Ummi




Ketika saya,

  • Nonton tivi terus disuruh ibu saya menggorengkan telur untuk adik saya kemudian saya menjawab, "Nggak mau. Males," kemudian ibu saya menimpali, "Bener ya sistem demokrasi itu sudah mengubah pola hidup, bahkan hingga pada tingkat individu. Beberapa tahun lalu anak itu segan kalau menolak orang tua. Sekarang, anak-anak tanpa sungkan mengungkapkan hak berpendapatnya," (Dalam hati : bhuaaahhhhhhh, bawa-bawa demokrasi, tingkat individu, hak berpendapat, macem anak HI aja ibu gue)
  • Pagi-pagi kedatangan ibu saya di kamar dengan masih memakai mukena setelah shalat subuh dan membawa beberapa buku agama, kadang juga dengan tafsir Qur'an kemudian mengungkapkan, "Aku heran dan akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa memang sepertinya perempuan ini adalah manusia yang terampas kemanusiaannya. Di sini selalu diungkapkan bahwa perempuan itu adalah perhiasan dunia dan fitnah dunia. Setelah aku baca memang maknanya tidak seburuk yang aku pikir. Malah, sebutan seperti itu muncul justru karena kelemahan kaum laki-laki sendiri. Tapi, kenapa kelemahan laki-laki itu seolah-olah bukan masalah, ya? Kenapa jadi sebutan bagi perempuan itulah yang dimunculkan? Nggak cuma di sini, loh, bahkan di peradaban lain juga perempuan mendapat diskriminasi dan selalu menjadi alat bagi laki-laki.  (Dalam hati : Ini pagi-pagi udah diskusi feminisme aja inihhhhhhhh arrrgggg)
  • Sedang tidur kemudian dipanggil ibu saya yang girang karena hard copy skripsinya yang konon menghilang sejak berbelas tahun lalu sudah ditemukan dan memaksa saya untuk membaca isinya, yang secara refleks saya baca Bab I-nya, "Penelitian mengenai fosfat sendiri sudah dilakukan pada tahun xxx oleh peneliti dari Universitas xxxx. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa fosfat merupakan blablabla dan memiliki kandungan xxxx. Kandungan xxxx ini merupakan kandungan yang memiliki fungsi yang sama dengan xxxx dalam obat xxxx namun dengan tingkat resiko xxx yang jauh lebih kecil yakni xxxx. Menghadapi tingginya resiko dari xxx yang berada di dalam obat xxx, penggunaan fosfat sekian persen dapat dijadikan alternatif...," (Dalam hati : Kok gue berasa lagi baca tulisan gue sendiri yak?)
Maka saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa saya ini sesungguhnya sama sekali bukan anak pungut. I share many things in common with my mom, even we both never share same class, same books, same time.

Kebenaran

Teman saya, Opank, dua tahun lalu pernah menulis hal yang menurut saya hebat dan sangat kicking ass sekali. Kata Opank, satu hal yang tidak diciptakan Tuhan adalah kebenaran. Bingung? Hmm, dosen saya, Pak RMT dalam perkuliahan terakhir Filsafat Ilmu semester ganjil lalu berbagi pendapat dengan para tutor mengenai apa itu kebenaran yang saya rasa penjelasan Pak RMT di ruang dan waktu yang berbeda dengan posting Opank dapat menjelaskan apa maksud Opank.

Ketika itu, Pak RMT bertanya kepada tutor-tutor yanng ada di kelas mengenai suatu isu, kebetulan waktu itu kasus Krisdayanti yang mencium Raul Lemos yang menimbulkan kontroversi karena dilakukan di hadapan kamera wartawan infotainment secara sengaja. Jawaban para tutor itu berbeda-beda, tapi dapat dikelompokkan dalam jawaban berikut,

  1. Tindakan KD tidak pantas dilakukan karena menyalahi adat Timur dan banyak ditonton anak-anak
  2. Tindakan KD wajar karena sebagai artis maka ia butuh popularitas yang salah satu sumbernya bisa berasal dari deviasi ketentuan sosial
Perhatikan, jawaban 1 merupakan jawaban yang bersumber dari petunjuk normatif, sedangkan jawaban 2 (saya termasuk ke dalam kelompok penjawab poin 2), merupakan jawaban yangg bersumber dari strategi menghadapi kehidupan. Bersepakat dengan Pak RMT, saya rasa tidak ada jawaban yang salah karena keduanya memiliki alasan yang masuk akal dan secara common sense saja sudah dipahami oleh banyak orang. Nah, tapi apakah keduanya benar? "Salah" memang memiliki antonim, baik antonim kembar maupun antonim relasional, berupa "Benar". Namun, bagaimana mungkin ada dua hal yang benar, sedangkan Tuhan saja satu? Bayangkan bila Tuhan ada dua, pasti akan ada perang ketuhanan. Nah, bagaimana dengan "benar"? Kebenaran itu hanya boleh satu atau tidak ada sama sekali, sedangkan dari dua jawaban di atas, keduanya benar menurut logika dan alasan masing-masing. Jika demikian, kebenaran yang mutlak itu sendiri tidak ada. Tidak ada karena semua pihak mengaku jawabannya benar menurut logika dan alasan masing-masing. Namun, terlepas dari benar atau tidak benar, kenyataan bahwa KD mencium Raul itu masih ada. Intinya, apa pun pendapat kita mengenai suatu isu, pendapat kita tidak akan mengubah terjadinya isu tersebut. Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan pendapat kita kecuali menjalani hidup kita sesuai dengan pendapat kita.

Namun kemudian muncul apa yang dikatakan teman saya dalam blog keempatnya yang beberapa hari lalu tidak saya sengaja saya temukan. Teman saya bilang, meskipun di dunia ini ada banyak pilihan untuk melakukan suatu hal, seharusnya kita tetap berpegang dengan apa yang digariskan oleh Islam. Saya nggak bermaksud untuk nggak setuju sama dia karena toh saya juga Muslim dan menjadikan Islam sebagai garis pedoman. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam tulisan tersebut, dari pengakuannya terhadap ada banyak pilihan hidup, si teman saya itu seolah-olah menghargai adanya perbedaan pilihan , tapi di sisi lain ketika ia memberikan pernyataan "seharusnya mengikuti apa yang digariskan Islam", ia sebenarnya sedang memberikan rekomendasi mengenai batasan kebenaran secara mutlak. Islam memang benar, tapi itu hanya bagi yang meyakini Islam. Di luar Islam, bukan berarti tidak ada kebenaran. Kebenaran masih ada, bagi mereka yang meyakini agama atau keyakinan lain. Ketika misalnya si teman saya mengatakan pada orang lain yang tidak meyakini Islam mengenai kebenaran Islam, maka sudah barang tentu si teman saya itu akan menghadapi bantahan-bantahan yang logis menurut logika si orang tersebut. Begitu pun sebaliknya, ketika ada seseorang yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran menyerang si teman saya dengan argumen-argumen anti-Islam, maka sudah pasti juga si teman saya akan balik membantah dengan memberikan argumen mengenai kebenaran Islam.

Nah, perang kebenaran yang dibawa oleh dua orang yang berbeda keyakinan mengenai kebenaranlah yang saat ini sedang ramai terjadi. Mereka lupa bahwa sebenarnya perang yang mereka lakukan itu sia-sia. Mereka sama-sama berangkat dari titik berbeda namun ingin mendapat kesimpulan atas satu hal yang sayangnya kesimpulan tersebut pun tidak ingin mereka capai secara win-win solution atau secara mufakat, tetapi secara zero-sum atau 1-0 alias satu pendapat saja yang benar. Masalahnya lagi, mereka juga saling mengukur benar tidaknya pihak lawan dari standar yang mereka buat berdasarkan pemahaman mereka atas satu kebenaran. Kasus yang sedang ramai sekarang adalah kasus anak punk yang ditangkap polisi di Aceh karena dianggap tidak sesuai syariat Islam. Dosen saya, Pak Indra membahasnya dalam artikel komprehensif di Jakarta Globe yang kebetulan saya share juga di wall facebook saya. 

Saya sepakat dengan Pak Indra, bagaimana mungkin kita menilai punk dari sudut pandang Islam? Punk jelas tidak akan pernah sesuai dengan syariat Islam karena punk sendiri lahir di luar kekuasaan Islam. Kecuali bila punk melakukan glokalisasi dengan menggabungkan beberapa nilai dan elemen punk dan Islam kemudian melahirkan hibrid baru berupa lagu punk berlirik islami atau nyanyi irama punk dengan fashion islamik, mungkin akan ada yang dinamakan punk yang sesuai syariat Islam. 

Nah, namun jika glokalisasi yang lahir dari negosiasi dan adaptasi antara dua kebenaran itu tidak terjadi maka punk juga tidak akan menjadi benar? Apakah karena punk lahir di luar kekuasaan Islam maka punk itu tidak punya kebenaran? Apakah kebenaran punk yang diambil dari filosofi antikemapanan dan rebel itu harus tunduk pada kebenaran ala Islam padahal si penganut punk itu punya kebebasan untuk menganut kebenaran mana pun yang ia rasa cocok dengan logika dan keyakinannya? Dan ketika alasan bahwa semua hal harus dilakukan secara Islamik dijadikan bahan argumen untuk menihilkan kebenaran punk, pertanyaannya siapa yang sebenarnya berambisi untuk menjadi hegemon kebenaran? Islamkah atau penganut Islam yang berbicara atas nama Islam padahal ia memiliki kepentingan lain di balik embel-embel Islam? 

Selain itu, apakah kebenaran hanya bisa diukur melalui satu satuan baku mengenai penampilan atau ritual saja? Merenungi kebesaran Tuhan dan dosa-dosa kita sebaiknya dilakukan di masjid atau minimal dengan shalat malam di rumah, itu memang benar secara Islam. Atau penguasa yang zalim itu harus diruntuhkan dalam beberapa cara, yang salah satunya bisa melalui orasi berkedok dakwah shalat Jumat di masjid tertentu, itu benar menurut Islam kelompok tertentu. Namun, apakah bila seseorang merenungi kebesaran Tuhan dan dosa-dosanya sambil jalan-jalan dengan kawan satu gengnya dan dia menentang penguasa yang zalim dengan simbolisasi antikemapanan dan antiaturan produk penguasa zalim yang jelas-jelas ritual dan elemen itu berbeda dari ritual dan elemen Islam maka si penegak Islam berhak menudingnya sebagai pihak yang salah, sesat, dan harus di-Islamkan?

Hal kedua setelah perang kebenaran yang sering saya temukan adalah pengotak-ngotakkan kebenaran berdasarkan penampilan visual dan ritual tertentu yang menafikkan bentukan substantif yang bisa jadi memang hanya mengarah pada satu acuan, yakni ketuhanan. Mengutip pandangan Opank bahwa satu hal yang tidak diciptakan Tuhan di dunia ini adalah kebenaran, saya rasa Tuhan memang tidak menciptakan kebenaran mutlak bagi manusia karena hanya Dialah Pemilik Kebenaran Mutlak. Dalam berbagai kebenaran-kebenaran yang dianut oleh umat manusia di dunia ini, sebenarnya akan ada satu benang merah, yakni kebenaran mutlak yang mengarah pada Tuhan atau yang disebut oleh beberapa yang tidak mengakui Tuhan sebagai kekuatan di luar sana yang belum ditemukan apa itu. Dalam Islam, ritual dan penampilan visualnya ditujukan untuk mencari kebenaran yang digariskan Tuhan. Pun dalam punk yang menurut elit Aceh sebagai hal yang bertentangan dengan syariat Islam, sejatinya punk pun mencari sesuatu Maha Benar yang dirindukan sebagai oase atas kemapanan artifisial dan kolonial yang mencengkram peradaban manusia. Masalah ritual dan penampilan visual yang berbeda, tentu saja akan berbeda karena Islam dan punk tidak lahir dari waktu, tempat, dan nabi yang sama. Perbedaan waktu, tempat, dan nabi yang berbeda itulah yang melahirkan perbedaan versi kebenaran. Hal yang paling bodoh yang kita lakukan tentu saja menimbang-nimbang mana yang (lebih) benar. Sampai Dajjal menjelma dalam rupa Jeremy Thomas juga kita tidak akan pernah bisa memufakatkan mana yag (lebih) benar. Kita hanya bisa secara temporer mengalahkan satu kebenaran, tapi itu juga jika kita memiliki kekuasaan, tapi itu juga tetap saja fiktif karena toh kebenaran itu sesuatu yang tidak ada wujudnya di dunia ini. 

