Takbir
Kisah TeKa Part Three
- Saat lomba menyanyi vokal grup lupa harus bergaya bagaimana. Bukan lupa sih, tapi gengsi saja. Gaya yang dititahkan oleh guru saya itu nggak masuk akal. Masa saya harus menggoyang-goyangkan pinggang saya? Kalau saya didakwa pasal pornoaksi dan disabotase Bang Haji Roma gimana? Saya ini gadis yang beretika loh. Terus masa saya juga harus menggoyang-goyangkan kepala saya ke kiri dan ke kanan? Ini nyanyi atau SKJ? Saya pun menyanyikan lagu "Kupandang langit penuh bintang bertaburan..." dengan memegang mikrofon saja sambil menatap penuh arti kepada ibu saya yang bertepuk tangan sambil berkaca-kaca dan kepada guru saya yang entah kenapa di bawah panggung menggoyangkan pinggangnya.
- Saya nggak bisa berkreasi dengan plastisin. Sementara temen-teman saya bisa membuat kreasi berbagai jenis binatang dari plastisin, saya hanya bisa membuat ular, itu pun karena bentuk ular yang panjang saja dari kepala hingga jari kaki.
- Saya nggak bisa memegang gunting dengan satu tangan. Karena saya suka memperhatikan bapak-bapak yang suka menggunting rumput di halaman rumah saya dan dengan caranya memegang gunting itu semua rumput bisa terpotong, maka itu adalah role model bagi saya. Cara saya dalam memegang gunting untuk kertas sangat berciri Bapak Rumput sekali yakni dengan dua tangan. Bagi saya itu ngga masalah karena itu adalah ilham yang saya dapatkan. Yang saya herankan adalah kenapa guru dan teman-teman saya sangat subversif sekali terhadap perbedaan? Apakah mereka lupa akan Bhinneka Tunggal Ika yang selalu diselipkan dalam setiap pidato kenegaraan? Mengapa urusan memegang gunting yang sedikit berbeda padahal hasilnya sama menjadi borok yang harus ditertibkan? Mengapa? Bukankah ini negara demokrasi dan multikultur? Saya nggak mengerti.
- Setiap kali piknik, saya nggak ditemani ibu saya karena entah kenapa setiap kali piknik, adik saya yang imut dan berjenis kelamin perempuan dan notabene lebih putih dan cantik dan tinggi dibanding saya itu selalu sedang diopname. Bagi saya, tidak masalah saya piknik sendirian karena bukankah bumi ini adalah milik Allah sehingga kita tidak perlu khawatir. Selain itu, bukankah saya ini adalah gadis mandiri yang dipuja-puja dalam lagu Chris Brown, Miss Independent. Guys, I've started that independency since I was in kindergarten!!! Saya heran mengapa mereka menganggap saya anak yang tidak berorang tua.
- Saya menjadi penguasa ayunan yang paling hegemon, kuat, dan tak tertandingi. Kalau saya naik ayunan, kepala saya bahkan bisa menyentuh ranting pohon jambu yang tingginya sekitar 18 kilometer dari tanah. Saya biarkan teman-teman saya menganga penuh kekaguman dan keirian karena hanya saya yang bisa melakukan hal seperti itu tanpa dimarahi guru. Saya juga sengaja nggak mau turun dari ayunan. Biarin aja mereka antri sampai bel masuk.
- Saya sengaja memanas-manasi teman saya dengan plastisin hancur yang saya buat. Sepertinya anak-anak TK adalah anak-anak yang mudah disulut emosinya padahal itu nggak penting. Waktu mereka pamer mereka bisa membuat berbagai bentuk dengan warna merah, kuning, hijau, biru, dan lainnya, saya pamerkan hasil plastisin saya yang berbentuk ular dan warnanya sudah bercampur dengan berkata, "Ah, kamu nggak punya kan warna malam yang gini? Malam aku warnanya beda, nggak merah, kuning, hijau, biru. Ini warna baru!" Terus teman-teman sayang yang pendengki itu pun terbelalak matanya, "Gileeee lu, Fes, lu beli dimana tuh malam? Mau dong kitahhhhh! Ini buat gue yakkkk. Maneh make nu urang weh!" Dan akhirnya saya pun mendapatkan hasil karya mereka dan nilai yang bagus plus pujian dari guru, sementara mereka mendapat gelengan kepala dari Bu Cucu karena mereka menunjukkan hasil karya saya yang amburadul itu.
