Pelayan Masyarakat

Satu minggu lalu saya seneng banget, deh! Akhirnya setelah dinanti berbulan-bulan lamanya, waktu saya ke kantor pajak, saya nggak kebagian dilayani sama ibu-ibu judesssssssssssssssssssssssss tapi sama mas-mas yang baik hati dan sabar sekaliiiiii!!!

Penyakit Birokrasi Jilid I

Berdoa bagi saya nggak cukup pas awal tahun aja, tapi juga awal bulan. Gimana enggak, setiap awal bulan, pokoknya sampai sebelum tanggal 20, saya harus melaporkan data yayasan orang tua saya ke kantor pajak di Jalan Peta yang jauhnya naudzubillah dan dengan probabilitas dijudesin sama petugas pajak sekitar 50:50. Perjalanan menuju kantor pajak adalah perjalanan yang penuh doa. Doa pertama adalah doa semoga selamat di perjalanan, doa kedua adalah doa mohon ampunan dosa karena saya suka keceplosan memaki pengguna jalan raya yang kelakuannya serba ajaib, doa ketiga adalah doa semoga saya sabar dalam perjalanan, doa keempat adalah doa semoga nggak hujan, doa kelima adalah semoga saya nggak dapet dilayanin sama ibu-ibu tapi sama mas-mas!

Di loket PPh, kita bakal menemukan dua loket. Satu loket neraka yang dijaga sama ibu-ibu yang judes, dan satu lagi adalah loket kesejukan yang diduduki oleh mas-mas yang suka senyum sendirian walaupun belum saya senyumin. Selama empat bulan, saya selalu kebagian sama ibu-ibu! Kejadiannya selalu kayak begini :

Saya : (Duduk terus menyerahkan dokumen ke meja si ibu)

Ibu Judes : (Melirik sebentar, ngambil lembar Pasal 21)

Saya : (Diem aja)

Mas-mas : (Senyum kecil)

Ibu Judes : Lembar ketiga!

Saya : Hee..? Kenapa, Bu?

Ibu Judes : Lembar ketiga (sambil matanya lihat ke komputer)

Saya : (Nggak ngerti, diem aja)

Ibu Judes : (Mulai kalap) SSP-nya lembar ketiga aja, Neng!

Saya : Oh..

Mas-mas : (Mulai nahan ketawa)

Ibu Judes : (Api keluar dari hidungnya) Kasih ke saya lembar ketiga aja!

Saya : Ada kok, Bu di situ…

Ibu Judes : Iya, ambilin!

Saya : (dalam hati รจASTAGFIRULLOHHHH!!! AMBIL SENDIRI NGAPAHHHH???)

Ibu Judes : (Tangannya berhenti nggerakin kursor)

Saya : (Bingung, ini udah beres apa belom yak…)

Mas-mas : (Senyum lagi)

Saya : Udah selesai, Bu?

Ibu Judes : (Mata melirik kejam…siap-siap, bagian ini klimaks menyebalkan) Ya belum, dong, Neng! Sabar sebentar nggak bisa, ya? Udah bagus kantor pajak yang ini mah nggak antri. Lihat, tuh di kantor yang lain mah bisa antri satu jam lebih! Ini cuman nunggu sebentar aja nggak bisa.

Saya : (Melongo! Kaget! Weh, buset buset buset, nggak kayak gini maksut gue)

Mas-mas : (Makin geli nahan ketawa)

Ibu Judes : Nih, udah! Lain kali yang sabar, ya! (melengos)

Mas-mas : (Ngetawain trus pura-pura buang muka pas saya liatin balik)

Neraka sekali, Sodara-sodara!

Nah, tapi pada bulan kelima sejak saya menggantikan tugas ibu saya lapor PPh bulanan ke kantor pajak, tepatnya pada bulan Agustus yang dipenuhi oleh berkah Ramadhan dan semangat kemerdekaan ini, akhirnya saya kebagian di loket mas-mas yang ramah! Begini kejadiannya,

Saya : (Ngambil nomor antrian, dapet no 38, sementara di loket ibu-ibu lagi dipanggil no 37 dan di loket mas-mas lagi no 14)

Mas-mas : (Sambil membimbing laporan pajak bapak dengan no antrian 14, langsung kasak-kusuk sama temennya pas liat saya duduk di bangku tunggu. Mereka pun tersenyum kecil sama saya)

Saya : (Deg-degan lihat nomor antrian. Mulai berdoa, “Ya Allah, plis nomer 14 cepet udahan sebelum no 37 udahan, Ya Allah…semoga bulan ini saya dapet sama mas-mas)

Bapak no 14 : (Mulai geserin pantat. Tanda mau udahan)

Ibu no 37 : (Udah ngangkat pantat. Tanda udah beres)

Saya : (Deg-degan)

Ibu judes : (Udah mau mencet bel antrian)

Mas-mas : (Ngeliat muka ngarep saya, ngelirik Ibu Judes, mergokin tangan Ibu Judes yang mau mencet bel, DAN TAU NGGAK, SODARA-SODARA, MAS-MAS ITU PUN LANGSUNG MENIKUNG TANGAN SI IBU JUDES! MASNYA MENCET BEL DULUAN!!!!)

