Ini tentang penyerahan hidup kita yang sebenarnya adalah pinjaman kepada Dzat yang meminjamkannya. Ini adalah hal yang terbesar yang ingin diujikan Tuhan kepada hamba-Nya. Ini serupa dengan kebimbangan Ibrahim ketika diminta menyembelih Ismail. Ini sama sekali bukan tentang pembedaan identitas semisal agar kamu terlihat muslim, maka kamu harus memakai busana yang a, b, c, d, e. Menjadi muslim adalah menjadi substansi yang muslim yang tidak terkacaukan oleh citra indrawi dan material. Menjadi muslim adalah menjadi insan yang yang dianggap muslim oleh Allah, bukan oleh sesama manusia. Ini juga bukan tentang apabila kamu memakai a, b, c, d, e maka kamu akan terlihat lebih cantik. Cantik? Cantik adalah terminologi yang sangat manusiawi. Cantik adalah keelokan fisik yang atraktif yang menimbulkan kekaguman dan keinginan untuk memiliki. Bila cantik dijadikan alasan, maka tanyalah pada dirimu sendiri, siapa Tuhanmu? Allah-kah atau laki-laki muslim borjuis kinyis-kinyis di Masjid Sunda Kelapa? Ingat, karena kamu adalah hasil ciptaan Tuhan dan selama hukum masih mengatakan bahwa hak paten kepemilikan dipegang oleh sang pencipta, maka kamu adalah milik Tuhan. Tanpa perlu terlihat cantik di mata-Nya pun kamu sudah dimiliki-Nya.
Ah, ya dan ini juga bukan sama sekali tentang perlindungan. Kamu harus menggunakan busana a, b, c, d, e untuk menjaga dirimu dari pandangan-pandangan hasrati yang meniupkan fantasi-fantasi birahi yang kemudian membuatmu menjadi korban kebejatan laki-laki yang sekaligus diharamkan aborsi. Persuasi tersebut dipenuhi oleh ideologi-ideologi dan kuasa maskulinis yang meletakkan wanita sebagai akar pangkal semua kejadian amoral di dunia ini. Mengamini alasan ini adalah bentuk penyekutuan bagi-Nya. Tentu saja, ketika kamu menggunakan busana a, b, c, d, e demi alasan menjaga tubuhmu dari sekutu busuk alam pikiran laki-laki dan jamahan haramnya, maka kamu melakukannya lebih karena takut dengan sundalnya pikiran laki-laki ketimbang dengan Tuhan yang kamu sembah wajib minimal lima kali sehari. Dan tak hanya itu, kamu juga sedang masuk ke dalam rezim maskulinitas yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, bukan hubungan agama yang memberi panduan bagaimana berhubungan dengan Tuhan.
Esensi dari busana a, b, c, d, e sebenarnya adalah pertanyaan terbesar mengenai kesangupan kita menjalani hakikat hidup kita sebagai manusia yang tak lain adalah hamba dari Tuhan yang dinamakan Allah. Selayaknya hamba, maka kita diharuskan untuk menghamba memenuhi perintah dari sesembahannya. Selayaknya barang yang kepemilikannya berada di tangan pemilik, maka kita ditanya seberapa sanggup menyerahkan diri dan menjalani hidup sebagai seorang yang mau tunduk dan melepaskan nafsu anarchy yang jumawa dan pongah. Selayaknya makhluk yang nyawanya bergantung pada takdir yang telah digariskan oleh si empunya, kita dituntut untuk menaklukan segala hal lusiferis dari diri kita semisal pongah, sombong, jumawa, berlagak, sok, takabur agar kita menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia. Tapi, ingat, kita hanya ditargetkan untuk menjadi manusia, bukan malaikat. Ketika kita mengalami pergolakan batin untuk menerima dan menjalani proses kita untuk berbusana a, b, c, d, e, itu bukan dosa. Itu alamiah. Itu alamiah karena kita adalah manusia. Manusia yang tak lain sebuah nexus antara setan dan malaikat, yang terus menerus bergulat dalam dialog baik dan buruk. Proses itulah yang nantinya memanusiakan kita. Proses yang bekerja untuk menaklukan kepongahan kita sebagai makhluk yang sempat enggan untuk berserah pada Tuhan dan berada pada fase denial bahwa kita adalah makhluk yang lemah. Proses yang menggarap kita untuk mengamini bahwa pada akhirnya kita hidup untuk menghamba dan nyawa serta jasad yang kita miliki saat ini bukan milik kita sepenuhnya.
Bagi Tuhan, ketika Tuhan menyeru kita untuk berbusana a, b, c, d, e, bukan karena Tuhan ingin membedakan satu kaum dengan kaum yang lain seolah-olah ada banyak Tuhan di dunia ini. Bukan juga karena tanpa busana itu maka Tuhan tidak bisa membedakan mana kaum A dengan kaum yang lain. Hei, bukankah Tuhan Maha Tahu? Bukankah Tuhan juga Maha Melihat hal-hal substansial? Bukankah Tuhan adalah satu-satunya pihak yang tak mempan dengan citra indrawi? Bukan pula Tuhan menyeru karena alasan mempercantik tampilan. Ah, Tuhan terlalu pencemburu untuk bisa merelakan makhluk yang Dia ciptakan berpaling pada makhluk lain yang juga Dia ciptakan. Tak hanya itu, Tuhan juga bukan ingin mengurangi tindak perkosaan dan pertumpahan darah di dunia. Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Maha Adil? Jika mau, Tuhan bisa saja mengasimkan otak-otak dan penis-penis sundal pria-pria maskulinis itu, tidak hanya menyeru perempuan untuk bertindak preventif. Dari seruan itu, Tuhan hendak bertanya kepada kita, mampukah kita menjadi makhluk yang bernama manusia? Dalam kurun waktu berapa lamakah kita menaklukan lusiferitas kita kemudian menggantinya dengan kepasrahan atas diri yang sesungguhnya sudah tak memiliki kuasa sejak lahir?
Tapi entahlah, mengapa harus perempuan saja yang seruan untuk menghamba-Nya jelas?
Bagaimana dengan laki-laki?
Dengan cara apa mereka harus bermetamorfosis?
Melalui penyerahan diri apa mereka bisa menjadi hamba Tuhan?
Ataukah memang benar ideologi dari segala aspek kehidupan ini adalah maskulinisme?
Dan apakah Tuhan adalah penganut maskulinisme?
Ataukah di sini Tuhan juga dijadikan alat politik pengalamiahan maskulinisme?
Apakah kita sudah hidup di dalam rezim kebenaran yang benar?
Ah, entahlah, tapi saya beriman bahwa Tuhan juga menyayangi perempuan sehingga nanti di akhirat tentu Tuhan akan menghukum laki-laki yang menyebarkan ideologi maskulinisme.
2 comments
Aku nggak tau kalo ternyata kita punya otak yang hampir sama loh, kaka besar.
Replyhttp://bukansemacamblog.blogspot.com/2009/09/god-without-capital-letter.html
ah pura-pura *mendengus
Reply