- Ada satu anak yang mulutnya memang sungguh nista sekali bahkan ketika saya ingat-ingat dalam umur saya yang hampir 22 ini. Dia itu pemfitnah dan provokator kelas. Dia juga suka menjebak saya ke dalam dosa yang bahkan tidak saya mengerti. Masa dia mengajarkan saya cara membuat bunga dari jeruk tapi ketika saya praktekan dia bilang saya mencontek dia? Kan sungguh menimbulkan gejolak jiwa dan bursa efek. Kepercayaan publik terhadap saya pun menurun drastis. Yang pertama membully saya dan memarahi saya karena saya tidak bergaya di lomba menyanyi juga dia. Karena itulah, saya memutuskan untuk melancarkan PEMBALASAN.
- Pada suatu hari yang cerah dalam pelajaran menggunting, dia bolak-balik menertawai saya yang memegang gunting dengan cara dua tangan. Gayanya begitu kenes dan centil memainkan gunting dengan benar di depan saya. Ketika dia keluar dari bangkunya, saya bersembunyi di belakang bangkunya sambil berjongkok dan memegang gunting. Ketika dia datang dan akan duduk, saya bergegas menggunting rok belakangnyaaaaaaaaa hahahhahahhahahha. Dia sadar kemudian dia berteriak dengan sangat menderitanya lalu menangis kencang. Guru pun datang dan ibunya juga datang. Dia bilang saya sudah menggunting roknya. Saya datang dengan muka tidak bersalah dan tangan yang memegang gunting dengan salah. Ibu guru bingung, "Masa Festyka menggunting rok kamu? Dia kan nggak bisa menggunting.." | "Iya, Bu...dia menggunting. Pokoknya dia menggunting!!!" | "Apa kalian ada yang melihat Festyka menggunting rok?| "Engga, Buuuu...Dia kan nggak bisa menggunting" | "Tapi dia menggunting rokku, Buuuu....!!!" | "Coba, Festyka, kamu peragakan bagaimana cara kamu menggunting, coba gunting kertas ini"| Terus saya dengan polosnya mencoba menggunting dengan satu tangan yang tentu saja nggak bisa saya lakukan. | "Tuh, kan Festyka itu nggak bisa menggunting. Mungkin tadi ada yang ngga sengaja menaruh gunting di kursi kamu" | Terus ibunya ikutan bicara : "Jangan-jangan Teteh yang nggunting baju Teteh sendiri! Teteh kan gitu!| Wakakakakkakakakkakakkakakkakakakk. SAYA BERHASIL MEMBALASKAN DENDAM SAYA.
- Tapi aslinya sih saya juga nggak sengaja-sengaja amat menggunting rok dia. Saya itu hanya untung-untungan, bisa nggak saya menggunting dengan dua tangan. Saya pikir saya bakal gagal, tapi nyatanya saya bisa melakukannya. Saya juga kaget. Setelah saya menggunting rok si cewek itu saya juga nggak bisa melakukannya lagi, baik dengan satu tangan maupun dengan dua tangan.
Kisah TeKa Part Two
Kisan TeKa Part One
teruntuk pemilik http://paradoxical-reaction.blogspot.com
Jatuh
There He Goes :)
Selalu ada cerita setiap kali masa penerimaan siswa baru. Jantung berdebar sudah bukan cerita aneh dalam masa-masa itu. Jantung berdebar, harapan bisa memutar waktu ke masa ujian supaya nilai lebih besar, doa-doa yang selalu dipanjatkan dengan penuh harap sepertinya juga sudah membudaya di keluarga saya pada waktu-waktu itu. Menggelisahkan tetapi kami sungguh menikmati masa-masa itu, termasuk cerita seminggu lalu yang akhirnya pada tanggal 4 Juli ini mendapat kelegaan luar biasa.
Stres Berjamaah
Saat mendapat pengumuman bahwa nilai UN adik laki-laki saya, Ruki atau yang biasa dipanggil Mas, adalah 37.20, sekeluarga bangga. Bagaimana tidak bangga, sedangkan passing grade SMA cluster 1 pada tahun lalu saja hanya berkisar pada angka 36-37. Nilai Mas memang tidak menjadi nilai terbesar di SMP 7, namun dengan nilai tertinggi yang dimiliki SMP 7 yakni 38.95 yang hanya dipegang oleh satu orang dan nilai-nilai 38 lain hanya oleh beberapa belas orang, saya yakin Mas masih bisa sekolah di cluster satu setelah adik perempuan saya, Raki yang biasa saya panggil Mbak Tory gagal bersekolah di SMA 5 karena nilainya hanya terpaut 0.2 poin. Terlebih lagi, kepala sekolah Mas mengatakan bahwa SMP 7 termasuk tiga besar nilai UN terbaik di Bandung. Pesaing Mas saya rasa hanya datang dari SMP ‘musuh bebuyutan’ semacam SMP 5 dan SMP 2. Peluang untuk bersaing dengan mereka pun cukup besar pada tahun ini karena kebanyakan dari mereka sudah diterima di SMA 3 dan SMA 5 melalui jalur RSBI yang mandiri. Pilihan untuk Mas pun dijatuhkan pada SMA 2 dan SMA 1.