Kenapa kita tidak mencoba saja untuk mengakui bahwa kebenaran di dunia ini sejatinya tidak ada? kenapa kita tidak belajar menghargai kebenaran yang diyakini orang lain sambil kita menjalani apa yang menjadi kebenaran versi keyakinan kita secara khusuk tanpa menilai kebenaran orang lain dari satuan kebenaran kita?

Saya Islam, saya meyakini kebenaran Islam, tapi saya juga mencatat dengan cermat untuk tidak menilai kebenaran orang lain dari satuan-satuan Islam yang saya yakini.

Dan tentang KD, berhubung dia artis dan saya bukan, karena itulah saya tidak menggunakan satuan ukur orang biasa untuk menilai artis.


Ark.Jan'12.

Minggu

Minggu akan selalu menyenangkan karena setidaknya pada malam sebelumnya tidak ada yang harus dikerjakan seperti membuat worksheet untuk murid, membayangkan kegiatan kelas, membaca ulang materi, dan membuka buku untuk mencari halaman yang akan difotokopi. 

Minggu juga akan selalu menyenangkan karena tidak perlu menyetel alarm dan menghapus agenda ngulet di bawah selimut.

Yang paling menyenangkan dari Minggu adalah bisa mempergunakan waktu pada malam sebelumnya dengan membaca bahan atau mengetik skripsi atau ber-skype atau ber-YM dengan kawan sampai hampir dini hari. Ketika bangun, sudah ada Kompas Minggu lengkap dengan Cerpen, Samuel Mulya, dan Sosialita menunggu, tinggal dipersenjatai dengan windows media player, pisang goreng terenak sejagat raya dan nescafe. Lepas membaca Kompas, saatnya jurnalistik dunia maya nan murah dan ramah lingkungan beraksi. Ada Jakarta Post, Jakarta Globe, TIME, dan Newsweek yang siap dilahap. Sambil sesekali membuka twitter, facebook, dan blogger, otak pun kembali siap meraup file di folder from skrip to the s1 > bahan > bab 4 > ...

Selamat menikmati Minggu, semuanya :)

please try this at home

"Eh, jam 11 dari gue, unyu, cuy!"

"Ah, yang sebrangnya lebih laki, men!"
"Eh, eh, eh, liat deh (nunjuk fesbuk), ini ganteng, nih!"

"Eh, lo harus liat yang ini, mmmm xxxxxx xxxxx (sambil ngetik di tab search)"
"Eh, kemarin, dong, gue ketemu orang, ah ganteeeeeeeeeeeenggggg banget. Serius, ini ganteng banget!"

Pernah ngumpul di suatu tempat kemudian memperhatikan sekeliling sambil onlen fesbuk? Kalau pernah, pasti dong pernah ngerumpiin hal kayak gitu. Ini juga bukan sekedar ladies thing, tapi cowok juga ikutan ngasih pendapat, tapi biasanya yang menjatuhkan sih, semacam,

"Ah, cambangnya kepenuhan, tuh, kayak manusia serigala."
"Tapi ituuuu ganteng banget. Cambangnya bikin seksi kaleeeeee,"
"Lo pacaran aja sama serigala, noh seksi kan?"

"Iiiiihhh! Nah, kalau yang pake baju biru gimana tuh?"
"Ah, itu mah terlalu berotot. Kalau lo digampar, langsung pingsan mah!"


"Ya pacarannya nggak pake gampar-gamaparan jugaaak!"
"Ah, emang lo bakal pacaran sama dia?" (ketawa setan, sambil goyang-goyang kepala)

"Yeeeh, sirik aja lo! Ah, lo harus liat yang ini (nunjuk fesbuk). Unyuuu kannnn?"
"Apaan sih. Gayanya gay banget!"
"Iya, pasti itu mukanya pake perawatan."
"Kalo lo jalan sama dia, yang ada juga lo disangka pembantunya."
"Ah, laki gini mah tampangnya playboy abis."
"Yaudah sih, terima nasib aja dah jadi jomblo."
*end of conversation*negak minum masing-masing. nelen ludah. konsen ke laptop masing-masing*


Atau pernahkah kalian jam 3 pagi kalian yang baru saja memejamkan mata selama setengah jam tiba-tiba terbangun oleh suara sms? Kalau pernah, ini pasti urutan berpikir kalian dalam mengira-ngira siapa yang mengsms kalian.
Alur 1 : Jangan-jangan ini setan atau minimal orang yang ngaku2 jadi setan. Ah, buka ngga ya?
Alur 2 : Ah, nggak mungkin deh. Tapi siapa ya?
Alur 3 : Jangan-jangan...
Alur 4 : Plis jangan sampe si X yang ngsms gue (tapi dalam hati ngarep)
Alur 5 : Ah, kayaknya nggak mungkin deh si X. Apa si Y ya? (berusaha cari alasan logis kalau perkiraan kalian itu mungkin)
Alur 6 : Atuhlah, ngapain coba dia ngsms gue jam segini? (sok bete tapi mulai senyum-senyum)

Alur 7 : Ah, siapa sih? (makin berharap si X atau Y yang ngsms meskipun itu absurd juga sih)
Alur 8 : Ngambil hape, buka kunci hape

Alur 9 : Nah, kan, nomornya nggak gue save. PASTI INI ANEH DEH. (tapi "aneh" di sini tidak merujuk pada kemungkinan pertama yaitu hantu. aneh di sini tetap merujuk pada X atau Y atau nama lain)
Alur 10 : Mmmm, siapa ya (slow motion buka inbox)
Alur 11 : Baca sms
Alur 12 : "Jual body cream nomor 1. Belum ada yang menandingi. Hasil putih sekali pakai bertahan 3 hari, irit pemakaian. kualitas bagus. hub 087888366049. Shea.
Alur 13 : SAAAAAAAAAAAAAAPIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII!!!!!!!!!! 
Alur 14 : Lempar hape ke bawah bantal. Bete.


Pesan moral :
1. Jangan ajakin cowok buat sharing orang-orang yang menurut kalian ganteng
2. Matikan hape ketika tidur
3. Sebisa mungkin hindari jomblo
4. Jika tak terhindar, maka teruslah untuk menghindari.

Tentang Tuhan yang Tidak Tahu Menahu Soal Maskulinisme

Ini tentang penyerahan hidup kita yang sebenarnya adalah pinjaman kepada Dzat yang meminjamkannya. Ini adalah hal yang terbesar yang ingin diujikan Tuhan kepada hamba-Nya. Ini serupa dengan kebimbangan Ibrahim ketika diminta menyembelih Ismail. Ini sama sekali bukan tentang pembedaan identitas semisal agar kamu terlihat muslim, maka kamu harus memakai busana yang a, b, c, d, e. Menjadi muslim adalah menjadi substansi yang muslim yang tidak terkacaukan oleh citra indrawi dan material. Menjadi muslim adalah menjadi insan yang yang dianggap muslim oleh Allah, bukan oleh sesama manusia. Ini juga bukan tentang apabila kamu memakai a, b, c, d, e maka kamu akan terlihat lebih cantik. Cantik? Cantik adalah terminologi yang sangat manusiawi. Cantik adalah keelokan fisik yang atraktif yang menimbulkan kekaguman dan keinginan untuk memiliki. Bila cantik dijadikan alasan, maka tanyalah pada dirimu sendiri, siapa Tuhanmu? Allah-kah atau laki-laki muslim borjuis kinyis-kinyis di Masjid Sunda Kelapa? Ingat, karena kamu adalah hasil ciptaan Tuhan dan selama hukum masih mengatakan bahwa hak paten kepemilikan dipegang oleh sang pencipta, maka kamu adalah milik Tuhan. Tanpa perlu terlihat cantik di mata-Nya pun kamu sudah dimiliki-Nya.

Ah, ya dan ini juga bukan sama sekali tentang perlindungan. Kamu harus menggunakan busana a, b, c, d, e untuk menjaga dirimu dari pandangan-pandangan hasrati yang meniupkan fantasi-fantasi birahi yang kemudian membuatmu menjadi korban kebejatan laki-laki yang sekaligus diharamkan aborsi. Persuasi tersebut dipenuhi oleh ideologi-ideologi dan kuasa maskulinis yang meletakkan wanita sebagai akar pangkal semua kejadian amoral di dunia ini. Mengamini alasan ini adalah bentuk penyekutuan bagi-Nya. Tentu saja, ketika kamu menggunakan busana a, b, c, d, e demi alasan menjaga tubuhmu dari sekutu busuk alam pikiran laki-laki dan jamahan haramnya, maka kamu melakukannya lebih karena takut dengan sundalnya pikiran laki-laki ketimbang dengan Tuhan yang kamu sembah wajib minimal lima kali sehari. Dan tak hanya itu, kamu juga sedang masuk ke dalam rezim maskulinitas yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, bukan hubungan agama yang memberi panduan bagaimana berhubungan dengan Tuhan.

Esensi dari busana a, b, c, d, e sebenarnya adalah pertanyaan terbesar mengenai kesangupan kita menjalani hakikat hidup kita sebagai manusia yang tak lain adalah hamba dari Tuhan yang dinamakan Allah. Selayaknya hamba, maka kita diharuskan untuk menghamba memenuhi perintah dari sesembahannya.  Selayaknya barang yang kepemilikannya berada di tangan pemilik, maka kita ditanya seberapa sanggup menyerahkan diri dan menjalani hidup sebagai seorang yang mau tunduk dan melepaskan nafsu anarchy yang jumawa dan pongah. Selayaknya makhluk yang nyawanya bergantung pada takdir yang telah digariskan oleh si empunya, kita dituntut untuk menaklukan segala hal lusiferis dari diri kita semisal pongah, sombong, jumawa, berlagak, sok, takabur agar kita menjadi manusia yang benar-benar menjadi manusia. Tapi, ingat, kita hanya ditargetkan untuk menjadi manusia, bukan malaikat. Ketika kita mengalami pergolakan batin untuk menerima dan menjalani proses kita untuk berbusana a, b, c, d, e, itu bukan dosa. Itu alamiah. Itu alamiah karena kita adalah manusia. Manusia yang tak lain sebuah nexus antara setan dan malaikat, yang terus menerus bergulat dalam dialog baik dan buruk. Proses itulah yang nantinya memanusiakan kita. Proses yang bekerja untuk menaklukan kepongahan kita sebagai makhluk yang sempat enggan untuk berserah pada Tuhan dan berada pada fase denial bahwa kita adalah makhluk yang lemah. Proses yang menggarap kita untuk mengamini bahwa pada akhirnya kita hidup untuk menghamba dan nyawa serta jasad yang kita miliki saat ini bukan milik kita sepenuhnya. 

