Dari Sebuah Buku "Islam dan Sekularisme" Part 1


Dua atau tiga minggu terakhir ini saya dipinjami buku oleh kawan saya secara nyicil. Maksudnya minggu pertama dipinjami dua buku, terus tiga hari beres, dua minggu kemudiannya dipinjami lagi satu, terus tiga hari beres. Iya, jadi bukunya ada tiga tuh, ketiga-tiganya memiliki isi yang yoi banget mamen. 
Buku yang mau saya bahas ini berjudul "Islam dan Sekularisme", buah karya Syed Muhammad maquib Al-Attas. Pada keprok, deh yakin baca judulnya. Sebagian keprok karena tahu dari siapa saya dapat pinjaman buku ini, sebagian keprok gara-gara ngira saya pencitraan di mata orang yang meminjamkan buku. Salah emang nih stigma orang. Haha. Terserahlah, tapi yang jelas dibanding dua buku sebelumnya yang juga bernafaskan Islam yang membahas Islam dari sudut diskursif dan kaitannya dengan tren posmodernisme yang bagi saya menarik karena menyajikan perbandingan Islam dan Barat secara kritis dan akademik, buku ini mengena bagi saya karena buku ini memberikan jawaban argumentatif atas apa yang saya pikirkan beberapa waktu terakhir, yakni ketidaksetujuan saya atas kegamangan orang-orang atas agama yang akhirnya membuat mereka mengecilkan arti agama sesungguhnya. Buku ini lebih bersifat mengenalkan kita pada hakikat hidup kita sebagai manusia.


Tentang Din
Satu hal mendasar yang paling saya setujui dari buku ini adalah pengidolaan kita, Muslim, terhadap Barat yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Ini bukan soal fasisme atau soal kedendaman karena konon Barat telah banyak mengambil dan memodifikasi hasil pemikiran ilmuwan Islam. Ini lebih karena intrepretasi Barat akan manusia dan agama itu sendiri yang berbeda dengan keseharusan pemahaman mengenai manusia dan agama sebagaimana yang digariskan Quran. Ketika kita memasuki pola pikir Barat ini, akhirnya kita terjebak dalam pendefinisian manusia dan agama ala Barat yang menjauhkan kita dari hakikat kita sebenarnya.

Titik konflik pertama terjadi ketika Barat menerjemahkan agama --tentu yang dimaksud di sini adalah agama Islam- atau yang dalam bahasa Arab disebut din sebagai religion. Sama-sama agama, memang, tetapi dengan pemaknaan yang lebih sederhana dan mereduksi makna din sesungguhnya. Pak Attas menyimpulkan  makna din sebagaimana yang diungkapkan dalam bahasa Arab menjadi empat, yakni (1)keadaan berhutang, (2) penyerahan diri, (3) kuasa peradilan, (4) kecenderungan alami.  Penjelasannya panjang, tapi secara ringkas konsep din ini merujuk pada suatu keadaan yang seharusnya disadari manusia bahwa ia adalah makhluk yang eksistensinya di dunia ini dipinjamkan oleh Allah sehingga pada akhirnya manusia ini memiliki kewajiban untuk selalu mengabdi. Pengabdian di sini juga tidak dimaknai seperti pengabdian pada umumnya yang kita pahami antara manusia dengan manusia, tetapi pengabdian kepada Allah yang dalam prosesnya bukan Allah yang diuntungkan, tetapi manusia yang mengabdi itulah yang mendapat manfaat. 

Dalam pengabdiannya ini, manusia juga harus taat akan segala hal yang dijadikan hukum oleh Allah. Hukum ini memang mengikat, tetapi kembali lagi pada pernyataan di atas, pada akhirnya hukum-hukum ini ada bukan demi Allah, melainkan demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Ketaatan manusia akan hukum Allah ini akan melahirkan apa yang disebut Pak Attas sebagai konsep keadilan, yakni keadaan yang membuat segala hal berada sesuai dengan tempatnya. Din pun akhirnya mengenal konsep hirarki. Di satu sisi, manusia memang tidak dapat dilepaskan dari konsep kesetaraan. Namun berbeda dari konsep kesetaraan yang kita pahami saat ini, kesetaraan yang dimaksud di sini hanya berasal dari proses penciptaan manusia yang sama-sama dari tanah, saripati, yang nantinya atas izin Allah berkembang menjadi daging dan tulang. Kesetaraan penciptaan ini tidak dapat diproyeksikan lebih jauh lagi dalam ranah taqwa dan ilmu. Manusia di mata Allah akan berbeda derajatnya sesuai dengan dua hal tersebut, yang seharusnya tidak hanya dimaknai dengan ungkapan bahwa hanya Allah saja yang akan menilai dan menghargainya, tetapi juga harus dilakukan oleh manusia lainnya. 

Namun demikian, hierarki ini ada bukan untuk menciptakan opresi dan tirani di kalangan Islam. Hierarki ini dibutuhkan sebagai institusi untuk pemberian ilmu dan pendidikan. Tanpa adanya hierarki, menurut Pak Attas, manusia tidak akan mau mendengar. Mereka akan jumawa dengan merasa pendapat dan ijtihadnyalah yang lebih benar. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa ijtihad-ijtihad manusia yang hierarkinya lebih bawah ini bisa jadi melampaui ijtihad hierarki di atasnya. Namun bila hal ini terjadi, tetap saja harus ada pembinaan dari hierarki di atasnya. Menurut ibu saya, bagaimanapun juga, ketika manusia sudah berada di tingkatan atas hierarki, manusia itu sudah bisa menguasai medan dan bisa melihat potensi manusia yang ada di bawahnya. Peran manusia di tingkatan hierarki tinggi ini adalah melejitkan potensi manusia yang ada di bawahnya sehingga cahaya yang nanti mereka pancarkan jauh lebih kuat. Bagaimana dengan manusia yang suka menjegal dan mematikan potensi? Kata ibu saya, berarti mereka belum berada di hierarki atas secara sesungguhnya.

Kembali lagi soal din. Dengan paparan bahwa din pada akhirnya mengikat manusia kepada Allah secara mutlak, apakah din ini akan langsung ditolak manusia? Tidak menurut Pak Attas. Sebabnya apa? Ya, karena din itu sendiri adalah kecenderungan alami. Saya selalu percaya bahwa manusia itu di dunia ini dibekali kecerdasan akal, kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, serta kemampuan untuk mencari tuhan entah bagaimana caranya. Ternyata Pak Attas juga mengetengahkan hal demikian. Pak Attas menjelaskan kecenderungan spiritual itu melalui adanya perjanjian ruh dengan Allah sebelum ruh itu diturunkan ke raga manusia. Saya percaya. Lebih percaya lagi karena harus diakui, tidak ada manusia yang tidak pernah merasa lemah dan takjub. Dari kelemahan, kita mencari dzat pelindung yang kita tahu itu bukan dari kalangan manusia lagi. Dari ketakjuban, kita mencari dzat yang dapat mengatur keajaiban dan kebaikan alam yang tentu bukan manusia lagi. Dua hal itu yang menuntun kita untuk mencari tuhan, entah dengan nama apa dan dalam kerangka religion apa, yang penting itu dzat yang membuat kita merasa nyaman dan yakin. Karena saya Muslim, ya Dzat yang menyamankan dan meyakinkan saya ya Allah dan dalam kerangka din Islam. Bagi manusia yang tidak atau belum mengenal Islam, ya ada banyak lagi. Bagaimana dengan atheis? Bagaimana dengan orang-orang yang mengakui Tuhan tetapi tidak berada di dalam kerangka agama manapun? Itu masalah yang akan dibahas dalam waktu yang lain.

Saya pikir penjelasan Pak Attas mengenai din Islam ini sangat mulia. Pak Attas kemudian juga memberikan karakteristik din Islam secara lengkap yang membedakannya dengan agama-agama lain. Salah satu hal yang menonjol adalah misi penyelamatan yang universal yang dibawa din Islam. Dalam agama-agama lain, misi penyelamatan tidak menonjol, apalagi universalitas. Banyak agama yang hanya ditujukan bagi bangsa-bangsa tertentu, terutama agama yang berkaitan dengan penghormatan terhadap nenek moyang, yang pada akhirnya membuat agama tersebut mengeksklusifkan lingkup penganutnya dan hanya memfokuskan pada pemujaan atau pemfokusan manfaat bagi sesembahannya, bukan bagi penganutnya. Pak Attas menyebutnya sebagai agama kebudayaan. Ada pula agama yang mencoba menjadi universal dengan menggabungkan fargmen-fragmen dari peradaban dan kepercayaan beragam bangsa namun pada akhirnya limbung diserang skeptisisme umatnya sendiri.  Fenomena agama yang seperti ini yang akhirnya membuat Barat memandang rendah agama. Bagi Barat, semua agama adalah bagian dari tahap pemikiran manusia usia anak-anak yang butuh dibimbing. Jika mau dewasa, agama harus dihapuskan dari alam pikiran manusia karena yang namanya orang dewasa tentu tidak lagi membutuhkan bimbingan. Ya, mungkin Barat nggak pernah skripsi kali ya, jadi menganggap enteng bimbingan hehehehehe.

