Dari Sebuah Buku "Islam dan Sekularisme" Part 1


Dua atau tiga minggu terakhir ini saya dipinjami buku oleh kawan saya secara nyicil. Maksudnya minggu pertama dipinjami dua buku, terus tiga hari beres, dua minggu kemudiannya dipinjami lagi satu, terus tiga hari beres. Iya, jadi bukunya ada tiga tuh, ketiga-tiganya memiliki isi yang yoi banget mamen. 
Buku yang mau saya bahas ini berjudul "Islam dan Sekularisme", buah karya Syed Muhammad maquib Al-Attas. Pada keprok, deh yakin baca judulnya. Sebagian keprok karena tahu dari siapa saya dapat pinjaman buku ini, sebagian keprok gara-gara ngira saya pencitraan di mata orang yang meminjamkan buku. Salah emang nih stigma orang. Haha. Terserahlah, tapi yang jelas dibanding dua buku sebelumnya yang juga bernafaskan Islam yang membahas Islam dari sudut diskursif dan kaitannya dengan tren posmodernisme yang bagi saya menarik karena menyajikan perbandingan Islam dan Barat secara kritis dan akademik, buku ini mengena bagi saya karena buku ini memberikan jawaban argumentatif atas apa yang saya pikirkan beberapa waktu terakhir, yakni ketidaksetujuan saya atas kegamangan orang-orang atas agama yang akhirnya membuat mereka mengecilkan arti agama sesungguhnya. Buku ini lebih bersifat mengenalkan kita pada hakikat hidup kita sebagai manusia.


Tentang Din
Satu hal mendasar yang paling saya setujui dari buku ini adalah pengidolaan kita, Muslim, terhadap Barat yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Ini bukan soal fasisme atau soal kedendaman karena konon Barat telah banyak mengambil dan memodifikasi hasil pemikiran ilmuwan Islam. Ini lebih karena intrepretasi Barat akan manusia dan agama itu sendiri yang berbeda dengan keseharusan pemahaman mengenai manusia dan agama sebagaimana yang digariskan Quran. Ketika kita memasuki pola pikir Barat ini, akhirnya kita terjebak dalam pendefinisian manusia dan agama ala Barat yang menjauhkan kita dari hakikat kita sebenarnya.

Titik konflik pertama terjadi ketika Barat menerjemahkan agama --tentu yang dimaksud di sini adalah agama Islam- atau yang dalam bahasa Arab disebut din sebagai religion. Sama-sama agama, memang, tetapi dengan pemaknaan yang lebih sederhana dan mereduksi makna din sesungguhnya. Pak Attas menyimpulkan  makna din sebagaimana yang diungkapkan dalam bahasa Arab menjadi empat, yakni (1)keadaan berhutang, (2) penyerahan diri, (3) kuasa peradilan, (4) kecenderungan alami.  Penjelasannya panjang, tapi secara ringkas konsep din ini merujuk pada suatu keadaan yang seharusnya disadari manusia bahwa ia adalah makhluk yang eksistensinya di dunia ini dipinjamkan oleh Allah sehingga pada akhirnya manusia ini memiliki kewajiban untuk selalu mengabdi. Pengabdian di sini juga tidak dimaknai seperti pengabdian pada umumnya yang kita pahami antara manusia dengan manusia, tetapi pengabdian kepada Allah yang dalam prosesnya bukan Allah yang diuntungkan, tetapi manusia yang mengabdi itulah yang mendapat manfaat. 

Dalam pengabdiannya ini, manusia juga harus taat akan segala hal yang dijadikan hukum oleh Allah. Hukum ini memang mengikat, tetapi kembali lagi pada pernyataan di atas, pada akhirnya hukum-hukum ini ada bukan demi Allah, melainkan demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Ketaatan manusia akan hukum Allah ini akan melahirkan apa yang disebut Pak Attas sebagai konsep keadilan, yakni keadaan yang membuat segala hal berada sesuai dengan tempatnya. Din pun akhirnya mengenal konsep hirarki. Di satu sisi, manusia memang tidak dapat dilepaskan dari konsep kesetaraan. Namun berbeda dari konsep kesetaraan yang kita pahami saat ini, kesetaraan yang dimaksud di sini hanya berasal dari proses penciptaan manusia yang sama-sama dari tanah, saripati, yang nantinya atas izin Allah berkembang menjadi daging dan tulang. Kesetaraan penciptaan ini tidak dapat diproyeksikan lebih jauh lagi dalam ranah taqwa dan ilmu. Manusia di mata Allah akan berbeda derajatnya sesuai dengan dua hal tersebut, yang seharusnya tidak hanya dimaknai dengan ungkapan bahwa hanya Allah saja yang akan menilai dan menghargainya, tetapi juga harus dilakukan oleh manusia lainnya. 