Bagi Tuhan, ketika Tuhan menyeru kita untuk berbusana a, b, c, d, e, bukan karena Tuhan ingin membedakan satu kaum dengan kaum yang lain seolah-olah ada banyak Tuhan di dunia ini. Bukan juga karena tanpa busana itu maka Tuhan tidak bisa membedakan mana kaum A dengan kaum yang lain. Hei, bukankah Tuhan Maha Tahu? Bukankah Tuhan juga Maha Melihat hal-hal substansial? Bukankah Tuhan adalah satu-satunya pihak yang tak mempan dengan citra indrawi? Bukan pula Tuhan menyeru karena alasan mempercantik tampilan. Ah, Tuhan terlalu pencemburu untuk bisa merelakan makhluk yang Dia ciptakan berpaling pada makhluk lain yang juga Dia ciptakan. Tak hanya itu, Tuhan juga bukan ingin mengurangi tindak perkosaan dan pertumpahan darah di dunia. Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Maha Adil? Jika mau, Tuhan bisa saja mengasimkan otak-otak dan penis-penis sundal pria-pria maskulinis itu, tidak hanya menyeru perempuan untuk bertindak preventif. Dari seruan itu, Tuhan hendak bertanya kepada kita, mampukah kita menjadi makhluk yang bernama manusia? Dalam kurun waktu berapa lamakah kita menaklukan lusiferitas kita kemudian menggantinya dengan kepasrahan atas diri yang sesungguhnya sudah tak memiliki kuasa sejak lahir? 

Tapi entahlah, mengapa harus perempuan saja yang seruan untuk menghamba-Nya jelas?
Bagaimana dengan laki-laki?
Dengan cara apa mereka harus bermetamorfosis?
Melalui penyerahan diri apa mereka bisa menjadi hamba Tuhan?
Ataukah memang benar ideologi dari segala aspek kehidupan ini adalah maskulinisme?
Dan apakah Tuhan adalah penganut maskulinisme?
Ataukah di sini Tuhan juga dijadikan alat politik pengalamiahan maskulinisme?
Apakah kita sudah hidup di dalam rezim kebenaran yang benar?

Ah, entahlah, tapi saya beriman bahwa Tuhan juga menyayangi perempuan sehingga nanti di akhirat tentu Tuhan akan menghukum laki-laki yang menyebarkan ideologi maskulinisme.

Persoalan Hidup Anak Remaja


Saya sedang menelaah beberapa hal yang kerap terjadi pada diri kita, si manusia yang tak luput dari khilaf. Ternyata meskipun kita sudah berhasil menemukan peradaban Mohenjo Daro-Harappa dan Sungai Kuning kemudian menggantinya dengan peradaban digital pasca-Perang Dingin, kita selalu dihadapkan pada fakta-fakta sulit semacam hal yang saya kemukakan di sini.

1. Alarm sudah bunyi dari jam 6 tapi karena satu dan lain hal yang semuanya berujung pada rasa termanusiawi dari manusia, yakni malas, tangan kita secara reflek meraba-raba segala hal yang berada di bawah bantal kemudian tanpa sempat dicegah oleh mata dan otak, alarm tersebut secara sukses mati. Kita pun tidur lagi sambil mengeluarkan excuse bahwa, "5 menit lagi aja gapapa kali," yang nantinya akan kita sesali karena ternyata kita tertidur lagi selama satu setengah jam lebih lima menit. ZONK!!!!! Yes, that's so me. Pada proses ini, sekuat apa pun niat kita pada malam sebelumnya untuk bangun pada waktu yang telah ditentukan dan sekeras apa pun usaha kita untuk melek, semua pasti akan gagal karena sesungguhnya kalau diibaratkan dengan peribahasa, jauh tangan dari otak dan angin berputar ombak bersabung. Tahu artinya? Nggak tahu? Mas Google aja nggak pernah kuliah sastra aja tahu.

2. Sarapan itu baik bagi kesehatan otak. Pernah dengar ungkapan itu? Saya nggak paham, sih proses secara biologisnya, tapi yang jelas, memang benar sih kalau saya nggak sarapan, maka hormon emosi saya meingkat lebih cepat dan sel-sel otak saya sulit diajak berkompromi untuk memahami persoalan hidup semacam "Kenapa sih ini mobil-mobil jalannya lambat semua!"; "Ini motor sumpah ya ngajak ribut motong jalan sembarangan!"; "Astagaaaa, ini angkottttttt, nyari duit sih nyari duit, tapi nggak nyelakain orang jugakkk!". Ah, tapi kadang saya berpikir, apakah persoalan sarapan ini memang benar adanya ataukah hanya suatu agenda tersembunyi yang disebarkan oleh produsen makanan yang kemudian dikukuhkan oleh mama kita? Kita pun jadi nggak bisa mengelak dari konspirasi terselubung itu dan akhirnya tersugesti bahwa kita harus sarapan padahal bangun pagi saja kita sulit.

3. Pengen, deh saya sekali-kali pulang ke rumah itu siang atau sore hari sebelum magrib lalu menghabiskan senja dengan syahdu dari balik tembok di kamar. Sulit merasakan hal itu? Oke, kalau begitu, pihak yang paling harus  kita salahkan adalah jalan raya yang nggak bisa secara fleksibel melebarkan dirinya saat macet sedang menerpa. Oke, itu absrut. Kalau begitu salahkan kredit motor dan mobil yang begitu mudah sehingga semua rakyat bisa menikmati motor dan mobil, dua benda yang bahkan oleh pemerintah Singapura sudah dibandrol sebagai benda haram yang akan menghancurkan peradaban deindustrialisasi mereka. Nggak tega karena kita termasuk pengguna motor dan mobil yang masih kredit? Oke, salahkan teman-teman dekat kalian yang dengan manis merayu kalian untuk menghabiskan sore hingga malam di che.co.

4. Ah, iya. Berhubung saya adalah mahasiswa tingkat akhir yang sudah nggak mengambil kuliah lagi sejak semester delapan menerpa, saya jadi agak lupa deh sama poin ini. Kalau kalian adalah tipikal mahasiswa yanbg mengerjakan tugas sesaat setelah diumumkan dosen padahal deadline tugas tersebut adalah di akhir perkuliahan, which is enam bulan lagi, maka segera skip poin ini. Kalau kalian sudah termasuk dalam poin ini, maka kalian adalah mahasiswa yang sudah bisa mengatasi kesulitan hidup nomor 4, yakni mengerjakan tugas dengan tertib dan tumaninah. Kebanyakan dari kita, si mahasiswa yang berbudi luhur dan peka terhadap kejadian mutakhir dunia, sulit rasanya mengerjakan tugas sebelum deadline datang. Yang sering terjadi adalah kita baru mengerjakan tugas satu malam sebelum deadline yang ternyata nggak mungkin beres, yang akhirnya kita dihadapkan pada pilihan sulit, skip kuliah yang jam delapan buat ngerjain tugas yang poinnya 15% ini, ataukah skip tugas tapi masuk kuliah jam 8 demi absen dan kemungkinan kuis yang poinnya bisa 10%, bisa 15%, dan bisa juga dianggap sebagai UTS. Ketika kita mengirim sms pada teman dekat untuk menitip absen, ternyata dia sedang galau dan malah ngajakin kita curhat. Kita pun hanya bisa membalas smsnya sambil berserah diri pada Tuhan sambil nyanyi Que Sera Sera sampai keesokan paginya ketika kita sadar kita ketiduran, ternyata laptop mati sendiri karena baterai habis, kita nggak nyalain mode autorecovery di word, dan ini sudah jam setengah sepuluh pagi. Hujan deras. Mati lampu. Pulsa habis. Internet dan hape. Jomblo. Oke,ini keadaan yang bagai bergantung pada selembar rambut. Kalau sudah begini, hanya orang-orang yang fleksibel dengan rencana Tuhan yang masih bisa bertahan hidup tanpa stres. Tawakallah karena sesunggunya ada setitik harapan setelah lorong gelap. Yah, meskipun harapan itu baru datang tahun depan saat mengulang.

5. Patah Hati. Di saat patah tulang, hepatitis, lever, dan malaria sudah ada obatnya, patah hati yang lebih banyak diderita, lebih banyak bermasalah, dan lebih darurat masih saja belum ada solusinya. Ini penting banget loh untuk segera kita cari solusinya. Hukumnya fardu kifayah. Ini tuh persoalan umat yang paling berat. Ungkapan yang paling pas menunjukkan urgensi penyelesaian masalah ini adalah "Merajukkan karam air di ruangan, hendak karam ditimba jua." Pokoknya penting, deh. Oh iya, jangan juga kalian suka meledek orang yang patah hati. Selayaknya orang yang ditimpa kemalangan yang di luar kuasanya, begitu pula orang yang patah hati. Plis, deh, patah hati itu tak disengaja dan tak direncanakan. Kalau dia mau sih, dia pengen kali hidup happily ever after dan jadi pangeran yang nggak balik jadi kodok lagi. Pokoknya selama patah hati masih belum ditemukan obatnya, jangan sekali-kali kalian menambah parah berat hidup si orang itu. Ya, iya sih, bete juga misalnya kalau kalian punya temen yang kerjaannya di twiter ngeluh melulu, di fesbuk juga nyepet melulu, di blog bikin puisi semua, di YM statnya ganti-ganti tapi semuanya intinya bete sama komitmen, dan kalau ngesms nggak jauh-jauh dari luka. Tapi daripada kalian menghina-hina di belakang, mending sebagai teman yang baik, semprot aja deh dia kalau tindakan dia yang patah hati juga bikin kalian terganggu. Yah kalau gini mah kontradiktif dong sama pernyataan saya sebelumnya? Ah, ya namanya juga patah hati adalah persoalan yang belum bisa ditangani.


Oke, ini baru lima biji buah. Saya masih mau ngajar lagi jadi posting ini masih saya rencanakan sebagai posting yang bersambung. Tunggu sesaat lagi.

How to Comfort Yourself in Making the Sacred-Scared-Skripsi


Pernah mengalami masa-masa menghabiskan tiga perempat hari kalian di depan laptop tanpa teman, tanpa pacar, dan tanpa arah? Well, kalau kalian adalah mahasiswa tingkat akhir yang jomblo dan belum punya muka untuk setor draft buat bimbingan, maka jangan ragu, jangan bimbang, jangan takut, jangan malu. Saya akan membagi rahasia mengapa saya betah duduk di depan laptop di kamar saya selama berjam-jam. Alasan paling utama sih karena memang saya betah tinggal di kamar saya yang jauh dari pusat kegiatan rumah. Bapak saya orangnya iseng, ibu saya orangnya terlampau rajin bersih-bersih dan masak, adik-adik saya selalu ada aja yang diributkan, nah kalau saya lagi mood sih saya nongkrong di rumah yang jadi pusat kegiatan hidup, tapi lebih seringnya sih saya ke sana kalau saya lapar atau air minum di kamar saya habis saja. Nah, itu dia, rahasia pertama adalah kalian harus mencintai dulu lingkungan yang sunyi. Orang penakut sangat tidak disarankan untuk mengikut nasihat ini.

Alasan kedua adalah adanya atmosfer menyenangkan layaknya kafe yang kita ciptakan di kamar kita. Seperti apakah ituuuuu?