Pereduksian Barat terhadap agama selain didukung oleh adanya fenomena agama yang seperti itu juga didukung oleh perkembangan ilmu dan pengetahuan di Barat sendiri yang didasarkan pada keraguan dan dekonstruksi. Pak Attas menganalogikan perkembangan ilmu di Barat yang demikian layaknya orang yang mendorong batu ke puncak gunung kemudian ketika sampai di puncak, batu itu digelindingkan lagi ke dasar gunung. Saya menyetujui pandangan Pak Attas karena memang hal itu yang saya rasakan selama saya membaca ilmu dan pengetahuan yang lahir di Barat. Tradisi Barat memang selalu mendekonstruksi dan ini tidak hanya terjadi pasca-Derrida, tapi bahkan dari zaman Renaissance. Renaissance dibangun dari keruntuhan Abad Kegelapan, bukan? Kemarahan, skeptisisme, ketakutan, penindasan, pemanfaatan, tirani, kejumawaan, dan usaha pencarian yang tidak berujung kerap menandai perkembangan masa di Barat. Dari perkembangan naive inductionist science yang benar-benar naif atas fakta inderawi, kemudian logical positivism yang mengandalkan logika deduktif, lalu popperian falsificationist science yang mencari kebenaran melalui falsifikasi, lalu kuhnian paradigmatic science yang intinya kebenaran akan disebut kebenaran bila dianut oleh banyak orang, ada pula lakatosian reserach program yang menjaga kebenaran suatu kebenaran melalui lapisan-lapisan uji bagi penemuan baru, hingga anything goes yang mengakui semua hal sebagai kebenaran. 

Perkembangan ilmu yang begitu dinamis di Barat tersebut memang menakjubkan bagi saya. Hanya dalam beberapa abad, sudah berapa tren yang terjadi? Itu baru secara umum. Belum jika kita memasukkan asumsi power/knowledge dari Foucoult dan beragam kritik sosial yang dilancarkan Baudrillard terhadap perkembangan masyarakat posmodernisme. Di satu sisi saya menganggap hebat pada Barat yang tidak hanya membangun peradaban dari hal-hal afirmatif terhadap perdabannya belaka, tetapi juga dari kritik. Namun memang harus diakui juga saya sering bertanya, "Kok bisa?" Pak Attas menjawab lewat buku ini, tanpa bermaksud fasis bahwa karena Barat tidak tahu apa yang mereka cari. Perbedaannya dengan Islam adalah Islam tahu apa yang ingin dicari, yakni Allah.  Dengan pemahaman din Islam, ya memang segala kegiatan manusia harus dipahami dan dilaksanakan sebagai kegiatan ibadah yang tujuannya untuk menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sambil juga mengembalikan utangnya kepada Sang Pemilik. 

Ah, iya, mengenai perbandingan tradisi keilmuan Islam,memang harus diakui seperti yang disebut dalam buku Misykat yang juga dipinjamkan kawan saya itu, tradisi tulis dan keilmuan Islam juga tidak seberkembang di Barat sehingga banyak yang terlewat. Namun kawan saya yang meminjamkan buku ini meluruskan bahwa permasalahannya bukan karena tidak berkembang, melainkan karena tradisi tulis dan keilmuan Islam berbeda dari tradisi Barat. Saya setuju. Kenyataannya, memang segala hal yang tidak sesuai dengan Barat tentu akan menjadi liyan, subaltern, atau yang termarjinalkan. Saya bilang, ya inilah tantangan. Masalahnya adalah hidup kita sudah ditarik oleh Barat. Kita sudah terjebak dalam tradisi-tradisi yang dikukuhkannya melalui kekerasan simbolik yang menyamankan kita meski kita tahu tradisi itu tidak menguntungkan kita. 

Dari Sebuah Buku "Islam dan Sekularisme" Part 2


Tentang Manusia

Harus saya akui, penjelasan yang begitu mulia mengenai din Islam seperti dalam paragraf di atas memang merupakan penjelasan yang normatif. Saya pikir Pak Attas akan terjebak seperti penulis lain yang mencoba menjelaskan Islam hanya dari segi Islam itu sendiri yang tentu saja sangat-sangat indah padahal tantangan di luar sana menyoroti perilaku umat Islam yang jauh dari karakteristik Islam. Ternyata Pak Attas ini memang pantas menjadi penulis sejuta debar jantung karena Pak Attas juga membahas segi manusia. 

Ingat asumsi Realis dan Liberalis mengenai state of nature manusia yang saling bertolak belakang dan memecah umat Hubungan Internasional menjadi dua kubu yang sama-sama jumawa? Kata Realis, manusia itu sifat dasarnya buruk, sedangkan kata Liberalis, manusia itu sifat dasarnya baik. Nah, saya pikir Pak Attas ini harus di-HI-kan juga, deh. Konstrukstivis boleh mengklaim dirinya sebagai jembatan pertarungan Realis dan Liberalis hingga ke Neo-Neonya, tapi saya pikir Pak Attas ini cocok dapat penghargaan Nobel melebihi Alexander Wendt atau Nicholas Onuf. 

Pak Attas bilang manusia itu baik dan buruk, tergantung apa yang menguasai dirinya, apakah jiwa akalnya yang berasal dari ruh atau jiwa hewaninya yang berasal dari raga. Begitu saya menemukan penjelasan Pak Attas mengenai hal ini, saya langsung setuju. Pasalnya, bagi saya, menjadi manusia pada dasarnya adalah mengalami pergulatan dua sisi utama dari dirinya yang dalam bahasa metafora diperbandingkan dengan pertarungan kata malaikat dan kata setan di dalam hati. Hal yang selalu saya yakini,menjadi manusia adalah proses tarik-menarik antara akal dan nafsu yang seharusnya dimenangkan oleh akal. Namun memang, dalam proses pemenangan akal ini, segala sesuatu tidak berjalan dengan mudah.  Karena itulah proses menjadi manusia ini bukan proses semalam, melainkan proses seumur hidup. Ditambah lagi manusia ini hidup sebagai anggota dari beragam afiliasi masyarakat yang mengikatnya dalam beragam kepentingan yang bisa jadi saling tolak menolak, yang parahnya lagi, afiliasi masyarakat ini juga disusun oleh manusia-manusia yang sama-sama bergelut dengan akal dan nafsunya.  

Manusia-manusia ini pun kerap tidak memahami hakikat hidupnya sebagai manusia di dunia. Hidup ya hidup. Urusan mati ya tinggal dikubur. Berhubung di kuburan belum tahu bakal ada mal atau tidak, mending sekarang ke mal dulu.  Di situ nafsu hewani yang muncul. Itu baru urusan kesenangan di mal, belum kesenangan-kesenangan lain yang konon menggiurkan. Ketika manusia mengedepankan nafsu hewaninya, ya sifat hewan yang muncul, salah satunya keengganan untuk diikat. Mana ada kambing yang suka diikat? Mana ada burung yang bahagia di sangkar? Kalau bentuk ikatan kambing dan burung kan kasat mata, ya, nah bentuk ikatan bagi manusia yang nafsu hewaninya muncul ini adalah peraturan-peraturan yang tidak kasat mata tetapi membatasi gerak manusia. Din yang notebene diisi oleh peraturan pun menjadi musuh besar yang diretorikakan sebagai hal yang akan mengikat kreativitas dan kesejahteraan manusia. Din pun dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Saya pikir bukan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, melainkan tidak sesuai dengan nafsu hewani manusia. Dengan adanya din, manusia akan dijanjikan kenyamanan, tetapi konsekuensinya, manusia harus patuh pada segala hukum din dan rela menundukkan nafsu hewaninya sehingga nantinya manusia itu akan diangkat ke derajat yang lebih tinggi sebagai manusia seutuhnya, bukan manusia 'siluman'. Dan proses itu sulit. Coba tanya kepada diri kita sendiri, sudah berapa persen diri kita yang memberi ruang pada ruh, bukan pada nafsu hewani? 

Keengganan akan keterikatan pada din ini yang menurut saya membuat manusia tidak sepenuhnya berserah diri pada din, malah  mengamini konsep religion ala Barat yang menganggap agama adalah tahap kanak-kanak pemikiran manusia yang dalam titik ekstrem, bisa jadi manusia ini memutukan untuk menjadi atheis. Namun memang pembahasan mengenai atheis ini harus dibahas dalam kesempatan khusus. Faktornya kompleks. DI bawah atheis, dalam kasus tidak sepenuhnya berserah diri pada din, hal yang kita temukan adalah perilaku menyimpang umat yang seharusnya menjadi rahmat, malah menjadi manusia-manusia amoral dan bejat. Manusia ini yang menjadi sebab bagi kritik atas din Islam. Bagi saya, kritik-kritik atas din Islam ini salah alamat. Bukan din Islam yang harus dipersalahkan, melainkan manusia-manusia yang tidak menyerahkan dirinya secara penuh kepada Islam dengan tidak menambah asupan makanan bagi akalnya, malah memperkaya nafsu hewaninya. Namun demikian, manusia-manusia ini pintar pula beretorika untuk menjustifikasi perilakunya. Hal-hal esensial yang diamanatkan din Islam pun tersamar oleh justifikasi tempelan mereka. Perilaku mereka ini yang membuat din Islam nampak usang dan melelahkan. Ini yang kemudian menjadi semacam stimulus bagi banyak pihak untuk berontak terhadap agama dan berbalik menyalahkan Tuhan.  

