Tidak Menulis

Dua bulan tanpa tulisan? Hmmm…Ya, saya memang sengaja tidak menulis. Tepatnya, saya menahan diri untuk menulis. Saya sedang dalam proses membuang episode-episode tertentu dalam dua bulan terakhir ini dan membiarkannya larut bersama nafas yang saya buang.

Bukannya ingin membuang pelajaran yang saya dapatkan melalui episode mengerikan itu, hanya saja saya tak habis pikir mengapa pelajaran yang begitu indah itu harus datang melalui lorong yang membuat saya sesak. Saya hanya ingin menyingkirkan memori saya mengenai lorong itu. Hidup terus berjalan. Ada hal yang harus kita simpan, tetapi ada juga hal yang harus kita singkirkan. Jika saya ingin menyimpan memori tersebut, saya akan menulis, tetapi jika saya ingin menyingkirkan memori tersebut maka saya harus menghentikan keinginan dan kebiasaan saya untuk menulis semua hal yang saya lihat.

Pada akhirnya, saya sadar bahwa saya hanya manusia biasa yang tidak tahan atas hal buruk. Ketika saya dihadapkan pada hal buruk tersebut saya harus rela untuk menutup mata dan mengikat tangan. Saya harus berhenti berpikir untuk mencari jawaban atas pertanyaan Mengapa. Saya harus berhenti menuliskan rentetan pertanyaan Mengapa dan semua probabilitas jawabannya. Saya harus menyerah dan membiarkan Allah menyisipkan kekuatan pada saya agar bisa menerima dan memaafkan.

Ya, menerima dan memaafkan. Lagi-lagi saya harus berhadapan dengan dua terminologi ini. Menerima bahwa mereka adalah manusia biasa. Manusia yang selalu diincar setan. Manusia yang hatinya ditutupi oleh jelaga sehingga tidak dapat menerima hidayah yang begitu bening. Saya pun terbius. Saya benar-benar mengamini Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Saya benar-benar melihat jenis manusia yang dipaparkan Allah dalam kitab-Nya.

Saya sedih. Saya tahu bahwa perasaan sedih yang saya rasakan ini adalah ejawantah dari ketidakterimaan saya akan diri mereka yang selama ini saya anggap sebagai teladan namun ternyata mereka hanya manusia biasa. Ah, namun sepertinya mereka tak sebiasa itu. Bukankah Allah memberikan kita nurani sebagai indera terpenting kita yang akan menyelamatkan kita bila kita mulai terjerumus ke jalan yang tidak Ia ikhlasi? Masalahnya mereka telah menenggelamkan nurani tersebut entah kemana. Mereka pun tersesat dan malah membanggakan kehilangan nurani tersebut.

Lalu apa yang bisa saya lakukan?

Apa yang bisa saya lakukan selain menerima kecacatan hati mereka dan memaklumi tingkah mereka?

Mengapa saya harus berusaha untuk menemukan nurani mereka sehingga membuat saya lupa akan hidup yang harus saya lewati sendirian dan terus menghinakan diri saya di bawah tawa mereka yang begitu nyaman dengan ketiadaan nurani tersebut?

Saya yakin sudah saatnya saya berhenti.

Saya harus menerima keadaan mereka. Bagaimanapun juga, mereka bagian hidup saya. Menerima mereka tak ubahnya menerima jalan hidup saya. Saya tahu saya harus menyusun kepingan-kepingan dalam hidup saya dan memperbaiki lukisan hidup saya. Namun, sepertinya saya harus mengubah perspektif saya mengenai penyusunan dan perbaikan tersebut. Hidup saya merupakan sebuah sistem yang tersusun dari diri saya dan mereka. Tak ada yang bisa saya lakukan terhadap mereka, tetapi setidaknya saya bisa melalukan sesuatu terhadap diri saya. Saya harus melepaskan mereka lalu mengalihkan pada diri saya sendiri. Hari esok terlalu manis untuk saya lewati dengan kegalauan dan kekecewaan saya terhadap mereka.

Saya sayang mereka.

Lalu seperti yang selalu saya yakini, perasaan sayang, cinta, dan sejenisnya adalah racun yang bisa membunuh saya kapan saja. Ya, itulah yang saya rasakan beberapa waktu lalu. Andai mereka bukan siapa-siapa bagi saya, saya mungkin kebal terhadap wajah asli mereka. Namun mereka adalah pusat tata surya bagi saya. Saya adalah Bumi, atau mungkin Neptunus, yang bergantung pada sinar yang mereka pancarkan. Saya tidak bisa mengusir mereka dari kehidupan saya. Saya juga tidak sanggup bila harus beranjak dari orbit saya. Ketika saya tahu bahwa mereka tak semegah matahari, saya pun hancur.

Saya ingin membenci mereka. Namun tidak pernah bisa. Saya menyayangi mereka. Akhirnya, tanpa saya sadari saya pun memohon pada Allah agar mengampuni mereka. Ah, lagi-lagi itu refleksi pemaafan saya terhadap mereka. Persis seperti yang saya yakini, cinta, sayang, dan segala jenisnya adalah racun. Racun yang mengekalkan penerimaan atas penindasan.

Menerima dan memaafkan. Sejauh apa pun saya berlari dan setinggi apa pun saya meloncat, dua hal itu tak pernah bisa saya halau. Mereka bersemayam bahkan ketika saya tertunduk dalam jongkok dan berusaha membungkam sisi hati saya yang lain yang ngotot memperjuangkan argumentasi bahwa saya harus menghindari mereka, bahkan jika perlu mengganti identitas saya.