  1. Siapkan meja belajar atau meja komputer yang dataran mejanya lega dan kosong
  2. Letakkan laptop di atasnya, sambungkan kabel baterai laptop ke terminal listrik yang ada on/off-nya jadi kalau baterainya habis, tinggal cetrekin doang.
  3. Siapkan cemilan atau makanan berat yang bisa kalian anggap sebagai camilan. Ya, kalau kalian biasa ngemil nasi, ya bawa aja nasi nggak apa-apa. Tapi kalau kalian serius mau bawa nasi ke dalam kamar, yakinkan diri kalian bahwa ibu atau bapak kalian nggak akan berubah jadi galak. Kalau bakal jadi galak, ya mendingan jangan, kecuali kalau kalian bisa cule-cule brekele bawa nasi ke kamar nggak pakai ketahuan. Jangan lupa juga nanti kalau udah beres makannya, balikin lagi piringnya ke tempat cuci piring. Ingat, jangan meninggalkan piring kotor di kamar.
  4. Kalau bawa cemilan nasi terlihat sangat penuh resiko, kalian bisa ganti camilan sesuai dengan kodrat. Bisa beli di supermarket atau warung terdekat atau kalau kalian kreatif seperti adik-adik saya, kalian bisa membuat sendiri bakpao, donat, atau pancake. Siapkan saja tepung terigu, telur, gula, dan fermipan di kantong belanja kalian. Biasanya pengeluaran untuk beli makanan jadi dengan makanan bikin sendiri lebih murah yang terakhir.
  5. Kalau makanan sudah ada, jangan lupa siapkan air putih biar nggak seret atau sakit gigi.
  6. Air putih pasti nggak cukup, dong. Kalau gitu kalian juga harus memasukkan kopi atau coklat ke dalam daftar belanjaan kalian setiap bulan. Seduh minuman tersebut secara bergantian dan jangan sering-sering juga, sih. Jangan sampai dalam sehari kalian menghabiskan 3 sachet kapucino. Saya nggak tahu sih apa efek buruknya, tapi yag jelas nggak nyaman juga sih pipis-pipis melulu tiap setegah jam.
  7. Laptop siap, makanan siap, minuman siap, kalau gitu mulai nyalakan modem.
  8. Buka situs yang perlu dibuka tapi jangan khilaf juga nongkrong di YM, fesbuk, twiter sampai lupa ngerjain skripsi kalian
  9. Biar agak nyantai dan nggak tertekan, nyalakan mp3 yang temponya nggak terlalu bingar. Paling aman itu tentu saja Sabrina. Tapi ingat, jangan sampai kalian terlalu sering mendengarkan sambil karaokean. Ini emang bikin relaks, tapi juga berpotensi besar membuat kalian lupa tujuan sebenarnya hidup di dunia ini, yakni mengerjakan skripsi. Sekalinya kalian karaoke, hidup kalian bisa berakhir di webcam untuk merekam video kalian bernyanyi.
  10. Ah, iya, siapkan juga kertas dan pulpen untuk mencatat hal-hal penting untuk dikutip yang kalian dapat dari buku elektronik atau situs penting. Jangan lupa juga tulis sumber kutipannya. Kalau kalian malas mencatat pakai tangan, pastikan notepad sudah terbuka.
  11. Pastikan YM berada dalam kondisi invis kecuali kalau sangat terpaksa, kalian bolehlah pasang status Busy.
  12. Jangan terlalu banyak berceracau di twiter karena kalian akan tergoda untuk terus mengetwit atau bete sama twit orang. Kalau kalian mau bersosialisasi, bolehlah buka YM terus konfrens dengan beberapa teman dekat kalian yang kalian percaya bisa meningkatkan kapasitas hati, otak, dan raga. Mulailah pembicaraan dari hal yang serius seperti blog salah satu anggota DPR yang nyinyir walaupun gelarnya sudah banyak, atau program nuklir Iran dan rencana embargo minyak yang akan dibalas oleh blokade Selat Hormus, atau pidato-pidato kampanye calon presiden dari Partai Republik, atau intersepsi pesawat PNG, atau demo sandal jepit, atau penangkapan kaum punk di Aceh. Setelah tema serius membuat kalian merasa lebih pintar, cobalah kalian seimbangkan perasaan sombong kalian dengan beberapa analisis mengenai blog atau stat fesbuk atau twit teman-teman kalian yang konyol, rame, annoying, atau kontroversial. Kalau sudah memanas, ganti topik dengan pembahasan mengenai kecengan atau mantan. Setelah kalian galau, matikan YM dan internet, save Word, close Adobe Reader dan Foxit Reader, matikan iTunes atau Windows Media Player, dan shut down.
Nah, kedua belas langkah di atas dijamin akan membuat kalian merasa nyaman tinggal berbelas jam di kamar kalian yang jauh dari keributan untuk mengerjakan skripsi.

Pacar?


Wih, judul posting ini syerem. Hahaha. Kalau ada anggota ormas Islam tertentu, jangan-jangan blog ini bisa di-report as spam. Hahaha.

Pacar. Jomblo. Pacar. Jomblo. Pacar. Jomblo. Ini tema yang paling banyak dibahas di lingkungan saya dan teman-teman saya akhir-akhir ini. Mungkin sudah tuntutan umur, tuntutan orang tua, tuntutan lingkungan, tuntutan dosen, dan tuntutan jaksa sehingga tema ini pun menjadi tema yang paling sering dibicarakan namun dalam kondisi saling ejek dan menertawai nasib. Hmmmm, tapi beda lagi sih kondisinya kalau saya berteman dengan komunitas agamis. Kalau saya membicarakan hal itu di depan mereka, pasti saya langsung difatwa sebagai gadis durjana yang sundal. MASYA ALLAH RIKI BAHASANYAAAAAA. Hahahahahhahahhaha. Mungkin kalau saya masuk ke dalam komunitas itu, bukan 'pacaran' yang akan saya sebut, tapi 'menikah'. Huffff. Nah, kebalikannya, kalau saya ngomongin 'menikah' di depan teman-teman saya yang sering nongkrong di perpustakaan, mal, tempat makan, dan kosan terdekat, nanti saya bakal dicibir ciyyeeehh ciyeeeehhh. Memang hidup ini pelik.

Kalau saya pikir-pikir, wajar, sih sebenarnya pada usia 22-24 ini teman-teman saya ramai membicarakan pacaran atau menikah. Akan terlalu lancang sepertinya kalau saya bilang ini berkaitan dengan dorongan seksual karena bagi saya sendiri persoalan pengen-pacaran atau pengen-menikah yang dirasakan pada fase umur ini rasa-rasanya tidak mengarah pada keinginan seksualitas. Saya lebih melihat dorongan nggak-pengen-sendirian-dalam-menghadapi-dunia-yang-kejam sebagai alasan pacaran dan menikah pada umur ini. 

Berdasarkan pemahaman yang saya refleksikan dari pengalaman pribadi dan analisis terhadap cerita-cerita teman-teman saya, hal yang paling dirasakan oleh kami adalah semacam perasaan insecure ketika mengingat umur dan semester kuliah. "Ih, gila, udah umur segini ajalah! Udah dibolehin pacaran tapi sama siapa dong?" ; "Aduh, bentar lagi lulus, terus nanti harus cari pacar dimana?" Kesalahan dari pertanyaan ini adalah janji palsu yang sering diucapkan orang tua kita waktu kita masih SMP atau SMA, lagi centil-centilnya dan lagi puber-pubernya tapi dilarang pacaran dengan iming-iming, "Nanti aja pas kuliah. Pandanganmu nanti terbuka lebar dan ada banyak pilihan di sana."

Bagi sebagian orang yang jodohnya sudah dekat, iming-iming itu memang benar, dalam kasus Bayu dan Fahmi, misalnya. Nah, namun hal tersebut tentu takbisa digeneralisasi. Itu hanya terjadi dalam perbadingan 2 : 5, yang sayangnya saya dan teman-teman saya (kecuali Bayu dan Fahmi) termasuk dalam golongan yang berjumlah tiga. Di Indonesia katakan ada 10 juta mahasiswa, nah kalikan dengan perbandingan itu, berarti akan ada 6 juta mahasiswa yang tidak memiliki kesempatan untuk tidak jomblo dalam masa perkuliahan, baik karena putus atau emang nggak dapet aja. Kemungkinan untuk masuk ke dalam 6 juta orang yang tidak beruntung itu sangat besar sekali, bukan? Plis, jangan jawab "Bukan."

Kalian nggak percaya sama perbandingan itu? Mari kita buktikan dari kisah hidup saya.
a. Kasus 1 : Fahmi, Bayu, Riki, Ayi, Desi. 
Punya pacar : Fahmi, Bayu
Jomblo : Riki, Ayi, Desi
.:. 2 : 5

b. Kasus 2 : Remon, Alex, Gigih, Mufli, Taufik
Punya pacar : Mufli, Taufik
Jomblo : Remon, Alex, Gigih
.:. 2 : 5

c. Kasus 3 : Riri, Rizka, Vita, Gori, Ami
Punya pacar : Rizka, Ami
Jomblo : Vita, Riri, Gori
.:. 2 : 5

d. Kasus 4 : Solpa, Ari, Gofur, Aros, Zet
Punya pacar : Gofur, Zet
Jomblo : Solpa, Ari, Aros
.:. 2 : 5

e. Kasus 5 : Lydia, Anin, Pradip, Fransis, Bima
Punya pacar : Lydia, Anin
Jomblo : Pradip, Fransis, Bima
.:. 2 : 5

Masih banyak kasus lain, tapi takut disangka buka aib. Nah, tapi terlihat kan bahwa perbandingan itu nyata dan iming-iming orang tua kita tidak selalu menjadi kenyataan?


Alasan kedua setelah insecure adalah insecure. Loh? Iya, lagi-lagi insecure. Saya sih yakin banget teman-teman saya yang jomblo di atas itu nggak butuh diingetin lewat sms buat makan, solat, dan tidur karena mereka makannya banyak, soleh, dan liat bantal langsung tidur. Selain itu, sebagai anak yang lahir di keluarga kaya raya nan sejahtera (alhamdulillah), kami masih punya alarm yang menemani. Kayaknya kami nggak butuh pacar untuk mengatakan perhatian artifisial seperti itu, deh. Kenapa artifisial? Berdasarkan pengalaman para ahli, sms macam gitu sih cuma manis di dua bulan awal aja, ke sana-sananya sih rutinitas tak berjiwa lagi. Secara kita bukan anak SMP atau SMA lagi gituh. Ada hal yang jauh lebih bikin insecure ketimbang nggak ada yang ngingetin makan, yakni insecure ngga punya teman paling setia untuk berbagi banyak hal, dari mulai gosip, buah pikiran, kesenangan, kesedihan, kebetean, kegembiraan, keharuan, kesakitan, dan tentu saja kekayaan dan kemiskinan. Dengan umur yang semakin menginjak usia bekerja yang mengharuskan kami (eh kalian juga termasuk, jadi saya ganti dengan kata 'kita' deh ya) berpisah dari urusan pertemanan akrab nan tulus pada masa sekolah dan kuliah, akhirnya kita pun membutuhkan orang yang bisa kita percaya untuk bisa menerima dan menyayangi kita apa pun keadaan kita. Semacam butuh seseorang yang bisa diandalkan untuk ditelpon waktu liat gosip Syahrini ngutang di warteg, di-YM-in pas kita bingung mengolah data buat bab 5 kita, disms waktu kita nemu uang gocengan di depan alfamart, didatengin kosannya waktu kita pias tiba-tiba disuruh revisi tanpa dikasih tahu apa yang salah dari skripsi kita, diajak jalan-jalan waktu kita dapet honor lebih, ditulis di Ucapan Terima Kasih skripsi, dan tentu saja diundang untuk menjadi pendamping wisuda kita. *ngetik ini sambil sesenggukan.* Saya rasa hal-hal seperti itulah yang sebenarnya mendorong kita untuk galau massal di twiter sambil saling ngatain, "Ah, jomblo lu!" sebagai #kode kalau kita menginginkan keberadaan orang yang bisa kita andalkan jauh lebih intens dibanding teman-teman biasa (yang sebentar lagi pasti akan berpisah dengan kita).