Kondisi ekstrem lain yang lahir dari sana bisa jadi manusia itu akan keluar dari din Islam kemudian mencari agama lain yang menurutnya bisa memberikan kedamaian atau dia keluar dari agama sama sekali. Untuk kasus yang pertama, bagi saya hal tersebut tidak recommended. Manusia yang seperti itu adalah manusia yang salah paham. Masalah yang melelahkannya sebenarnya tidak terletak pada din, tetapi pada manusianya. Dalam agama lain pun saya kira dia akan menemukan manusia-manusia yang 'menyesatkan' ajaran agama. Kemudian untuk kasus yang kedua saya punya asumsi bahwa mereka yang seperti itu adalah mereka yang ingin mencintai Tuhan tetapi tidak ingin tunduk secara penuh melalui garis yang telah ditentukan agama/din. Permasalahannya bukan pada manusia-manusia yang mereka amati dan melelahkan mereka, melainkan pada diri mereka sendiri yang masih jumawa untuk menerima kecenderungan alami mereka untuk ber-din/agama. Mereka ingin mencintai Tuhan bukan dalam keadaan mereka sebagai ruh, melainkan dalam keadaan yang mereka sebagai pemangku nafsu hewaniah.

Pada akhirnya, mengabdi pada Allah dalam din Islam ini memang bukan perkara mudah. Banyak manusia yang lahir dalam keadaan keluarganya ber-din Islam, tetapi tentu masing-masing dari manusia yang lahir itu nantinya akan mengalami proses pendewasaan sebagai umat Islam dari tarik-menariknya dengan urusan ruh dan nafsu. Mereka pun akan terbagi ke dalam hieraki-hierarki taqwa dan ilmu. Selama mereka hidup di dunia, saya rasa konflik juga tidak akan pernah berakhir. Ada  manusia yang terus berjuang memberikan ruang terbesar bagi ruhnya hingga akhir hayatnya, ada pula manusia yang memilih mengabdikan hidupnya bagi nafsu hewani yang bersemayam di dalam dirinya. Ada manusia yang secara jelas melihat apa tujuan yang ingin diraihnya selama hidup, ada manusia yang buta, entah dibutakan atau membutakan diri. 

Satu hal yang penting di dalam pergolakan akal dan nafsu manusia yang bisa mendamaikan dan menunjukkan jalan yang terang adalah ilmu.  Ilmu yang dimaksud di sini pun tidak sekedar ilmu formal semacam yang didapatkan di sekolah, tetapi juga ilmu mengenai Allah yang membuat manusia tidak hanya akan menjadi manusia yang cerdas secara kognitif, tetapi yang lebih  penting adalah menjadi manusia yang baik. Ilmu mengenai Allah ini lebih penting daripada ilmu mengenai manusia karena ilmu inilah yang akan menuntun manusia menuju kebahagiaan dan ketenangan sesungguhnya. Ilmu ini juga yang akan mendasari manusia untuk menjadi manusia yang tidak terombang-ambing dalam keraguan mengenai ilmu manusia. Keraguan akan ilmu manusia itu menurut Pak Attas, mengutip dari ayat Quran,  wajar karena memang manusia tidak diberi pengetahuan mengenai manusia sendiri, kecuali sedikit. Semakin manusia merenungi ilmu mengenai manusia, maka akan semakin meragulah ia. Kata dosen pembimbing saya, ilmu itu semakin dikupas, semakin akan menimbulkan pertanyaan. Dinamika ilmu di Barat yang selalu meragu, marah, mendekonstruksi itu bagi saya juga tidak salah. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa para ilmuwan Barat itu selalu mendayagunakan rasionya untuk mencari kebenaran. Nah, mengamankan dari segala jenis keraguan yang melanda, saya menyetujui pernyataan dosen saya yang lain, pada akhirnya di titik yang penuh pertanyaan itu manusia akan berhenti bertanya dan semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Nah, kesadaran untuk mendekatkan diri pada Tuhan ini juga tidak dapat didapat secara serta-merta sebagai konsekuensi otomatis selepas manusia meragukan manusia. Sebelum manusia meragu mengenai ilmu manusia, manusia ini harus dulu memiliki bekal ilmu mengenai Allah. Bekal ini yang menjadi tujuan pencariannya akan ilmu mengenai manusia dan yang akan menjaganya tetap menjadi manusia ber-ruh, bukan manusia hewani. 

Hmmm, akhir kata, hidup ini memang kompleks. Kompleksitas ini pun sebenarnya bukan diciptakan oleh Allah, tetapi oleh diri kita yang sampai kapan pun akan selalu bergelut dengan akal dan nafsu. Sekarang tinggal kembali pada diri kita sendiri, kita mau memilih jalan yang yang mana? Jalan akal atau jalan hewan? Kita kok yang membangun surga dan neraka kita sendiri di dunia dan di akhirat. 

PS : Terima kasih atas pinjaman bukunya. Sangat bermanfaat :) 

Ark. Mei'12.

Tentang Konser




Saya bukan tipe concert-goer. Dulu saya sempat punya, sih, impian pengen nonton konser idola saya semacam Energy. Waktu Energy konser di Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya sekitar tahun 2003 gitu pengennya sih saya ikutan kayak teman-teman fans club yang grupis abis ngestalking Energy sampai ke hotel, bandara, stasiun radio, dan mal tempat Energy makan. Tapi alhamdulillah harga diri dan logika saya menyuarakan hal yang lain. Saya nggak mau dilihat Energy sebagai fans yang annoying dan worshipping abis. Malu, bero. Akhirnya saya nggak pernah melihat konser Energy seumur hidup saya. Saya ikhlas hanya menikmati idola saya dari layar majalah, tivi, dan vcd. Ya, tapi nggak ikhlas-ikhlas banget, sih. Kemarin waktu ke Singapura terus saya ngelewatin Kallang, tempat yang suka dipake Energy konser kalau di Singapura, saya juga sempat merasa sesak. Ternyata cinta saya nggak garis keras banget buat Energy.

Okesip buat kisah Energy. Tadi di awal saya udah bilang kalau saya bukan tipe concert-goer. Seriusan. Saya nggak pernah betah dan nggak pernah percaya akan atmosfer yang berbeda antara kita nonton konser dengan kita dengerin dari radio. Yak, silakan sambit saya dengan ayat fans garis keras artis manapun, saya nggak akan pernah mengubah mindset saya bahwa konser is not my thing and somehow i wonder why people are willing to pay so much money for actualizing their love to their idol. Nggak salah, sih. Toh juga 5 dari 4 teman saya adalah concert-goer atau minimal pernahlah sekali dua kali nonton konser idolanya, entah dengan alasan cinta sama idola atau karena tiketnya udah terlanjur dibeliin orang tua. Tapi bagi saya sih itu mubazir, hehe. Apa, ya, mungkin karena gaji saya belum cukup usia buat dibelikan tiket, which is something economician calls them as tertiary needs, mungkin karena saya lebih memilih bayar utang daripada bersenang-senang, mungkin karena saya lebih memilih investasi beli baju daripada buat beli sesuatu yang habis dalam beberapa jam dan nggak masuk perut, mungkin karena saya juga nggak punya interest besar soal musik jadi saya nggak paham sama yang namanya menghargai kerja keras artis dengan membeli cd originalnya dan datang ke konsernya, mungkin karena saya nggak suka jadi orang kebanyakan yang pada umumnya memang senang datang ke konser, mungkin juga karena saya menganggap tidur adalah sebenar-benarnya istirahat, tapi yang paling jelas sih karena lingkungan keluarga saya tidak terbiasa dengan kegiatan semacam konser dan budaya pop lainnya. Kuno? Konservatif? Bebas, sih menginterpretasikan apa, tapi saya senang dan terbiasa kok berada di lingkungan yang berpikir ulang sampai akhirnya nggak jadi dalam menikmati budaya pop. 

Posting ini sebenernya nyambung ke konser Gaga yang batal. Awalnya saya nggak tahu dan nggak peduli soal Gaga mau konser ke Indonesia. Pertama tahu sih tanggapan saya cuma, "Wih, masih bulan Mei tapi udah penuh aja sejarah konser Indonesia di tahun 2012. Tajir, nih orang Indonesia." Iya, perhatikan, deh, dalam lima bulan ini sudah berapa artis besar yang konser, bero. Yang paling deket itu Suju, Laruku, terus siapa sih band idola Bima yang waktu itu Bima batal nonton konsernya gara-gara sakit? Aduh, lupa. Ya, pokoknya yang masih keinget sama saya udah tigalah, itu juga artisnya gede banget. Ya makanya pas tahu Gaga mau konser, ya luar biasa aja sih saya ngerasanya sama bangsa Indonesia. Anjir kemarin perasaan baru protes soal BBM naik dan BBM nggak bersubsidi, tapi ini di konser masih eksis. Paradoks, sih. Ya, memang sih yang nonton konser ya minimal harus berpunya yang pastinya juga orang-orang ini alhamdulillah diberi kecukupan rezeki sehingga kemarin mereka nggak ikutan demo BBM, tapi ya tetep aja paradoks. Gap distribusi kekayaan masyarakat kita tinggi banget. Semoga saja memang di balik kecukupan rezeki itu mereka selalu aktif membayar zakat.

