Feminisme Bukan Perjuangan Menang-Kalah


Apa, sih, yang ada di benak Teman-teman kalau mendengar kata PERJUANGAN? Perjuangan kemerdekaan, perjuangan mendapatkan sesuap nasi, perjuangan mengentaskan kemiskinan, perjuangan hidup, hingga perjuangan pergerakan perempuan? Sama nggak, sih, perjuangan sama peperangan? Bagi saya, perjuangan memiliki arti dan citra yang berbeda dari peperangan. Sama kalau kita membicarakan konflik dan perang. Beda tapi kita cenderung menyamakannya dan menjadikannya dua istilah yang bisa saling menggantikan).

Nah, dalam masalah perjuangan yang kali ini saya mau bahas, saya menyesalkan padanan kata perjuangan dengan peperangan. Banyak sekali teman-teman saya atau bahkan Teman-teman pembaca anaksawah yang menjadikan dua kata tersebut sebagai sinonim. Akibatnya ketika kita membicarakan masalah perjuangan, kita harus menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah. Hal tersebut membingungkan. Bahkan dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan pun sebenarnya tidak ada pihak yang kalah maupun menang. Seperti ini misalnya, pihak A menuntut kemerdekaan dari pihak B yang menjajahnya, nah kepentingan yang dibawa A bukan kepentingan untuk menjadi pemenang melainkan kepentingan untuk diakui sebagai pihak yang merdeka, bebas dari penjajahan B. Jika dalam perjuangan tersebut A mendapat reaksi keras dari B hingga mereka terlibat dalam adu kekerasan fisik, kita sudah tidak membicarakan perjuangan tetapi membicarakan peperangan. Pada bagian peperangan baru kita bisa membicarakan pemenang dan yang kalah.

Serupa dengan pergerakan perempuan yang kita kenal dengan nama feminisme. Tuntutan-tuntutan yang tercakup dalam semua gelombang feminisme bukan ditujukan untuk mengalahkan dominasi laki-laki sehingga perempuan menjadi pihak yang menang, sebaliknya laki-laki menjadi pihak yang kalah. Bukan itu. Perjuangan feminisme bukan ditujukan untuk memenangkan perempuan atas laki-laki melainkan ditujukan untuk memperoleh penerimaan dari laki-laki atas tuntutan yang diajukan perempuan karena selama ini perempuan merasa terugikan.


Salah Kaprah, Salah Paham, Salah Siapa?

Kesalahkaprahan dalam menangkap gelombang feminisme ini cukup krusial akibatnya. Gerakan feminisme seolah-olah menjadi hal yang begitu menakutkan di mata laki-laki, bahkan di mata wanita sendiri. Malah saya perhatikan kok feminisme dianggap kayak dosa aja gituh.

Dalam diskusi bertajuk Eksistensi Patriarki yang diadakan oleh Departemen Kajian HIMA HI 28 April 2010 lalu ada beberapa pertanyaan yang memperlihatkan kesalahkaprahan ini.

  1. Dunia ini memang diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ada kuat-lemah, tinggi-rendah, baik-buruk, dan lain-lain, kenapa juga kita harus mempermasalahkan ini? Ketika pihak yang lemah telah berhasil menjadi pihak yang kuat, dunia malah jadi tidak seimbang dan tidak ada kerja sama karena semua merasa kuat.
  2. Apa, sih, yang mau dicari sama feminisme postmodern?
  3. Feminisme dengan segala gelombangnya merupakan usaha pencarian kebebasan tapi kebebasan dari apa? Toh ketika kita bebas dari lingkaran A sebenarnya kita juga akan masuk ke lingkaran B. Apakah masih disebut kebebasan jika kita hanya lepas dari konstruksi A padahal sebenarnya kita memasuki konstruksi B?


Oiya, saya jadi ingat pertanyaan kawan-kawan saya, tapi dia nggak ada di dalam diskusi tersebut.

  1. Memangnya apa yang salah dengan sistem patriarki? Masalah kamu apa sama patriarki? Itu kan sudah jadi keseharian kita. Lagipula, apa yang bisa kamu perbuat untuk menggugurkan patriarki?