Namun saya juga sadar. Meski saya menerima dan ternyata memaafkan mereka, perasaan saya terhadap mereka sudah berubah jauh. Saya tidak bisa lagi mencintai mereka dengan cara yang sama seperti ketika saya belum tahu wajah asli mereka. Penerimaan saya atas mereka terutama tentang pengertian bahwa mereka hanyalah manusia yang tak luput dari jilatan setan membuat saya tak sanggup menengadahkan wajah lalu memandang mata mereka. Bahkan lidah saya pun kelu bila terpaksa harus bercakap dengan mereka. Saya waswas bila melihat mereka beramah tamah dengan saya. Entah mengapa otak saya selalu memutar episode kelam yang baru saya lewati dan berlanjut pada kemungkinan episode kelam yang nanti akan saya lewati lagi. Saya pun terancam. Saya yakin bahwa manis senyum yang mereka tawarkan hanyalah satu babak fana yang cepat tercerabut. Setelah senyum itu, saya tahu saya akan tenggelam lagi bersama lendir ingus yang keluar lebih banyak daripada air mata saya.

Terang pasti ‘kan datang. Itu kata Pure Saturday, kata Astrid, kata Bees. Saya juga selalu yakin akan hal itu. Keyakinan itu yang membuat saya tetap hidup meski jalan selalu berat, tak beraspal, lubang-lubang, dan menjadi lautan lumpur saat hujan datang. Namun saya juga sadar bahwa terang hanya akan datang ketika saya berada dalam gelap. Saya pun kini mengamini bahwa kehidupan ini hakikatnya memang gelap. Lihat saja luar angkasa. Semilyar bintang tetap tak dapat membuatnya menjadi terang benderang.

Akan ada banyak terang yang mampir dalam kehidupan saya, saya tahu itu. Tapi mereka akan pergi lagi dengan cepat. Saya pun harus berlari dengan cepat sambil membuka penglihatan saya lebar-lebar. Saya juga harus dapat melintasi jalur terang itu dengan tepat. Tidak boleh oleng sedikit pun. Saya tahu itu sulit. Dan itulah jembatan syiratal mustaqim sejati yang saya temukan.

Saya hanya ingin berlari menuju gerbang surga. Saya tidak mau terperangkap dalam kegelapan tata surya, kebutaan penglihatan, kejelagaan nurani, dan jangkitan penyakit hati. Saya sudah melihat orang-orang yang berarti dalam kehidupan saya yang tercocok hidungnya akan kegelapan dan menolak terang yang datang dalam kehidupan mereka.

Saya sedih. Ya, saya sedih. Namun kesedihan itu kemudian saya sadari tidak hanya sebagai ejawantah bahwa saya tidak dapat menerima bahwa mereka adalah manusia biasa yang gampang teperdaya, tapi juga sebagai kesedihan karena ternyata kami memiliki pilihan hidup berbeda. Kami berpisah. Secara jelas kami berpisah pada Juli 2010 ini. Saya pun akhirnya menyadari, bumi memang benar-benar berotasi dan be-revolusi. Perjalanannya telah mengantarkan kami menjadi individu-individu yang memiliki persepsi, falsafah, dan pilihan hidup berbeda. Tak ada yang bisa saya lakukan terhadap hidup mereka. Begitu pun mereka. Tak ada yang bisa mereka lakukan terhadap hidup saya.

Saya sebenarnya tidak tahu apakah jalan yang saya pilih jauh lebih baik daripada jalan mereka. Yang saya tahu, saya tidak mengucapkan hal-hal yang mereka ucapkan. Yang saya tahu, hal yang mereka ucapkan itu adalah hal yang tidak diperbolehkan oleh peraturan manapun. Saya juga tidak tahu benarkah terang yang saya lihat adalah terang yang dikirimkan Allah untuk saya untuk menunjukkan saya sebuah syiratal mustaqim yang harus saya lewati. Atau jangan-jangan terang yang saya lihat adalah muslihat setan? Atau jangan-jangan jalan hidup yang mereka pilih justru jalan hidup yang benar? Namun dalam menggapai terang yang saya rasakan ini, saya tidak melakukan hal-hal yang mereka kerjakan. Yang saya tahu, mereka mengerjakan hal-hal yang seharusnya dihindari.

Wallahu alam bi shawab.

Jika yang saya pikirkan dan kerjakan saat ini ternyata hal yang salah, semoga Allah menyeret saya ke jalan yang sejatinya benar. Saya akan selalu membuka penglihatan saya agar malaikat bisa masuk kapan saja untuk meletakkan peta jalan yang benar di hati saya. Saya juga akan mengatifkan radar agar setan bisa terdeteksi dengan mudah jika ingin memanipulasi peta tersebut.

Hmmm…

Ya, hidup akan terus berjalan dengan segala kilatan terangnya yang mampir. Saya sudah sendirian di sini. Dan memang sudah seharusnya saya sendirian. Menikmati memori indah, membuang kenangan buruk, dan menelusuri jembatan syiratal mustaqim saya.

Menyesakkan juga ternyata.

Ah, tapi mungkin karena saya belum terbiasa.

Semua akan menggelinding dengan baik pada akhirnya.

Ark. Jul’10.