Kejam juga ya dipikir-pikir pernyataan saya sekarang, hehehehe. Tapi seriusan itu yang jadi pemikiran saya udah dari lama banget. Saya bisa menghormati dan menghargai orang-orang yang ikutan konser, apalagi memang mereka semua adalah teman-teman saya, tapi dalam kurun waktu saya berteman dengan mereka, ya saya juga nggak pernah bisa mengubah mindset saya untuk sedikit lunak dengan konser. Saya pernah datang ke bazaar SMA 2, bazaar SMA 8, Symphonesia, tapi ya saya nggak pernah bisa mendapat atmosfer yang menyenangkan yang dijanjikan dalam konser. Ya liat mah liat aja, tapi jujur saya malah lebih sibuk nyariin orang-orang yang cipokan di konser hahahhahahahahahahahahhaaha. Iseng sih mikirin, anjir mau cipokan aja harus banget ke konser dulu, mahal cyyynnn hehhehehehehehhehehe. Saya mah seriusan nggak percaya kalau mereka datang ke konser beneran buat nonton konsernya. Paling awalnya doang itu. Ke sana-sananya otak udah kedistrak gimana nyari momen romantisnya. Kalau udah dapet juga itu dua-duanya udah sibuk dengan pikiran masing-masing. Pasti itu mah pasti. Teman-teman saya mah alhamdulillah fans garis keras dan jomblo sih jadi ya ke konser murni artis taala alias hanya untuk melihat si artisnya, jadi nggak melakukan hal-hal privat yang seharusnya nggak terekam oleh gadis dengan tingkat keingintahuan yang tinggi seperti saya. Oke, terlepas dari penyimpangan dan penistaan konser yang dilakukan oleh oknum yang berpasangan terutama pada lagu-lagu berirama mellow *padahal liriknya tentang patah hati, bukan tentang cinta selamanya*, saya memang nggak pernah bisa menerima konser sebagai bagian hidup saya.

Balik tentang Gaga, rada jengah, sih, sebenernya sama respon orang-orang tentang batalnya konser Gaga. 

Di satu sisi, saya sangat menyesalkan tindakan premanisme dan jumawa dari FPI yang bagi saya, kayak monster. Nilai yang mereka bawa sebagai isu utama untuk menolak Gaga sih saya paham dan setuju. Tapi pengaktualisasiannya itu loh, kayak yang paling benernya gitu. Lagian juga standar ganda banget. Nilai yang mereka sampaikan itu bagi saya universal dan memang cocok diterapkan di Indonesia seperti ya jangan mengundang nafsu birahi, jangan memuja setan, dan lain-lain. Nah, kalau gitu konsisten, dong. Larang juga kek dangdut erotik. Search deh di Youtube, banyak banget dangdut yang direkam dalam acara sunatan massal atau nikahan yang bahkan penyanyinya aja, dengan paha dan toket tersembul kemana-mana, ngebornya di pangkuan keyboardis. Kurang erotik, murahan, mengundang birahi, dan nggak pantas apa lagi coba? Itu bokep, sih, bukan dangdutan. Dan itu diadakan di acara nikahan atau sunatan gitu loh. Pertama ya tentu merusak iman sang mempelai. Kedua, heyyyyy itu acara sunatan woooyyyyy. Anak laki-laki seumur SD! Ketiga, itu hiburan murah yang bisa diakses secara luas oleh kelompok masyarakat umum, dari yang soleh sampai yang bejat. Spektrum audiensnya luas banget dan di situlah perusakan moral terjadi. Sidak deh ke warnet-warnet di daerah terpencil, saya yakin 4 dari 5 komputernya udah dipakai buat mendownload situs xxx oleh anak-anak dan remaja. Tanya juga berapa remaja perempuan yang sudah dibuai atau diancam putus sedemikian rupa untuk menyerahkan kegadisannya. Ketika FPI ramai mengutuk Gaga, yang sebenarnya sangat segmentatif, dalam arti sudah punya fanbase tertentu dan tiketnya mahal pula, jatuhnya itu lucu. Kita nggak bisa terus-menerus menyalahkan hal eksternal sebagai perusak moral sementara kita tahu bahwa di dalam masyarakat kita sendiri, moral itu sudah digadaikan demi saweran dan urusan syahwat. Ranah FPI pun bagi saya jadi sangat elitis. Maunya membersihkan budaya pop yang mahal di atas sana sementara yang di grassroot dibiarkan tenggelam dalam nerakanya sendiri. Coba, deh FPI itu memperluas spektrum sasaran orang yang ingin diselamatkan biar pada masuk surga. Jangan cuma orang kaya aja, tapi juga orang ekonomi menengah ke bawah. Jangan sampai membuat orang berstigma bahwa FPI itu setiran kapitalis dan jagonya pengalihan isu. Tegakkan Islam secara meratalah. Lihat ke bawah.

Namun demikian, bukan berarti juga saya mendukung orang-orang yang di twiter ramai bercuap tentang dipasungnya kebebasan berekspresi dengan batalnya konser Gaga. Seperti yang saya bilang, saya jengah. Ini juga subyektif didukung dengan latar belakang saya yang bukan anak concert-goer. Coba, deh, sebelum pada bercuap mengenai dipasungnya kebebasan berekspresi, pahami juga gap-gap yang terjadi di sekitar mereka. Saya tahu mereka berpunya dan saya juga mencoba untuk berpositive thinking bawa mereka sudah membayar zakat, tapi persoalan ini nggak berhenti di sini saja. Ini soal kepedulian dan kesetiakawanan sosial. Oke, itu pret mungkin buat kalian dan sangat okesip banget. Oke, ganti. Ini soal betapa kalian sudah menjadi budak bagi kapitalis. All hail Marx! Gue sosialis? Terserah. Kenyataannya memang demikian, kok. Baik kalian maupun artis idola kalian, dari Suju sampai Sule, itu budak kapitalis. Kalian mau bilang bahwa soal datang ke konser dan beli cd original itu adalah penghargaan bagi artis? Men, itu mitos! Itulah pengalamiahan yang diretorikakan oleh kapitalis untuk melanggengkan kekuasaan mereka atas diri kita. Melalui retorika itu kalian dipaksa bekerja lebih keras lagi untuk bisa mengeluarkan uang lebih banyak lagi demi tujuan pleasure dan leisure, yang kedua hal tersebut (kerja dan bersenang-senang) sama-sama akan menghegemonikan para kapitalis. Ya, monggolah kalau mau sekali-kali datang ke konser atau beli cd original, kasian juga kan si artis idola kalian nanti nggak makan, tapi ya nggak sampai fanatik banget bahkan sampai mempermalukan negara sendiri dengan ngetwit penuh tudingan marah ke FPI dan polisi. Ini juga makin menguatkan kapitalis gitu loh. Penistaan negara gitu itungannya. Beberapa tahun lagi, deh, kalau perilaku-perilaku emosional di twiter yang disebabkan oleh kemarahan kepada negara ini masih ramai bisa-bisa negara dibubarkan atas nama kebebasan individu yang sejatinya tidak akan membebaskan individu ke tingkatan yang bebas secara makrifat, tetapi menggiring mereka untuk masuk ke kekuasaan kapitalis yang tentu lebih kejam daripada ibu pertiwi yang sekarang sedang menangis kata Chikita Meidy.

Ah, tapi yasudahlah. Silakan balik ke kesenangan pribadi saja, maunya gimana ya monggolah, urip-uripmu hehehehehe. Baik FPI maupun pendukung konser Gaga ini sama-sama jumawa, jadi ya sulit juga kalau mau didamaikan. Sekarang mah mending FPI banyak turun mengawasi keadaan grassrootlah. Pendukung Gaga dan concert-goers lain juga mending mulai menyadari hakikat hidup kalian yang sudah masuk ke dalam kungkungan kapitalis. Kalian yang baca posting ini juga mending pada shalat isya dulu, deh. Saya juga belum, nih. Yuuuuu dadah babay.


*Posting ini ditulis malam hari walaupun dipublish siang hari

Ark.Mei'12.

Enam Tahun

Dalam enam tahun ini, ini kali kedua kita bertemu. Entah kebetulan atau sudah diatur semesta atau hati kita masih terikat tanpa kita sadari, peristiwa pertemuan kita terjadi dalam jangka waktu tiga tahun. Satu hal yang paling ingin kukatakan kepadamu saat ini sama seperti apa yang ingin aku katakan tiga tahun lalu. Tapi ya begitulah, lagi-lagi aku urungkan niatku karena melihat pemandangan yang sama seperti tiga tahun lalu yang tentunya tidak seperti apa yang aku harapkan enam tahun lalu ketika kita berpisah. Kita? Ah, ya, maksudku kita memang berpisah, tapi itu lebih karena keinginanmu yang sempat aku baca.

Tiga tahun itu lama. Enam tahun apalagi. Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat siswa yang baru lulus SD bersiap-siap menjadi murid SMA. Enam tahun juga adalah waktu yang cukup untuk membuat si gadis putih merah menjelma menjadi mahasiswa dan meneriakkan kesetaraan gender. Ya, kita berpisah tentu bukan pada saat aku berusia SD. Yang aku maksud di sini adalah betapa tiga dan enam tahun itu adalah waktu yang tidak sekedar dilewatkan bumi untuk tiga sampai enam kali mengelilingi matahari dan hanya meninggalkan perubahan musim belaka. Waktu dalam satuan tahun itu adalah besaran yang sangat bermakna menciptakan ruang dan peran baru. Kurikulum saja sudah berapa kali direvisi dalam tiga hingga enam tahun itu.