Namun demikian, hierarki ini ada bukan untuk menciptakan opresi dan tirani di kalangan Islam. Hierarki ini dibutuhkan sebagai institusi untuk pemberian ilmu dan pendidikan. Tanpa adanya hierarki, menurut Pak Attas, manusia tidak akan mau mendengar. Mereka akan jumawa dengan merasa pendapat dan ijtihadnyalah yang lebih benar. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa ijtihad-ijtihad manusia yang hierarkinya lebih bawah ini bisa jadi melampaui ijtihad hierarki di atasnya. Namun bila hal ini terjadi, tetap saja harus ada pembinaan dari hierarki di atasnya. Menurut ibu saya, bagaimanapun juga, ketika manusia sudah berada di tingkatan atas hierarki, manusia itu sudah bisa menguasai medan dan bisa melihat potensi manusia yang ada di bawahnya. Peran manusia di tingkatan hierarki tinggi ini adalah melejitkan potensi manusia yang ada di bawahnya sehingga cahaya yang nanti mereka pancarkan jauh lebih kuat. Bagaimana dengan manusia yang suka menjegal dan mematikan potensi? Kata ibu saya, berarti mereka belum berada di hierarki atas secara sesungguhnya.

Kembali lagi soal din. Dengan paparan bahwa din pada akhirnya mengikat manusia kepada Allah secara mutlak, apakah din ini akan langsung ditolak manusia? Tidak menurut Pak Attas. Sebabnya apa? Ya, karena din itu sendiri adalah kecenderungan alami. Saya selalu percaya bahwa manusia itu di dunia ini dibekali kecerdasan akal, kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, serta kemampuan untuk mencari tuhan entah bagaimana caranya. Ternyata Pak Attas juga mengetengahkan hal demikian. Pak Attas menjelaskan kecenderungan spiritual itu melalui adanya perjanjian ruh dengan Allah sebelum ruh itu diturunkan ke raga manusia. Saya percaya. Lebih percaya lagi karena harus diakui, tidak ada manusia yang tidak pernah merasa lemah dan takjub. Dari kelemahan, kita mencari dzat pelindung yang kita tahu itu bukan dari kalangan manusia lagi. Dari ketakjuban, kita mencari dzat yang dapat mengatur keajaiban dan kebaikan alam yang tentu bukan manusia lagi. Dua hal itu yang menuntun kita untuk mencari tuhan, entah dengan nama apa dan dalam kerangka religion apa, yang penting itu dzat yang membuat kita merasa nyaman dan yakin. Karena saya Muslim, ya Dzat yang menyamankan dan meyakinkan saya ya Allah dan dalam kerangka din Islam. Bagi manusia yang tidak atau belum mengenal Islam, ya ada banyak lagi. Bagaimana dengan atheis? Bagaimana dengan orang-orang yang mengakui Tuhan tetapi tidak berada di dalam kerangka agama manapun? Itu masalah yang akan dibahas dalam waktu yang lain.

Saya pikir penjelasan Pak Attas mengenai din Islam ini sangat mulia. Pak Attas kemudian juga memberikan karakteristik din Islam secara lengkap yang membedakannya dengan agama-agama lain. Salah satu hal yang menonjol adalah misi penyelamatan yang universal yang dibawa din Islam. Dalam agama-agama lain, misi penyelamatan tidak menonjol, apalagi universalitas. Banyak agama yang hanya ditujukan bagi bangsa-bangsa tertentu, terutama agama yang berkaitan dengan penghormatan terhadap nenek moyang, yang pada akhirnya membuat agama tersebut mengeksklusifkan lingkup penganutnya dan hanya memfokuskan pada pemujaan atau pemfokusan manfaat bagi sesembahannya, bukan bagi penganutnya. Pak Attas menyebutnya sebagai agama kebudayaan. Ada pula agama yang mencoba menjadi universal dengan menggabungkan fargmen-fragmen dari peradaban dan kepercayaan beragam bangsa namun pada akhirnya limbung diserang skeptisisme umatnya sendiri.  Fenomena agama yang seperti ini yang akhirnya membuat Barat memandang rendah agama. Bagi Barat, semua agama adalah bagian dari tahap pemikiran manusia usia anak-anak yang butuh dibimbing. Jika mau dewasa, agama harus dihapuskan dari alam pikiran manusia karena yang namanya orang dewasa tentu tidak lagi membutuhkan bimbingan. Ya, mungkin Barat nggak pernah skripsi kali ya, jadi menganggap enteng bimbingan hehehehehe.

