Bandung, Juli 2006
Satu minggu menjelang Lebaran.
Senja memerah mega. Sebentar lagi adzan maghrib pasti akan menyergap telingaku. Dengan langkah lebar yang tak ingin kusebut lari, kutapaki jalan berbatu yang menebarkan aroma sampah. Ingin cepat masuk gubuk bututku, melihat Emak tirus tersenyum dalam rebahnya.
“Assalamualaikum!” sapa kecilku beradu dengan derit pintu.
“Waalaikumsalam,” lemah kudengar balas Emak.
“Emak nggak puasa, kan?” tanyaku memastikan. Mana boleh Emak berpuasa! Aku belum ingin sendirian hidup di dunia yang makin kejam ini.
Emak terkekeh sinis, “Apa bedanya puasa dan nggak puasa, Lin..?”
Aku terkesiap. Benar juga, keadaan seperti ini mau tak mau memaksa kami untuk tak merasakan perbedaan Ramadan dengan Syawal, Sya’ban, Jumadil, ataupun dengan bulan lainnya.
“Iya, sih, Mak. Tapi kan setidaknya Emak masih bisa minum,” kilahku menghibur.
“Alhamdulillah Emak puasa, kok,” sahut Emak sambil bangun dari dipan kerasnya.
“Batuknya masih berdarah, Mak? Oya, Alin bawa kolak, tadi ada ibu-ibu yang ngasih. Semua anak jalanan dapat! Coba setiap hari, ya, Mak…”
Aku mengeluarkan dua bungkus plastik kecil berisi kolak. Katanya, satu kolak untuk buka, satu lagi untuk sahur. Tapi, ah, kumakan sekarang saja dengan Emak. Sahur tak masalah. Aku atau Emak tak pernah mengenal apa itu sahur.
“Buat kamu sajalah. Emak malas makan. Nanti malah muntah, kan mubazir,” Emak tertatih meraih tungku dan menjerang air. Sekilas Emak melirik bungkus teh yang tak seberapa lagi isi serbuknya.
Aku menganga mendengar jawaban Emak yang enteng dan marahku terpancing, “Emak ini bagaimana, sih? Emak harus makan! Jangan alasan lagi, Alin nggak mau Emak tambah sakit!” Astaghfirullah, dalam hati aku meralat.
Emak tak bereaksi, hanya mengikat rambut tipisnya yang melewati bahu lalu menguap, “Emak nggak mau, kok malah dimarahi,” sindirnya.
Aku menunduk, “Maaf, Mak,” bisikku langsung.
“Lin, kamu ada uang? Tadi Bu Susilo datang…,” Emak memandangku tak tega. Momok yang menakutkan setiap kali Emak menyinggung nama itu. Bu Susilo, wanita gendut berkonde yang dua sikunya tertutup juntai gelang emas.
“Katanya, paling lambat Lebaran,” lanjut Emak tak ingin lagi menatap pias takutku. Matanya beliau sibukkan memandangi api yang lamban memanaskan air.
“Akan Alin usahakan, Mak,”
Taruhan, Emak atau Bu Susilo pasti sudah bosan mendengar jawaban ini keluar dari mulutku. Tapi mau bagaimana lagi, memang sulit mendapatkan orang yang mau kusemirkan sepatunya. Mana bisa aku cepat mendapatkan uang.
Terminal Cicaheum, Senin siang.
“Hari ginih masih nyemir sepatu? Hahahaha,” Upang, pengamen yang rambutnya bewarna kuning tertawa sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
“Ibu mau mati malah nyemir sepatu, hahahaha! Mana bisa punya duit banyak?” kali ini, Jurig yang bersuara. Suara cemprengnya menambah pekak telingaku yang kemasukan suara klakson bis yang panjang.
“Fuuuuuuuuh,” Upang hamburkan nafas baunya ke arahku. Asap rokok laknatnya dan asap knalpot bis telak membuatku menahan hasrat hidung untuk menarik oksigen.
“Hahahahahahahaha,” tawanya mengiringi batukku.
“Berisik! Sana ngamen! Dasar kunyuk pasar!” makiku lalu melengos pergi tanpa melihat kanan kiri. Semoga Allah memaafkanku. Semoga puasaku masih diberi pahala setelah ini.
“ Heh, Budug! Minggir! Aing tabrak, siah!” hardik seorang pria sangar berkumis tebal. Aku cepat-cepat menyingkir. Ingin memaki lagi namun mengingat dosa akhirnya kuurungkan. Hanya dengan cemberut kecil aku lampiaskan kesalku memandangi angkot kosong yang ia kemudikan ugal-ugalan keluar dari terminal.
“Semir, Kang! Semir, semir! Semir sepatu! Semir sepatu! Biar kilap! Mangga, semir!”
Kilat panas matahari kutantang dengan jajaan yang kuteriakkan. Kutantang juga udara panas dan kotor dengan langkahku menyusuri terminal. Hanya sesekali menyerah, berhenti untuk menyeka keringat yang terkucurkan dari pelipisku.