Ah, entahlah. Sekarang sudah berjalan dua puluh menit. Aku lalu memasuki lift yang sudah berkali-kali naik-turun di gedung berlantai dua puluh ini. Sosokmu masih ada di luar sana. Sosok yang tidak pernah berubah dari segi penampilan, kedewasaan, bahkan status pekerjaan. Dan entah mengapa saat ini aku bersyukur kita berpisah sejak enam tahun lalu.

Irshad Manji


Berawal dari twit Remon tentang link pdf Irshad Manji dan lebih dipicu lagi oleh retweet dari radiobuku tentang ramainya diskusi Irshad Manji di *kalau nggak salah* Yogya yang di-'jaga' oleh kelompok bersenjata, saya akhirnya baca juga tentang Irshad Manji. Saya pernah dengar selintasan, sih tentang Manji ini tapi ya cuma sekedar dengar saja. Jadi, ya, buat yang mencap saya sebagai JIL, harap dipertimbangkan lagi, deh anugerah gelarnya, haha. Baca Manji aja baru tadi malam, itu juga baru seratus halaman terus saya tidur.
Setelah saya membaca seratus halaman buku Manji yang saya rasa tone-nya konsisten, saya mulai mendapat kesimpulan bagaimana posisi Manji di buku itu. Klarifikasi lagi, saya dimana-mana hanya memosisikan diri sebagai pengamat. Saya ini abu-abu dan nggak mau masuk ke dalam salah satu golongan, apakah itu FPI atau JIL, apakah itu ektremis atau liberal, dan sebagainya. Kedua titik itu terlalu ekstrem bagi saya. Selain itu, saya rasa mustahil juga bila kita (atau khususnya saya) bisa hidup di salah satu dari dua titik ekstrem tersebut. Saya percaya adanya titik tengah yang ekletik yang menggabungkan fragmen-fragmen baik dari kedua titik tersebut yang tidak perlu juga bila dijadikan aliran baru. Dengan mengambil posisi seperti itu, ya akhirnya lahirlah posting ini yang saya tujukan untuk membahas dan mengkritik Irshad tapi juga bukan untuk membela FPI haha.
Tulisan saya kali ini cukup sangat panjang hehehe jadi saya bagi  ke dalam tiga post, yaitu Dimensi Intrinsik Irshad Manji yang membahas isi tulisan Manji, Dimensi Ekstrinsik Irshad Manji yang membahas bagaimana posisi Manji dalam tulisannya, serta Jadi, Apa dan Bagaimana Irshad Manji yang saya jadikan kesimpulan dari dua bagian sebelumnya. Penataan posting ini sengaja saya dahulukan bagian kesimpulannya supaya scrolling tidak dilakukan dari bawah ke atas, tapi atas ke bawah.
Baiklah, mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan YME karena melalui rahmatnya blogspot ini dapat tercipta.

Dimensi Intrinsik Buku Irshad Manji


Pdf yang saya download dan baca tadi malam merupakan terjemahan dari Trouble with Islam. Manji sudah menyadari bahwa judul yang dipilihnya ini provokatif. Ya, kalau kita memosisikan diri sebagai penjaga panji-panji kesakralan Islam, judul ini memang provokatif untuk membuat alis dan emosi kita naik. Tapi, seperti yang diakui Manji, judul ini dipilih karena dalam pandangannya, ada yang salah dengan penerapan atau realita Islam dengan apa yang dianjurkan dalam Quran. Singkat kata, dalam pemahaman saya, Manji mengkritik kita, si muslim, yang kerap bertindak atas nama Quran tapi sebetulnya kita hanya melakukan justifikasi saja atas segala tindakan kita yang menurut Manji, buruk.
Membaca hingga seratus halaman, poin yang diajukan Manji di awal bukunya itu memang selalu konsisten ditekankan. Manji memberikan bukti-bukti betapa buruknya akhlak kita di lapangan ketimbang seharusnya. Dari mulai perbudakan atas bangsa Afrika, penindasan terhadap perempuan, hingga demonisasi-demonisasi terhadap bangsa Yahudi dan pemeluk Kristen. Saya tidak menampik argumen Manji tersebut. Buka google, masukkan keyword, kemudian kita akan menemukan pemberitaan yang menyajikan potret buruk orang Islam. Buka terjemah Quran, kita juga akan menemukan ayat-ayat yang menurut Manji mengajarkan kelembutan dan kekerasan yang menurutnya membuat Agama Islam dan Quran berwajah ganda. Akan tetapi, apakah bijak apabila hanya dengan melihat dan mengalami kekerasan yang dilakukan orang Islam, yang menurut Manji didasarkan pada Quran, maka Agama Islam dan Quran langsung dipersalahkan sebagai penuntun yang tidak sempurna?
Dalam pandangan saya, pertama, Manji seharusnya melakukan pembedaan apa yang dinamakan Islam sebagai Agama dan Quran sebagai Kitab Suci yang menuntun pemeluknya, dengan pemeluk Islam itu sendiri yang sejatinya adalah manusia yang state of nature-nya, kalau meminjam istilah Hobbes, buruk. Islam sebagai Agama dan Quran sebagai Kitab Suci tentu saja berisi hal-hal normatif. Islam sebagai agama dan Quran dengan segala peraturan mengikatnya yang menyebutkan hak, kewajiban, dan ganjaran berupa pahala, azab, dosa, dan jenis hukuman adalah sesuatu yang memang harus ada untuk mendidik manusia-manusia pemeluknya sehingga bisa diangkat ke derajat yang lebih luhur sebagai manusia. Tidak bijak rasanya apabila Manji hanya melihat Agama Islam dan Quran sebagai hal utopis hanya karena mereka menjanjikan surga dengan segala nikmatnya yang tidak ada di dunia. Agama Islam dan Quran memang perlu menjadikan surga itu sebagai janji agar manusia terpacu memutihkan sisi hitamnya yang sangat hitam. Begitu pun ketika Manji melihat Agama Islam dan Quran sebagai agama dan kitab yang mengajarkan kekerasan. Bukan berarti karena agama dan kitab suci adalah sesuatu yang normatif maka keduanya jahat bila menyebutkan azab, dosa, siksa, dan jenis hukuman bagi manusia yang ingkar. Melihat sisi asli manusia yang sangat hitam, janji saja tidak cukup. Tentu harus ada penyeimbang.
Kedua, dari kritik Manji mengenai Agama Islam dan Quran, saya merasa Manji tidak membuat sikap yang berbeda dari kaum ekstremis yang mengkritik teori-teori dan konsep-konsep sosial yang kebetulan digelontorkan oleh ilmuwan Barat. Keduanya sama-sama tidak melihat konteks secara utuh. Ketika Manji mengkritik ayat jihad dan perang serta demonisasi terhadap Yahudi dan Kristen, misalnya, apakah Manji sudah melihat konteks di dalam Quran itu sendiri yang menceritakan latar belakang kedua tema seruan itu? Manji juga harus membuka sejarah-sejarah apa yang dialami Agama Islam dalam kaitannya dengan jihad, perang, Yahudi, Kristen serta kondisi-kondisi apa yang membuat Agama Islam geram dan memberikan last resort tersebut. Dengan sikap Manji yang demikian, apa yang bisa membuat saya membedakan Manji dengan hizbut tertentu di kalangan ekstremis Islam yang menentang kesetaraan gender, misalnya? Keduanya sama-sama tidak melihat konteks sejarah yang menceritakan dinamika aksi-reaksi penindasan dan perjuangan.
Ketiga, Manji juga seharusnya memahami bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks. Manji seharusnya tidak melakukan penyederhanaan identitas dengan langsung menganggap bahwa ketika si A memeluk agama Islam, maka si A akan langsung menjadikan Agama Islam sebagai satu-satunya penuntunnya. Idealnya memang demikian, namun tidak semua yang ideal itu bisa teraih. Kita tidak bisa melakukan isolasi terhadap manusia. Manusia selalu memiliki keterkaitan dengan teks-teks di sekitarnya. Kita harus melihat teks budaya, gender, profesi, keluarga, status, agama, dan banyak lagi dalam kesehariannya serta mana yang mendominasi pertimbangan-pertimbangannya. Pergulatan berbagai teks tersebut dalam dirinyalah yang menjadikan manusia sebagai manusia itu sendiri.
Ya, saya memang menyejajarkan kedudukan agama dengan teks budaya, gender, dan sebagainya, namun bukan berarti kesimpulan bahwa agama sudah gagal menjadi penuntun manusia bisa diambil. Kegagalan tidak terjadi ketika manusia menjadikan agama sejajar dengan teks-teks sosial lain yang mengitarinya, tetapi ketika agama itu tidak masuk ke dalam salah satu teks yang bergelut di dalam diri manusia. Harus diakui, keterikatan manusia dengan agama adalah hal yang paling lemah ketimbang keterikatan manusia dengan teks-teks lain sehingga ketika agama sudah bisa masuk ke dalam pergelutan teks, maka itu adalah prestasi besar bagi manusia. Ada beberapa sebab. Satu, agama adalah hal yang paling jauh dari jangkauan indera yang ganjarannya masih abstrak. Surga dan neraka, kurang jauh apalagi dengan indera manusia? Karena itulah dalam rukun iman juga disebutkan bahwa kita harus percaya pada hari akhir. Tanpa kepercayaan pada hari akhir, mustahil kita akan percaya pada terminologi surga-neraka. Masalahnya lagi, hari akhir itu apa? Itu juga tidak terjangkau. Satu-satunya yang terjangkau adalah kematian yang waktunya rahasia. Itu yang menjadi penghubung kita dengan keimanan pada hari akhir. Dua, agama pada dasarnya adalah seruan bagi kita untuk berpuasa. Kita diminta untuk menahan nafsu yang bersarang di dalam tubuh kita, dari mulai nafsu amarah, serakah, seksual, mabuk, dan masih banyak lagi yang kesemuanya tentu sulit dilakukan, mengingat hal tersebut sudah menjadi buah khuldi yang ada di dalam diri kita. Agama pun berkembang menjadi peraturan-peraturan mengikat yang menjadi beban dalam pergelutan teks dalam diri. Mengapa menjadi beban? Saya tidak bisa memutuskan apakah buah khuldi di dalam diri kita itu memang alamiah dan given terkandung dalam DNA kita ataukah bentukan sosial yang telah menghegemon dan mengalami pengalamiahan sehingga seolah-olah alamiah. Namun demikian, memang harus diakui bahwa agama adalah hal baru yang masa kelahirannya sudah didahului oleh keterbentukan budaya. Ini masuk menjadi alasan ketiga. Agama adalah modernisasi atas tradisionalitas pemikiran yang sudah membudaya. Masalah yang tumbuh di sini adalah agama dipertemukan dengan kebiasaan-kebiasaan turun-menurun yang lebih menyenangkan, lebih kasat mata, dan lebih dekat. Ganjaran surga-neraka dari agama harus mampu menjawab ganjaran berupa karma dan kutukan leluhur yang sudah berakar. Empat, agama adalah revolusi atas tindak penindasan yang dilakukan kaum yang lebih superior yang kekuatannya dihimpun oleh rasa senasib-seperjuangan para kaum tertindas. Masalah yang dihadapi di sini adalah pencibiran kaum superior akan agama dan penganutnya yang melahirkan dua kemungkinan konsekuensi. Konsekuensi pertama terjadi apabila peperangan antara dua pihak tersebut berakhir win-win solution karena kedua belah pihak masih saling memiliki kebergantungan. Di sini, kaum pembela agama harus berkompromi dengan kaum superior yang memiliki elitisisme tertentu yang ingin diakomodasi pula dalam agama. Akibatnya, bisa jadi agama mengalami penyesuaian-penyesuaian yang menyebabkan agama seolah memiliki wajah ganda. Konsekuensi kedua terjadi ketika perang tersebut menghasilkan hasil yang zero-sum alias yang menang memegang kendali, sementara yang kalah menanggung kehancuran dahsyat. Di sini kita tidak bisa berharap pada nilai-nilai kasih agama untuk mengampuni pihak yang kalah. Di sini, pergelutan teks kembali terjadi yang biasanya memberikan porsi yang lebih besar pada dendam. Keberingasan kaum beragama pun terekam menjadi sejarah yang dimaknai generasi berikutnya dengan beragam interpretasi. Bisa sebagai teladan yang patut dilanjutkan dalam perang berikutnya, bisa juga sebagai kegagalan yang makin menjauhkan agama dari kepercayaan manusia.
Kembali pada Manji, kritik Manji pada Agama Islam, Quran, dan penganutnya memang tidak bisa dianggap sebagai omong kosong, tetapi saya rasa Manji juga harus melebarkan fokusnya sehingga tidak terjebak pada ungkapan curahan hati pembelaan diri yang mengatasnamakan kaum tertindas tanpa memahami state of nature manusia itu sendiri.