Dengan adanya dua alasan yang saya yakin melatarbelakangi #kode-kode pengen punya pacar itulah saya nggak setuju sama pernyataan bahwa pacaran itu haram. Hmmm, harus ditelusuri dulu niatnya apa dong. Walaupun saya nggak menampik adanya kemungkinan berkembangnya niat aseksual menjadi niat seksual dalam pacaran,  saya rasa hal itu nggak bisa digeneralisasi juga untuk bersikap terlampau anti pada pacaran kemudian melampiaskannya pada arah yang halal, yakni menikah. Dengan dua alasan yang saya sebutkan tadi, bagi saya, menikah adalah langkah yang terlalu berat. Semacam overdosis dan overreaksi. Kamu sakit flu tapi saluran pernafasan kamu dioperasi. Terserah bila pernyataan saya barusan langsung difatwa dengan serentetan hadis dan ayat quran yang intinya bilang kalau dalam Islam nggak ada pacaran atau berduaan itu bisa mengundang setan. Saya cuma mau bilang, menikah adalah hal serius yang kurang tepat diaplikasikan sebagai solusi bagi lonjakan kondisi insecure kita yang sebenarnya fase seperti ini tidak akan berlangsung lama. Bisa dibilang, fase insecure kita saat ini adalah fase labil kita yang lebih baik diisi dengan bertafakur dan bersabar sampai kita dipertemukan dengan jodoh kita dan alasan yang menguatkan kita untuk yakin hidup bersama dia, menghadapi segala badai dan pelangi *kampret emang bahasa gue*, dan membentuk keluarga yang menjadi rumah bagi kita, dia, dan anak-anak. Menikah itu sungguhlah hal pertama di atas skripsi, tesis, dan disertasi yang membutuhkan kedewasaan tingkat tinggi. Kalau kita, hanya dengan dua alasan insecure yang saya sebutkan tadi menjadikan menikah sebagai solusi, bagi saya nggak seimbang dan malah memicu persoalan baru. 

Nah, jadi pacarankah solusinya?

Itu tergantung dari sudut pandang kita juga, sih. Intinya kalau kita berada pada fase insecure yang temporer itu sih saya nggak menyarankan untuk menikah. Masalah apakah kita kalau gitu mending pacaran aja atau stay single sambil shalat hajat sih balik ke kitanya sendiri. Kalau kita memilih untuk pacaran, maka berhati-hatilah agar tidak terjerumus ke lubang yang nantinya berat lagi kita tanggung. Kecuali kalau kita bisa menanggungnya di hadapan Allah, orang tua, tetangga, teman, dan jutaan orang kepo di seluruh dunia ya itu sih pilihan. Nah, kalau kitanya sendiri nggak yakin bisa istiqamah menjaga niat aseksual kita, ya lebih baik kita bersabar dalam keadaan jomblo sambil berdoa yang getol biar dikasih orang terbaik di waktu terbaik. Kemarin juga sih sempat conference di YM sama Ayi, Dewa, Remon, terus saya nyeletuk, bersyukur masih jomblo kita sekarang jadi masih bisa berteman kayak begini, malem-malem conference ngomongin hal absurd, coba kalau udah punya pacar atau nikah, mana ada masa kayak gini lagi. Ya, agak nggak ikhlas juga sih saya ngomongnya. Itu mah asli menghibur diri, hahahaha. Tapi ya sepertinya memang kita harus bersyukur sih atas apa pun yang diberikan pada kita karena pasti ada alasannya. Ya, kelabilan pengen punya seseorang yag kita andalkan ya dinikmati dulu sajalah. Perasaan juga kalau nanti kita punya pacar atau suami atau istri juga kita masih nggak bakal nemuin istilah happily ever after itu nyata di dunia ini. Haha.

Ark. Jan'12.

naif


Saya kadang berpikir bahwa cinta yang paling naif adalah cinta orang tua kepada anaknya. Naif. Sangat naif sekali. Cinta yang tanpa me-rechek apakah anaknya pantas diberi cinta yang seperti itu. By that term (cinta yang seperti itu), I refer to a condition when the children lie to their parent, especially in money-matter and achievement-matter, then the parent plainly, strongly, naively, believe it and give a cup of shit matter that their children had asked. 

I did that. Err, I mean, always do that. And it gets me fed up everytime I find other children lie enormously to their parent and their parent, based on the that damn story, sacrifice so much, much, much, much, much, muchhhhhh, yet the children live happily without knowing the cost their parent paid. It sucks.

Not YahooNews Again Please

Salah satu bukti lagi bahwa YahooNews itu bener-bener sucks adalah berita beberapa bulan lalu yang menyebutkan bahwa Lee Min Ho berciuman hot dengan lawan mainnya, Lee Min Ho menjadi playboy penggoda gadis-gadis cantik, Lee Min Ho bla bla bla, dan Lee Min Ho na na na na. Berita tersebut luar biasa membuat saya terguncang karena saya percaya Lee Min Ho adalah salah satu lelaki saleh, berbudi, dan beradab yang pernah saya temui di dunia ini. Ah, ternyata feeling dan kepercayaan seorang gadis seperti saya ini tidak pernah salah. Lee Min Ho nggak berciuman dengan hot sama lawan mainnya dan Lee Min Ho juga nggak semesum itu menjadi playboy yang menggoda dan melakukan hal-hal asusila. Sepanjang 20 episode saya nonton City Hunter, plis deh itu Lee Min Ho cuma sekali doang itu adegan ciumannya dan itu tuh biasa aja, nggak hot yang bagaimana. Justru lebih bikin histeris itu pas dia main di Personal Taste. Aaaahhhhh pokoknya jangan pernah percaya YahooNews.

yang ini resolusi bukan?

Eh, posting sebelumnya yang judulnya Resolusi kayaknya bukan resolusi deh ya? Itu kayaknya harapan yang sangat general doang hahahaha. Hmmmm, coba saya bikin hal-hal yang pengen saya lakukan di tahun 2012 ini. Hmmmm...apa ya..saya mikir sambil makan es krim ya...

  • Tetap berambut pendek
  • Lebih sering beli eskrim dan coklat
  • MEMINIMALISASI PANGGILAN MASA SMA : GOPE.
  • MENGGALAKKAN PANGGILAN RIKI
  • NGGAK AKAN NOLEH KALAU DIPANGGIL GOPE
  • lebih rajin mengirim cerpen ke media massa
  • lebih banyak bikin postingan analisis
  • lebih sering bikin posting nyampah *ga konsisten sama yang atas haha
  • mengerjakan skripsi sebaik mungkin
  • rajin masuk kelas Bu Junita
  • lebih sering nonton film
  • lebih sering meluangkan waktu untuk jalan-jalan dan renang sendirian
  • lebih sering browsing blog yang tidak dikenal
  • keeping silabus dengan disiplin
  • bertindak tegas kalau ada penyimpangan yang merugikan saya
  • beli pigura dan masang foto yang banyak di dinding kamar
  • mengingat dengan cermat bahwa cita-cita saya adalah menjadi dosen dan penulis, bukan guru bimbel yang disetir oleh kepentingan kapitalistik *anjir gaya
  • mengingat dengan cermat bahwa saya harus s2 maksimal tahun depan sehingga saya harus lulus jauh hari hari sebelum deadline tanggal aplikasi s2
  • rajin nyapu, ngepel, dan ngelap kamar *bukan karena saya males dan jorok tapi kamar saya memang selalu terlihat rapi haha seriuuuusss
  • lebih sering bermain dengan teman sepermainan sebelum masa perkuliahan habis
  • beli baju, jangan cuma beli makanan *kontras lagi sama poin di atas
  • rajin berolahraga (baca : skipping)
  • lebih banyak baca novel
  • lebih sering donlot lagu
hmmmm, apa lagi yaaa?
Itu sih paling. Ntar juga kalau ada lagi pasti langsung saya tambahin.
Ah, iya, kenapa gada urusan ibadah di atas? ya masa harus saya bilang-bilang juga kegiatan yang saya rencanakan mengenai ketuhanan? Nanti saya disangka akhwat berburqa yang masih labil hehehehehe

City Hunter dan Dialog Liberalisme



Negara membuat hukum demi melindungi rakyatnya. Namun bagaimana jika malah negara sendiri yang ingkar, mempergunakan kekuasaannya kemudian bersikap banal terhadap rakyat? John Locke, Montesquieu, dan CF Strong pernah menjawab pertanyaan tersebut dengan mengajukan konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan demi meminimalisasi korupsi power dari negara. Namun apakah pembagian kekuasaan antara pembuat hukum, pelaksana hukum, dan penegak hukum sudah cukup? Nampaknya tidak bagi Tsukasa Hojo, si pembuat komik strip koran di Jepang tahun 1985-1991. Melalui komiknya City Hunter, Hojo menuangkan impiannya akan keberadaan sosok yang mampu mengamankan rakyat dari kesewenangan negara. Komik tersebut kemudian mengisnpirasi film-film bertitel serupa di Jepang (1987) dan Cina (1993) serta yang teranyar di Korea (2011) melalui drama yang dibintangi aktor dan aktris rupawan yang tentu mampu menarik perhatian puluhan juta pasang mata di Asia. 

Meskipun diilhami dari komik City Hunter yang dibuat oleh Hojo, jangan pikir bahwa drama ini akan semata-mata memindahkan karakter komikal menjadi representasi manusia dengan jalan cerita yang sama. Jangan berharap menemukan Ryo Saeba, sang tokoh utama dalam komik, dalam representasi Lee Yoon Seong, tokoh utama dalam drama membasmi kejahatan ala Batman dan Spiderman di komik Marvel menggunakan pistol sambil memperdaya banyak wanita. Meski sama-sama mengisahkan perjalanan pahlawan yang bertugas menegakkan keadilan di kota, City Hunter versi Jepang ini telah banyak diadaptasi menjadi berbau Korea, tak hanya dari dekonstruksi pria maskulin ala Korea, bumbu percintaan, dan plot khas drama yang sangat kompleks menjelaskan hubungan keluarga, tetapi juga dari latar penceritaan yang menggerakkan keseluruhan cerita serta pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film. Drama City Hunter pun menjadi drama yang tidak biasa karena menampilkan gagasan liberalisme, kekeluargaan, dan romantisme dalam satu layar.


Konflik-konflik
Diawali dari patriotisme membela bangsa yang diserang oleh pihak musuh, lima orang pejabat teras militer merundingkan rencana pembalasan dengan menyusupkan tentara rahasia ke Korea Utara. Di tengah operasi yang dijalankan oleh 21 orang tentara rahasia tersebut, kesepakatan yang dilandasi oleh rasa emosi itu dibatalkan karena adanya pertimbangan bahwa bila pihak sekutu Korea Selatan, yakni Amerika Serikat mengetahui pengkhianatan Korsel terhadap perjanjian dengan Korut, maka AS segera mencabut perlindungan terkait nuklir untuk Korsel. Memilih citra dan keamanan Korsel di tingkat internasional atau membela dua puluh satu orang tentara yang jelas-jelas telah menjadi 'anak negara', lima jenderal tersebut pun menjustifikasi keputusan mereka untuk melenyapkan dua puluh satu tentara sepulangnya tentara tersebut dari misi di Korut.

Hal pertama yang ingin diklarifikasi oleh drama City Hunter ini adalah tentara bukan sekedar bidak yang bisa dimainkan oleh negara begitu saja, yang apabila tentara tersebut meninggal maka mereka hanya akan menjadi sekumpulan nama yang bisa dihapus dari sejarah. Tentara adalah manusia dengan cinta yang teramat besar kepada negara yang menganggap bahwa negara adalah satu-satunya tempat bernaung paling aman yang tidak mungkin mengkhianati mereka. Ketika mereka tahu bahwa negara yang mereka agungkan berbalik menghilangkan mereka, maka mereka pun memiliki pertanyaan yang berkembang menjadi dendam.

Dendamlah yang kemudian mengantarkan satu-satunya tentara yang selamat dari operasi penyapuan, Lee Jin Pyo, untuk menggerakkan plot dalam drama City Hunter. Dilatarbelakangi oleh keinginan membalaskan dendam secara banal dan megah, Lee Jin Pyo kemudian menculik bayi dari sahabatnya yang mati dalam operasi penyapuan, membawanya ke perbatasan Myanmar-Thailand, kemudian mendidiknya dengan sangat keras sehingga menjadi seorang Lee Yoon Seong yang piawai berkelahi, mahir memainkan senjata, serta jenius secara akademik, namun sayangnya setelah mendapat pendidikan di Amerika Serikat dari mulai gelar S1 hingga PhD memiliki keyakinan besar pada keberadaban penyelesaian  melalui jalan hukum.  