“Puasa nih, ye..!” ledek Bubun, pedagang asongan yang setiap pagi kulihat mengisap lem dalam-dalam di belakang WC terminal. Usianya lebih tua dua tahun dariku.
“Haus, Calon Haji?” tambah Jalaprang si tukang koran. Sangat asyik ia menikmati es jeruk yang mengalir ke dalam mulutnya lewat sedotan transparan. Aku menelann ludah. Iri.
“Prang, dia mau minuman kamu tuh! Hahaha,” sambung Bubun puas.
Aku mendelik sinis dan kuangkat kaki menjauhi dua bajingan tengik itu. Tawa mereka masih kudengar panjang di antara selip klakson bis, angkot, mobil, dan motor yang tak putus bersahutan.
Lama aku berjalan dengan langkah yang kunjung menyeok lemah. Puasa bagiku memang hal yang amat berat. Ditambah dengan jajaan untuk menawarkan semir yang tak terhirau, suaraku makin parau menahan haus. Begitu rindunya aku akan adzan maghrib pada saat-saat ini.
“Alin!” aku menoleh mencari arah suara.
“Alin, hoy! Kesini!” Bang Japran melambaiku, mengajakku bergabung dengannya di warung kopi Ceu Inah.
Bagi kerbau dicocok hidung aku mengikuti ajakannya padahal aku tahu Bang Japran adalah preman paling licik bin jahat di kawasan Cicaheum.
“Ada apa, Bang?” tanyaku agak takut.
“Belum ada uang,” lanjutku pelan. Perihal itu yang membuatku gemetar.
Bang Japran tak menanggapi. Malah matanya menjelajahi tubuhku yang hanya dibalut celana hitam selutut dan kaos putih kumal yang gambarnya sudah pudar. Senyumnya terkembang misterius. Aku bertambah gemetar dibuatnya.
Tak ada yang bersuara di antara kami berdua. Bang Japran jelalatan dan aku menunduk takut.
“Kepada penumpang Bis Harum menuju Solo, bis akan segera berangkat,” pengeras suara hingga tiga kali mengulang pengumuman itu dan belum ada tanda-tanda Bang Japran akan membuka maksudnya memanggilku.
“Punten, Bang..,” hati-hati kupanggil lelaki Batak berambut gondrong keriting ini.
“Eh, oh, eh, iya, iya, duduk, Lin. Sini duduk deket Abang,” ajaknya ramah tiba-tiba.
Diamnya sirna. Aku mengernyitkan dahi bingung dan tanpa bertanya kuikuti maunya. Daripada digorok seperti Jang Usep, tetanggaku.
“Alin udah makan? Sok atuh pesen, nanti Abang yang bayar,” ujarnya sangat ramah.
Nadanya merayu, itu pikirku.
Aku menggeleng, “Alin puasa.”
“Oooh, puasa… Pesen buat buka puasa atuh, Lin… Nih enak, nih.. Tuh, kan.. Yah, Ceu, yah..?” basa-basi Bang Japran meminta pendapat Ceu Inah yang memakai kaos merah ketat.
Ceu Inah mengangguk manis. Tangannya gemulai membentuk gerik sensual dengan mengikat rambut keriting panjangnya. Ia tersenyum dalam pose itu. Baru sekali aku melihat senyum perempuan judes yang selalu berlipstik merah tebal itu.
“Makasih, Bang. Nanti aja,” tolakku halus.
“Terserahlah, nanti bilang aja sama Ceu Inah kalau mau apa-apa. Jangan bayar, kan Abang yang bayar,” Alisnya terangkat lalu satu matanya mengedip. Ke arahku. Ya, Bang Japran berkedip padaku.
“Alin udah gede, ya..” tangan kiri Bang Japran terjulur meraih daguku yang lancip. Serta merta kutarik daguku menjauhi jari Bang Japran yang hanya empat, kelingkingnya tak ada.
Bang Japran tertawa lebar menanggapi ekspresiku, “Hahahaha. Maaf, Lin… Udahatuh, jangan takut gitu wajahnya. Abang nggak bakal nanaonkeun Alin.”
“Iyah, Lin, jangan takut… Justru kamu harus terimakasih sama Bang Japran. Bang Japran mau kasih kerjaan buat kamu,” Ceu Inah urun bicara. Matanya ia kedipkan pada Bang Japran, membuat satu isyarat aneh.
Aku memandangi kedua orang di hadapanku, Bang Japran dan Ceu Inah, bergantian. “Ada apa, ya, dengan mereka?” bisik hatiku.
Satu hari menjelang Lebaran.
Takbir saling bersahutan mengiringi senja, meniupkan aroma syahdu hari kemenangan. Kulihat sukacita tergambar di tiap paras yang kutemui di terminal.