Salah kaprah dan salah paham, itu kesimpulan saya. Salah siapa itu? Menurut saya, ya salah kita karena kita menyinonimkan perjuangan dengan peperangan, salah kita juga yang terlalu cepat dalam menyimpulkan suatu hal sebagai ancaman.

Dalam pertanyaan pertama, ya saya mengamini seratus persen bahwa kita memang diciptakan untuk saling melengkapi melalui segala kelebihan dan kekurangan kita. Permasalahannya, pertama, biner tersebut tidak dipahami sebagai suatu komplemetasi tetapi malah menjadi sebuah eksploitasi.

Sebenarnya menjadi kuat itu nggak salah serta begitu pula sebaliknya, menjadi lemah pun tidak salah. Kesalahan terjadi ketika yang kuat merasa lebih tinggi dari yang lemah sehingga mereka merasa legal untuk mengopresi dan mengeksploitasi yang lemah. Lebih bodoh lagi ketika si lemah yang tereksploitasi itu nurut-nurut saja. Si lemah yang sayang sekali diidentikkan dengan perempuan ini harus sadar bahwa mereka selama ini diperlakukan secara tidak adil. Mereka ditekan, mereka dieksploitasi, mereka disubjugasi. Mereka harus sadar bahwa pola kerja sama yang terjadi diantara mereka dengan laki-laki tidak berlandaskan pada kesetaraan atas fungsi yang komplementaris tetapi pada dependensi yang mengeksploitasi dan mengopresi.

Loncat ke pertanyaan dari kawan saya yang ngga ada dalam diskusi, itulah yang salah dari sistem patriarki dan itulah masalah yang saya sadari! Itulah keseharian yang selama ini mengungkung, membatasi, menekan manusia tapi kita anggap sebagai hal yang wajar. Kewajaran tersebut juga menjadi masalah bagi saya.

Apa yang akan saya lakukan untuk menggugurkan patriarki?

Nah, salah kaprah lagi kan, tuh. Menggugurkan bagi saya bermakna memusnahkan, membuat hilang, mengalahkan. Nah, rancu lagi jadinya, apa yang mau kita gugurkan? Sistem patriarki? Sistem atau patriarki atau laki-laki atau apa?

Dalam tiga gelombang feminisme, saya juga nggak menemukan keinginan untuk menggugur-gugurkan. Saya hanya melihat keinginan untuk diakui dan diberi hak yang sama seperti laki-laki. Gelombang pertama menuntut hak-hak politik bagi wanita. Jika laki-laki boleh ikut pemilu, kenapa perempuan engga? Perempuan punya pemikiran dan pilihan yang berbeda dari suaminya, dari bapaknya, dari kakak atau adik laki-lakinya, dan dari saudara-saudara laki-lakinya sehingga kurang tepat jika pilihan mereka diwakili oleh pilihan laki-laki. Nah, apakah di situ perempuan-perempuan tersebut meminta supaya laki-laki dicabut hak politiknya? Kan engga.

Lalu gelombang kedua. Gelombang ini menuntut kesetaraan. Ranahnya nggak cuman di politik tapi hampir di semua bidang. Pokoknya perempuan boleh masuk ranah mana aja yang selama ini dieksklusifkan hanya untuk laki-laki. Saya juga nggak melihat suatu tuntutan untuk meruntuhkan. Perempuan nggak masalah tuh dengan kehadiran laki-laki. Nah, apalagi pada gelombang ketiga. Perempuan di sini hanya menuntut pengakuan atas pilihan-pilihan mereka. Kalau saya mau bekerja di luar ya tolong hormati, kalau saya mau jadi ibu rumah tangga ya tolong juga hormati. Pilihan mereka juga tidak didasari pada tekanan apa pun. Ya, mereka memilih karena itulah yang mereka pandang sebagai hal yang terbaik untuk mereka. Apaan yang mau digugurkan? O iya ini juga berarti menjawab pertanyaan nomor dua, yang dicari oleh feminisme postmodernis atau feminisme gelombang ketigaadalah pengakuan atas pilihan-pilihan perempuan.

