Kapitalisme dan Pendefinisian Hidup Kita


Selepas bimbingan yang baru selesai jam sembilan malam, saya dan Ayi meluncur ke che.co. Entah kenapa che.co malam itu ramaiiiiiii sekaaaaliiiii. Perasaan udah sering juga di che.co sampai malam, tapi baru sekali itu che.co sepenuh itu. Hampir tidak mendapatkan tempat duduk strategis, untungnya ketemu Andris yang sudah mendapatkan kursi yang wokeh dan seperti biasa membicarakan hal-hal berbau gay, lalu putar otak memesan makanan dan minuman yang kebetulan sudah banyak yang habis, dan akhirnya terdampar pada majalah Elle yang Ayi ambil dari meja di dekat wastafel che.co. Ada satu artikel yang menarik perhatian Ayi yang Ayi bagikan isinya kepada saya yang menginspirasi posting ini.

Artikel yang menarik perhatian Ayi itu adalah artikel mengenai definisi kecantikan wanita dari zaman ke zaman. Pasti tahu, kan kalau setiap zaman pasti punya definisi cantiknya masing-masing? Macam zaman sekarang, nih, yang cantik itu adalah yang putih, tinggi, langsing, dan sebagainya yang secara langsung mengeksklusi saya dari kriteria cantik. Huhuhuhuhu. Nah, si artikel yang dibaca sama Ayi itu membahas hal yang kayak gitu, malah dari abad 17 gitu. Secara paternistik, sih, meskipun zaman sudah berputar beberapa abad, terdapat beberapa definisi cantik yang terus berulang. Kulit putih bergantian dengan kulit sawo matang; tubuh langsing bergantian dengan tubuh berisi; pinggang kecil bergantian dengan pinggul besar; payudara besar bergantian dengan dada rata; seperti-seperti itulah. 

Menemukan pola demikian, saya sepakat dengan Remon yang pernah bilang kalau segala sesuatu itu bisa dibuat oleh pasar. Iya, saya yakin bahwa definisi yang bergantian sepanjang zaman itu tak lain adalah bagian dari perebutan pasar yang dibuat oleh kaum kapitalis. Bukan kita, si konsumer, yang membuat definisi cantik, tapi si kapitalis, si pembuat produk dan pemilik modal, yang menciptakan definisi kemudian memaksa kita untuk berebut memasuki klasifikasi yang dibuat mereka. Kang Jawot juga pernah membahas hal tersebut saat membahas skripsi Teh Eris tentang globalisasi representasi mitos "cantik" yang dilakukan oleh salah satu produsen pemutih kulit terkemuka di dunia. Untuk mempertahankan keberlangsungan hidup si produk pemutih kulit tersebut, konsumer diajak memasuki gerbang penindasan mental itu secara bertahap. Pertama, dikasih pemahaman bahwa putih itu cantik, gelap itu aib. Kalau mau cowok-cowok atau cewek-cewek mendekati kita, kulit itu harus putih, suatu pernyataan yang kontan langsung membuat saya mikir ketika menonton tivi, "Damn, pantesan gue jomblo." Target kedua adalah menunjukkan bahwa putih saja tidak cukup, tetapi juga harus bebas jerawat. Muncullah produk pemutih dan antijerawat atau pemutih plus antijerawat. Konstruksi ketiga adalah kulit keriput itu nggak banget. Dibuatlah produk antiaging. Target berikutnya akan ada lagi dan dibuat secara terus-menerus. Sebagai orang Asia yang tidak mungkin berkulit putih ala bule, kita dicengkram terus-menerus dalam konstruksi dan impian bahwa kita bisa kok tampil memesona ala bule dalam iklan supaya kita tetap membeli produk itu.

Definisi kemudian berubah ketika ada produk lain yang masuk ke pasaran. Untuk meraih perhatian dari konsumer, produk baru ini membuat definisi yang kontras dari definisi yang lama. Coba perhatikan, deh di rak-rak produk kosmetik di swalayan, sekarang lagi ada embel-embel "Putih Langsat", "Cantik Asia", "Langsat Asia". Produk-produk tersebut seolah memberi penyadaran bahwa kita selama ini dibodohi oleh produk lama dan ini loh, produk yang benar yang sesuai dengan kecantikan asli. Kenapa seolah? Ya, karena tujuan produk itu bukan untuk memberi penyadaran dalam arti mencerdaskan macam iklan layanan masyarakat Shireen Sungkar dan Teuku Wisnu yang nyanyi lahir jangan rapat-rapat, jangan dekat-dekat, melainkan untuk menarik kita ke dalam cengkraman pembelian produknya. Keluar sarang macan masuk sarang buaya kalau kata mbah kita.

Pertarungan produsen yang slaing kontras tersebutlah yang menciptakan sejarah pendefinisian cantik dari abad kapan hingga abad kapan. Sampai kiamat pasti kita akan selalu dipingpong dari satu definisi ke definisi lain yang tujuannya adalah untuk menjadikan kita konsumer yang setia. Sementara kita bekerja keras demi bisa membeli produk yang harganya bervariasi dari sepuluh ribu hingga jutaan rupiah, si kapitalis tertawa lebar meraup uang kita kemudian beli tas Prada keluaran terbaru yang dipamerkan di ION Orchard. 