Saya : (Tersenyum merekahhhh!!!! Mau sembah sujud tapi kasian ntar Ibu Judesnya tau kalau dia nggak diharapkan sama saya!)

Mas-mas : (Senyum menyambut kedatangan saya!)

Saya : (Berasa kayaknya ada sound effect lagu We are the Champion yang mengiringi langkah saya menuju loket si mas-mas)

Mas-mas : (Ngambil dokkumen saya) Udah ini aja?

Saya : (Mengangguk)

Mas-mas : Eh, sebentar, ini laporan untuk bulan Juli atau Agustus?

Saya : Hmmm? Yang ditulis di situ apaan emang, Mas?

Mas-mas : 08.

Saya : Harusnya?

Mas-mas : Kalau bulan Juli 07, kalau Agustus 08

Saya : (Ya iyalahhh!)

Mas-mas : Kalau ini untuk bulan 08, dilaporinnya bulan depan. Kalau dilaporinnya bulan sekarang, harusnya bulan 07. Nih, di sini ditulisnya 08.

Saya : Wah, nggak tau, Mas. Yang jelas, saya tiap bulan ke sini kok. Jadi nggak telat.

Mas-mas : Sebentar, ya saya cek. Yayasan Sejahtera ya…

Saya : Wah, Mas, serius nih kalau sekarang saya harusnya ngelaporin bulan Juli, saya nggak telat kan? (Gawat kalau telat, denda seratus ribu! Gabawa duit!)

Mas-mas : Iya, sebentar ya, ini saya cek dulu. Wah iya, Juli belum masuk.

Saya : Hahhh…? Tapi sekarang nggak telat kan?

Mas-mas : Engga, kok. Masih belum tanggal 20. Ini dibetulkan dulu kolomnya.

Saya : Pfuiihhhh. Kirain. Hehehe. Pinjem pulpen ya, Mas…?

Mas-mas : Oh iya, silakan…

Saya : Udah..

Mas-mas : (Ngetik lagi)

Saya : (Nungguin)

Mas-mas : Nah, ini udah selesai.

Saya : Oh, udah, Mas?

Mas-mas : Iya, sudah.

Saya : Terima kasih, Mas…

Mas-mas : Sama-sama…J

Sumpah yaaaaa….saya bersyukur bangetttttt hari itu saya kebagian di loket si Mas-mas. Kebayang, kan gap keramahan antara Mas-mas dan Ibu Judes? Coba kalau saya kebagiannya sama Ibu Judes. Habislah saya disemprot jauh lebih kejam dari bulan-bulan sebelumnya soalnya bulan ini laporan pajak saya ada yang salah tulis.

Huffff.

Saya rada aneh, deh sama orang-orang yang bekerja di garda depan. Jelas-jelas mereka berhadapan langsung dengan wajib pajak, pelanggan, nasabah, dan lain-lain. Jelas-jelas juga kalau nggak banyak dari para customer itu yang minim pengetahuannya. Jelas-jelas juga mereka ditugaskan di situ untuk memberikan arahan kepada customernya. Nah, tapi banyak di antara mereka yang malah judes, bahkan ada pula yang mempersulit customer?

Penyakit Birokrasi Jilid II

Saya punya pengalaman lain yang menyebalkan juga dalam hal ini.

Ini adalah masalah pertama yang saya dapatkan ketika akan ke Malaysia. Oke, kita runut kejadian ini dari beberapa waktu sebelumnya. Kesalahan pertama saya adalah tidak mengikuti suara hati yang sudah memangil-manggil sejak berbulan-bulan lalu agar segera membuat NPWP agar saya bisa mudah bepergian ke luar negeri tanpa beban fiskal 2,5juta. Ada dua pertimbangan mengapa saya tak kunjung menuruti suara hati yang begitu mulia tersebut. Pertama, saya juga nggak yakin-yakin amat kalau saya bakal ke luar negeri lagi dalam waktu dekat. Kedua, penghasilan saya kadang melampaui PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) namun lebih sering membuat saya berada pas di garis kepas-pasan.