cont

Dimensi Ekstrinsik Irshad Manji


Pengalaman tertindas sudah jelas menjadi unsur ekstrinsik dominan yang diperlihatkan oleh Manji. Tapi ada yang menarik dari sini. Bukan tentang pengalaman Manji yang membuat saya berkali-kali bilang, "Ohh,", "Hmmmm,", "Yaampun," "Ckckckckck", melainkan tentang pencitraan betapa beauty, brilliance, dan benign-nya multikulturalisme, demokrasi, dan segala yang menjadi penyangga liberalisme Barat. Menariknya lagi, bahkan Manji pun menampik tesis Edward Said yang membela kaum Timur. Lagi-lagi saya luar biasa salut pada Barat. Soft power-nya benar-benar tersistem dan mampu mencetak agen, yang entah fanon (berlindung pada topeng Barat) entah benar-benar termanipulasi oleh keelokan nilai (beauty), kejeniusan (brilliance), dan keramahtamahan (benignity) yang sejatinya hanyalah mitos.
Membahas mengenai soft power Barat dalam menegakkan liberalismenya, citra beauty dapat begitu mudah kita temukan dari pernyataan Manji mengenai indahnya penerimaan dalam perbedaan yang terjadi di dalam lingkungan demokratis dan multikultur. Manji mempertajam citra tersebut dengan melakukan perbandingan sikap gurunya di madrasah yang tidak menoleransi sikap kritis Manji dengan sikap kepala sekolah SMP-nya yang meskipun tidak setuju dengan Manji, tidak memperlihatkan sikap yang mengancam Manji. Selain itu, kita juga akan menemukan citra brilliance dari bagaimana cara 'gereja' memenuhi rasa keingintahuan Manji dengan jawaban yang bisa menenangkan Manji dan penghargaan bagi sikap kritis Manji. Perbandingan sebagai cara mepertajam citra kembali dilakukan Manji melalui kejengkelan Manji yang sulit mengakses perpustakaan madrasah. Kemudian dalam hal benignity, Manji memperlihatkan citra menarik itu di dalam tubuh liberalisme melalui sikap-sikap tidak manusiawi dari kaum muslim kepada kaum tertindas yang menyebabkan kaum tertindas menderita padahal dari kaum tertindas itu pula muslim pernah mendapat bantuan.
Memang harus diakui bahwa soft power adalah power yang kepemilikannya bergantung pada negara. Sikap kepala sekolah SMP Manji dan gereja yang saya katakan sebagai pengaktualisasian soft power negara multikultur bisa saja diragukan dengan argumen, "Memangnya ada briefing khusus bagi para kepala sekolah dan gereja mengenai cara bersikap kepada orang-orang seperti Manji?" Ya, saya juga ragu apakah ada briefing formal. Namun, masalahnya bukan pada ada tidaknya briefing formal, melainkan pada telah meresapnya budaya penerimaan atas perbedaan pada negara-negara penegak liberalisme. Pada negara-negara dengan budaya seperti ini, sudah tidak perlu lagi ada duta-duta soft power karena semua rakyatnya telah menjadi agen soft power secara otomatis. Saya rasa ini juga tidak ada kaitannya dengan agama, tetapi lebih kepada praktek kultural yang telah berlangsung lama yang akhirnya menjadi penguat peradaban. Adanya penyertaan gereja saya rasa hanya sebagai pemertajam citra.
Dalam bukunya, Manji beberapa kali menyebut bahwa di antara semua ketertindasan yang dialaminya dari kaum Muslim, penyelamatnya adalah nilai-nilai liberalisme Barat. Lucunya, Manji menegaskan bahwa betapapun demikian ia tertindas dan mengkritik Islam, ia tetap menganut Islam. Saya tidak menghimbau pada Manji untuk keluar dari Agama Islam, saya hanya mengkritisi dimana posisi Manji saat ini. Saya bingung menentukan apakah Manji ini fanon atau subyek termanipulasi yang dijadikan duta soft power oleh Barat. Dalam beberapa hal, saya melihat Manji sebagai fanon. Manji ini merayakan nilai-nilai Barat dan mengkritik Agama Islam, tapi Manji juga tidak bisa menutupi identitasnya sebagai non-Barat. Manji ya Manji, orang Asia dan penganut Islam. Sebagai orang Timur dan penganut Islam, Manji adalah one of the others yang dimarginalkan Barat, tapi masih membutuhkan Barat sehingga ia harus menopengi dua identitas marginalnya untuk mendapat penerimaan dari Barat.
Namun demikian, dengan analisis soft power, Manji juga bisa dilihat sebagai subyek yang preferensinya sudah dibentuk sedemikian rupa oleh Barat sehingga percaya dengan mitos-mitos Barat dan menyebarkan preferensinya tersebut untuk membentuk preferensi orang-orang yang sekaum dengannya, yakni Timur yang Muslim. Kekerasan hati Manji untuk tetap menjadi muslim meskipun ia telah mengalami perlakuan tidak mengenakkan dari Islam saya lihat lebih sebagai bentukan Barat yang memang tujuannya untuk membentuk preferensi Muslim bukan untuk kristenisasi, tetapi untuk mengamankan kepentingannya dengan Muslim. Seperti yang saya tekankan sebelumnya, ini memang bukan persoalan agama, melainkan persoalan survival dari sebuah peradaban yang bernama peradaban Barat yang terancam dengan perkembangan Islam yang tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai peradaban dengan penyebarannya yang tidak mengenal batas negara. Hal yang ingin dicapai Barat dari duta soft powernya yang bernama Manji seperti yang diungkapkan Vuving sebagai tujuan diperlihatkannya sisi beauty, brilliance, benignity sejatinya adalah pengidolaan, pengimitasian, perlindungan, penghormatan, dan kepercayaan. Pihak-pihak ekstremis Islam yang merasa marah dengan Manji dan Barat juga seharusnya memperhatikan poin ini kemudian menghilangkan keburuksangkaannya bahwa Barat ingin mengkristenkan Muslim.

cont

Jadi, Apa dan Bagaimana dengan Manji?