Karena mendaftar sekolah bukan hal pertama bagi saya dan ibu saya, seharusnya pendaftaran sekolah kali ini tidak menjadi masalah. Ah, tapi ketika bapak saya yang baru satu kali ini berada di rumah pada masa pendaftaran sekolah ikut campur, strategi pun menjadi kacau. Sudah berkali-kali saya dan ibu saya mengetengahkan strategi lihat keadaan, cari peluang, daftarlah pada hari terakhir dan menit terakhir. Strategi ini ampuh. Tapi bapak saya entah kenapa cukup bernafsu sekali untuk segera mendaftarkan Mas. Saya yang sudah beberapa hari memperhatikan perjalanan passing grade selalu didesak untuk memberikan kesimpulan yang mendukung pendapat bapak saya kalau Mas harus segera didaftarkan karena nilainya cukup aman. Sebenarnya saya sama sekali nggak bisa memberi kesimpulan karena data yang dipampang di website penerimaan siswa baru kurang real time, dalam arti data yang ditampilkan pada hari ini adalah rekapitulasi data sehari sebelumnya yang belum dicampur dengan data terbaru. Selain itu, saya juga cukup ketar-ketir ketika mengetahui nilai-nilai yang sudah terpampang di website termasuk ke dalam nilai nomor sepatu alias 37-39 dan berasal dari siswa-siswa SMP yang bukan dari SMP 5 dan SMP 2. Dengan nilai-nilai yang seperti nomor sepatu dan belum dipenuhi oleh nilai dari SMP 5 dan SMP 2 serta dengan data yang tidak real time, saya sama sekali tidak bisa menyimpulkan apakah nilai Mas aman atau tidak. Saya masih mau menunggu kehadiran nilai-nilai siswa SMP 5, SMP 2, dan SMP 7. Hmmm,namun kegigihan hati saya dan ibu saya akhirnya gugur setelah melalui situasi tertentu bapak saya berhasil mendiplomasi kami untuk mendaftar pada hari Jumat, sehari sebelum penutupan.
Orang sabar disayang disayang Tuhan, agaknya ungkapan itu yang dilupakan bapak saya ketika mendaftar. Itulah yang membuat cerita pada tahun ini merupakan cerita yang paling tegang sepanjang sejarah pendaftaran sekolah. Mas hampir saja mendekati jurang tidak diterima di sekolah negeri. Pada hari terakhir, benar saja, anak-anak SMP 5, SMP 2, dan SMP 7 baru bermunculan dengan nilai-nilai yang mirip nomor sepatu. Nilai 37.20 yang pada hari Jumat masih terhitung aman di SMA 2 dengan cepatnya tergeser oleh angka 37.60. Mas tentu saja terbuang ke SMA 1. Masalah terbuang itu sudah biasa dan kami juga ikhlas, nah yang jadi masalahnya adalah SMA 1 adalah sekolah yang juga menerima banyak buangan dari SMA 2, SMA 8, SMA 5, dan SMA 3. Sebenarnya kami cukup beruntung juga dengan memilih SMA 1 sebagai pilihan 2 bukan SMA 20. SMA 20 yang memiliki daya tampung lebih sedikit daripada SMA 1 menerima limpahan lebih banyak daripada SMA 1 yang membuat SMA 20 pada hari Sabtu pagi sudah berpassing grade 37.40 padahal saat itu SMA 1 masih berpassing grade 36.60. Tingginya passing grade SMA 20 pada Sabtu pagi itu memancing juga orang-orang yang belum mendaftarkan diri ke SMA 2, SMA 3, SMA 5, SMA 8 untuk beralih pilihan 2 dari SMA 20 ke SMA 1. Limpahan-limpahan yang terus datang ke SMA 1 seiring dengan naiknya jumlah pendaftar di SMA 3, SMA 5, SMA 2, dan SMA 8 terus membuat passing grade SMA 1 naik. Dalam waktu dua jam, angka 36.60 digantikan oleh 36.65 dan membuang sekitar 30 orang, hmmm rangking Mas di SMA 1 pun dengan cepatnya bergeser dari rangking 120-an menjadi 159. Dua jam kemudian, di saat SMA 20 berhenti pada angka 37.40, SMA 1 merangkak lagi ke angka 36.85. Mas bergeser ke posisi 192 dan 40 orang di bawah Mas hilang. Pergerakan data tiba-tiba berhenti pada hari Sabtu pukul 16.00. Nama Mas tiba-tiba hilang dari kolom Hasil Seleksi di SMA 1 padahal nilai Mas masih mencukupi di SMA 1. Awalnya saya tidak menyadari itu, malahan saya menenangkan seorang ibu yang panik karena nama anaknya tidak muncul.