Dua puluh delapan tahun berjalan, ketika dikirim Jin Pyo ke Korea kemudian menjadi salah seorang tenaga ahli di Blue House atau Istana Negara, Yoon Seong diharapkan mampu memburu lima jendral yang melakukan operasi penyapuan kemudian membunuh mereka tanpa ampun. Namun, berkebalikan dengan apa yang diharapkan oleh Jin Pyo, Yoon Seong malah mencari titik-titik kesalahan masing-masing jendral yang bisa diajukan ke meja pengadilan. Tak disangka, para jenderal yang pada saat ini telah menjadi pejabat politik Korsel tersebut memang melakukan korupsi besar di sektor-sektor strategis seperti pemeliharaan anak terlantar, militer, pendidikan, keselamatan pekerja, dan pembuatan undang-undang. Menariknya, sebagaimana yang bisa dilakukan oleh drama, korupsi tersebut tidak hanya disajikan melalui angka-angka, tetapi juga diperlihatkan melalui narasi penderitaan beberapa sosok yang terimbas korupsi pejabat yang kehadiran mereka menggugah Yoon Seong untuk segera bertindak. Di sini, Yoon Seong pun tidak tampil sebagai anak yang marah karena ayahnya ditembak mati di laut setelah menjalankan misi negara, tetapi sebagai warga sipil yang merasa kepercayaannya dikhianati. Rasa sakit karena dikhianati tersebut kemudian mengantar Yoon Seong menjadi sosok yang disebut media massa sebagai City Hunter. Secara jenius, cermat, dan taktis Yoon Seong membuat taktik untuk menjebak para koruptor di luar cara-cara dan birokrasi hukum, mempermalukan pejabat tersebut di mata publik, kemudian meyerahkannya kepada kejaksaan secara misterius.

Dua titik ekstrem tindakan Yoon Seong, yakni kemahiran berkelahi, memutar otak, dan menjebak target serta kepercayaannya terhadap hukum membuat Yoon Seong tidak hanya bertikai dengan Jin Pyo, tetapi juga dengan jaksa Kim Yong Ju. Jaksa Kim merasa terlecehkan karena selalu didahului oleh Yoon Seon dalam menangkap tangan para pejabat yang korup. Selain itu, dengan kepatuhan Jaksa Kim yang teramat besar terhadap hukum, ia pun mengutuk tindakan Yoon Seong dalam menangkap pejabat-pejabat tersebut. Terkait dengan kepatuhan, konflik lain yang dihadapi Yoon Seong adalah tindakannya untuk menjatuhkan pejabat teras tersebut berlawanan dengan tugas yang diembankan kepada orang yang dicintainya Kim Na Na, seorang penjaga keamanan pejabat negara. Sama seperti Jaksa Kim, Kim Na Na juga orang yang patuh pada peraturan. Meskipun Na Na tahu pejabat yang ia lindungi bersalah, Na Na tetap harus menjaga keamanan sang pejabat dan sebisa mungkin mencegah aksi Yoon Seong.


Siapa Tokoh Utama?
Menikmati jalan cerita drama City Hunter, saya sedikit meragukan keberadaan tokoh Lee Yoon Seong sebagai tokoh utama. Lee Yoon Seong sepertinya hanyalah penengah dari dialog besar mengenai kemarahan yang menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum dan negara serta kepatuhan yang terlampau naif terhadap hukum. Tokoh utama di sini saya rasa adalah Jin Pyo sebagai representasi kemarahan dan dendam serta Jaksa Kim sebagai representasi kepercayaan terhadap hukum. Yoon Seong sendiri adalah solusi alternatif yang diimpikan oleh sang pembuat film dan manusia di seluruh dunia yang lelah dengan pertarungan dialog tersebut. Selain itu, ketika kita sampai hampir pada episode akhir, kita akan disajikan narasi bahwa Yoon Seong ternyata hanyalah alat pembalasan dendam Jin Pyo kepada komandannya, Choi En Chang yang memerintahkan secara langsung operasi penyusupan ke Korut dan pada saat ini menjadi Presiden Korsel.  Yoon Seong ternyata bukanlah anak kandung dari sahabat Jin Pyo yang ditembak di laut, melainkan anak hasil hubungan gelap Choi En Chang dengan perempuan yang kemudian dinikahi oleh sahabat Jin Pyo. Pembalasan dendam megah yang direncanakan Jin Pyo selama 28 tahun itu ternyata adalah membunuh En Chang melalui tangan anaknya sendiri. Di sini terlihat bahwa Jin Pyo-lah yang memegang kendali atas jalannya cerita.


Siapa yang Menang?
Dialog mengenai ketidakpercayaan terhadap hukum dan kenaifan terhadap hukum nampaknya merupakan masalah yang sulit untuk dicari penyelesainnya meski ada sosok City Hunter yang mencoba menggabungkan metode antihukum dan prohukum. Dalam penyelesaian kasus korupsi pejabat, hukum masih bisa diandalkan. Hal tersebut terlihat dari ditutupnya satu per satu kasus korupsi pejabat setiap kali mereka sudah diserahkan kepada kantor kejaksaan. Namun bagaimana dengan kasus dendam yang bahkan sedari awal sudah mencibirkan hukum sebagai instrumen yang paling lemah yang ada di dunia? Bagaimana dengan patriotisme yang dikhianati yang kemarahannya sanggup mengantarkan seseorang menjadi sosok yang berani mati? 

Sang pembuat drama ini sepertinya juga tidak sanggup mendewakan hukum berada di atas segalanya ketika sudah sampai pada titik dendam-mendendam. Hal tersebut disajikan pertama melalui kematian Jaksa Kim saat mencoba mengancam salah seorang pejabat yang ketahuan korup dengan menyebutkan daftar-daftar tuntutan yang akan menyeret sang pejabat mendekam 22 tahun di penjara. Sesaat dalam masa sekarat Jaksa Kim yang disaksikan oleh Yoon Seong yang telat datang menyelamatkan, Jaksa Kim  memercayakan penyelesaian kasus tersebut pada Yoon Seong. Ada hal yang ingin disampaikan oleh pembuat cerita. Ya, semacam pesan bahwa hukum memiliki keterbatasan. Hukum juga ternyata bisa kalah dan itu diakui oleh si penegaknya sendiri.

Kedua, dari kematian Jin Pyo. Ada beberapa makna yang saya tangkap dari penyelesaian dendam Jin Pyo yang harus melalui kematian juga. Satu, Jin Pyo sudah terlampau mendendam sehingga hukum pun tidak bisa menjeratnya sehingga hanya pistol lagilah yang mampu mengakhiri nafsu dendamnya. Dua, Jin Pyo yang patriotik dan sudah mencibir hukum merasa terhina apabila hukumlah yang harus mengakhiri kisah hidupnya. Tiga, justru hukumlah yang terlampau suci untuk menjerat orang yang karena dikendalikan dendam menjadi pembunuh bertangan dingin. Kesimpulan kesatu dan saya dapatkan dari mayoritas episode ketika Yoon Seong, Jaksa Kim, dan Kim Na Na mencoba untuk menghentikan aksi balas dendam Jin Pyo namun ditolak mentah-mentah oleh Jin Pyo, kemudian aroma kesimpulan ketiga yang begitu meninggikan derajat hukum saya dapatkan pada episode terakhir ketika Jin Pyo sudah menyerah, terlihat dari jatuhnya longsong peluru dari pistolnya, namun tetap ditembak berkali-kali oleh para petugas keamanan presiden.

Hukum tidak sanggup menyelesaikan semua masalah, begitu juga dendam tidak bisa menerbitkan kelegaan atas kefrustasian, jika begitu apakah metode penggabungan kekerasan dan hukum yang diwakilkan oleh Yoon Seong menjadi pemenang? Sepertinya sang pembuat drama ini juga berpikir dua kali untuk menyimpulkan hal itu. Yoon Seong juga sempat tertembak di akhir cerita saat melindungi ayah kandungnya, sang presiden, dari tembakan ayah angkatnya, Jin Pyo. Dari situ terlihat bahwa metode pengabungan pun tak cukup kuat untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, meskipun Yoon Seong akhirnya tidak mati akibat tindakan tersebut dan malah kembali untuk menunaikan misi sebagai City Hunter lagi dengan motivasi baru yang sempat ia sebutkan di hadapan presiden yakni bukan demi dendam, melainkan demi menjaga amanah rakyat yang dikhianati pejabat, nyatanya Yoon Seong pun mengungsikan keluarganya ke luar negeri, yakni Amerika Serikat. Tindakan Yoon Seong tersebut memperlihatkan sisi-sisi Yoon Seong yang tidak dapat memercayai hukum di negaranya sendiri, namun mengharamkan kekerasan, dan pada waktu yang bersamaan juga tidak memercayai metodenya sendiri. Tindakan tersebut mencerminkan juga adanya impian mengenai sesuatu di luar sana yang bisa menjamin keamanan diri dari kebanalan negara. Impian tersebut juga bukan hanya impian Yoon Seong, tapi impian semua orang. 


Drama?
Sudah banyak rumah produksi dari berbagai negara yang meminta izin kepada Tsukasa Hojo untuk mengadaptasi komik yang diterbitkan di Weekly Shonen Jump dari tahun 1985 hingga 1991 ini. Dari sekian banyak rumah produksi yang meminta pemfilman City Hunter, konon hanya drama City Hunter yang disutradarai Jin Hyuk dari Korea yang mampu memuaskan ekspektasi Hojo meskipun City Hunter versi Lee Min Ho ini berbeda dari versi komik. Saya sepakat.

Pertama, meskipun banyak protes yang dilayangkan oleh penikmat City Hunter versi komik akan peran Lee Yoon Seong yang diperankan oleh Lee Min Ho yang dinilai lebih cocok memerankan karakter romantis, apalagi dalam beberapa scene, Lee Min Ho juga ditampilkan menggunakan celana skinny pink, merah, dan hijau, saya rasa Lee Min Ho cukup representatif untuk memerankan sosok komikal tokoh utama yang dinamai Hojo sebagai Ryo Saeba. Lee Min Ho tampan dan tinggi, itu niscaya, mutlak, dan sahih. Selain itu keluwesan Lee Min Ho dalam melakukan adegan flirting, dingin, kaku, serius, romantis, gagah, bimbang, menendang, memukul, menembak juga patut diacungi jempol karena perepresentasian tersebut hampir mirip dengan penggambaran ala komik. Jangan lupakan juga reputasi Lee Min Ho yang sudah tinggi di Asia. Hanya dengan menyebut Lee Min Ho, hampir seluruh wanita di Asia akan berteriak histeris. Audiens penikmat pesan pertarungan antara hukum dan kekerasan yang tergolong berat dan enggan dicerna masyarakat pun meluas. Setidaknya, pesan bahwa dendam dan korupsi adalah hal terhina yang akan mencelakakan banyak orang, termasuk diri sendiri, dapat tersampaikan secara internasional. Posisi Lee Min Ho strategis bagi keberhasilan drama City Hunter dan pesan-pesan di dalamnya.