Saya melihat potret perang pemikiran ektremis vs liberal yang kadang bersinggungan dengan perang fisik ini sebagai sebuah kewajaran dan bisa jadi merupakan perpanjangan sejarah.
Dari sisi Barat, perang ini adalah usahanya untuk mempertahankan keberadaannya yang terancam dengan perkembangan Islam. Sementara itu dari sisi ektremis Islam, perang ini adalah usaha-usaha untuk mempertahankan kesakralan agama yang mereka percayai sebagai anak tangga bagi manusia untuk meraih derajat yang lebih tinggi. Menariknya, perang ini dilakukan dengan cara yang berbeda. Barat mengandalkan soft power sebagai alat pembentuk preferensi, sedangkan ekstremis Islam yang selalu berupaya untuk blak-blakan dan menjauhkan diri dari segala tindak manipulatif yang munafik mengandalkan kekuatan fisik dan nafsu amarah untuk menertibkan masyarakat ke jalan surga. Di satu sisi, Barat memang manipulatif bin munafik, tapi saya rasa hal tersebut wajar karena tujuan yang ingin mereka capai adalah pembentukan preferensi umat Muslim mengenai Barat agar tidak mengancam keberlangsungan hidup Barat. Di sini Barat tidak hendak menjadikan Muslim sebagai bagiannya. Satu, Barat tetap merasa dirinya lebih superior dibanding Muslim yang notabene didominasi oleh orang Timur. Kedua, memelihara Muslim dalam orde-orde liberalisme sama seperti mengasuh anak harimau. Masalahnya tidak hanya karena jumlah Muslim itu banyak, tetapi memang nilai-nilai dalam liberalisme itu adalah nilai yang bila tidak dibatasi akan menumbangkan kekuasaan Barat. Ketika Manji memuji Barat yang menghargai perbedaan dan mau dikritik oleh Barat sendiri, itu hanya praktek di permukaan yang diperlihatkan untuk menambah kemenarikan belaka. Barat juga tetap mencari cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Selain itu, respon emosi dari ektremis Islam saya rasa juga wajar, mengingat mereka adalah pihak yang paling pertama dilecehkan. Namun memang harus diingat bahwa karena yang diinginkan Barat adalah keamanan dari rasa terancam, dengan sikap reaktif kaum ektremis tersebut, kaum ektremis akan kehilangan reputasi. Kaum ektremis malah akan menjadi terdemonisasi oleh sikapnya sendiri.
Saya pikir hal yang harus dikembangkan dari fenomena di atas adalah pemahaman secara mendetail apa yang diinginkan oleh pihak yang dianggap lawan. Barat cukup piawai dalam hal ini. Selain itu, perlu juga dikembangkan sikap kritis dalam diri kita sehingga tidak terseret dalam pertarungan dua kepentingan besar antara ektremis Islam dengan Barat. Yang paling patut diwaspadai adalah Barat. Dengan kehalusan cara mereka untuk membentuk preferensi kita, saya pikir kita harus mendalami apa kepentingan Barat atas kita dalam setiap teks-teks yang mereka gulirkan. Saya rasa ketelitian, kecerdasan, kecermatan, pikiran yang terbuka, dan hati yang lapang adalah kunci bagi kita agar tidak terseret dalam dua arus utama ini.


Ark. Mei'12.