Ibu A : “Anak saya kok namanya nggak ada ya di SMA 1 padahal nilainya 37.15.”
Saya : “Mungkin data anak Ibu masih belum tertampilkan karena masalah jaringan, Bu.”
Ibu A : “Tapi nggak hilang kan ya? Nilai anak saya masih mencukupi, di data pendaftar juga masih ada namanya, cuma di hasil seleksi aja yang hilang.”
Saya : “Iya, Bu, mungkin masalah jaringan. Datanya memang agak macet. Adik saya tadi masih ad….eh coba aku lihat (sambil menggerakkan kursor)-(mencari nama)-(NGGAK ADA!)… wah, nama adik saya juga nggak ada, Bu, padahal tadi siang ada bangettttttt!!!!”
Ibu A : (gentian menenangkan) Datanya masih macet mungkin, Neng (eh, menenangkan atau menyindir ya?haha)
Saya : Oh iya, kayaknya iya deh, Bu. Tapi kalau di data pendaftar masih ada dan nilainya masih mencukupi, mungkin memang karena kecepatan datanya bermasalah (tengsin udah menenangkan kok malah ditenangkan balik).
Hilangnya nama Mas tetap menjadi misteri hingga malam. Hati saya nggak tenang. Sangat tidak tenang. Terlebih lagi, kolom jalan pintas yang bisa dilakukan melalui pemasukan nomor pendaftaran dan nomor UN pun tidak bisa diakses. Bayangkan, data terus menanjak naik hingga ke angka 37.00, menghilangkan beberapa puluh orang, dan nama adik kamu nggak muncul di situ. Beragam pikiran buruk muncul. Data hilang? Ah, tapi nggak mungkin karena namanya masih ada di daftar mentah. Nggak lolos seleksi ? Ah, tapi passing grade terendah masih 37.00 sedangkan nilai Mas 37.20. Atau jangan-jangan kecepatan data yang nggak maksimal sehingga sebenarnya passing grade SMA 1 sebenarnya sudah mencapai 37.30 sehingga nama Mas sudah terseleksi duluan? Nah, ini yang bikin ngeri. Apalagi, setahu dan seingat saya, SMA 1 cukup diminati setelah SMA 20 makin tak teraih. Jangan-jangan adik saya sudah terseleksi! Saya benar-benar ingin memastikan berapa jumlah pendaftar cluster 1 yang juga memilih SMA 1 sebagai pilihan 2. Saya benar-benar ingin tahu berapa nilai yang terbuang di cluster 1 ke SMA 1. Saya benar-benar ingin menjadi saksi hidup pergerakan nilai. Masalahnya satu, data lengkap mengenai pendaftar dan hasil seleksi tidak bisa diakses melalui ponsel! Ponsel hanya bisa mengakses jalan pintas melalui pemasukan nomor pendaftar dan UN. Namun namun namun sedari asar hingga malam, akses selalu ditolak. Di rumah pun tidak ada internet! Saya benar-benar stress tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa untuk sekedar menenangkan diri saya bahwa hilangnya data Mas nggak ada kaitannya dengan naiknya passing grade.
Waktu berjalan begitu lama. Menurut kabar dari Oji Mahroji, pria yang paling dicari wartawan dalam masa UN dan penerimaan siswa baru di kota Bandung, yang dimuat dalam berita di Tribun yang dikutip oleh twit @infobdg, proses entry data akan berakhir pada pukul 00.00, ah saya begitu menantikan proses itu. Pada pukul 00.00 saya coba lagi mengakses jalan pintas, namun masih ditolak. Ah, saya benar-benar stresss! Tiba-tiba teman saya, Deasy Walda muncul di twitter. Ah, ya, saya tahu saya harus menghubungi siapa pada pukul 00.00 untuk meminta tolong. Saya lalu menelepon Deasy. Selama dua jam, saya meminta Deasy membuka banyak tab, menganalisis data dengan metode sederhana yang abstrak,
Saya : “Hmmm, liat yang di daftar SMA 2, Wa, ada berapa tuh pendaftarnya? Bnayak nggak yang milih SMA 1 di pilihan keduanya?”