Lalu apakah kita setelah mengetahui kenyataan itu kita akan bisa keluar dari definisi yang mereka ciptakan? Nggak lagi-lagi beli produknya, misalnya? No, nggak akan ada istilah seperti itu, bahkan Kim Jong Il dan Lenin saja masih curi-curi pandang ke dunia Barat demi kelangsungan hidupnya. Plis juga jangan jadikan kaum-kaum pengikut khotbah solat Jumat di depan fakultas saya yang selalu bilang kapitalisme Barat itu haram sebagai contoh kaum yang bisa keluar dari definisi-definisi yang dibuat kaum kapitalis karena jika kalian mau sedikit jeli, toh khotbah yang membakar semangat anti-Barat dan anti-Zionis itu juga masih dikemukakan dengan bantuan mikrofon buatan antek Yahudi. Jangan berpikir terlampau muluk dengan keyakinan bahwa kita akan bisa keluar dari pendefinisian kaum kapitalis, Teman-teman. Mereka sudah membuat sistem pencengkraman sedemikian rupa yang disebut Gramsci sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik tersebut bisa dilewatkan melalui kenikmatan dan janji yang diilusikan kepada kita; bisa juga melalui ketakutan kita yang akhirnya mencegah kita untuk keluar dari 'zona nyaman'; atau bisa juga melalui judgement dari orang-orang di sekitar kita apabila kita menjadi alien atau menjadi orang yang bebas dari konstruksi. Memang luar biasa trik dari kapitalis ini, bukan?

Beralih dari definisi kecantikan, artikel Elle tersebut juga membahas mengenai perkembangan fashion seiring dengan definisi kecantikan. Satu hal menarik yang saya dan Ayi simpulkan dari pemaparan artikel tersebut adalah, Barat nggak melulu tentang baju seksi. Yap, kalau Teman-teman masih menganggap wanita Barat itu sungguh adalah makhluk yang akan paling dikutuk karena feminismenya mengajarkan keterbukaan pakaian sebagai eksplorasi atas kebebasan tubuh, oh plis, ralat pemikiran itu karena dari sejarah yang dipaparakan di dalam artikel tersebut terlihat bahwa keseksian perempuan yang kalian kutuk namun secara diam-diam kalian simpan di bawah kolong kasur itu adalah bentukan kapitalis juga. Dosen Gender dan Seksualitas dalam HI saya akan sangat murka kalau kita terus-menerus menyalahkaprahkan feminisme melulu hanya mengenai kebebasan mengeksplorasi tubuh. Pempertontonan banyak bagian dari tubuh perempuan di Barat sendiri baru marak dilakukan mulai Perang Dunia II sekitar tahun 1939. Itu pun bukan timbul dari keinginan si perempuan untuk memperlihatkan bagian tubuhnya. Buktinya, pada tahun bahkan abad sebelumnya, baju perempuan di Barat selalu bergaya Victoria yang berlengan panjang dan ber-rok panjang. Ya memang, sih, meskipun menggunakan baju panjang, tapi bagian pinggang tetap ketat dan payudara ditonjolkan, tapi itu juga berkaitan dengan kaum kapitalis yang ingin menonjolkan titik-titik definisi kecantikan. Nah, dari situ hal yang bisa kita lihat adalah Barat juga pernah kok mengonsepkan baju tertutup.

Fashion berbaju mini mulai berkembang seiring dengan banyaknya tentara yang dikirim perang.  Apa pasal? Siapa, sih, yang senang dapat tugas ke medan perang? Penanaman nasionalisme bagi para tentara memang oke, mungkin hampir sama dengan penanaman fundamentalisme agama di kalangan teroris. Namun, bedakan dengan teroris yang memang bertujuan sekali jalan sekali mati, kondisi perang yang berlangsung berhari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun ini dapat memicu stres. Tidak ada kepastian hidup atau mati; teman yang sekarang kita ajak ngobrol, bisa saja dua jam kemudian mati di depan mata kita; istri yang diambil tetangga karena si istri berpikir bahwa tidak ada kepastian hubungan dengan tentara; rindu anak; dan sebagainya. Kondisi yang dihadapi oleh tentara perang ini merupakan kondisi berat bagi seorang tentara yang secara politis hak-hak kemanusiaannya seperti berkeluarga dan hidup damai telah ditukar dengan kelangsungan hidup negara, namun secara manusiawi, khususnya dalam hal biologis, nilainya sebagai manusia yang berkebutuhan untuk menyalurkan kebutuhan seksual tidak hilang. Kondisi tersebut yang dilihat kaum kapitalis dan didukung oleh negara untuk mengembangkan terobosan penyemangat para tentara. Mulai pada masa ini mulai berkembang wanita-wanita yang didandani secara minimalis kemudian dipotret dan dijadikan poster penyemangat bagi para tentara yang bertugas di medan perang dengan tujuan membuat tentara nyaman berada di dalam kondisi penuh ketegangan perang, 