Nah, kalau masalah gugur-guguran, semaksa-maksanya saya ya paling saya melihat gerakan feminisme ini bertujuan untuk menggugurkan mitos yang selama ini mengungkung perempuan, ehm bahkan mengungkung laki-laki. Nanti kita akan bahas masalah kungkungan terhadap laki-laki itu sendiri. Perempuan sama sekali nggak melihat perjuangan ini sebagai perjuangan menang kalah, tetapi perjuangan untuk mendapatkan sesuatu yang membebaskan mereka dari kungkungan mitos. Mereka nggak menentang laki-laki. Mereka hanya menentang tekanan yang dialamatkan kepada mereka.

Nah, kita sambung ke pertanyaan nomor tiga. Bebas, hmmm, bebas…. Saya, sih, kurang setuju kalau kita mengartikan bebas murni sebagai keadaan tanpa ikatan. Nggak ada bebas yang kayak begitu selama kita hidup di dunia. Bebas bagi saya adalah lepas dari suatu fase yang gelap menuju fase yang lebih terang. Masalah apakah fase yang saat ini kita anggap lebih terang tetapi ketika kita telah masuk ke dalamnya ternyata sama aja gelapnya mah beda lagi. Ya nanti paling kita bakal mencari lagi kebebasan baru lagi. Tapi ini lho kesalahkaprahan dan kesalahpahaman yang pada akhirnya mengungkung kita untuk tetap berada dalam status quo atau zona nyaman yang sebenarnya merugikan kita.

Dalam memandang kebebasan yang dicari oleh feminisme, ya jangan dipahami bahwa perempuan ingin bebas tanpa aturan, tanpa kungkungan lelaki, tanpa ketergantungan kepada laki-laki, bebas tak berakal kayak orang gila, haha. Jangan dipahami seperti itu. Kebebasan yang diperjuangkan oleh mereka adalah kebebasan dari opresi, tindasan, subjugasi, penomorduaan, mitos, dan kewajiban yang sama sekali tidak menguntungkan mereka. Itu saja.


Keluh Kesah

Nah, sekarang pertanyaannya, subjugasi, opresi, eksploitasi, penindasan, dan penomorduaan seperti apa yang selama ini diperjuangkan oleh feminisme untuk dihapuskan dari muka bumi? Coba kita lihat dari empat pernyataan yang sangat menggangu bagi saya.

1. Kamu kan perempuan, Ki. Kalau bisa jangan ambil tema skripsi atau bidang minat mengenai Keamanan, dong. Itu kan laki-laki banget.

2. Nama kamu Riki? Kok kayak laki-laki?

3. Menu malam ini apa, Rik? Kamukah yang masak? Eh, kamu sebagai perempuan harus bisa masak loh.

4. Laki-laki ya harus maskulin. Aneh deh kenapa ada laki-laki kayak di industri hiburan di Korea, Taiwan, Jepang. Mereka itu nggak maskulin.


Empat pertanyaan tesrebut menggangggu sekali bagi saya karena ya aneh aja gituh pada zaman modern dan globalisasi yang telah mengenal Kartini dan internet ini masih ada orang Indonesia yang mengeluarkan pernyataan seperti itu.

Pernyataan pertama merupakan pernyataan yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang di telingan saya dan membuat saya kesaaaaaaaaaaaaaaaaaaallllll. Apa korelasi antara saya perempuan dan bidang minat Keamanan? Apa karena ilmuwan Kemanan lebih banyak laki-laki macam Barry Buzan, Ole Weaver, …. ? Apa karena pembahasan Keamanan membutuhkan zat tertentu yang berada di kromosom Y yang nggak saya punyai? Apa karena pidato mengenai Keamanan membutuhkan suara khas jakun? Apa perhitungan mengenai Keamanan membutuhkan bulu kaki yang lebat sementara kaki saya mulus? Jika tidak lalu mengapa saya disarankan untuk tidak mengambil konsentrasi Keamanan dalam studi saya selanjutnya?

