Teman saya, Opank, dua tahun lalu pernah menulis hal yang menurut saya hebat dan sangat kicking ass sekali. Kata Opank, satu hal yang tidak diciptakan Tuhan adalah kebenaran. Bingung? Hmm, dosen saya, Pak RMT dalam perkuliahan terakhir Filsafat Ilmu semester ganjil lalu berbagi pendapat dengan para tutor mengenai apa itu kebenaran yang saya rasa penjelasan Pak RMT di ruang dan waktu yang berbeda dengan posting Opank dapat menjelaskan apa maksud Opank.
Ketika itu, Pak RMT bertanya kepada tutor-tutor yanng ada di kelas mengenai suatu isu, kebetulan waktu itu kasus Krisdayanti yang mencium Raul Lemos yang menimbulkan kontroversi karena dilakukan di hadapan kamera wartawan infotainment secara sengaja. Jawaban para tutor itu berbeda-beda, tapi dapat dikelompokkan dalam jawaban berikut,
- Tindakan KD tidak pantas dilakukan karena menyalahi adat Timur dan banyak ditonton anak-anak
- Tindakan KD wajar karena sebagai artis maka ia butuh popularitas yang salah satu sumbernya bisa berasal dari deviasi ketentuan sosial
Perhatikan, jawaban 1 merupakan jawaban yang bersumber dari petunjuk normatif, sedangkan jawaban 2 (saya termasuk ke dalam kelompok penjawab poin 2), merupakan jawaban yangg bersumber dari strategi menghadapi kehidupan. Bersepakat dengan Pak RMT, saya rasa tidak ada jawaban yang salah karena keduanya memiliki alasan yang masuk akal dan secara common sense saja sudah dipahami oleh banyak orang. Nah, tapi apakah keduanya benar? "Salah" memang memiliki antonim, baik antonim kembar maupun antonim relasional, berupa "Benar". Namun, bagaimana mungkin ada dua hal yang benar, sedangkan Tuhan saja satu? Bayangkan bila Tuhan ada dua, pasti akan ada perang ketuhanan. Nah, bagaimana dengan "benar"? Kebenaran itu hanya boleh satu atau tidak ada sama sekali, sedangkan dari dua jawaban di atas, keduanya benar menurut logika dan alasan masing-masing. Jika demikian, kebenaran yang mutlak itu sendiri tidak ada. Tidak ada karena semua pihak mengaku jawabannya benar menurut logika dan alasan masing-masing. Namun, terlepas dari benar atau tidak benar, kenyataan bahwa KD mencium Raul itu masih ada. Intinya, apa pun pendapat kita mengenai suatu isu, pendapat kita tidak akan mengubah terjadinya isu tersebut. Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan pendapat kita kecuali menjalani hidup kita sesuai dengan pendapat kita.
Namun kemudian muncul apa yang dikatakan teman saya dalam blog keempatnya yang beberapa hari lalu tidak saya sengaja saya temukan. Teman saya bilang, meskipun di dunia ini ada banyak pilihan untuk melakukan suatu hal, seharusnya kita tetap berpegang dengan apa yang digariskan oleh Islam. Saya nggak bermaksud untuk nggak setuju sama dia karena toh saya juga Muslim dan menjadikan Islam sebagai garis pedoman. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam tulisan tersebut, dari pengakuannya terhadap ada banyak pilihan hidup, si teman saya itu seolah-olah menghargai adanya perbedaan pilihan , tapi di sisi lain ketika ia memberikan pernyataan "seharusnya mengikuti apa yang digariskan Islam", ia sebenarnya sedang memberikan rekomendasi mengenai batasan kebenaran secara mutlak. Islam memang benar, tapi itu hanya bagi yang meyakini Islam. Di luar Islam, bukan berarti tidak ada kebenaran. Kebenaran masih ada, bagi mereka yang meyakini agama atau keyakinan lain. Ketika misalnya si teman saya mengatakan pada orang lain yang tidak meyakini Islam mengenai kebenaran Islam, maka sudah barang tentu si teman saya itu akan menghadapi bantahan-bantahan yang logis menurut logika si orang tersebut. Begitu pun sebaliknya, ketika ada seseorang yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran menyerang si teman saya dengan argumen-argumen anti-Islam, maka sudah pasti juga si teman saya akan balik membantah dengan memberikan argumen mengenai kebenaran Islam.
Nah, perang kebenaran yang dibawa oleh dua orang yang berbeda keyakinan mengenai kebenaranlah yang saat ini sedang ramai terjadi. Mereka lupa bahwa sebenarnya perang yang mereka lakukan itu sia-sia. Mereka sama-sama berangkat dari titik berbeda namun ingin mendapat kesimpulan atas satu hal yang sayangnya kesimpulan tersebut pun tidak ingin mereka capai secara win-win solution atau secara mufakat, tetapi secara zero-sum atau 1-0 alias satu pendapat saja yang benar. Masalahnya lagi, mereka juga saling mengukur benar tidaknya pihak lawan dari standar yang mereka buat berdasarkan pemahaman mereka atas satu kebenaran. Kasus yang sedang ramai sekarang adalah kasus anak punk yang ditangkap polisi di Aceh karena dianggap tidak sesuai syariat Islam. Dosen saya, Pak Indra membahasnya dalam artikel komprehensif di Jakarta Globe yang kebetulan saya share juga di wall facebook saya.