Aku tertunduk. Kalut. Mungkin satu-satunya gambar sedih ada pada parasku.
Bagaimana tidak?
Batuk Emak makin parah, darah mengalir deras dari tiap goncang tubuhnya yang mengikuti irama batuk. Emak sudah dekat dengan kuburan, ucap Emak kemarin malam.
Bu Susilo besok akan menagih, padahal tak ada uang yang aku punya. Kalaupun aku punya, Emak yang akan aku prioritaskan. Hanya Emak yang aku miliki di dunia ini. Masalah Bu Susilo, biarkan ia mengusir kami dari gubuk reot itu. Toh, kehilangan uang dari kami tak berarti baginya. Hartanya sudah menumpuk di antara lemaknya.
Tapi..
Sekarang masalahnya tak ada uang. Aku tidak mau kehilangan Emak dan gubuk itu. Akan bagaimana aku nanti? Akan dimana aku nanti?
Aku memandangi Cicaheum yang kini sepi. Melamun. Bingung. Rasa haus tak aku indahkan. Adzan maghrib sedang tak berarti saat ini. Aku kehilangan selera buka puasa.
“Kamu cantik, Lin. Abang nggak mengada-ngada! Tuh, tanya Ceu Inah. Ceu Inah juga denger kalau Pak Zul muji-muji kamu,” suara Bang Japran berdengung di kepalaku.
Kepalaku makin berat setiap kali apa yang Bang Japran ucapkan Senin lalu terngiang di memoriku yang terbuka. Membuatku bingung antara larangan agama dengan realita.
“Ah,Lin, kata Ceu Inah mah, jangan banyak mikir! Apalagi mikirin agama, ah buat apa? Agama mah suka nyuruh yang aneh-aneh! Puasalah, solatlah, ngajilah, jangan ginilah, jangan gitulah, alaaaaaah! Zaman sekarang mah realita, weh! Jangan sok agama!” cibir Ceu Inah.
Kepalaku makin berat.
“Kamu butuh uang, kan? Sok ikutin agama kamu, bakal dapet uang nggak?” Ceu Inah tajam menghujat apa yang selama ini aku yakini.
Saat itu aku hanya tertunduk. Satu hatiku membenarkannya, satu lagi sakit mendengarnya.
“Sakali-kali ngadosa mah nggak apa-apa atuh, Lin.. Nanti tobat lagi… Emangnya kamu pikir ustad-ustad itu seratus persen orang suci? Mereka juga manusia, Lin! Dulu kotor terus tobat!”
Ya, kenyataan itu memang benar. Bang Japran benar.
“Pikirkeun, Lin! Jangan sok suci! Sesucinya kamu, pasti ntar mah masuk neraka juga,”
“Ya Allah, Alin harus gimana?” sakit aku berteriak dalam hati. Air mata menuruni pipiku. Bahuku naik turun bergoncang. Aku roboh jongkok. Kubenamkan wajahku di antara lipat tangan dan pahaku.
Lebaran, pukul 03.45.
“Emaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…!!!!!!!!!!!!!” enam lembar lima puluh ribuan kuhamburkan begitu kulihat sosok kurus milik Emak tersungkur di lantai gubuk kami yang berupa tanah. Teriak histerisku mengguncang kampung kumuh. Seperti lalat, tetangga mengerumuniku yang tak henti mengguncang selonjor kaku tubuh Emak. Darah bercampur lendir tak kuhiraukan melumuri betisku. Aku terus tersengguk.
Selepas waktu shalat Id yang aku lewatkan.
Diantara ucap saling memaafkan jemaah shalat, Emak akhirnya dikuburkan seadanya. Hanya beberapa tetangga yang membantu. Selebihnya? Entahlah, mungkin ikut menjadi jemaah shalat Id di Arcamanik. Aku tak peduli. Kepada mereka atau pada kewajiban shalat itu.
Tiga ratus ribu lenyap, entah siapa yang memungutnya di saat sedihku. Namun tak ada rasa menyesal dalam hatiku. Aneh. Mungkin karena aku mendapatkannya dengan cara hina. Merelakan Pak Zul menelusuri tubuhku yang ia aku, sintal. Sudahlah. Lupakan malam tadi, walau kurasa sulit.
Hatiku gundah namun aku tak tega memanggil Allah, seperti yang selalu Emak ajarkan dulu. Selalu memanggil Allah setiap kali ada kesulitan. Terlalu hina aku memanggil Allah. Terlalu hina. Aku malu.
Aku langkahkan kakiku menuju rumah Pak Zul, bermaksud mengabarinya bahwa aku bersedia menjadi simpanan kelimanya.
Keputusan salah. Tapi bagaimana lagi, Bu Susilo sudah mengusirku.
*Cerpen ini menjadi 12 Cerpen Terbaik Tingkat Nasional Komunitas Magma tahun 2006 dan pada tahun 2011 diangkat menjadi film indie berjudul sama oleh Himpunan Seniman Bandung