Kedua, City Hunter versi Korea ini juga relevan dengan kejadian sehari-hari. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, City Hunter versi Korea ini menyajikan permasalahan yang jawabannya masih kita cari, yakni pertarungan hukum, kekerasan, dan penggabungan hukum-kekerasan. Drama ini juga tidak berusaha memihak salah satu sisi ketika ia menyajikan kekalahan dan kepesimisan bagi masing-masing sisi. Selain itu, korupsi juga suatu hal yang menghiasi lembaran berita di koran maupun cuplikan berita di televisi pada zaman ini. Meskpun pada masa kini juga tidak bisa dikatakan bahwa tingkat kriminalitas kota sudah menurun ketimbang tingkat pada tahun 1985-1991 saat komik City Hunter dibuat, namun saat ini masyarakat jauh lebih frustasi pada keberadaan koruptor yang mengkhianati suara yang mereka berikan dalam sistem demokrasi. Ada keinginan untuk menampilkan kemarahan atas keberadaan liberalisme yang dijanjikan mampu memberikan keamanan bagi rakyat, namun nyatanya malah menyiksa rakyat. 

Ketiga, City Hunter versi Korea juga menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini luput dari perhatian publik dan negara, di antaranya keberadaan tentara, anak-anak terlantar, dan buruh. Dalam hal tentara, drama ini mengungkapkan bahwa karena negara membutuhkan tentara untuk menjaga keutuhannya, negara pun sudah seharusnya memperhatikan suara dan keselamatan tentara sebagai suara dan keselamatan manusia, bukan hanya sebagai bidak yang siap disorongkan dalam berbagai kejadian berbahaya kemudian ditinggalkan setelah tidak urusan bela negara selesai. Tidak hanya melalui perjalanan dendam Jin Pyo saja City Hunter mengungkapkannya, tetapi juga dari sorotannya dalam korupsi menteri pertahanan pada pembelian pesawat jet bekas dan pabrik sepatu tentara yang mencetak sol yang mudah lepas yang kesemuanya membahayakan keselamatan tentara saat bertugas. Dalam persoalan anak-anak terlantar, selain menyoroti korupsi tidak tersampaikannya dana pemeliharaan anak terlantar kepada yang bersangkutan, drama ini juga menyoroti pilihan hidup anak terlantar yang lebih memilih tidak makan ketimbang harus menerima bantuan dari yayasan atau negara karena mereka akan dicap sebagai pengemis. Kemudian dalam persoalan buruh, drama ini memperlihatkan bahwa pihak yang paling akan menderita dari permainan politik, saham, dan krisis ekonomi adalah buruh. 

Keempat, drama ini menyajikan potret Asia kontemporer. Satu, tentu saja dari penggunaan teknologi yang begitu bertubi-tubi dalam mendapatkan informasi. Hampir semua episode dalam drama ini memperlihatkan penggunaan alat sadap, kamera supermini, tablet, IPad, dan internet supercerdas, sebuah siratan potret kehidupan Asia pada masa kini yang aktif menciptakan teknologi dan memanfaatkan teknologi. Dari situ terlihatlah Asia yang tidak lagi hanya bisa dipandang sebagai bangsa yang terlampau tradisional dan mengandalkan fisik, tetapi sebagai bangsa yang mampu mengandalkan otak. Dua, dari penitikberatan pada nilai kekeluargaan dalam arti perjuangan, penghargaan, dan penajgaan orang Asia  bagi keluarganya tapi di dalam waktu yang bersamaan juga tidak mengistimewakan keluarga apabila keluarga tersebut terbukti bersalah. Hal tersebut di antaranya diperlihatkan melalui keputusan  Yoon Seong untuk tidak bertindak kejam seperti yang diperintahkan Jin Pyo karena pertimbangannya mengenai bagaimana nasib keluarga apabila ayahnya mati dibunuh, desakan Jaksa Kim kepada ayahnya untuk meminta maaf kepada publik sebelum kasus korupsi sang ayah diungkap oleh kejaksaan, dan pengakuan palsu Jin Pyo pada saat-saat terakhir sebelum kematiannya bahwa Jin Pyolah City Hunter yang selama ini dicari kejaksaan demi melindungi masa depan Yoon Seong.

Kelima, mengenai kisah romantisme dalam cerita. Bagaimanapun juga, drama Korea tetap drama Korea yang senantiasa menyajikan kisah cinta romantis penuh tawar menawar antara harga diri dan perasaan, perjuangan, pengorbanan, dan penjagaan sang kekasih, serta harapan untuk selalu bersama. Menariknya, drama ini menyajikan kuatnya kebimbangan Yoon Seong atas keinginannya untuk hidup bersama Na Na namun tidak ingin membahayakan keselamatan Na Na yang kerap dijadikan alat tawar para musuh Yoon Seong serta kegigihan Na Na untuk meyakinkan Yoon Seong bahwa Na Na dapat diandalkan sebagai partner dan kekasih Yoon Seong. Hal yang paling heroik dari Na Na adalah keberaniannya mengungkapkan perasaannya secara jujur kepada Yoon Seong dan kekerasan niatnya untuk melindungi Yoon Seong meskipun Yoon Seong secara konsisten menampakkan sikap plin plan yang kadang mengiyakan kadang menolak.  

Namun demikian, dengan beberapa kelebihan yang dimiliki City Hunter versi Korea ini, bukan berarti ia bersih tanpa cacat. Secara makro, pesan dalam drama ini memang tersampaikan, namun memang harus diakui ada beberapa lubang dalam detail cerita. Ah, tapi tidak terlalu bermasalah juga seharusnya karena rating drama ini di Korea cukup bagus dengan menembus angka 20%. Saya juga menemukan banyak keinginan dari publik untuk menikmati sekuel dari City Hunter. Namun, terlepas dari sangkalan halus sang sutradara yang hanya akan mempertimbangkan sekuel apabila Lee Min Ho menyanggupi, bagi saya juga sepertinya harus ada alasan kuat dalam bentuk tema baru yang melandasi keinginan Yoon Seong untuk kembali menjadi City Hunter. Meskipun dalam episode-episode terakhir semakin dikukuhkan bahwa tujuan Yon Seong bukan lagi karena dendam, melainkan demi rakyat, tetap harus ada tema jelas yang menggerakan cerita sehingga drama Korea ini tetap berada pada jalur drama Korea pada umumnya, bukan drama Amerika semacam CSI atau yang lainnya yang menitikberatkan tema hanya pada satu episode yang akhirnya tidak tahu akan bagaimana mengakhirinya dan hanya menjadi rutinitas belaka. Tidak, drama Korea tidak seharusnya menjadi demikian dan Lee Min Ho tidak boleh menjadi aktor yang seperti itu. :)

Ark. Jan'12.


Resolusi


Oke, selamat tahun baru 2012, semuanya! :)
Awal tahun, akhirnya menginjak lagi awal tahun dan blog ini pun akhirnya menginjak usia kelima. Wow, saya sudah merekam sebagian hidup saya selama lima tahun, ternyata. Nostalgia sebentar dengan melihat tulisan-tulisan saya, saya jadi ingin tertawa sendiri. Tapi tidak apa-apa, saya pernah berkata pada diri saya sendiri bahwa kalau saya sudah bisa menertawai diri saya sendiri, maka artinya saya sudah mengambil pelajaran dari sana dan mungkin saya sudah satu tingkat lebih tinggi dibandingkan saat itu. 

Ya, selain membaca tulisan yang ada di blog ini, saya juga membaca tulisan saya yang ada di dalam catatan saya dan 'diary' saya. Saya juga mengingat-ingat beberapa rekaman dari otak. Ah, iya, saya juga membuka beberapa hal, baik catatan maupun ingatan, yang selama beberapa tahun ini enggan saya buka. Hehe. Masih tentang masa lalu yang tidak terlalu enak, masa lalu yang saya benci, masa lalu yang agak menyesakkan, tapi saya juga nggak bisa membenci masa itu karena tanpa ada masa-masa itu, saya nggak akan mungkin menjadi saya yang sekarang. Beberapa hari terakhir ini saya pikir saya sudah mulai tidak membenci hal-hal dan orang-orang dari masa lalu. Saya malah jadi benci sama diri saya sendiri kenapa saya bisa berada pada posisi itu dan tidak terpikir mengambil keputusan atau bertindak seperti apa yang saya pikirkan pada hari ini. Haha. Tapi ya sudahlah. Semoga pada masa ini saya tidak melakukan hal-hal yang membuat saya sedih dan menyesal pada masa mendatang. Ya, itu resolusi saya yang pertama.

Eniwey, malam tahun baru kemarin saya melakukan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menonton kembang api dari lantai atas rumah saya. Senang rasanya melihat keadaan kota Bandung yang begitu semarak dengan kembang api. Saya memposting foto yang saya ambil pada saat itu dan hasilnya yang paling mending dibandingkan foto lainnya. Hihi. Maklum, kamera hape. Kembang api tahun ini sepertinya lebih ramai daripada kembang api tahun sebelumnya. Jauh lebig semarak, jauh lebih menggembirakan, jauh lebih gempita. Mungkin dipengaruhi juga oleh suasana hati saya yang sudah lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya, mungkin juga karena keadaan orang-orang yang bermain kembang api itu juga membaik. Ya, semoga tahun 2012 ini memang membawa hal-hal yang jauh lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.

Bapak teman saya dan teman saya pernah bilang, kenapa harus menyakralkan momen tahun baru untuk membuat perubahan karena toh setiap hari harusnya kita melakukan perubahan tanpa harus menunggu pergantian tahun. Ya, saya juga menyepakati pernyataan itu, sebenarnya. Bukankah saya juga lebih suka dengan momen ulang tahun ketimbang tahun baru? Yah, memang pernyataan itu tidak salah, tapi sepertinya juga harus ada penghormatan atas momen yang dirayakan oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Momen itu adalah momen berkumpulnya harapan, doa, dan niat secara bersamaan yang diiringi oleh suka cita karena diberi kenikmatan masih bisa menikmati tahun yang baru meskipun ada banyak cobaan yang terjadi pada tahun yang sebelumnya. Momen itu juga merupakan momen untuk berharap pada Tuhan agar hal-hal yang terjadi pada tahun sebelumnya bisa menjadikan mereka manusia yang lebih baik dan lebih bahagia di tahun yang baru. Yah, momen dengan nilai kebersamaan dan kegembiraan yang menyenangkan. Saya juga mengharapkan hal demikian, semoga denganbekal yang saya peroleh pada tahun sebelumnya, saya bisa menjalani tahun 2012 dengan lebih baik dan membahagiakan. Itu termasuk resolusi saya yang kedua.

Ah, iya, beberapa hari terakhir saya menghiasi posting saya dengan laporan bahwa saya ke mal, saya menemukan file-file lagu Energy dan lagu lama lainnya, bikin ribut di twiter dengan mengatai teman-teman saya dan saya sendiri sebagai pejomblo, dan saya juga menonton City Hunter. Sepertinya hidup saya hedon sekali ya haha. Sebenarnya selain melakukan hal-hal menyenangkan tersebut juga saya masih UP, kok. Saya juga mengerjakan silabus baru untuk semester dua nanti. Teguran dari bos saya mengenai pekerjaan saya walaupun sempat saya terima dengan hati yang menggerutu dan celotehan protes, sebenarnya juga membuat saya berpikir keras bagaimana menjadikan anak-anak yang kapasitas otak dan kebiasaan hidupnya bervariasi ini bisa memahami pelajaran yang diberikan kepada mereka. Akhirnya ya begitulah, saya membuat silabus baru, saya membeli beberapa buku materi dan soal baru, saya download soal latihan baru, saya membaca lebih banyak, dan sebagainya yang membuat saya sempat iseng bertanya pada diri saya sendiri ketika saya sedang pusing, "Emannya gaji gue sebanding dengan apa yang gue lakuin sekarang? Emangnya ini cita-cita gueeee?" Saya kemudian menarik nafas panjang. Kayaknya saya nggak boleh, deh, berpikir kayak gitu. Kerjakan saja. Toh juga saya melakukannya tanpa dipaksa siapa-siapa. Toh juga ini hasil pemikiran saya. Toh juga saya pasti bakal senang nanti kalau mereka bisa paham apa yang ingin saya jejalkan kepada mereka dan mereka bisa masuk ke sekolah yang mereka cita-citakan. Nah, konyol rasanya saya sampai kesal pada keputusan saya sendiri. Haha. Yang saya tahu adalah orang tua saya suka berkata bahwa saya harus mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin dan secara serius. Jadi, ya, saya akan menutup mulut saya yang suka tiba-tiba protes.