Deasy Walda : “Hmmmm, lumayan nih. Coba ya aku cek nama dia yang nggak keterima SMA 2 udah masuk belum ke SMA 1”
Saya : “Oh iya, Wa, benar…ada nggak tuh?”
Deasy : “Ada nih, dia nilainya 37.30”
Saya : “Ah, Wa, di tab yang daftar tadi itu ada yang namanya Muhamad Iqbal nggak? Nomor pendaftarnya 484, Wa..”
Deasy : “Hmmmm, ada ada.”
Saya : “Nah, dia di hasil seleksi yang SMA 1 di urutan nilai 37.15 ada ngga, Wa? Oia, dia anak SMP 2”
Deasy : “Hmmm, sebentaaarrrr…hmmmm, wah, nggak ada..”
Saya : “Wah, yang data sampai 37.30 udah ada ya, tapi yang 37.20 sama 37.15 belum ada. Kayaknya masih loading kali ya, Wa? Eh, nilai 37.20 ada di urutan berapa? Sekarang paling rendahnya berapa Wa?”
Deasy : “37.20 itu ada di urutan 220 sampai 240, hmm paling rendah masih 37.00”
Saya : “Oh, okeeeyyy, semoga adikku masih aman dan namanya nggak bener-bener hilang.”
Pokoknya selama dua jam pembicaraan kita nggak jauh dari itu walaupun sempat nyerempet juga curhat masalah hati. Hahahahaha. Setelah berbicara dengan Deasy, saya sudah agak lega, tapi masih penasaran karena nggak melihat data-data tersebut secara langsung. Selepas menelepon Deasy pada pukul 02.00, saya baru tidur pukul 03.00, itu juga karena ketiduran dan pada pukul 05,30 saya bangun lagi. Termenung. Bingung. Mencoba mengakses data lagi dari ponsel, masih selalu ditolak. Situasi makin tegang ketika bapak saya menanyakan posisi rangking Mas. Bapak saya itu campuran antara pengen tahu, panik, gaptek, dan nggak paham sama analisis saya. Ujungnya, pembicaraan makin tegang dengan kesimpulan bapak saya bahwa Mas nggak bakal diterima dimana-mana. Mas stress. Sempat nangis juga karena takut. Bukan takut nggak diterima di SMA 1, tetapi takut sama bapak saya. Nah, ini momen yang mengharukan nih. Biasanya mana mau Mas mengakui kelemahan diri di hadapan saya, tapi kali ini Mas mencari saya yang lagi di kamar, memeluk saya, dan menangis di bahu dan paha saya. Heheehehehehehe. Akan saya manfaatkan keadaan itu pada masa yang akan datang. Lumayan kan ada yang bisa nyapuin kamar saya dan membuatkan saya telor ceplok. Hahaha. Nggak, ding. Saya yang menyodorkan diri untuk dipeluk dan menyilakan Mas untuk menangis daripada ditahan-tahan bikin bisul di kelopak mata. Melihat Mas yang semakin stress dan saya juga nggak tahan untuk nggak melakukan apa-apa untuk menyelesaikan stress saya, saya pun ke warnet. Ini hal yang membuat saya merasa sangat jenius sekali.
Membuka website terkutuk yang kecepatan loading datanya macam kecepatan keledai disuruh jalan di bulan, hal-hal yang saya lakukan adalah…
1. Mengecek jumlah pendaftar SMA di cluster satu dan mencari peyakinan bahwa itu adalah jumlah data yang sudah dientry semua. Caranya ? Ambil satu sample yang menunjukkan bahwa data yang tertampilkan di website penerimaan siswa baru itu adalah jumlah data terakhir. Saya menggunakan dua sample. Sample pertama adalah SMA 1, seingat saya petugasnya kemarin bilang bahwa jumlah pendaftar adalah 592 orang, ketika saya cek di website, sudah ada 593 orang, oke, berarti data yang ditampilkan di website sudah final, nggak ada data yang belum dimasukkan. Sample kedua adalah SMA 8. Kebetulan SMA 8 memuat rekapitulasi data pendaftar di situs sekolahnya sendiri. Di situsnya ia menulis jumlah pendaftar adalah 637 orang. Saat saya melihat jumlah data di website ppdbkotabandung, data yang tercatat adalah 637 orang. Oke, dengan demikian saya menganggap bahwa jumah data pendaftar pada ppdbkotabandung valid.
2. Melihat passing grade terakhir di cluster 1.
3. Menyalin data pendaftar di SMA-SMA cluster 1 ke Microsoft Excel, mengurutkannya sesuai ranking passing grade, memisahkan data yang nilainya memenuhi passing grade dan tidak memenuhi passing grade.