Nah, berdasarkan dua hal tersebut, saya pun mengurungkan niat untuk membuat NPWP. Ah, tapi saya jadi merasa bersalah ketika tanggal 9 Juni dosen saya menelepon saya menanyakan apakah saya bisa ke Malaysia. Tak lama setelah saya mengiyakan pertanyaan tersebut, beliau pun mengingatkan saya untuk mengurus NPWP. Wuittttssss, okelah tanggal 9 Juni saya pun mengurus NPWP ke Kantor Pajak dan akhirnya tepat pada tanggal tersebut saya pun memiliki NPWP. Ya ya ya ya, akhirnya saya merasa lengkap hidup sebagai warga Indonesia. Saya punya KTP, SIM C, Paspor, dan NPWP. Hanya tinggal mencari SIM A, SIM B (siapa tahu saya nanti disuruh mengendarai bus atau truk).

Nah, namun ternyata kegembiraan saya setelah memiliki NPWP ini sirna dan pupus ketika saya menyerahkan NPWP saya ke loket pembayaran fiskal. Menurut mas-mas yang jaga di loket tersebut, NPWP saya belum berumur 2 hari jadi belum bisa digunakan. Menurutnya, saya harus membayar fiskal!!!! Hidup macam apa ini????

Hal lain yang mengesalkan dan menegangkan dari ditolaknya NPWP saya adalah kenyataan bahwa saya hanya memiliki waktu 15 menit untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat itu jam menunjukkan pukul 05.45 sementara saya dan teman-teman harus sudah siap pada pukul 06.00 karena pesawat akan berangkat pada pukul 06.10. SETREESSS itu sumpah!!! Saya lalu menghubungi dosen saya dan menceritkan hambatan yang sedang saya alami. Akhirnya beliau bergerak cepat dengan meminta nomor rekening saya dan paling lama 10 menit kemudian uang fiskal tersebut akan sampai. Namun masalahnya, 10 menit tersebut terlalu riskan. Akhirnya teman-teman berinisiatif untuk mengumpulkan uang mereka dan berharap semoga dari enam orang yang akan berangkat ke Malaysia tersebut uang bisa terkumpul 2,5 juta.

Dengan harapan tipis, kami menghitung uang kami. Ketika kami telah menghitung hingga 2 juta, tiba-tiba ada seorang petugas bandara yang mendatangi kami,

Bapak Bandara : Maaf, sedang apa ini kok menghitung-hitung uang?

Teman saya : Ini, Pak, kita harus bayar fiskal soalnya ada NPWP yang belum diaktifkan.

Bapak Bandara : Memangnya kalian ini rombongan dari mana?
Teman saya : Dari Unpad, Pak.

Bapak Bandara : Kok harus bayar fiskal? Umur kalian sudah 21 memangnya?

Teman saya : Belum sih, Pak.

Bapak Bandara : Lah harusnya kalian nggak usah bayar fiskal! Siapa yang tadi disuruh bayar fiskal? Berapa dia umurnya? Udah 21 belum?

Saya : Wah, beneran, Pak? Umur saya 21 nanti September. Tapi saya sekarang ngga bawa NPWP orang tua atau Kartu Keluarga.

Bapak Bandara : Nggak usah, lihatin aja paspor kamu ke petugasnya. Kaish tahu tanggal lahir kamu. Nggak usah takut sama mereka. Mereka cuma mau menggertak saja tadi. Sudah sana ayo cepat!

Saya dan Teman-teman : Terima kasih banyak, Pak.

Daaaannnnnnn…..kami pun langsung mengambil langkah seribu untuk kembali ke loket pembayaran fiskal. Benar saja. Ternyata memang untuk orang yang masih berusia di bawah 21 tahun, ngga ada kewajiban membayar fiskal. Mereka juga nggak harus menyerahkan NPWP orang tuanya dan memperlihatkan KK atau Akte Kelahiran tapi cukup memperlihatkan paspor atau menyerahlan fotokopi paspor! Kampretos memang itu mas-mas penjaga fiskal.

Dia lalu menanggapi, “Oh, maaf tadi saya nggak memperhatikan paspornya, saya tadi terkonsentrasi dengan NPWP.”

Argggghhhhhh. Apa coba deh yang ada di otak mas-mas itu? Parah banget ngaku nggak meriksa paspor. Ini kelemahan banget nih. Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa masih ada penjahat yang lolos keluar masuk suatu wilayah. Untung mas-nya manis. Nggak jadi ngamukin si mas-nya deh saya. Hehehhehe.