im back im back im back


Wow, sudah lama sekali ngga ngeblog. Modem saya rusak, bro. Nggak kedetect gitu jadinya ngga ada sinyal yang masuk ke laptop. No, jangan nuduh laptop saya yang bermasalah. Saya sempat nyoba masukin modem lain ternyata bisa kok saya gunakan. Kartu xl saya juga ngga bermasalah. Kalau kartunya saya taro di hape, saya bisa internetan. Nah, itu juga sebabnya sekarang no im3 saya nggak bisa dihubungi kalau malam. Saya masang xl modem di hape saya jadi saya bisa twiteran, fesbukan, atau googling.
Ah, ya, terakhir saya nulis di sini itu mmmm ngabari kalau saya mau ke Singapura ya? Yah, itu alhamdulillah sudah terlaksana tanggal 15-18 April lalu. Senang? Puas? Lega? Yah, patut disyukuri sajalah. Prinsipnya sih, ya yang namanya juga skripsi yah, pasti ada aja kan cobaannya. Alhamdulillahnya sih saya hidup layak di Singapura, tapi ya tentu ada harga hati yang dibayar di sana. Tapi ah yasudahlah, overall saya senang kok. Alhamdulillah sudah bisa studi lapangan.
Saya jadi kepikiran kalau nanti saya ngambil s2 atau s3, saya mau studi lapangan lagi. Mmmmmm tapi negaranya harus yang menantang, nih. Kayak apa ya..mmmm di Amerika Latin, misalnya Kolombia, Peru, Brazil, Meksiko. Brazil, atauuuu Kuba hahahahaha. Tapi itu neliti kajian apa yak...masih belum kepikiran. Yang kepikiran ya negara yang bagus aja. Itu sih pasti arahnya ke pencitraan lagi. Aaaaa, sepertinya saya mulai jatuh cinta sama pencitraan. Pencitraan itu pada akhirnya membawa kita memahami teori dan filsafat lebih dalam. Hmmmm, apa ya...kita tuh jadi berkontemplasi gitu. Saya kan senang tuh merhatiin orang-orang, lingkungan, terus merenung, terus nyari jawaban kenapa bisa gitu, terus merasa orang-orang di dunia ini suck banget dan bertanya kenapa ngga segera kiamat aja hehehehehehe. Ya pokoknya tipikal Aristoteles tapi mikirnya di ruang ber-AC dan di depan ada Dunkin Donuts. Hahahahaha.
Oh, iya saya mau cerita selama di Singapura ngapain. Saya cerita bagian senang dan bodohnya saja deh, hehehe. Yang bagian gendoknya disensor aja.
Saya berangkat dari rumah itu jam 12 malam. Berangkat jam 12-nya ngga masalah, yang bikin masalah adalah hal yang saya lakukan sebelum jam 12 malam itu. Saya ngajar intensif UN Bahasa Inggris SMA sampai jam setengah tujuh malam dari jam delapan pagi. Jam 8 sampai jam 11 saya ngajar di Ujung berung, lanjut jam 1 sampai jam setengah 5 di Cibiru, dan jam setengah 5 sampai setengah 7 di rancaekek. Di sela ngajar itu saya transfer uang untuk travel, ngambil sebagian uang di Bank Mandiri, ngesms orang buat konfirmasi. Hmmm, beres ngajar jam setengah 7 itu saya masih belum bisa langsung pulang ke rumah. Saya masih harus ngeprint form-form buat penelitian lapangan. Harusnya saya ngeprint aja di Ganesha, tapi saya lupa. Saya jadi belok dulu ke Nangor. Pulang dari situ, saya ngambil kamera dulu ke Dewa. Kameranya sih punya Solpa, baterenya punya Gigih, tapi itu lagi dibawa Dewa. Dewa lagi di Dmagh, tempat futsal di  Cileunyi. Abis dari Nangor terus ke Dmagh. Beres dari Dmagh, saya masih harus nyari titipan buat orang Singapur. Ada yang nitip cheesestick Amanda tapi karena keterbataan waktu, saya beliin cheesestick Vannisa.
Oke, akhirnya saya sampai di rumah jam delapan malamlah. Udah nggak bisa mikir, entah mau digimanain ini packing tuh. Packing akhirnya beres jam sepuluh. Beres itu, saya baru ganti baju terus makan terus cuci muka terus sikat gigi. Beres ngurus badan akhirnya jam 11. Baru rebahan bentar di kasur, udah ada telepon, ternyata sopir travelnya udah dateng. Kyaaaaa, ganti baju lagi. AKhirnya jam dua belas kurang dikit saya berangkatlah ke Bandara Soekarno Hatta.
Saya ternyata sampai di bandara sebelum jam setengah tiga pagi. Ajaib kan? Entahlah itu gimana caranya. Hufff, tapi bandara belum buka :(. Akhirnya saya nunggu di teras bandara sambil duduk di trolley. Ngapain ya? Yaudah saya buka laptop dan nonton serial yang ada. Kalau ngga salah saya nonton Big Bang sama Good Wife. Adalah itu sejaman. Nah, di situ ada kejadian menegangkan. Tanggal 15 itu bertepatan dengan gempa bumi di Banten. Getarannya itu kerasa sampai bandara tapi saya nggak sadar. Cukup gede juga sih tapi saya mikirnya itu getaran resonansi dari trolley. Tapi aneh aja sih kenapa pas abis getaran itu, lampu bandara langsung mati. Saya pun bergelap ria sambil santai nonton Good Wife. Saya baru sadar kalau itu adalah gempa pas saya mau boarding. Pas jam 5 pagi saya OL twiter, lah ada kabar gempa. Subhanallah saya ngerasain gempa tadi.
Sampai di Singapura jam setengah 9 pagi, rasanya....hmm apa ya...saya biasa sendirian sih jadi ngga berasa apa-apa hahahahha. Yaudah, jalan aja sambil bawa ransel, satu tas tangan, dan masukin tangan ke saku jaket. Biasanya saya pakai earphone, tapi selama di Singapura itu saya udah bertekad untuk membuka mata, hidung, telinga, otak, dan mulut supaya penelitian ini lebih berasa. Saya kan ke Singapura buat studi lapangan, bukan buat kabur dari kenyataan hahahaha. Eh, tapi asik sih kayaknya kalau misalnya gitu ya kita lagi ngambek atau hancur terus kita jalannya ke luar negeri meskipun itu untuk sehari. Hahaha. Eh, justru lebih boros sehari kali. Pesawatnya mahal, cing! Mending diem di sana minimal seminggu dengan gaya hidup yang ala kadarnya seperti makan mie instan sama kopi di seven eleven terus tinggal di masjid. Yoiiii kannnnn? *Terlihat bahwa saya ini adalah tipikal orang yang lebih senang hidup miskin di kota ketimbang hidup makmur di desa. Pantesan ngga jodoh sama Ardi Bakrie.
Pengalaman selama studi lapangan? Wiiiih, walaupun Singapura bagi saya nggak asing-asing amat, tapi berhubung ini adalah studi lapangan, bukan belanja lapangan, ada banyak hal detail yang saya temukan yang bikin saya terkesima, "Anjrit banget ini Singapura serius banget penataannya!" Kalian harus masuk ke ION Gallery di ION Orchard Lantai 4. Galeri seni biasa sih, tapi atmosfernya asik. Beneran bikin rileks. Kalian juga harus ke ION Sky. Sedihlah saya ngga ke ION Sky berhubung duitnya ngga cukup. Itu aja sih. Sedihlah ke Singapore Flyer nggak mampu, ke ION Sky juga ngga bisa. Oh, iya kalian juga harus mampir ke Paragon terus ke liftnya di lantai bawah. Di situ ada toilet gitu, tapi cuma buat pengunjung VIP. Kalau mau masuk, harus nunjukin kartu. Buat kita-kita yang jelata, ada papan himbauannya supa kita pipis ke tempat lain hahahahhaha.
Terus apa lagi ya...
hmmmm, oh iya saya ke Raffles pake MRT naik di Orchard tuh. Keluar-keluar kan di Esplanade *tapi ga sempet ke Esplanadenya hiks huaaaaaaa* terus ke Suntec City. Buahhhhhhhhh subhanallah itu Suntec City luasnya seluas-luas apalah. Satu bundaran itu dikelilingi sama Suntec City doang, bahkan kalau ada jalan raya, itu Suntec City-nya dimasukin ke bawah tanah. Intinya mah sewilayah itu punyanya Suntec City doang. Abis dari Raffles, saya mau ke Sentosa.  Saya udah niat sih dari awal kalau habis dari Suntec, saya harus balik lagi ke Dhoby Gahut buat naik MRT jalur ungu yang North East, tapi masalahnya, saya rada males turun naik MRT. Pas saya tau si Esplanade yang jalur kuning CL atau Circle Line itu juga nanti nyambungnya ke Harbour Front alias pelabuhan menuju Sentosa, yaudah saya naik CL aja. Pertimbangannnya saya nggak usah turun naik MRT. Bener, sih saya emang nggak turun naik MRT, tapi itu berlangsung selama satu jammmmmmm. Arrrggg. Esplanade itu stasiun CL 3, nah si Harbor Front itu tebak dong ada di CL berapa? CL 29, pakdeeee!!!!! Hahahaha. Harusnya saya naik North East loh, serius. Saya nggak sadar aja kalau yang namanya Circle Line, ya line-nya itu meng-circle alias ngelilingin. Dari yang saya pelajari ketika malam hari ketika saya pulang dari Sentosa ke Harbor Front terus ke Dhoby Ghaut naik jalur ungu yang ternyata only took 10 minutes instead 60 minutes, jadi si Circle Line ini rutenya bikin lingkaran yang kebuka dikitlah, sedangkan jalur ungu adalah tali busur si lingkaran Circle Line. Wakakakakkakakaka. Kacaulah. Tapi nggak apa-apa, gara-gara saya naik CL, saya jadi tahu penampakan penduduk Singapura, terutama anak sekolahnya. Jalur CL ini kan melewati HBD atau kompleks perumahan Singapura, terus kawasan SD-Universitas *buat yang mau ke NUS sama ISEAS, naik MRT jalur CL ini aja*, jadi saya ngerasa kayak ngeblend gitu sama lingkungan Singapura. Berasa kayak tinggal di situlah. Kedekatan emosionalnya itu tercipta banget. Aaaaaaa jadi pengen sekolah di Singapuraaaaa hahahahhaa.
Hmmmm, kejadian yang menarik lagi itu terjadi di Vivocity. Nah, si Vivocity ini ternyata adalah mal yang mengalahkan Suntcity dalam hal ukuran. Dulunya sih Suntec itu mal terbesar di Singapura, nah sejak ada Vivo, Vivolah pemenangnya. Nggak percaya? Booooohooooowwww, jangan pernah meremehkan mal Singapura, nak. Jadi, saya ini sudah bangga dengan status diri saya sebagai anak mal atau anak Factory Outlet yang tahan berdiri jalan di pusat perbelanjaan, berapapun jumlah toko itu, dari jam buka sampai jam tutup. Saya juga apal tata letak dan jalan keluar mal. Udah pede-pede gitu, tapi sepertinya saya memang harus menyadari bahwa kemampuan saya nggak ada apa-apanya kalau sudah dihadapkan pada mal sesungguhnya, yakni di Singapura, tepatnya di Vivocity. Pas datang ke Vivo, saya nyasar satu jam muter-muter di mal nggak tahu dimana jalan keluar buat ke jalur boardwalk Sentosa Island. Pas pulangnya, saya juga nyasar nyari dimana stasiun MRT. Nggak tanggung-tanggung, saya nyasar dua jam di mal. Mennnnnnnnnn!!!
Cobaan belum berakhir, tuan dan nyonya. Kebayang aja itu, saya dari pagi jalan ke Orchard terus muter-muter di Raffles, terus nyasar dua kali di Vivocity, terus jalan kaki pulang pergi dari Sentosa ke Vivocity, nah sebagai penutupnya adalah....saya pulang dari Orchard ke tempat tinggal saya di Chatsworth juga jalan kaki. Jaraknya lebih dari dua kilo lah. Yang dua kilo itu yang jalan lurusnya. Jalan yang berkelok-kelok penuh dosanya itu panjang juga hiks. Eh, tapi itu justru hal yang paling asyik yang ada di dunia ini loh. Saya selalu suka jalan malam, sendirian, di tempat asing. Senengnya lagi Singapura itu aman dan syahdu jadi saya beneran kayak lagi jalan di surga. Hahahahhaa. Tapi itu juga sebenernya nggak sengaja juga sih. Saya baru sadar kalau jalan yang biasanya saya lewati kalau saya berangkat ke mal itu one way. Saya bisa naik bis kalau saya pergi ke Orchard, tapi saya nggak bisa pulang dengan naik bis lewat jalur yang sama. Epic banget itu epic. Hahahahahhaha.
Hmmmm, tapi apakah saya sudah puas? Seriusan belum. Masih banyak dari Singapura yang belum saya jelajahi. Ada sih yang bilang kalau menjelajahi Singapura itu dua hari saja cukup. Yah, kalau kaliannya jalan-jalan doang dan dengan budget yang terbtas cuma buat beli hal-hal yang udah kalian rencanain beli sih ya bisa aja dua hari. Tapi, saya rasa kalau kalian mau menikmati Singapura sesingapura singapuranya singapura, terutama bagian pencitraannya, jangankan dua hari, empat hari aja nggak cukup. Itu juga dengan hitungan Singapura itu bagi saya nggak asing-asing amat. Kalau saya ada kesempatan ke Singapura lagi, saya malah mauuuuu....
1. Main ke museum-museumnya
2. Main ke galeri seni dan gedung teaternya, terus cari pertujukan gratisan
3. Main ke Marina Bay
4. Joging atau jalan-jalan santai sore-sore di taman-taman Singapura. Di jalur MRT CL banyak nih.
5. Hunting barang murah di mal-mal-mal-mal-mal
6. Main ke Chinatown, Little India, Bugis, dan pusat-pusat budaya lain. Jalan aja beneran jalan.
7. Pura-pura mau daftarin anak atau keponakan di sekolah Singapura terus jalan-jalan keliling sekolahnya
8. Ke perpustakaan umum yang ada di tiap kecamatan atau ke ISEAS, atau ke NUS
9. Nongkrong di kantin NUS sama NTU
10. Naik MRT dari ujung ke ujung sambil berhenti-berhenti di stasiun yang menarik
11. Main ke Clarke Quay *huaaaaaaa sedih kemarin ga sempetttttt :(((((*
12. Main ke taman nasional, kebun binatang, HBD, makan di seven eleven
13. Masuk ke segala macem gerai papan atas di mal terus jadi konsumen yang rewel tapi nggak beli
14. Solat di banyak mesjid di Singapura
15. Beli coklatttttttt sama gorengan duriannnnnn
Apa lagi ya....ya hal-hal yang bisa dilakukan tanpa temanlah...realitanya kan saya sendirian dan suka sendirian, jadi ya harus yang berbau kemandirian, hihihiihihi.
Hmmmmm, pengalaman saya pastinya nggak segitu doang, tapi ya gimana ya..ada yang patut disensor dan ada yang patut dijadikan pembahasan skripsi. Intinya sih saya senanglah di Singapura. Paspor saya lima tahun ini pun dibuka dan ditutup oleh Singapura. Ah, semoga di paspor yang baru nanti akan ada banyak tempat lain yang menarik yang akansaya kunjungi. :)