4. Mengumpulkan data-data dengan nilai tidak memenuhi passing grade lalu mengurutkannya berdasar pilihan kedua, memisahkan data yang berpilihan 2 SMA 1 dengan SMA-SMA lain.
5. Menyalin data pendaftar SMA 1 ke Excel, mengurutkan berdasar nilai terbesar ke terendah.
6. Menggabungkan data pendaftar SMA 1 pada poin 5 dengan data pilihan 2 SMA 1 pada poin 4, mengurutkannya berdasar nilai terbesar-terendah.
7. Memotong data hingga pada batas daya tampung SMA 1, yakni 315 orang, melihat nilai pada posisi 315.
8. Gotcha! Saya dapat ‘passing grade’ SMA 1! Dengan data-data tersebut, passing grade yang saya dapatkan adalah 37.05! Hore, nilai adik saya yang 37.20 masih ‘masuk daftar’ pada posisi antara 240 hingga 268!
Saya berangkat ke warnet pukul 09.00 pagi dan data tersebut selesai saya buat pada pukul 12.00. Saya nggak nyangka bakal tiga jam di warnet. Hahaha, Mungkin karena serius dan stress, saya nggak nyadar waktu. Saya lalu pulang ke rumah, menunjukkan ‘prediksi’ passing grade berdasar data yang saya dapat di website, suasana rumah pun menjadi agak tenang. Agak menyenangkan lagi ketika pada pukul 15.00 si jalan pintas bisa diakses. Adik saya disebutkan berada pada posisi 247. Yap, tepat berada pada rentang prediksi saya. Eh, tapi tunggu dulu, pada pukul 15.30 saya mengecek lagi, adik saya tiba-tiba berada pada posisi 251. Ada apa ini!!! Jangan-jangan ada penambahan data lagi yang belum dientry yang mengganggu keseimbangan passing grade!!! Ah! Saya lalu ke warnet lagi.
Di warnet untuk kedua kalinya ini, saya menganalisis data prediksi saya dengan data terbaru ppdbkotabandung. Ada beberapa perbedaan, terutama menyangkut kebijakan jumlah siswa-siwa yang memiliki batas nilai terbawah. Misalnya, karena daya tampung SMA 2 adalah 306 orang, maka seharusnya nilai berhenti pada penempat urutan 306 dan mulai dari rangking 307 mereka dibuang. Nah, masalahnya, nilai 37.60 ini tidak berhenti pada urutan 306, tapi sampai misalnya urutan 312. Pada data prediksi yang saya buat, rangking 307 dan seterusnya, meskipun memiliki nilai yang sama dengan urutan 306, langsung saya limpahkan ke pilihan 2, namun ternyata yang saya lakukan berbeda dari yang digariskan sekolah. Beberapa SMA cluster 1 masih menarik nilai-nilai yang sama meskipun melebihi kuota ke dalam daftar siswanya. Masalahnya, nggak semua sekolah melakukan hal yang sama. Tarik menarik siswa pun masih terjadi sehingga membuat rangking tidak stabil. Hmmm, tapi karena adik saya masih berada pada range yang saya prediksikan, saya masih bertoleransi. Saya hanya membuat beberapa skenario perubahan passing grade, perubahan data siswa yang ditarik dan dilimpahkan, dan membuat batas aman dinamika perubahan tersebut hingga 20 sampai 30 orang. Lebih dari 30 orang yang dilimpahkan ke SMA 1, maka habislah riwayat adik saya.