Melihat respon yang baik dari para tentara, kaum kapitalis kemudian melihat lahan basah. Ekspansi pasar pun dilakukan. Gadis-gadis berbaju imut pun menjadi komoditas yang bisa digunakan untuk menjaring pasar dari manusia berjenis kelamin pria. Hal inilah yang kemudian berkembang hingga masa kini dan menyebar ke seluruh dunia. Takhanya sampai di situ pekerjaan tangan kapitalis. Untuk menciptakan produk-produk yang lebih banyak, kaum kapitalis juga harus merangkul perempuan. Kaum perempuan harus dibuat suka dan rela, bahkan berebut untuk menjadi gadis-gadis imut penghias dinding kamar dan peralatan elektronik laki-laki. Muncul pemahaman bahwa cara untuk menjadi perempuan yag sempurna adalah dengan menjadi perempuan yang diinginkan laki-laki. Agar perempuan itu diinginkan laki-laki, perempuan harus memiliki hal yang dikritisi Bu Junita sebagai 5B, yakni beauty, brain, behavior, booty, dan boops. Dua hal yang disebut terakhir yang menjadi poin penting penilaian laki-laki. Dengan hal tersebut, kaum kapitalis berhasil menggiring perempuan untuk berbondong-bondong menata dirinya sesensual mungkin di hadapan laki-laki dan mengharap banyak laki-laki takluk padanya. 

Hal yang jelas-jelas menjajah perempuan tersebut tentu akan menyulut penolakan perempuan lain yang merasa dirinya sudah tersadarkan dalam gerakan feminisme. Mengakali hal tersebut, kaum kapitalis pun tidak menyerah. Pengeksplorasian tubuh kemudian dikatakan sebagai tindakan kebebasan perempuan. Hal tersebut pun kemudian diidentikkan dengan feminisme. Hmmmmm, sungguhlah memang cihuy sekali kaum kapitalis ini.

Eh, tapi tunggu dulu, saya juga mau menambahkan hal lain. Di Indonesia, khususnya di Bandung dan lebih khusus lagi di lingkungan sekitar saya, fashion yang sedang berkembang adalah busana muslim. Nah, bila melihat penjelasan saya yang menyebutkan bahwa baju mini sesungguhnya adalah buatan kapitalisme untuk mendapatkan pasar, lalu apakah busana muslim adalah bentuk kontras dari busana mini ala kapitalis atau dengan kata lain busana muslim bebas dari cengkraman kapitalis? Saya rasa tidak ada satu hal di dunia ini yang luput dari kuasa Allah dan kelicikan kaum kapitalis. Busana muslim pun sudah mulai ditunggangi oleh kapitalis. Tidak semua baju muslim, tentunya. Apabila kita menggunakan busana muslim secara fungsional atau murni sebagai baju muslim, baju muslim yang kita pakai tesebut masih memenuhi kriteria tulus lillahi taala. Namun akan berbeda tentunya jika kita menggunakan baju muslim dengan berbagai aksesori yang berlebihan dengan tujuan tetap tampil gaul meski berbaju muslim. Pertama, kita nggak lillahi taala dan belum ikhlas benar menggunakan baju muslim. Tujuan inti dari baju muslim untuk menutupi aurat dan demi mengabdikan diri pada Allah terdistraksi oleh keinginan manusiawi kita yang tetap ingin terlihat menarik. Kedua, itulah tanda-tanda kekuasaan kapitalis atas diri kita. 

Membaca posting saya ini, jangan salah paham dengan berpikir bahwa saya akan menutupnya dengan himbauan, "Hancurkan kapitalis!!!" atau ajakan masuk ke dalam gerakan politis berhalauan agama atau membangkitkan semangat kaum Marxis. Saya bukan tipe orang yang akan membicarakan hal-hal di luar kemampuan saya. Yang harus saya atau tepatnya kita akui adalah kita nggak akan bisa lepas dari cengkraman kapitalis. Semua definisi hidup kita itu yang membuat ya kapitalis. Ketika kita sadar dan kita ingin memberontak, diri kita sendiri yang akan mencegah tindakan tersebut dengan hal-hal yang sangat common sense, semacam :
  •  Kasus nggak mau pakai pelembab pemutih kulit lagi  => Terus nanti kalau kulit aku jadi kusam dan kering gimana?
  • Kasus nggak mau pakai baju mini lagi => Masa aku table manner besok pakai celana dan kaos aja? Kan nggak pantes. Salah kostum.
  • Kasus nggak mau pakai baju muslim dan aksesoris gaul lagi => Loh, Allah kan juga menyukai keindahan, masa pakai kerudung ala Syahrini aja nggak boleh?
So, saya nggak akan merekomendasikan tindakan apa pun untuk menghalangi cengkraman kapitalisme dari hidup kita. Kita hanya ikan kecil yang pasti kabur juga kalau bertemu ikan paus.


Ark. Des'11.