Saya sepakat dengan Pak Indra, bagaimana mungkin kita menilai punk dari sudut pandang Islam? Punk jelas tidak akan pernah sesuai dengan syariat Islam karena punk sendiri lahir di luar kekuasaan Islam. Kecuali bila punk melakukan glokalisasi dengan menggabungkan beberapa nilai dan elemen punk dan Islam kemudian melahirkan hibrid baru berupa lagu punk berlirik islami atau nyanyi irama punk dengan fashion islamik, mungkin akan ada yang dinamakan punk yang sesuai syariat Islam.
Nah, namun jika glokalisasi yang lahir dari negosiasi dan adaptasi antara dua kebenaran itu tidak terjadi maka punk juga tidak akan menjadi benar? Apakah karena punk lahir di luar kekuasaan Islam maka punk itu tidak punya kebenaran? Apakah kebenaran punk yang diambil dari filosofi antikemapanan dan rebel itu harus tunduk pada kebenaran ala Islam padahal si penganut punk itu punya kebebasan untuk menganut kebenaran mana pun yang ia rasa cocok dengan logika dan keyakinannya? Dan ketika alasan bahwa semua hal harus dilakukan secara Islamik dijadikan bahan argumen untuk menihilkan kebenaran punk, pertanyaannya siapa yang sebenarnya berambisi untuk menjadi hegemon kebenaran? Islamkah atau penganut Islam yang berbicara atas nama Islam padahal ia memiliki kepentingan lain di balik embel-embel Islam?
Selain itu, apakah kebenaran hanya bisa diukur melalui satu satuan baku mengenai penampilan atau ritual saja? Merenungi kebesaran Tuhan dan dosa-dosa kita sebaiknya dilakukan di masjid atau minimal dengan shalat malam di rumah, itu memang benar secara Islam. Atau penguasa yang zalim itu harus diruntuhkan dalam beberapa cara, yang salah satunya bisa melalui orasi berkedok dakwah shalat Jumat di masjid tertentu, itu benar menurut Islam kelompok tertentu. Namun, apakah bila seseorang merenungi kebesaran Tuhan dan dosa-dosanya sambil jalan-jalan dengan kawan satu gengnya dan dia menentang penguasa yang zalim dengan simbolisasi antikemapanan dan antiaturan produk penguasa zalim yang jelas-jelas ritual dan elemen itu berbeda dari ritual dan elemen Islam maka si penegak Islam berhak menudingnya sebagai pihak yang salah, sesat, dan harus di-Islamkan?
Hal kedua setelah perang kebenaran yang sering saya temukan adalah pengotak-ngotakkan kebenaran berdasarkan penampilan visual dan ritual tertentu yang menafikkan bentukan substantif yang bisa jadi memang hanya mengarah pada satu acuan, yakni ketuhanan. Mengutip pandangan Opank bahwa satu hal yang tidak diciptakan Tuhan di dunia ini adalah kebenaran, saya rasa Tuhan memang tidak menciptakan kebenaran mutlak bagi manusia karena hanya Dialah Pemilik Kebenaran Mutlak. Dalam berbagai kebenaran-kebenaran yang dianut oleh umat manusia di dunia ini, sebenarnya akan ada satu benang merah, yakni kebenaran mutlak yang mengarah pada Tuhan atau yang disebut oleh beberapa yang tidak mengakui Tuhan sebagai kekuatan di luar sana yang belum ditemukan apa itu. Dalam Islam, ritual dan penampilan visualnya ditujukan untuk mencari kebenaran yang digariskan Tuhan. Pun dalam punk yang menurut elit Aceh sebagai hal yang bertentangan dengan syariat Islam, sejatinya punk pun mencari sesuatu Maha Benar yang dirindukan sebagai oase atas kemapanan artifisial dan kolonial yang mencengkram peradaban manusia. Masalah ritual dan penampilan visual yang berbeda, tentu saja akan berbeda karena Islam dan punk tidak lahir dari waktu, tempat, dan nabi yang sama. Perbedaan waktu, tempat, dan nabi yang berbeda itulah yang melahirkan perbedaan versi kebenaran. Hal yang paling bodoh yang kita lakukan tentu saja menimbang-nimbang mana yang (lebih) benar. Sampai Dajjal menjelma dalam rupa Jeremy Thomas juga kita tidak akan pernah bisa memufakatkan mana yag (lebih) benar. Kita hanya bisa secara temporer mengalahkan satu kebenaran, tapi itu juga jika kita memiliki kekuasaan, tapi itu juga tetap saja fiktif karena toh kebenaran itu sesuatu yang tidak ada wujudnya di dunia ini.
Kenapa kita tidak mencoba saja untuk mengakui bahwa kebenaran di dunia ini sejatinya tidak ada? kenapa kita tidak belajar menghargai kebenaran yang diyakini orang lain sambil kita menjalani apa yang menjadi kebenaran versi keyakinan kita secara khusuk tanpa menilai kebenaran orang lain dari satuan kebenaran kita?
Saya Islam, saya meyakini kebenaran Islam, tapi saya juga mencatat dengan cermat untuk tidak menilai kebenaran orang lain dari satuan-satuan Islam yang saya yakini.
Dan tentang KD, berhubung dia artis dan saya bukan, karena itulah saya tidak menggunakan satuan ukur orang biasa untuk menilai artis.
Ark.Jan'12.
2 comments
oke riki. jadi kita hanya ... teman
ReplyFRIENDZONED!!
*salah fokus
opank plis jangan nodai hubungan pertemanan ini plis plis
Reply