Pukul 19.45, ayah saya mengakses lagi jalan pintas, ternyata rangking adik saya turun lagi menjadi 265. Saya luar biasa kaget. Saya ke warnet lagi, mencari penyebab turunnya rangking adik saya hingga sepuluh poin. Di jalan, ayah saya mengirim sms lagi, data terakhir menyebutkan rangking adik saya turun menjadi 267. Saya bingung. Ketika saya sampai di warnet, saya cek lagi, tiba-tiba adik saya berada pada posisi 243. Dalam waktu lima belas menit terdapat tiga perubahan! Saya udah nggak bisa mikir lagi. Ketika saya mengecek data pendaftar, tiba-tiba saya dikagetkan oleh penambahan data pendaftar di SMA 2. Sore hari ketika saya ke warnet, jumlah pendaftar ke SMA 2 adalah 640 orang, nah malam ini tiba-tiba menjadi 641 orang. Saya cemas jangan-jangan SMA 2 masih memiliki data-data lain yang belum dientry yang nanti akan membludakkan passing grade-nya dan membuang lebih banyak orang ke SMA 1, terutama lagi karena pemilik nilai 37.65 yang saat itu menjadi underdog mayoritas memilih SMA 1 sebagai pilihan kedua. Beberapa skenario terburuk melintas di kepala saya. Lebih kaget lagi ketika saya melihat data seleksi SMA 2 yang lagi-lagi berubah, tidak seperti SMA cluster 1 lain yang sudah fix. SMA 2 pada malam itu tiba-tiba memisahkan nilai-nilai pendaftar dari luar kota dari pendaftar dalam kota ke dalam rangking tersendiri. Dengan adanya pemenuhan janji (baca : undang-undang) penetapan kuota 30 orang untuk pendaftar luar kota, SMA 2 membuang sejumlah pendaftar dalam kota yang tadi sore lolos seleksi di SMA 2. Passing grade SMA 2 tiba-tiba melonjak ke angka 37.70. Hal yang saya khawatirkan sebelumnya terjadi, sejumlah siswa dengan 37.65 dilimpahkan ke SMA 1. Hal yang membuat saya lebih kesal adalah nilai 18 siswa luar kota tersebut tidak memenuhi passing grade SMA 2. Nilai ke-18 anak itu bervariasi dari 36.95 hingga 37.60. Bagi saya itu nggak adil, 18 kursi dengan nilai 37.65 dibuang hanya demi pemenuhan kuota luar kota yang nilainya tidak lebih tinggi dari nilai dalam kota. Ah, saya kesal. Saya juga tegang karena saya memiliki kekhawatiran bahwa SMA 2 masih mungkin memiliki data pendaftar yang belum dientry. Saya akhirnya pulang karena sudah tidak tahu harus bagaimana lagi.
Sesampainya saya di rumah, nggak ada kesimpulan yang bisa saya buat. Saya benar-benar menyerahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh pada kekuasaan Allah. Saya tahu Mas butuh peyakinan bahwa dia masih punya kesmepatan diterima, tapi saya benar-benar nggak bisa memberikan kesimpulan apa-apa. Saya akhirnya hanya menonton tivi dengan ketegangan yang nggak bisa saya definisikan. Beberapa kali saya sempatkan mengecek posisi Mas melaui jalan pintas. Data tidak berubah. Mas masih berada pada posisi 243 padahal saya sudah bersiap-siap menghadapi kalau-kalau Mas tiba-tiba turun pada posisi 290-an. Sampai pukul 01.00 saya mencoba menenangkan diri bahwa itu adalah keputusan final. Hmmm. Saya lalu bersiap tidur. Pukul 01.54 sebelum tidur, saya mengecek lagi, tiba-tiba apa? Jalan pintas kembali tidak bisa diakses! Tegang lagi. Jangan-jangan ada perubahan data. Jangan-jangan SMA 2 benar-benar memiliki data yang baru bisa diupload. Jangan-jangan rangking berubah lagi. Arrrgh. Saya akhirnya baru bisa ketiduran pukul 03.00.
Pukul 07.00 saya bangun. Mengecek lagi, masih ditolak. Pukul 08.00, masih ditolak. Pukul 09.00 masih ditolak. Saya lalu memutuskan untuk mandi saja. Ketika bertemu Mas dan Aba, mereka menanyakan mengenai akses yang masih terus ditolak. Hmmm, karena saya belum mandi, saya nggak bisa ke warnet. Saya minta Mas saja yang ke warnet melihat passing grade SMA 1 berapa dan jumlah pendaftar di SMA 2 berapa orang. Dua puluh menit kemudian ketika saya masih di kamar mandi, Mas pulang membawa kabar gembira yang saya sadap dari kamar mandi. Katanya, data pendaftar dan hasil seleksi sudah ditutup, sekarang digantikan oleh PASSING GRADE FINAL 4 JULI 2011 PUKUL 00.00. Hasilnya? SMA 1 berpassing grade 37.05.
Alhamdulillah, Mas masuk. Saya tersenyum dari balik pintu kamar mandi. Drama menegangkan sudah tamat. Alhamdulillah Mas nggak harus sekolah di swasta. Alhamdulillah Aba nggak jadi marah-marah. Alhamdulillah saya melihat Mas cerah lagi. J
Ark. Jul’11.
TKI dan Keterbatasan Gerak Negara
Hukuman pancung Ruyati di Arab Saudi membuat pemerintah Indonesia menjadi tertuduh utama. Ketidakmampuan pemerintah melindungi rakyat merupakan fokus dari media dan masyarakat. Tuntutan tersebut tidak salah karena sebagai representasi negara, pemerintah harus bisa melindungi warga negara. Namun demikian, persoalan TKI merupakan persoalan kompleks yang tidak bisa dilihat dari satu kacamata.