Oh, iya selain mengerjakan silabus, saya juga menghabiskan siang saya dengan mengubah tata letak kamar dan terakhir, saya mengecat kamar saya. Sekarang masih belum kering benar sehingga warnanya juga masih belum terlihat rata. Saya nggak ngecat dengan warna aneh, kok, cuma warna putih saja hahahaha. Hidup saya seimbang, kan? Saya akan mempertahankan keseimbangan ini sepanjang masa. Haha. Itu resolusi ketiga. 

Ah, tadi malam saya mimpi ketemu nenek saya. Seperti apa ya sekarang keadaan nenek saya? Sepanjang tahun 2011 lalu saya tidak mengunjungi nenek saya. Hmmmm. Saya biasa memanggilnya Mbah Dewi. Nama panjangnya Dewi Nawang Sasi. Saya sayang sekali sama Mbah Dewi. Waktu ibu saya kuliah dan saya menangis, Mbah Dewi yang mengasuh saya dan menggendong saya keluar, jalan-jalan, supaya bisa lupa sama tangisan saya. Kalau saya ke Surabaya, Mbah Dewi selalu suka mengambilkan makanan dari toko tante saya, membelikan roti sisir, kelanting, dan brudel di pasar, dan masak makanan yang banyak. Ah, semenjak Kung Dam, kakek saya meninggal empat setengah tahun lalu, pas pada hari saya jadian sama mantan saya, Estu, Mbah Dewi sering melamun. Lucu sebenarnya. Waktu Kung Dam masih hidup, mereka bukan pasangan yang suka saling menggenggam tangan, tetapi pasangan yang lebih suka berantem seperti pasangan di film Korea. Sok-sok jual mahal gitu melulu hahaha. Yah, tapi waktu Kung Dam meninggal, MBah Dewi jadi sering melamun. Waktu Kung Dam meninggal juga saya nggak ke Surabaya. Saya bilang ke ayah saya kalau saya ada UTS, padahal nggak juga harus jadi alasan, sih. Saya cuma nggak bisa melihat ada orang yang dekat dengan saya dibalut kafan kemudian dikebumikan. Itu bukan pemandangan yang bisa saya hadapi dengan kuat, rasanya. Ah, tapi menyesal juga rasanya tidak berada di saat yang membuat nenek yang saya sayangi sedih. Berkaitan dengan poin ini, resolusi keempat saya selain berharap bisa ke Surabaya tahun ini setelah saya lulus, saya juga harus bisa menjadi orang yang kuat kalau dihadapkan pada sesuatu yang menyedihkan. Nggak boleh menghindar.

Harus kuat, nggak boleh menghindar, kalau begitu hal berikutnya yang harus saya jadikan resolusi adalah harus move on. Hahaha. Ya ya ya ya, saya harus bisa move on dari hal-hal yang sempat saya perjuangkan namun ternyata saya malah terinjak-injak. Saya harus ingat bahwa hidup saya nggak cuma sepanjang 16 atau 20 episode film Korea dan yang paling penting adalah si orang yang membuat saya merasa jadi orang paling bodoh sedunia itu juga bukan Lee Min Ho sehingga dia tidak perlu dan tentu saja tidak pantas menerima kebaikhatian saya yang senantiasa memaafkan dan berharap yang terbaik. Nggak sama sekali. Dia tidak terlalu berharga untuk saya pikirkan. Mungkin kemarahan saya ini juga dilatarbelakangi oleh penolakan dan penghindaran yang dia buat, tapi lebih dari itu, dia memang tidak pantas untuk saya pikirkan karena dia memang jahat sebagai laki-laki dan manusia, terlepas apakah si perempuan yang dia begitukan adalah saya atau bukan. Tahun 2012 ini saya harap saya bisa berhasil mengangkat semua tumor perasaan saya buat dia yang membesar selama tahun 2011. Saya bakal melihat orang lain yang mungkin ada di depan, belakang, samping saya. Bodoh rasanya satu tahun kemarin saya cuma fokus sama orang itu dan mempermalukan diri saya di dunia maya karena perasaan suka dan kemarahan saya. Bodoh juga rasanya saya sempat berburuk sangka pada diri saya sendiri karena ajaran dan pemahaman agama yang selama ini saya percayai dan anut dipermasalahkan dan dipeyorasikan olehnya. 

Hmmmm, sepertinya ini minggu terakhir saya liburan. Beberapa hari lagi saya harus kembali mengajar, mengaplikasikan program saya, dan tentu saja saya harus mengerjakan skripsi saya, Ya, semoga saya bisa melakukan yang terbaik dan mendapat hasil yang terbaik juga. Semoga semester dan tahun ini menyenangkan. :)

Ark. Jan'12.

Sedikit Preambule mengenai City Hunter, Liberalisme, dan Lee Min Ho


Bahwa Lee Min Ho sangat tampan bin ganteng, gagah, kharismatik, memesona dalam penampilannya di City Hunter itu adalah hal yang paling sahih, niscaya, takterbantahkan, dan mutlak difatwa. Namun demikian, masih ada hal-hal jauh lebih penting yang hendak disampaikan oleh City Hunter kepada para penonton dan pembaca komiknya. Di antara gelimang ketampanan dan pesona yang ditampilkan Lee Min Ho, saya yakin bukan dua hal itu yang ingin ditampilkan oleh si pembuat film. Lee Min Ho, meski tampan tak terperi, bagi saya tidak lebih hanya sebagai representasi bentukan idealis dari imajinasi si empunya komik. Bahkan, saya curiga bahwa karakter Lee Yoon Seong yang dimainkan oleh Lee Min Ho sebenarnya juga bukan fokus utama dari komik dan film City Hunter. 

Ada dialog mengenai nilai-nilai liberalisme* dan ejekan terhadapnya yang begitu kental disajikan oleh sang pembuat cerita. Dialog yang diawali dari pertanyaan filosofis yang sering ditanyakan oleh anak SMA atau semester awal kuliah yang baru mengetahui standar-standar ganda dalam kehidupan atau dialog yang sering diajukan oleh aktivis-aktivis yang berdemo di depan bangunan dan secara naif percaya bahwa teriakan mereka di depan bangunan itu akan membuat risih sang dewan yang berada di dalamnya padahal teriakan mereka bagi para anggota dewan itu tak lain hanya merupakan teriakan kaum pagan yang percaya bahwa Ratu Adil akan muncul dari atas punden berundak. Dialog, "Jika pelaku kriminal yang melawan negara dapat ditangkap dengan mudah oleh negara melalui hukum, lalu siapakah yang akan sanggup menangkap kebanalan negara sedangkan hukum saja berada di bawah naungan negara?" ;dan "Jika hukum takdapat berbicara maka biarkan pistol yang bertindak," merupakan dialog yang melandasi berjalannya 20 episode City Hunter. 
  
Dari dialog yang sangat manusiwai tersebut, fillm (dan komik) City Hunter kemudian mengembangkan fiksi sepanjang 20 episode dengan menitikberatkan pergulatan  garis linear yang titik kirinya didiami oleh keputusasaan atas korupnya negara yang akhirnya melegalkan akal untuk menggunakan pistol dan titik kanannnya dihuni oleh keyakinan bahwa hukum adalah cara paling beradab untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Konflik yang menghiasi berpuluh abad kehidupan manusia tersebut kemudian diberi resolusi  yakni keberadaan sosok yang mampu menggabungkan jalan kekerasan dan hukum untuk menyeret pelaku kejahatan genosida zaman sekarang, para pejabat yang tidak amanah terhadap kepercayaan rakyat. Saya menyingkirkan dulu pesona Lee Min Ho yang didapuk menjalankan peran ini. Meskipun sekali lagi saya bilang bahwa Lee Min Ho itu mutlak tampan, tapi peran yang dimainkannya sebenarnya hanya merupakan representasi impian yang terlampau idealis tidak hanya dari pembuat komiknya, tetapi juga dari kita semua, si penduduk bumi yang lelah menonton berita korupsi. Tokoh yang dimainkan Lee Min Ho ini semu untuk kita temukan di dunia ini. 

Dari poin tersebut awalnya saya mencibir bahwa pada akhirnya akan ada dua kemungkinan jawaban ending cerita, mengingat biasanya film-film hanya akan meninabobokan kita pada impian terlampau idealis, pertama, hukum yang menang, atau kedua, sosok hero semacam Lee Yoon Seong yang akan menang. Iya, itu hanya awalnya saja, ternyata. Ending film ini tidak mengatakan demikian. 

Saya hampir menyepakati penilaian sebagian orang yang mengatakan bahwa film ini memiliki ending yang hambar, namun kemudian saya menyadari ini bukan karena ketidakpiawaian sang sutradara memberikan ending. Bisa saja sutradara memberikan ending yang lebih wah seperti pada akhirnya Lee Yoon Seong setelah menuntaskan misinya menikah dengan Kim Na Na lalu ya, seperti yang diharapkan oleh kaum hawa lainnya, berciuman dengan sangat dramatik. Lalu bisa juga sang sutradara menambahkan bahwa sang Presiden yang ternyata ayah kandung Lee Yoon Seong mundur dari jabatannya kemudian menjadi ayah yang baik dan hidup dengan Kyung Hae, si mantan pegawai bar yang pernah ditidurinya 28 tahun lalu sehingga melahirkan Lee Yoon Seong. Tak hanya itu, bisa juga sutradara tidak mematikan karakter jaksa Kim Jung Su dan membiarkannya hidup bahagia dengan istrinya, si dokter hewan yang selalu menolong Lee Yong Sung saat babak belur menghadapi musuh. Ya, saya rasa sutradara bisa saja menambahkan ending seperti itu karena itu bukan pekerjaan yang sulit. Namun bukan citra-citra kebahagiaan seperti itu yang ingin ditunjukan oleh film City Hunter.

City Hunter bukanlah film drama atau eksyen biasa yang bertujuan membuai kita dalam kesenangan semu meskipun City Hunter menampilkan Lee Min Ho, si aktor yang bagi sebagian besar pria di dunia yang merasa sirik atas ketampanannya yang dielu-elukan wanita merupakan aktor yang hanya bisa memainkan peran yang menye-menye yang mengandalkan senyuman dan air mata. City Hunter adalah film yang menampilkan kehidupan sosial kita yang menggarisbawahi bahwa pada akhirnya kita tidak akan bisa menjawab bagaimana ending kehidupan nyata kita yang memang selalu dihiasi oleh konflik senjata versus hukum. Kehambaran dalam endingnya saya rasa hendak memberitakan hal itu.

Saya merencanakan untuk membahas City Hunter secara detail dalam posting terpisah. Tunggu saja :)

Ark.Jan'12


Catatan
*tentu liberalisme yang saya maksudkan di sini sama sekali bukan mengenai hal-hal semacam kebebasan seksual karena bahkan teaser-teaser bahwa di film ini Lee Min Ho berciuman secara hot dengan lawan wanitanya saja hanya terjadi satu kali dan ciuman tersebut pun saya nilai biasa saja alias tidak hot alias bisa kalian temukan di film-film lain sehingga tidak seharusnya menjadi sorotan di berbagai berita YahooNews. Liberalisme di sini adalah paham yang titik awalnya bersumber dari kepercayaan bahwa manusia pada dasarnya baik,  berkecenderungan untuk mencari keamanan, kemudian mengejawantahkannya pada keberadaan negara dan hukum.