Sama halnya ketika saya ditanya kenapa nama saya begitu laki-laki sekali. Pertama, dia cuman tau sepotong doang. Nama saya yang paling belakang juga Putri tapi bukan Riki Putri juga yaaaa. Hahha. Kedua, kenapa kita harus menggenderkan sebuah nama. Riki untuk laki-laki, Rika untuk perempuan. Kata bapak saya, sih, RikianArsyi itu artinya pemimpin seribu pasukan yang memiliki tempat tertinggi, nah arti asli dari nama saya itu kan nggak bergender, pokoknya bapak saya ngedoain saya melalui nama lah gituh. Eh, tapi ketika saya hidup tanpa proteksi seratus persen dari orang tua, ternyata nama saya dicap sebagai milik laki-laki. Ditanya pula kenapa nggak Rika aja. Lah, kalau nama saya jadi Rikanarsyi, artinya udah bukan jadi pemimpin seribu pasukan lagi lah. Apa kita harus mengorbankan arti yang substansial demi sebuah ide gender yang mitos itu?

Lalu pernyataan selanjutanya mengenai perempuan dan memasak, ehm, saya nggak nemu korelasi esensial dari dua variabel tersebut. Korelasinya itu ya korelasi mitos doang. Bagi saya, urusan masak itu berkaitan dengan perut, perut berkaitan dengan lapar, nah kan laki-laki dan perempuan sama-sama punya perut dan sama-sama merasakan lapar, lalu mengapa hanya perempuan yang dibebani urusan memasak? Saya sih di rumah bukannya nggak bisa dan nggak mau masak, tapi di rumah mah ibu saya masak terus, masa saya bikin soto sementara ibu saya udah masak ayam bakar? Nggak efisien.

Eh, serius itu bukan cari alasan. Ketika misalnya ibu saya nggak masak atau ketika saya sendirian di rumah lalu saya merasa lapar, ya saya masak. Saya nggak suka aja kalau saya disuruh memasak dengan alasan karena saya perempuan, saya nanti ngurus dapur, dan saya harus bisa membahagiakan suami. MITOS itu sumpah. Nggak ada jaminan juga kalau saya bisa masak maka saya terhindar dari ancaman cerai. Saya nggak setuju kalau saya harus memasak gara-gara masalah itu. Saya akan memasak kalau kondisinya memang saya harus memasak dan saya rasa saya butuh memasak. Satu lagi, saya juga harus senang untuk melakukan hal tersebut.

Permasalahan masak-memasak ini berkaitan erat dengan pilihan perempuan apakah ia mau bekerja atau mau menjadi ibu rumah tangga. Kita harus menyadari bahwa kedua hal tersebut adalah murni pilihan yang, pertama, tidak memiliki status yang lebih tinggi-lebih rendah, dan kedua, tidak perlu kita ambil kedua-duanya sekaligus. Nah, masalah pilihan itu yang sering menjebak kita. Seperti yang dijelaskan oleh salah satu narasumber dalam diskusi HIMA HI dan tentu juga dapat kita perhatikan dari lingkungan sekitar kita, model perempuan modern ideal, terutama dalam konstruk perempuan itu sendiri, adalah perempuan yang memiliki karir yang cemerlang, nggak gaptek, mobilitas tinggi, seksi dari segi pinggul, bentuk badan, dan dada, berkulit putih serta bebas jerawat, tidak lupa menyiapkan sarapan, baju suami, sepatu suami, sempat masak makan malam, punya anak yang ia kasih ASI setiap hari, yang ia dongengi setiap malam, yang ia antar ke sekolah setiap pagi, serta selalu siap kapan saja dan dimana saja ketika suaminya memintanya untuk melayaninya. Wawwwwww. Sungguh mulia dan hebat sekali perempuan itu yah. Eh, tapi ternyata itu mitos. Saya dapat pencerahan dari dua pernyataan ini,

1. Setiap perempuan dianugerahi gift yang berbeda. Ada yang diberi anugerah untuk dapat membangun keluarga tapi ada pula yang diberi anugerah untuk bekerja. Kita berhak memilih karena bagi saya mustahil kita bisa menjalani keduanya sama maksimalnya. Saya memilih untuk bekerja karena saya rasa saya nggak berbakat dalam membangun keluarga. (Sumber : Sosialita, Kompas)

2. Jadi full-time mother itu susah, lho, Mbak Rossy. Sama susahnya kayak kita bekerja di luar karena selama 24 jam kita harus melakukan banyak deal dengan anak kita. (Sumber : Rossy, Global TV)