Konstruksi Sosial
Persoalan pertama menyangkut pengonstruksian agen-agen TKI kepada subjek yang berpotensi menjadi TKI. Karakteristik subjek yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi dan keahlian khusus membuat mereka mudah dikonstruksi menjadi TKI hanya dengan janji pendapatan besar. Agen memang tidak berbohong tentang pendapatan besar, tetapi agen tidak transparan dalam menjelaskan bahwa di balik pendapatan besar tersimpan resiko yang juga besar karena adanya perbedaan budaya dengan negara tujuan. Tidak hanya kendala bahasa, tetapi juga karakteristik masyarakat luar dalam memperlakukan buruh serta sistem hukum negara mereka. Beberapa agen memang membekali calon TKI dengan pelatihan, namun bagaimana dengan agen-agen yang sengaja mempermudah proses birokrasi dan kelegalan TKI?
Persoalan kedua adalah peran media massa. Persoalan TKI menjadi agenda nasional tidak dapat dilepaskan dari peliputan media massa. Sebagai pengontrol pemerintah, liputan tersebut adalah pengingat pemerintah akan pekerjaan rumahnya. Liputan tersebut juga bisa menjadi penyeimbang janji manis pendapatan besar yang selama ini banyak dikejar. Namun, sebagai sumber utama informasi dan pembentuk opini publik, jika media massa berfokus hanya pada kelalaian pemerintah, masyarakat bisa terdorong untuk tidak percaya kepada pemerintah. Pembenahan-pembenahan yang dilakukan pemerintah berpotensi minim kepercayaan.
Keterbatasan Negara
Persoalan ketiga adalah keterbatasan gerak negara. Tuntutan mengenai ketidakmampuan negara dalam melindungi warga negara memang bukan tuntutan yang salah. Secara internal, kelemahan negara berasal dari minimnya lapangan kerja serta tidak meratanya distribusi kesejahteraan. Kelemahan ini mendorong warga negara mencari kehidupan di negara lain. Ketika TKI menjadi korban di negeri orang, negara dicap tidak mampu melindungi warganya dari mulai di tanah air hingga di tanah orang. Negara memang wajib melindungi warga negaranya, namun perlindungan menjadi istilah yang rumit ketika harus diproyeksikan di luar yurisdiksi. Prinsip kedaulatan merupakan prinsip yang paling umum yang harus ditaati setiap negara di dunia. Suatu negara tidak boleh mencampuri urusan domestik negara lain dan sebaliknya, suatu negara bisa dengan segala cara mencegah ikut campurnya negara lain ke dalam urusan domestiknya. Adil atau tidak adil, prinsip tersebut sudah menjadi batasan yang tidak bisa ditembus dalam hubungan internasional yang kemudian berkembang menjadi tameng suatu negara.
Melalui perjanjian internasional, prinsip kedaulatan bisa melunak, namun ketika perjanjian internasional tidak diratifikasi oleh semua pihak yang terlibat, negara yang dirugikan tidak bisa menuntut. Negosiasi bisa diupayakan, namun negosiasi bisa terhambat apabila dihadapkan oleh perbedaan sistem, terutama sistem hukum. Dengan sistem hukum syariah yang menerapkan qishash yang bergantung pada tuntutan keluarga korban, Indonesia memiliki hambatan dalam menegosiasikan hukuman tersebut dengan pemerintah Arab Saudi. Wajar sebenarnya jika masyarakat dan media massa menyoroti dilaksanakannya hukuman pancung bagi Ruyati sebagai gambaran kegagalan Indonesia melindungi warga negaranya, namun dengan keunikan setiap kasus dan beragam situasi yang mengelilinginya, tidak adil rasanya bila muncul generalisasi bahwa negosiasi Indonesia melempem.
Namun bukan berarti Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam masa moratorium TKI yang diberlakukan Presiden SBY, seluruh elemen yang terkait dengan urusan TKI harus berbenah. Pengetatan agen, pengonstruksian yang berimbang mengenai resiko dan peluang menjadi TKI, pengetatan standar kualifikasi TKI, penguatan sistem perlindungan TKI di dalam dan luar negeri merupakan beberapa hal yang wajib diupayakan negara selain meningkatkan peluang bekerja di tanah air dan pendistribusian kesejahteraan. Secara eksternal, upaya diplomasi yang dilakukan negara pun harus ditingkatkan terutama dalam hal perjanjian perlindungan tenaga kerja, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara yang berkepentingan dengan TKI. Selama menunggu perkembangan kemampuan Indonesia dalam melindungi warga negaranya, masyarakat dan media massa juga harus dapat menyikapi persoalan ini dengan kepala dingin.