Kalau saya di sini begitu lancar meneriakkan petuah persamaan derajat dan toleransi antarkebenaran, maka dengan ini saya memohon maaf atas segala hinaan dan tertawaan setiap kali saya membaca nama dan foto bercorak alay. Sesungguhnya alay juga adalah subkultur yang mempunyai kebenarannya sendiri dan yang lebih penting lagi, dalam masa-masa friendster, saya pakai nama yang sangat alay dengan menggabungkan suku kata nama-nama idola saya, dan saya juga pernah smsan sama pacar masa SMP atau SMA saya dengan huruf gede-kecil, bahkan tanpa spasi, dan tetap teguh pada pendirian saya meskipun pacar saya sering meledek. Oke, mungkin karena itulah saya juga putus. Mungkin. Oke, menjadi alay adalah sebuah fase, bukan cuma sekedar pilihan. Alay adalah tahap pendewasaan. Kalau saya dulu pernah hidup sebagai anak alay namun kini saya sudah bisa membuat blog yang sering saya isi dengan ungkapan yang mendewakan pluralitas, maka bisa jadi anak-anak alay lain juga beberapa tahun kemudian juga melakukan hal yang sama seperti saya sehingga aktivis pluralisme bisa bertambah dan jumlahnya mencukupi untuk menggulingkan rezim homogenitas.
Sekian dan terima kasih, sayang, dan lowongan pacar.
2 comments
Keren sekali ibunya :')
ReplyHehe obrolan yang berkualitas :D
salam kenal, blogwalking :)
haaaiiiiii mbak farisa :D
Replyiya itu ibu aku mengagetkan sekali, sampe nganga nanggepinnya
salam kenal jugaaaa :D