Ah, tapi sumpah deh itu saya jadi mikir. Bener nggak sih yang diomongin mas itu bahwa dia tadi salah karena lupa nggak merhatiin paspor? Beneran lupa nggak merhatiin pasor atau ada kepentingan lain untuk menutup-nutupi kemudahan? Kenapa sih dia harus mempersulit orang-orang dengan mengatakan melalui kertas yang ditempel di loket bahwa untuk membebaskan diri dari pembayaran fiskal maka kita harus menyerahkan NPWP orang tua dan fotokopi KK padahal sebenarnya hanya dengan menyatakan dan membuktikan bahwa umur kita belum 21 kita sudah bisa lolos di loket fiskal? Mengapa kemudahan tersebut harus ditutupi?

Parahnya lagi, dia juga bukan pelayan masyarakat yang baik. Harusnya nih dia itu tahu kalau orang-orang macam saya dan teman-teman saya itu nggak tahu mengenai peraturan NPWP yang harus berumur tiga hari. Karena itu, harusnya dia tahu betapa paniknya kita waktu tahu peraturan itu tepat 15 menit sebelum pesawat berangkat dan kita juga jelas-jelas bukan orang yang punya uang segar 2,5juta. Saya juga yakin dia tahu kita itu mahasiswa yang umurnya belum menginjak 21 tahun karena sebelumnya dia sempat bertanya kita rombongan dari mana. Nah, karena dia tahu semua kenyataan itu harusnya dia refleks membuka paspor untuk memberi jalan keluar kedua kalau NPWP tidak berfungsi. Buka kek itu paspor yang ada di tangannya. Eh, dia mah waktu tahu NPWP saya masih berumur 2 hari malah bilang, “Aduh, maaf ya kami nggak bisa Bantu. Fiskal 2,5 jutanya harus dibayar.”

Tu orang emang minta dirayu dan disogok dah kayaknya!!!!!

Maaf, Mas. Walaupun Anda manis, sayang sekali saya nggak pinta merayu dan saya juga nggak mau menjatuhkan harga diri saya dengan menyogok Anda. Lebih baik nggak usah berangkat atau bayar 2,5 juta deh daripada saya harus mengiba-iba dan merayu supaya dia bilang, “Mmmmm, sebenernya sih bisa sih kalau umur situ belum 21 dan mau ngasih uang administrasi 500ribu….”

Noooo!!!

Alhamdulilah Allah masih melindungi saya dengan mengirimkan Bapak-Bapak penyeleksi barang di pintu masuk dan memberikan petunjuk tersebut.

Hedeuh!

Huffff. Kalau inget kejadian itu, saya jadi makin yakin, deh, kalau birokrasi kita udah nggak sehat lagi. Pegawai-nya itu loh!

Seperti yang didiskusikan dalam mata kuliah Pengantar Imu Administrasi dua minggu lalu, ada banyak teori birokrasi yang dikembangkan untuk memperbaiki kinerja birokrasi itu sendiri. Namun masalahnya, ketika kita membicarakan birokrasi, kita tidak akan bisa membicarakan sistem birokrasi sebagai sistem yang bisa dengan mudah kita kontrol karena predictable. Birokrasi itu diisi manusia-manusia yang selalu dinamis dan tidak dapat digeneralisasi. Akan ada banyak kondisi yang membuat teori birokrasi itu tidak dapat dengan mulus diimplementasikan di lapangan.

Saya malah jadi mikir, udah deh mending dibanyakkin aja deh program online untuk hal-hal yang selama ini diurus oleh pegawai garda depan. Petugas dalam bentuk manusianya ntar aja deh munculnya kalau misalnya ada beberapa orang yang kesulitan atau kalau ada kasus-kasus khusus aja. Dengan adanya pelimpahan tugas kepada mesin (internet), maka kestresan dan kejenuhan pegawai yang saat ini mengakibatkan tidak primanya layanan mereka bisa diatasi. Mereka akan terspesialisasikan menangani kasus-kasus khusus dengan wajah yang lebih ramah.

Namun memang, sih biayanya mahal dan gap teknologi juga masih banyak. Namun, bukan berarti dua masalah tersebut merupakan masalah yang tidak dapat ditangani, kan? Jika ternyata manfaatnya jauh lebih banyak, mengapa tidak? Saya dan masyarakat lain di Indonesia juga nggak mau menghabiskan seluruh hidup saya dengan kejudesan dan tipuan petugas garda depan.

Ark. Agt’10.

1 comments:

Bener. Saya setuju. Saya juga barusan dari bandara, baru tahu musti ada npwp. Untung saya berangkat baru besok, jadinya saya kejar ke Dirjen Pulogadung, mencetak kembali npwp saya yang sudah 'hilang' 2 tahun yang lalu. Jam menunjukkan 4.15, ada ibu-ibu yang ramah dan sangat baik, jadi cepat dan gratis. Tapi tetap saja, nggak kepikir kalau musti bayar 2,5 juta...

Reply