesal hidupnya tak berkecukupan juga mungkin karena doktrin bahwa pasti indah bila jadi anak pemilik imperium besar.
Kesimpulan yang saya dapatkan dari pengamatan saya selama ini adalah penulis muda kita ini dalam menulis karyanya selain karena mimpi-mimpi dan teriakan-teriakannya juga sangat terpengaruh oleh kungkungan pasar. Keinginan menyabet pasar itulah. Penerbit juga ikut ambil bagian tentunya, target mereka dalam pendapatan laba secara jelas membuat para penulis menulis sesuai apa yang jadi tuntutan pasar.
Apabila dari segi cerita memang menarik, bermutu, masuk akal, serta mempunyai pesan, banjir novel remaja tak jadi masalah. Namun, sayangnya semua yang seharusnya ada dalam novel remaja itu tak ada, kalaupun ada pun, itu hanya sedikit porsinya. Itu masalahnya.
Yang bisa saya sarankan bagi para penulis novel remaja, dengan segala kemudahan fasilitas, teruslah kalian belajar membuat karya yang lebih baik. Jangan hanya berkutat di satu tema yang menjadi seragam kalian kini. Cobalah membuat sesuatu yang menggebrak pasar. Sesuai permintaan pasar namun bermutu dan berbeda. Lihat peluang pasar. Masih banyak tema yang belum tersentuh oleh kalian. Masih banyak alur yang bisa kalian ciptakan di luar alur yang biasa kalian ciptakan kini.
Tingkatkan kemampuan kalian dalam menulis, jangan rusak bangsa kalian dengan mimpi kalian yang terkesan aneh, dengan teriakan ingin diakui ada oleh orang dewasa, dengan keinginan ingin menyabet pasar, dengan gengsi kalian terhadap teman dengan terpampangnya nama kalian di cover novel.
Kalian adalah generasi muda, sama seperti para pembaca karya kalian. Kalian punya kesempatan besar untuk memperbaiki moral generasi muda, moral teman-teman kalian. Gunakanlah bakat yang diberi Tuhan untuk kalian untuk membangun.
Akhir kata dari saya, buatlah karya yang bermutu lalu ubahlah dunia ke arah yang lebih baik dengan tangan kalian! 

*Esai ini menjadi  Juara III Lomba Penulisan Esai Tingkat Umum Pekan Baca Tulis ITB tahun 2006