Pereduksian Barat terhadap agama selain didukung oleh adanya fenomena agama yang seperti itu juga didukung oleh perkembangan ilmu dan pengetahuan di Barat sendiri yang didasarkan pada keraguan dan dekonstruksi. Pak Attas menganalogikan perkembangan ilmu di Barat yang demikian layaknya orang yang mendorong batu ke puncak gunung kemudian ketika sampai di puncak, batu itu digelindingkan lagi ke dasar gunung. Saya menyetujui pandangan Pak Attas karena memang hal itu yang saya rasakan selama saya membaca ilmu dan pengetahuan yang lahir di Barat. Tradisi Barat memang selalu mendekonstruksi dan ini tidak hanya terjadi pasca-Derrida, tapi bahkan dari zaman Renaissance. Renaissance dibangun dari keruntuhan Abad Kegelapan, bukan? Kemarahan, skeptisisme, ketakutan, penindasan, pemanfaatan, tirani, kejumawaan, dan usaha pencarian yang tidak berujung kerap menandai perkembangan masa di Barat. Dari perkembangan naive inductionist science yang benar-benar naif atas fakta inderawi, kemudian logical positivism yang mengandalkan logika deduktif, lalu popperian falsificationist science yang mencari kebenaran melalui falsifikasi, lalu kuhnian paradigmatic science yang intinya kebenaran akan disebut kebenaran bila dianut oleh banyak orang, ada pula lakatosian reserach program yang menjaga kebenaran suatu kebenaran melalui lapisan-lapisan uji bagi penemuan baru, hingga anything goes yang mengakui semua hal sebagai kebenaran. 

Perkembangan ilmu yang begitu dinamis di Barat tersebut memang menakjubkan bagi saya. Hanya dalam beberapa abad, sudah berapa tren yang terjadi? Itu baru secara umum. Belum jika kita memasukkan asumsi power/knowledge dari Foucoult dan beragam kritik sosial yang dilancarkan Baudrillard terhadap perkembangan masyarakat posmodernisme. Di satu sisi saya menganggap hebat pada Barat yang tidak hanya membangun peradaban dari hal-hal afirmatif terhadap perdabannya belaka, tetapi juga dari kritik. Namun memang harus diakui juga saya sering bertanya, "Kok bisa?" Pak Attas menjawab lewat buku ini, tanpa bermaksud fasis bahwa karena Barat tidak tahu apa yang mereka cari. Perbedaannya dengan Islam adalah Islam tahu apa yang ingin dicari, yakni Allah.  Dengan pemahaman din Islam, ya memang segala kegiatan manusia harus dipahami dan dilaksanakan sebagai kegiatan ibadah yang tujuannya untuk menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sambil juga mengembalikan utangnya kepada Sang Pemilik. 

Ah, iya, mengenai perbandingan tradisi keilmuan Islam,memang harus diakui seperti yang disebut dalam buku Misykat yang juga dipinjamkan kawan saya itu, tradisi tulis dan keilmuan Islam juga tidak seberkembang di Barat sehingga banyak yang terlewat. Namun kawan saya yang meminjamkan buku ini meluruskan bahwa permasalahannya bukan karena tidak berkembang, melainkan karena tradisi tulis dan keilmuan Islam berbeda dari tradisi Barat. Saya setuju. Kenyataannya, memang segala hal yang tidak sesuai dengan Barat tentu akan menjadi liyan, subaltern, atau yang termarjinalkan. Saya bilang, ya inilah tantangan. Masalahnya adalah hidup kita sudah ditarik oleh Barat. Kita sudah terjebak dalam tradisi-tradisi yang dikukuhkannya melalui kekerasan simbolik yang menyamankan kita meski kita tahu tradisi itu tidak menguntungkan kita.