Nah, itulah! Saya sebagai perempuan terbebani dengan mitos kalau mau kerja boleh asal jangan lupa kewajiban sebagai ibu! Bagi saya, itu merupakan dua hal yang pada akhirnya nggak akan bisa kita kerjakan secara maksimal. Namun permasalahannya, saya juga masih merasa setengah hati untuk menjadi ibu rumah tangga karena saya takut keputusan saya tersebut, satu, direndahkan karena mitos yang berkembang pada masa kini adalah lebih keren jadi wanita karir, dua, dianggap tradisional sekali padahal ketika misalnya saya memilih menjadi ibu rumah tangga, alasan utama saya adalah karena ingin mendidik anak secara baik, bukan karena ajaran budaya saya. Nah, tapi setelah mendapatkan pencerahan tersebut, saya jadi yakin untuk, satu bekerja semaksimal mungkin mumpung saya masih single, dua, memberikan jawaban yang dapat saya pertanggungjawabkan apakah tetap menjalani karir atau gantung raket sesuai dengan kondisi saya setelah menikah dan melahirkan (jika diizinkan Allah, amin, hehe). Bagi saya, dua jawaban tersebut merupakan aplikasi yang paling riil dari apa yang disebutkan dalam feminisme gelombang ketiga. Itulah yang dinamakan kebebasan untuk memilih.

Pengakuan atas pilihan ini juga sebenarnya seharusnya tidak hanya dirasakan oleh perempuan, tetapi juga oleh laki-laki itu sendiri. Coba lihat pernyataan keempat. Mengapa untuk diakui sebagai laki-laki, maka makhluk berpenis tersebut harus memiliki sifat maskulin? Kayak apa maskulinnya? Kalau saya Tanya ke teman-teman saya, ya pikiran mereka mengatakan bahwa maskulin itu gagah kayak James Bond, garang kayak preman pasar, gede kayak Rambo. Nah, jawaban mereka mencirikan bahwa mereka terkungkung pada mitos maskulinitas. Emang salah gitu kalau dia metro abis? Salah gitu kalau dia kyut (cute) kayak bintang film Asia?

Ada begitu banyak pilihan sebenarnya untuk hidup di dunia ini. Rugi banget kalau kita hanya terpaku pada satu pakem yang sebenarnya juga bikinan manusia yang didapat dari hasil kontemplasi juga. Ketika laki-laki berdandan ala James Bond dengan berbadan Rambo, ya biarin aja emang itu udah style yang membuat dia nyaman. Tapi jangan anggap dandanan tersebut lebih superior daripada pria macam Lee Min Ho yang aduhai banget rambutnya lebih jatuh daripada rambut saya dan lebih berani memakai baju pink. Kalau Lee Min Ho lebih nyaman dengan tampilan seperti itu, so what? Apa yang salah? Dia nyaman kok. Di mata mayoritas perempuan Asia Tenggara dan Asia Timur yang menonton aksinya dalam Boys Before Flower pun dia tampak ganteng dan menimbulkan banyak jeritan histeris. Sama hebohnya kayak zaman Bradd Pitt dan Sylvester Stallone. Pertama, setiap orang memiliki preferensi yang berbeda dan nggak ada yang salah dengan preferensinya, sekalipun preferensi itu ekstrim di luar jangkauan pemikiran kita. Kedua, zaman juga nggak begini-gini aja. Haloooo, zaman itu begitu dinamis. Ada saatnya dimana pemikiran mainstream dipertanyakan dan pemikiran mainstream harus menerima hal itu, baik secara menyesuaikan diri dengan melakukan revisi atau bahkan hilang ditelan zaman.


Pengakuan

Hal-hal seperti itu lho yang sebenarnya dihadapi oleh patriarki dan mitos maskulinitas. Tuntutan pelepasan diri dari opresi, kungkungan, tekanan, batasan, eksploitasi, dan subjugasi yang selama ini mereka pertahankan melalui mitos-mitos yang saat ini sudah tidak sesuai zaman. Tujuan dari penuntutan tersebut juga bukan menang atau kalah melainkan pengakuan. Udah itu aja. Kenapa mereka harus ribet banget, sih, sampai bikin mitos-mitos yang meletakkan pergerakan feminisme dan pertanyaan mengenai maskulinitas setara dengan dosa yang harus diberantas?



Ark.Mei’10